DAFTAR ISI
Kuratorial | Lokasi Pameran | Program Publik | Daftar Seniman

20 Februari – 15 April 2023*
Kedai Kebun Forum | Ruang MES 56 | LAV Gallery
| Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat | KRACK!
*diselenggarakan secara paralel di lima ruang sepanjang rentang waktu tersebut.
Jadwal pameran tertera di bagian Lokasi Pameran
Pameran ini bukan (sekadar) tentang reformasi. Juga tidak dalam rangka menguatkan glorifikasi, apalagi pada titik ketika kehidupan kita sekarang masih terus bergelut memperjuangkan demokrasi. Pameran ini bisa jadi lebih diinisiasi untuk menjadi ruang yang mempertemukan beragam ingatan tentang sebuah masa yang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan individu maupun kita sebagai warga sebuah bangsa. Kami ingin membicarakan penanda dalam titi mangsa ini bersama para seniman dari beragam latar belakang dan berlainan generasi. Bagaimana sebuah peristiwa dalam sejarah dapat melahirkan tafsir yang berbeda, dikenang dengan cara yang tak sama, dan membangun percakapan yang bisa membawa kita ke segala arah?
Reformasi pada saat kemunculannya bisa jadi merupakan sebuah titik yang diharapkan membuka cara tata kelola pemerintahan yang baru, di mana sebuah tirani dilengserkan, dan babak baru diperjuangkan. Reformasi adalah puncak dari gejolak dan dinamika politik yang telah berlangsung bertahun-tahun, melahirkan gerakan sosial yang berbasis pada solidaritas dan perjuangan untuk kebebasan: ada banyak nyawa dikorbankan, mereka yang hilang, atau kisah tentang pembungkaman. Karenanya, membicarakan rentang reformasi tidak bisa hanya berfokus pada tahun 1998 saja, tetapi masa sebelum dan bertahun setelahnya. Tahun 1998 dan peristiwa reformasi kemudian dilihat sebagai pintu masuk bagi para seniman generasi baru untuk membicarakan apa yang dekat dengan mereka di masa kini.
Karena percakapan tentang reformasi mendorong terkuaknya sejarah-sejarah baru, kami melihat bahwa moda pameran yang melihatkan ruang dan komunitas menjadi penting karena ruang-ruang ini juga merupakan hasil dari kerja aktivisme untuk memperjuangkan kebebasan berkumpul dan berekspresi. Dalam dunia seni, Pasca reformasi juga ditandai dengan lahirnya ruang-ruang yang diinisiasi seniman; memberi ruang pada praktik dan eksperimentasi baru yang berharga bagi upaya meretas sejarah seni dari konteks lokal. Meski pertumbuhan institusi dan infrastruktur seni belakangan sudah mulai tampak, tapi ruang-ruang kecil inisiatif warga ini selalu punya posisi penting untuk membangun wacana dari bawah. Karena itu, kami berkolaborasi dengan ruang seperti Kedai Kebun Forum, Ruang MES 56, KRACK! dan LAV Gallery, selain tentunya Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat. Semua ruang tersebut berdekatan lokasinya, sehingga semua program di semua lokasi bisa dengan mudah diakses pengunjung.
Memilih, atau tepatnya, mengumpulkan karya-karya yang lahir pada kisaran 1997-2003 ini tidak begitu mudah rupanya. Beberapa seniman yang kami hubungi mengatakan karya-karya sudah tersebar; beberapa sudah jatuh ke tangan kolektor, beberapa tersimpan di gudang dan sulit mencari, beberapa tak begitu jelas keadaannya. Karya-karya yang berhasil kami tampilkan di sini hanya sebagian kecil saja dari gambaran luas dinamika seni dan politik pada periode waktu tersebut. Agung Kurniawan, Taring Padi, Popok Tri Wahyudi dan FX Harsono pada periode itu cukup rajin menghasilkan karya-karya yang memberikan komentar politis, atau justru terang-terangan karya menjadi bagian dari kerja advokasi. Sementara Titarubi dan Dyan Anggraini memaknai politis dengan aspek yang berkisar di antara ruang publik dan ruang domestik, tentang pergolakan dan perjuangan individu-individu yang mesti berhadapan dengan teror, represi, kekerasan dan bahkan kehilangan nyawa. Beberapa karya kami tampilkan sebagai arsip, karena kami melihat meskipun karya fisiknya sudah tidak ada, tetapi karya-karya itu masih sangat berharga sebagai bagian dari sejarah kita.
