DKT Proyek Mustahil – Sesi 04
Bagaimana kita mengusahakan seni menjadi relevan bagi generasi sekarang dan mendatang, bagi generasi pandemi maupun pascapandemi?
Bagaimana kita mengusahakan seni menjadi relevan bagi generasi sekarang dan mendatang, bagi generasi pandemi maupun pascapandemi?
Mengamini cara pandang para narasumber di DKT ke-3 ini, situasi mustahil, dengan demikian, justru menjadi situasi yang bukan lagi membatasi, tetapi justru dapat merangsang gagasan dan praktik baru, baik yang bentuknya sudah bisa terbayang maupun yang belum pernah terpikirkan sama sekali sebelumnya.
That was in the afternoon in Cemeti, right after the Ambangan Art Project Presentation was end and it was exactly fourteen days of my WfH end too. Those two events turned to lenses on my glasses that I used to flashback the events that happened around me, especially since this pandemic got worse.
Sore itu di Cemeti, tepat satu bulan setelah presentasi proyek seni Ambangan berakhir dan tepat empat belas hari setelah fase “work from home” saya usai. Kedua hal tersebut menjelma menjadi lensa pada kacamata yang saya gunakan dalam melihat ulang peristiwa-peristiwa di sekitar sejak wabah ini semakin menjadi-jadi.
Dalam proyek ini, baik hal-hal yang berada di zona ambang tersebut maupun zona ambang itu sendiri, disebut “ambangan”. Dan sebagai suatu ambang bagi transformasi cara berpikir, diskusi ini pun hendak merefleksikan sejumlah pertanyaan untuk dielaborasi oleh para pembicara.
PERTEMUAN-PERTEMUAN ANTARA berbagai sistem kehidupan, termasuk sistem pengetahuan, kerap kali tak sekadar menghasilkan dikotomi. Interaksi yang terus terjadi antara segala unsur yang menjalin kehidupan telah membangun dialognya sehingga keberadaan proses tawar-menawar menjadi sebuah keniscayaan. Ada kalanya hal, semacam itu mengantarkan kita pada situasi di antara, sebagaimana sebuah ambang pintu mempertemukan satu ruang dengan ruang lainnya, zona yang tidak definitif dan terus membuka peluang terhadap kemungkinan transformasi.
DIALEKTIKA SISTEM DAN DISKURSUS tidak berhenti hanya pada pertentangan dikotomis “pusat vs pinggiran”, karena apa yang berada di antara—atau yang mengantarai—kedua jenis zona tersebut, kiranya, mengundang spekulasi mengenai pengetahuan, wawasan, ataupun aktivitas mental lainnya yang belum—atau bahkan rasanya hampir tak mungkin bisa—dirumuskan melalui kerangka pikir yang selama ini bersandar pada rasionalitas dan logika khas pengetahuan modern. Kritisisme semacam ini menggeser fokus kita ke hal-hal yang jarang, belum, atau mungkin tidak bisa dilihat. Hal-hal itu agaknya berada pada area “antara”, atau semacam “zona perlintasan”—seperti ambang pintu yang mengantarai dua ruang. Dengan kata lain: zona ambang. Hal-hal yang dalam konteks ini kita sebut “ambangan”.
ENCOUNTERS BETWEEN VARIOUS LIVING SYSTEMS, including the system of knowledge, often do not merely result in a dichotomy. Perpetual interactions between these systems that make life possible have developed a dialogue so that the process of negotiation becomes a necessity. There are times when such things lead us to a situation of in-between, similar to how a doorstep threshold adjoins one room with another, an indefinite zone that leaves the door open to opportunities for possible transformation.
THE DIALECTICS OF SYSTEMS AND DISCOURSES do not stop within dichotomous divisions (e.g. “central vs. peripheral”), because everything that is lying — or mediating — between the two different types of zone, presumably, invites speculation about knowledge, noetic, or other mental activities that have not been — or even they seem almost impossible to be — formulated through frameworks that so far relied on the rationality and logic typical of modern knowledge. This kind of criticism shifts our focus to things that are rarely, not yet, or may not be seen. These things seem to be in the “intermediate” area or some kind of “crossing zone” —like a doorway that intersects two spaces. In other words: threshold zone. Things that in this context we call “ambangan” (“threshold-ness”).
In this “Ambangan” project, MILSIFILEM Collective tries to sort out and critique several aspects of the art field through a small simulation which, this time, is framed into 72-hour performance art. Citing the routine activities of the artist-participants (members of the MILISIFILEM Collective) as the main element and factor of their performance content, the “Ambangan” project is experimenting with a threshold of endurance between common and uncommon time; with a threshold of understanding between the realm of production and the realm of the exhibition; and with a threshold of experience between presentational zone and representational zone.