
Program Residensi Seniman 2023 Periode #1
Penuh rasa syukur kami kabarkan bahwa tahun ini Cemeti kembali menyelenggarakan program residensi reguler setelah vakum dua tahun di masa pandemi Covid-19. Selama tiga bulan periode residensi April-Juni 2023, ruang tinggal dan studio residensi akan dihuni oleh tiga seniman yakni Arif Furqan (Indonesia), Samboleap Tol (Belanda) dan Roberta Joy Rich (Australia). Pada kesempatan residensi kali ini, Doni Ahmad, kurator dari Bandung yang terpilih melalui panggilan terbuka kurator periode 2023 akan menemani proses tiga seniman dalam menjelajahi dan menyelami kehidupan sehari-hari dan seni di Yogyakarta. Selain itu, FX Harsono (seniman, anggota dewan pembina Cemeti) turut serta sebagai penyelia yang mendukung pengembangan program Residensi Cemeti.
Selamat datang dan terima kasih bagi para seniman dan kurator Residensi Cemeti periode 2023 yang telah bersedia menghangatkan kembali percakapan dan pertukaran dengan kita semua melalui sejumlah perjumpaan di dalam aktivitas keseharian dan program publik residensi. Terima kasih pula bagi publik SAHABAT CEMETI atas dukungan dan kesediaan kalian untuk selalu menyertai, menyaksikan, dan memberikan saran bagi program-program kami.
Program Residensi Cemeti Periode 2023 ini terselenggara berkat kerja sama dengan Mondriaan Fonds, Debra Porch Award: Visual Arts Residency – Australian Council for the Art, dan Prince Claus Fund.
Biografi Seniman
Samboleap Tol (Belanda)

Samboleap Tol (1990) berfokus pada penciptaan ruang bagi dirinya sendiri untuk menjadi semi-publik tentang keluhan sosio-historis dan politik pribadinya, serta mengekspresikan cara-cara untuk mempertimbangkan penyelesaian – dengan rekan-rekannya sebagai saksi utama. Praktik perhitungannya berasal dari penyelidikan yang sedang ia lakukan terhadap tradisi Buddhis Theravadin dan praktik animisme Khmer Indigenous, serta percakapannya dengan teman-temannya tentang praktik keagamaan mereka. Sejalan dengan silsilah kesenian Khmernya, ia mencoba untuk memahami rangkaian penyelidikannya yang beragam melalui pertunjukan dan penceritaan, menggunakan musik dan gambar, dan berharap siapa pun yang menyimaknya dapat memahami bahwa ia sedang bercerita tentang kehendak, keyakinan, dan martabat.
Tol lulus dari program MFA Piet Zwart Institute (Rotterdam). Dia belajar seni rupa di UAL’s Central Saint Martins (London) & Sint Lucas School of Arts & Design (Antwerp); Media dan Komunikasi di Erasmus University (Rotterdam) & University of Sydney. Saat ini ia bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Seni Transnasional, Identitas dan Bangsa (TRAIN), Universitas Seni London.
Roberta Joy Rich (Australia)