Menyandingkan karya-karya ini dengan karya seniman generasi baru saya kira menarik untuk melihat bagaimana praktik seni bergeser dari waktu ke waktu; tidak hanya ideologinya, tetapi juga wacana, praktik dan ekosistemnya. Dua kurator—Dwiki Nugroho Mukti dan Savitri Sastrawan—dalam pameran ini menunjukkan bagaimana reformasi dibaca dalam konteks ruang-ruang “pinggiran” alih-alih memfokuskan wacana di kota besar yang acap menjadi pusat politik, serta bagaimana posisi identitas gender memberi pengaruh besar dalam pembacaan atas situasi politik.
Menggali Narasi di Sekeliling
Reformasi menjadi peristiwa yang seolah-olah hanya muncul di kota-kota besar dan membuat peristiwa di tempat lain yang tidak diberitakan melalui media utama menjadi tidak signifikan dan cenderung dilupakan. Masyarakat mengingat reformasi dalam banyak wajah, meskipun wajah yang paling umum adalah wajah demonstrasi besar-besaran yang terjadi di kota-kota besar. Namun sebenarnya banyak juga wajah reformasi yang muncul dan tinggal di ingatan masyarakat dalam wajah yang berbeda, wajah ketidaksepakatan, wajah yang mistis, wajah saling curiga, dan lain sebagainya. Membaca ulang reformasi setelah 25 tahun dapat dilakukan dengan menggali ingatan tersimpan di tubuh individu atau kolektif, dalam ruang domestik maupun publik, tidak selalu harus melalui sumber media utama. Ingatan yang tersebar saling bertaut membentuk wajah reformasi yang multitafsir, dan diinterpretasikan dalam pameran untuk menampilkan wajah reformasi melalui karya seni yang mewakili ingatan-ingatan yang tersebar akan peristiwa reformasi yang tercecer di berbagai wilayah Indonesia.
Banyak peristiwa yang menandai reformasi terjadi di berbagai kota di Indonesia, krisis dan reformasi yang terjadi sangat berdampak pada stabilitas berbagai wilayah di Indonesia, dan tidak semua tempat/kota mengalami masalah yang seragam. Di kota Padang, Sumatera Barat, salah satu bentuk protes keresahan yang ditulis oleh media surat kabar Harian Umum Singgalang (surat kabar lokal), pada tanggal 01 Februari 1998 memuat headline “Lebaran diantara Krisis Moneter dan Tabungan pun Terus Dikuras”. Berita tersebut, berisi penuturan beberapa kaum ibu-ibu yang diwawancarai Singgalang menghadapi hari raya dan mengatur keuangan di tengah sulitnya Krisis Moneter.[1]
Pada masa reformasi 1998-2005 di Aceh terjadi konflik etnisitas dimana konflik ini menjadi satu peristiwa penanda yang beriringan dengan reformasi. Konflik etnisitas di Aceh, terjadi disebabkan oleh adanya perubahan yang dipaksakan. Perubahan ini terjadi karena adanya gejolak masyarakat, baik masyarakat pendatang maupun lokal.[2] Konflik yang muncul di Aceh dalam pameran ini diterjemahkan melalui karya Arifa Safura & DJ Rencong melalui karya “Shadow Dancing”. Karya ini mencoba menghadirkan cerita masa lalu yang menjadi memori kolektif di Aceh serta trauma kolektif yang masih dirasakan korban konflik Aceh hingga saat ini.
