English | Indonesia
Situs Metaforis 02: “TUBUH”
Kuratorial | Karya | Seniman | Dokumentasi | Esai
*Untuk pengalaman yang lebih nyaman dalam mengakses konten di halaman ini, dimohon menggunakan perangkat desktop.
TUBUH TIDAKLAH ABADI. Fase hidup kita adalah kemegahan yang puitis, dan kita dapat dengan tulus mengakui bahwa kematian tubuh adalah arti terpenting dari kesempurnaannya, bagian dari proses alamiahnya.
Kematian bukan hanya tentang perampasan kehidupan; ia adalah pertanyaan tertinggi tentang apa artinya hidup. Memikirkan sifat kematian berarti memikirkan bagaimana hal itu mempengaruhi kelangsungan organisme dan manusia. Bangkai dan mayat tampaknya menjadi urutan terakhir dari penilaian atas nilai-nilai tubuh. Tubuh yang hidup mendorong hubungan sosial, tetapi tubuh yang mati atau sekarat dapat menaksir dan mengingatkan makna dari masa lalu sosial kita, memperingatkan masa kini sosial kita, menentukan masa depan sosial kita, dan menjaga ingatan sosial kita.
Sementara itu, ritual kematian secara khusus berkaitan dengan sistem kepercayaan eskatologis yang menyediakan perangkat mental untuk mengatasi kesedihan karena kehilangan. Ritus kematian menjadi bagian dari interaksi manusia sehari-hari, yang di dalam interaksi itu, individu dan institusi sosial komunitas membentuk suatu sarana afirmatif untuk menjalani keterputusan, keterpisahan, perampasan, pembusukan, kerusakan, dan kedukaan.
***
Sebagai gugus produksi kedua dalam Proyek Rotten TV – Satelit Yogyakarta, Situs Metaforis 02: “TUBUH” mengundang perupa Enka Komariah dan fotografer Dwi Oblo untuk melakukan kolaborasi artistik yang mendorong eksplorasi konseptual tentang topik tubuh (atau tubuh manusia). Bagaimana makna tubuh yang hidup, perampasan hidup, dan ritual kehilangan bergeser di zaman masyarakat kontemporer seiring dengan munculnya berbagai krisis global. Membingkai aspek reflektif dari hubungan antara tubuh, kehidupan, dan kematian ke dalam ujaran-ujaran representasional, kuratorial ini bertujuan untuk memikirkan kembali bagaimana perubahan lingkungan berdampak pada perubahan tubuh dan makna sosialnya, baik dalam konteks realitas maupun representasinya.
Kolaborasi ini menjawab, sekaligus memberikan refleksi puitis atas, topik yang telah diuraikan di atas. Enka Komariah dan Dwi Oblo menggabungkan disiplin fotografi (berdasarkan pendekatan jurnalistik) dengan gambar, seni pertunjukan, dan video. Mereka juga mengolah semua materi tersebut dalam bentuk presentasi berupa instalasi. Karya seni mereka mencoba menangkap informasi berbasis citra dan memorabilia, serta peristiwa masa lalu yang terkait dengan beberapa situs tertentu di Yogyakarta, termasuk Tempuran Kali Opak-Oyo, Imogiri, Kabupaten Bantul; Merapi, Cangkringan, Kabupaten Sleman; dan Makam Sasonoloyo, Mergangsan, Kota Yogyakarta. Ini menghasilkan struktur semiologis yang menyoroti perubahan faktual dalam kebiasaan orang-orang yang telah mengalami pergeseran cara hidup akibat pandemi. Bahkan, perubahan yang terjadi pada lingkungan dan makhluk hidup juga berdampak pada perubahan cara masyarakat dalam memaknai kebutuhan dan kepentingan budaya.
***
Situs Metaforis 02: “TUBUH” juga melibatkan seorang antropolog Yustinus Tri Subagya (Yogyakarta) sebagai meta-analis yang telah mendampingi pengembangan karya seni yang dikerjakan kedua seniman tersebut sejak Oktober 2021. Subagya mengelaborasi proses penelitian dan produksi karya visual Enka dan Oblo dengan perspektif antropologis tentang fenomena ritual kematian di masyarakat Indonesia sebelum dan selama pandemi. Selain itu, gugus ini juga melibatkan seniman performans Otniel Tasman (Surakarta) sebagai penanggap kritis, yang memberikan umpan balik terhadap hasil kerja Enka dan Oblo dengan menggarap sebuah performance lecture untuk melengkapi wacana “Pembusukan” yang memayungi proyek Rotten TV secara keseluruhan.
Manshur Zikri
Kurator

Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati
Enka Komariah & Dwi Oblo, 2021

Eling Lan Waspada
Enka Komariah, 2021

0-Exelsior (Pati Sajroning Urip)
Otniel Tasman, 2021

Enka Komariah lahir di Klaten, 1993. Ia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kekuatan karya Enka terletak pada kertas yang ditransformasikan ke dalam berbagai medium dan narasi imajinatif sebagai ide utama untuk berkarya. Ia kerap bermain-main dengan simbol yang satir dan ironis sekaligus mempermainkan samarnya batasan antara tabu dan norma dalam pandangan masyarakat. Ketertarikannya untuk mengolah identitas dirinya yang berlatar belakang tradisi Jawa nan agraris dan menyandingkannya dengan citra-citra budaya populer yang kontradiktif, menjadi karakter yang khas dalam karyanya. Enka mengikuti beberapa kolektif seni, antara lain Barasub (komik), Gegerboyo (mural), dan Beresyit (ilustrasi).

Dwi Oblo lahir di Wonogiri 6 April 1967, lulus dari Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1998. Saat ini tinggal dan bekerja di Yogyakarta.
Sejak 2004 hingga saat ini bekerja sebagai pewarta foto lepas, juga aktif menjadi kontributor kantor berita Thomson-Reuters untuk wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta Majalah National Geographic Indonesia dan Majalah National Geographic Traveler. Dalam sepuluh tahun terakhir, ia juga aktif memberikan pelatihan foto jurnalistik bagi beragam kalangan.
Sejak belia sudah menyukai beragam seni, termasuk seni lukis. Menggambar dan melukis adalah pijakan awalnya sebelum mengenal dan mengeksplorasi fotografi. “Saya memotret banyak hal, terkadang secara acak, karena pada dasarnya saya senang mendokumentasikan apa pun.” Pernah menjalani profesi sebagai desainer grafis di perusahaan kaos Jaran Ethnic T-Shirt.
Beberapa pameran bersama dan tunggalnya: Art On T-Shirt (Bentara Budaya Yogyakarta, 2001); Printmaking in the future (Cemeti Art House, Yogyakarta, 2001); Pameran Seni Rupa Exploring Vacuum II—kolaborasi bersama Yudhi Soerjoatmodjo, Layung Buworo, Joned Suryatmoko berjudul Mutlak Jujur (Cemeti Art House, 2003); Pameran Tunggal Fotojurnalistik Remember Working (Kedai Kebun Forum, 2004). Dalam kurun 2011-2017 secara rutin bersama Pewarta Foto Indonesia/PFI memamerkan karya foto hasil liputan di beberapa tempat di Yogyakarta: Jangan Fitnah Merapi (2011); Yogya Berhenti Nyaman (2013); Ayo Ngguyu (2014); Nusa Bahari (2015); Di Mana Garuda (2017); Covid 19 dalam Lensa Jurnalis (2020).
Karya-karya fotonya ada dalam beberapa buku: Bengawan Solo, Riwayatmu Kini (National Geographic Indonesia, 2009); Kampung Kota, Kota Kampung, Potret 7 Kampung di Kota Yogyakarta (Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, 2010); Mt.Merapi 10, Summit Of Fire (Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2010); Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya (Gramedia, 2011); Borobudur: The Road to Recovery (UNESCO bekerja sama dengan National Geographic Indonesia, 2012); Candi Indonesia seri Jawa dan luar Jawa (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013); Asmaradan Merapi, Narasi Ketangguhan Orang-orang Merapi (BNPB dan UNDP, 2014); Ensiklopedi Nahdlatul Ulama Volume 1-4 (Mata Bangsa dan PB NU, 2014); Sinabung Kelud Calling (Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2014); Ekuilibrium Sentarum (Balai Besar Taman Nasional Betung Keriun dan Danau Sentarum, Kalimantan Barat); Jelajah Energi (PT. Pertamina Persero, salah satu fotografer pengisi buku untuk ulang tahun ke-60 Pertamina, 2017), serta Kraton Yogyakarta, Pusat Kebudayaan Jawa (Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2020).

Otniel Tasman adalah koreografer muda yang praktik artistiknya sangat berakar pada tradisi Jawa, terutama tradisi Banyumas, kota kelahirannya. Tasman sedang menjajaki Tradisi Lengger Banyumas, sebagai bahasa ibunya. Itu memberinya pengalaman dalam memahami setiap kejadian dalam hidupnya dan menginspirasinya dalam menciptakan karya. Keunikan Lengger ditarikan oleh laki-laki, mengenakan kostum perempuan dan make-up, penari yang biasa dikenal sebagai Lengger Lanang (Male Lengger). Otniel sedang mengeksplorasi banyak ide berdasarkan identitas gender Lengger Lanang, dan koreografi secara kontemporari untuk karyanya.
Karya-karya yang telah dibuatnya, antara lain Rohwong (2010), Angruwat (2010), Mantra (2012), Looping Back Mantra (2012), Barangan (2013), Lengger Laut (2014), Penantian Dariah (2015), dan Stand Go Go (2017), Noseheorit (2018), Entrance (2019), Amongster Voyage of Lengger (2020), dan Nyawiji (2021).
Otniel menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia Surakarta (2013). Ia juga membangun Otniel Dance Community (2012) dan telah menggarap beberapa karya kolaborasi dengan seniman nasional dan internasional, seperti Ming Wong (Jerman), Daniel Kok (Singapura) ), Arco Renz (Jerman), Maxine Happner (Kanada), Hanafi Muhammad (Indonesia), dan Garin Nugroho (Indonesia).
Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati: Makna Tubuh dan Kematian di Kalangan Orang Jawa
Tulisan ini menyajikan deskripsi dan analisa dari proses produksi karya yang diberi judul “Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati.” Bagian pertama, kami menyoroti soal tubuh dari fenomena kematian. Pandangan medis…
Lanjut membaca