Roberta Joy Rich adalah seniman multidisiplin yang berbasis di Narrm (Melbourne). Roberta sering merujuk pada identitas dan pengalaman diasporanya di Afrika Selatan sebagai platform untuk menginterogasi konstruksi ‘ras’, gender, singularitas Barat, dan gagasan tentang ‘keaslian’. Dengan menggunakan bahasa, teks, terkadang satir, arsip, dan penceritaan, ia mengambil fokus dari sistem pengetahuan komunal, sejarah, sosial-politik, dan epistemologi budaya populer, dalam proyek-proyek video, instalasi, suara, dan mixed media. Roberta tertarik untuk membingkai ulang materi arsip dan kemungkinan pengarsipan anarkis, dengan tujuan untuk mendekonstruksi modalitas kolonial dan mengusulkan narasi yang memberdayakan tentang penentuan nasib sendiri.
Sejak menyelesaikan gelar MFA-nya di Monash University pada tahun 2013, Roberta telah berpameran di berbagai wilayah pemukim di pesisir timur Australia dan secara internasional di Afrika Selatan. Pameran terbarunya ‘The Purple Shall Govern’ di Footscray Community Arts yang bekerja sama dengan Australia Centre for Contemporary Art mengeksplorasi kondisi kekuasaan dan akses di ruang publik, yang merefleksikan kekuatan penindasan sistemik oleh pemerintah kolonial yang dialami oleh penduduk asli dan warga kulit hitam di berbagai konteks di Australia dan Afrika Selatan.
Roberta juga tertarik untuk menjembatani percakapan dan kolaborasi antara diaspora Afrika dan benua Afrika, dengan menjadi salah satu kurator dalam pameran And She Wore Trousers di Arts House yang mengeksplorasi narasi perlawanan perempuan dalam sejarah Afrika Selatan. Roberta saat ini sedang menyelesaikan program Counterflows yang mencakup kunjungan ke Sharjah Biennial 15 dan sedang mengembangkan karya baru yang didukung oleh ACMI dan Ian Potter Cultural Trust. Untuk Residensi Cemeti, Roberta ingin memperluas pemahamannya tentang budaya Jawa yang telah menginformasikan sejarah dan identitas Afrika Selatan kontemporer, dengan harapan dapat menggali dan memperkaya benang merah tersebut dalam praktiknya.
Arif Furqan (Indonesia)

Pengajar sekaligus peneliti yang menggeluti bidang fotografi dan arsip. Mulai serius mengeksplorasi eksperimen dengan medium fotografi sejak 2011. Karyanya berkutat pada isu tentang ingatan, rumah, keluarga, dan mobilitas. Menjadi bagian dalam Flock Project, sebuah kolektif yang mengeksplorasi kemungkinan medium cetak fotografi. Pada tahun 2021 menerima Prince Claus Seed Award atas Unhistoried, sebuah proyek berbasis arsip foto keluarga Indonesia di era Orde Baru (1960-1990an). Kini sedang meluangkan waktu melakukan riset serta proyek seni menggunakan materi arsip.
Biografi Kurator dan Penyelia Program
Doni Ahmad

Doni Ahmad lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada tahun 2012. Pada kurun 2014-2016 aktif mengelola program Beta Test: Pameran Tunggal seniman muda di Ruang Gerilya, Bandung. Ia menyusun buku Liplap: 35 Artists under 35 y/o bersama Adhisuryo di tahun 2017. Setelah sempat melanjutkan pendidikan di program pascasarjana ITB (jurusan sejarah seni dan estetika) Doni kemudian ikut menginisiasi organisasi Rakarsa di Bandung.
Di masa pandemi, Doni fokus menerjemahkan buku Francis Bacon: Logika Sensasi karangan Gilles Deleuze (penerbit Gang Kabel) bersama Syarif Maulana. Sejak 2022, Doni terlibat dalam penelitian sejarah Hidden Connections bersama Ferial Afiff di bawah Van Abbemuseum, Eindhoven. Kini aktif menyelenggarakan program-program seni di Gelanggang Olah Rasa, Bandung.
FX Harsono

FX Harsono (lahir 1948) adalah tokoh penting dalam kancah seni rupa kontemporer Indonesia. Ia terus memperbarui bahasa artistiknya dengan konteks sosial dan budaya terkini. Karya-karya Harsono mengungkapkan situasi yang membingungkan dari kaum minoritas, yang secara sosial kurang beruntung di Indonesia, yang dilatarbelakangi oleh sejarah dan perkembangan politik Indonesia.
FX Harsono mendalami seni lukis di STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) “ASRI” (Akademi Seni Rupa Indonesia), Yogyakarta, dari tahun 1969 hingga 1974 dan di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) dari tahun 1987 hingga 1991. Ia menjadi dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Pelita Harapan, Tangerang (Jawa Barat), sejak tahun 2005. Harsono adalah seorang kritikus seni yang aktif dan secara teratur menulis tentang isu-isu sosial dan perkembangan seni kontemporer. Ia dianugerahi Prince Claus Award 2014 dari Prince Claus Fund, Belanda; Penghargaan Anugrah Adhikarya Rupa 2014 dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Indonesia; dan Joseph Balestier Award for the Freedom of Art dari Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Art Stage di Singapura pada tahun 2015.