Di kota-kota di Jawa Timur pada tahun 1998 terjadi peristiwa teror dan pembunuhan terhadap sejumlah Kyai Nahdliyin yang secara sepihak di cap sebagai dukun santet. Menurut data yang didapatkan dari situs Departemen Keamanan Republik Indonesia, peristiwa kelam tersebut banyak merenggut korban, terdapat 235 orang meninggal, 32 orang luka berat dan 35 orang luka ringan. Korban kejadian ini tersebar di 7 Kabupaten di Jawa Timur antara lain Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang.[3] Banyuwangi sendiri sangat terkenal dengan hal mistis. Narasi mistis bercampur dengan propaganda yang tersebar, sehingga ninja yang muncul sebagai pelaku pembantaian yang dicurigai sebagai agen pemerintah, diimajinasikan oleh masyarakat menjadi sosok mistis, dimana ia dapat menjelma menjadi binatang jika hendak ditangkap. Banyak juga saksi mata yang menyebutkan bahwa adanya panah bercahaya yang melintas. Panah ini disinyalir sebagai santet yang dikirim untuk membunuh seseorang. Dengan setting semacam itu, semua orang menjadi panik dan bergerak untuk menghakimi dukun-dukun yang ada di kampung. Dalam satu sesi diskusi yang dilakukan di Ruang Kawitan Banyuwangi dengan judul diskusi “Politik Santet”, pembicara Eko Budi Setianto membaca bahwa peristiwa ini merupakan salah satu upaya terakhir yang dilakukan rezim orde baru untuk melemahkan kekuatan NU. Karena pelemahan NU harus dilakukan apabila rezim orde baru masih ingin berkuasa lagi. Peristiwa pembantaian dukun ini dimunculkan dalam karya Krisna Jiwanggi Banyu yang berjudul “Tragedi Banyuwangi” & “Ninja Agen dan Ninja Kampung”. Sudut Kalisat, sebuah kolektif yang berasal dari Kalisat Jember juga merespon isu yang sama namun dari peristiwa yang terjadi di Jember. Peristiwa serupa yang terjadi di Pasuruan dengan nama “ontran-ontran” juga turut dibicarakan Kharisma Adi lewat karyanya yang berjudul “Saksi Hidup”.
Sudut pandang lain untuk membaca dampak reformasi adalah melalui pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat. Jika dulu pengawasan dilakukan dengan sistem pos kamling, dewasa ini pengawasan dan pembatasan dilakukan dengan undang-undang, dan salah satuNYA adalah UU ITE. Isu pengawasan dan kebebasan bersuara pasca reformasi, menjadi hal yang diangkat Benny Wicaksono dalam karyanya.
Dampak pasca reformasi yang terjadi di bidang pertanian direspon oleh Moch. Krismon Ariwijaya, dimana ia mengungkapkan narasi yang tersimpan dalam ingatan ayahnya, seorang petani di Nganjuk. Beliau sebagai petani selalu merasa bahwa di era orde baru petani kehidupanya sangat makmur, namun pasca reformasi semuanya berubah menjadi lebih sulit.
Berdasarkan beberapa narasi yang tersebar bisa kita lihat bahwa reformasi memiliki dampak yang signifikan dalam hampir semua aspek kehidupan. Narasi Reformasi yang bersembunyi menunggu untuk ditemukan, dimaknai ulang oleh tubuh-tubuh baru. Membaca ulang Reformasi melalui ruang domestik, ruang publik atau ruang yang lebur diantaranya akan membuat kita dapat merayakan atau meratapi Reformasi, sembari memetik banyak pelajaran berharga sebagai bekal untuk melangkah ke depan.
Ke-Rumah-Tangga-an
Ada ingatan: membuka buku PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) tentang beretika baik di rumah masing-masing, beserta semboyan “Bersih Pangkal Sehat”. Kebersihan rumah yang dijaga bersama – citra ibu rumah tangga sedang menyapu rumah, bapak yang libur kerja sedang berkebun, anak-anak membantu dengan pamrih, perempuan bantu ibu, laki-laki bantu bapak – dapat membangun rumah yang sehat jasmani dan rohani.
Lalu, pelajaran Ekonomi menyatakan kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan, papan – pakaian, makanan, tempat tinggal (rumah). Maka yang terbentuk dan tertanam di otak kita adalah kewajiban memiliki sebuah ruang yang menjadi papan. Berdasarkan itu, perekonomian ke-rumah-tangga-an yang harus tercapai adalah mampu mengakomodir “Bersih Pangkal Sehat” tersebut.
Ditambah, jika ada peristiwa yang dianggap membahayakan jiwa manusia, benteng terakhir yang disarankan adalah rumah – tidak terkecuali saat Reformasi 1998. Namun akhirnya ada keluarganya yang memutuskan untuk meninggalkan rumahnya, atau setidaknya memikirkannya, karena bentengnya malah di target untuk dihancurkan karena status sosialnya. Status sosial ini beragam dan bersangkut paut dengan yang kita kenal SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Reformasi 1998 tidak bisa diceritakan secara ringkas, namun salah satu penyebab yang tercatat adalah faktor “Krismon” (Krisis Moneter) perekonomian Indonesia. Krismon menjadi bagian dari ke-rumah-tangga-an di tengah tahun 1997 dan masih berlangsung di tahun 1998. Rasanya semboyan “Bersih Pangkal Sehat” pun mulai ditinggalkan karena mempertahankan sandang, pangan, papan pun cukup bersusah payah.
Krismon krisis moneter…
…Ku tanya Mama apa artinya
…Bikin papa pusing kepala
…Aku sih ya cuek aja.[4]
Cukup kaget di tahun 1998 muncul lagu dari seorang penyanyi cilik, Cindy Cenora, menyanyikan lagu “Krismon” ini. Dengan media televisi, lagu ini menyebar diputar di berbagai kanal swasta. Saya ingat video musiknya itu bernuansa gelap, Cindy menggunakan pakaian berwarna hitam, berlawanan dengan video musik warna warni penyanyi cilik. Di usia 25 tahun sejak Reformasi ini menyadarkan bahwa lagu ini masuk di ke-rumah-tangga-an seorang anak serta merusak citra “Bersih Pangkal Sehat”.
Maka, jika mengalami Reformasi 1998, di dalam atau luar negara Indonesia, atau belum lahir saat itu, saya yakin anda terdampak secara langsung maupun setelahnya. Ada ingatan-ingatan yang terjadi di dalam ke-rumah-tangga-an masing-masing yang telah terekam. Terbuktikan dari beberapa percakapan yang terjadi saat persiapan pameran ini. Seperti bersama Raslene, Yaya Sung, Woven Kolektif, Slinat, bahkan pada karya almarhum I Wayan Bendi, kita menemukan refleksi pemikiran sosial dan politis individu itu terbentuk di dalam ke-rumah-tangga-an masing-masing.
Lalu kedudukan ibu rumah tangga di awal terasa janggal. Penjabaran sejarah kedudukan perempuan di Indonesia tidak singkat pula, namun yang bisa ditangkap adalah perjuangan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai kedudukan perempuan pergerakan serta advokasi progresif sebelum G30S 1965, berubah menjadi ibu-ibu rumah tangga yang tergabung di PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) berlaku sopan dan manut saat Orde Baru. Seperti ada kecenderungan memberhentikan pergerakan progresif perempuan dengan mencoreng citra Gerwani karena kedekatannya dengan partai terbesar yang ingin dimatikan yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pasca Reformasi, ranah kesenian mencerminkan kembali pergerakan perempuan yang bertujuan menyangkal citra perempuan Indonesia yang sempurna – menjadi ibu rumah tangga. Tidak terkecuali meluruskan narasi Gerwani dan yang termanipulasi lainnya. Bahkan disebutkan saat Reformasi terjadi, gender tetap merupakan “non-issue” di dalam politik Indonesia, sampai Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berpotensi menang menjadi pemimpin di tahun 1999,
Seketika gender menjadi topik hangat dan argumen menentang dipimpin seorang perempuan berdasarkan keyakinan agama, menggebu.[5]
Dengan demikian, kedudukan seorang perempuan Indonesia sempurna bukanlah ibu rumah tangga lagi. Karena ia memiliki hak dan kewajiban yang tidak terkekang hanya pada kodrat biologisnya maupun pekerjaan rumah. Ia sangat boleh menelusuri pengetahuan baru bahkan potensi-potensinya untuk keberlangsungan hidupnya secara jasmani dan rohani.
Alia Swastika
Direktur Artistik
Dwiki Nugroho Mukti & Savitri Sastrawan
Kurator

Alia Swastika adalah direktur Jogja Biennale Foundation di Yogyakarta, Indonesia dan secara aktif terlibat sebagai kurator, manajer proyek, dan penulis di sejumlah pameran internasional. Ia adalah salah satu direktur artistik Gwangju Biennale IX (2012): Roundtable dan direktur Biennale Yogyakarta XIV (2015). Ia juga berpartisipasi sebagai kurator pameran khusus seniman Indonesia di Art Dubai edisi 2012. Pada tahun 2017, ia menjadi kurator dalam pameran seni kontemporer di Festival Europalia, Indonesia yang diselenggarakan di Oude Kerk, Amsterdam, SMAK Ghent, MuHKA di Antwerpen, dan beberapa pameran lainnya. Ia telah mengkuratori banyak pameran di Indonesia dan luar negeri, termasuk beberapa seniman yang sudah mapan dan yang baru muncul. Saat ini ia sedang meneliti seniman perempuan Indonesia pada periode 1975-1990 dan telah menerbitkan seri publikasi pertamanya. Ia aktif menulis untuk berbagai majalah, jurnal, dan publikasi, baik di Indonesia maupun internasional.

Dwiki Nugroho Mukti (b. 1992, Banyuwangi) seorang seniman dan kurator yang berdomisili di Surabaya, sejak 2013-2021 aktif mengelola ruang alternatif /SANDIOLO yang difungsikan sebagai ruang diskusi, pameran, dan program residensi. Beberapa proyek yang pernah dikerjakan adalah Urban Pin International, Surabaya Move On, program residensi SADAP, Timur Liar, dst. Dwiki bertindak sebagai direktur utama dalam penyelenggaraan Biennale Jatim pada tahun 2019 hingga sekarang, Founder Subarsip Seni Rupa sebuah lembaga pengarsipan seni rupa yang berada di Surabaya, founder Sartcas (syndicate art collective and alternatif space). Hingga saat ini tergabung dalam komunitas Serbuk Kayu. Buku yang pernah diterbitkan adalah Buku Program 2016 /SANDIOLO, Sobat Depresi-Process Report, dan buku peta kolektif seni rupa Jawa-Timur Timur Liar.

Seorang Bali nomaden, Savitri Sastrawan adalah pekerja lepas di seni dan bahasa. Savitri adalah alumnus Masters in Global Arts di Goldsmiths University of London, UK dan Seni Rupa Murni Lukis di Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali. Ia tertarik dalam mengeksplor kemungkinan-kemungkinan antar disiplin di kesenian dan bahasa dalam kebudayaan dan masyarakat kita saat ini. Tidak terkecuali rekoleksi narasi-narasi yang ada dalam sejarah, geografi dan budaya visual yang ada di atau tentang Bali dan Indonesia. Ia pernah bekerja sebagai perupa, kurator dan penulis di kesenian. Pameran yang pernah ia kurasi adalah “Merayakan Murni” bersama Ketemu Project (2015-2016) dan “Masa Subur Efek Samping” bersama Futuwonder (2018). Tulisannya bisa ditemukan di Routledge Handbook of Cultural and Creative Industries in Asia (2019) dan Ida Bagus Njana: Pematung Pembaru dari Desa Mas (2021).
[1] Gifani, C. M., Ersi, L., & Junaidi, J. K. (2022). PADANG PADA MASA REFORMASI 1998: ANALISIS WACANA PADA HARIAN UMUM SINGGALANG. Putri Hijau : Jurnal Pendidikan Sejarah, 7(2), 275–281.
[2] Sutrisno, I. H. (2018). Konflik Etnisitas di Aceh Masa Reformasi, 1998-2005. Indonesian Historical Studies, 2(1), 1–12. https://doi.org/10.14710/ihis.v2i1.2863
[3] Juang, R. P., Erviantono, T., & Azhar, M. A. (2016). HAM dan Politik Kriminal Pasca Orde Baru (Konstruksi Pelanggaran HAM Pada Kasus Pembantaian Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi Tahun 1998). E-Jurnal Politika, 1–8. ojs.unud.ac.id
[4] Liriklaguanak.com, Lirik Krismon, (2022), tautan: http://liriklaguanak.com/krismon-lirik/
[5] Diterjemahkan dari Carla Bianpoen, Heather Waugh, eds. (2007) Indonesian Women Artists: The Curtain Opens. Jakarta: Yayasan Senirupa Indonesia, hal. 31.
Lokasi Pameran

Mengingat 25 Tahun Reformasi
Kedai Kebun Forum
Pembukaan :
Senin, 20 Februari 2023 | 18:00
21 Februari – 20 Maret 2023
Senin – Sabtu | 13:00 – 20:00

(re)Reformasi: Melengkapi Ingatan
Ruang MES 56
Pembukaan :
Jumat, 24 Februari 2023 | 17:00
25 Februari – 11 Maret 2023
Senin – Sabtu | 13:00 – 19:00

Mengingat 25 Tahun Reformasi
LAV Gallery
Pembukaan :
Minggu, 26 Februari 2023 | 19:00
27 Februari – 26 Maret 2023
Senin – Minggu | 11:00 – 19:00

Mengingat 25 Tahun Reformasi
Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat
Pembukaan :
Selasa, 7 Maret 2023 | 19:00
8 Maret – 7 April 2023
Selasa – Sabtu | 10:00 – 17:00

Mengingat 25 Tahun Reformasi
KRACK!
Pembukaan :
Sabtu, 18 Maret 2023 | 19:00
19 Maret – 15 April 2023
Selasa – Minggu | 13:00 – 20:00
Program Publik
AKAN SEGERA DIUMUMKAN
Daftar Seniman
Agung Kurniawan — Amal Purnama — Arif Furqan — Arifa Safura & DJ Rencong — Benny Wicaksono — Dolby — Dyan Anggraini — Fionny Mellisa — FX Harsono — Gisela Maria — I Ngurah Suryawan — I Wayan Bendi — Kharisma Adi — Krisna Jiwanggi Banyu — Meliantha Muliawan — Moch. Krismon Ariwijaya — Mujahidin Nurrahman — Perkawanan Perempuan Menulis — Popok Tri Wahyudi — Pujo Nugroho — Raslene — Redi — Sekolah Musa — Slinat — Sudut Kalisat — Syska La Veggie — Taring Padi — Tennessa Querida Waksman — Theresia Agustina Sitompul — Titarubi — Wimo Ambala Bayang — Woven Kolektif — Yaya Sung

Agung Kurniawan (1968) pekerja seni yang bekerja dengan banyak media. Karya karyanya adalah campuran dari sinisme, takhayul dan ramalan ramalan palsu. Percaya bahwa seniman harus memahami media yang digunakannya, sehingga mampu mengelaborasi sehingga jadi bahasa yang pulen dan magis.
Hidup dan bekerja di Yogyakarta, hilir mudik di bagian Selatan Yogyakarta tempat di mana banyak seniman mukim dan menuai masalah.

Amal Purnama, lahir di Blitar pada 1991, saat ini bermukim di Yogyakarta dan bekerja sebagai karyawan purnawaktu di perusahaan teknologi. Berpendidikan di bidang Sastra Inggris, