All posts filed under: “Esai”

Yang Puitik dari Proses, Data, dan Peristiwa

Meninjau kembali Pameran Tunggal Dyah Retno, berjudul ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), yang diselenggarakan pada tanggal 2-30 Juli 2022 di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta, kita bisa mengelaborasi konsep “proses”, “data”, dan “peristiwa”.

Menatap Hubungan Kolaborasi dalam Pengembangan Wacana

Menatap Hubungan Kolaborasi dalam Pengembangan Wacana Catatan Dramaturgi Hari Ini Belajar Sejarah Bertolak dari Tubuh yang Ekstrem dan Jalur Evakuasi Saya ingin memulai tatapan hubungan kolaborasi ini dari tubuh diri sendiri yang mengalami keekstreman; hal yang keterlaluan; ekstremitas; kefanatikan, kalau saya boleh menyebutnya. Apa yang dimaksud keekstreman itu dalam konteks diri, terus apa kaitannya dengan terbatas, dan apakah beririsan antara ekstrem dengan terbatas, atau bagaimana irisannya dengan gagal? Gagal dan terbatas, sepengetahuan saya, berada di wilayah ekstrem tersebut; mencakup di antaranya. Saya memilih pekerjaan dramaturg—seseorang yang diberikan peran penuh dalam medan artistik kerja sutradara/seniman yang saya sebut pada catatan ini sebagai informan dalam atau eksekutor karya. Khususnya informan dalam di Sampang—untuk mendampingi proses latihan dalam menemukan metode praktik kerja yang tidak terbaca dari sudut pandang teoretis, gaya pengkaryaan, hingga visualnya, dan memberikan argumentasi secara ketat serta temuan-temuannya, sebagiannya memiliki kuasa artistik. Keekstreman lainnya, mereka dapat dilihat tidak mengetahui ekosistemnya apa, datangnya dari mana, kenapa asal-usulnya, dan untuk apa ekosistem itu dibangun, serta bagaimana cara membangunnya. Saya, sejujurnya, cukup terkejut ketika diajak Syamsul Arifin, inisiator Tanglok Art …

“Hari Ini Belajar Sejarah” – teks performance lecture Syamsul Arifin

Masyarakat pesisir memiliki perangai yang keras/pemberani/tangguh, kreatif, bertindak cepat, adaptif, peka terhadap situasi sekitarnya. Sebagaimana orientasi hidup masyarakat pesisir pada umumnya bergantung pada situasi laut yang berubah-ubah. Demikianlah laut ikut andil menjadi bagian dari sejarah (karakter) masyarakat pesisir yang tidak dapat kita lepaskan sebagai bagian dari sejarah hidup sekaligus kebudayaannya. Etos kerja “ambantal omba’ asapok angen” (‘berbantal ombak, berselimut angin’) menjadi bukti bagaimana kemudian berbagai aspek dari kehidupan sosial-budaya menjadi instrumen atas sejarah tubuh masyarakat pesisir.

Kertas Kerja Pembusukan Indomie No 1

Apa yang kita ketahui tentang Indomie, selain eksistensinya yang mantap sebagai mi instan yang ada dimana-mana? Bagi banyak orang, Indomie tampil sebagai bagian dari jalur cepat untuk mendapatkan makanan yang layak dan murah. Nilai kelayakan dari Indomie bisa disesuaikan sesuai kebutuhan dan ambisi kesehatan tertentu. Preferensi atas Indomie biasanya diambil dengan mengutamakan nilai kesegeraan, efisiensi dan ekonomis, lebih dari nilai nutrisi yang terkandung dalam tiap bungkus mi. Tetapi makan bukan sekedar soal mengisi bahan bakar bagi tubuh-mesin kita.

Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati: Makna Tubuh dan Kematian di Kalangan Orang Jawa

Tulisan ini menyajikan deskripsi dan analisa dari proses produksi karya yang diberi judul “Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati.” Bagian pertama, kami menyoroti soal tubuh dari fenomena kematian. Pandangan medis memperlihatkan kedudukannya yang berbeda dengan pandangan budaya tentang tubuh. Tubuh medis adalah tubuh biologis yang secara alamiah bisa tumbuh dan membusuk. Tubuh kultural adalah tubuh yang dimuliakan karena terbentuk dari unsur-unsur kosmologi masyarakat. Bagian kedua, kami mendeskripsikan ritus kematian dan perubahannya di masyarakat. Dalam hal ini, kami menyajikan ritual kematian di kalangan orang Jawa yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kami.

Kita gagal mencium bau busuk dalam layar dan berhasilkah kita menciumnya dalam kenyataan sosial

Cerpen berjudul “Bau Busuk” karya Eka Kurniawan menawarkan pengalaman penubuhan yang menarik karena cerpen sepanjang dua ribuan kata itu ditulis hanya dengan satu titik di bagian akhir tulisan, memaksa kita untuk membacanya tanpa henti, yang jeda singkatnya hanya ditawarkan banyak koma di sepanjang tulisan dan karena tak bertitik maka ia juga tak berparagraf, oleh karena itu saat membaca, kita akan tersengal-sengal, mencari cara menarik nafas di sela rangkaian kalimat tak berujung yang menceritakan bau busuk di seantero penjuru kota, bernama Halimunda.

Histrionik, Pantomime, Serta Luka Dan Bisa Kubawa Berlari

Latar belakang Mas Inyong dan Mas Jamal selaku pemain pantomime tentulah menjadi poin tambahan dalam film “Luka dan Bisa Kubawa Berlari”. Takusno selaku seniman, penggagas cerita, serta ada pula kameramen yang berusaha menangkap gerak, memang memiliki andil dalam pembuatan film tersebut. Mereka mungkin memasukkan sense seni rupa, seperti pilihan chiaroscuro supaya film lebih Rembrandt-esque, atau memberikan sense keruangan dalam gambar. Namun, saya melihat tindakan semacam ini sebagai upaya untuk framing tubuh yang telah “jadi” — tubuh yang di dalamnya berisi lema gestur hasil tempaan selama lebih dari dua puluh tahun.

Selagi Luka dan Bisa Kubawa Berlari

Ghost light adalah pintu masuk untuk kemudian meluaskan tatapan. Cara yang kami tempuh adalah mengabstraksikan kembali objek-objek artistik yang telah Dalijo ciptakan. Lalu mengurai kembali narasi-narasi di seputar elemen instalasinya dan sekaligus membayangkan kemungkinan repertoarnya. Lantas, memadatkannya kembali menjadi satu pernyataan: luka dan bisa kubawa berlari.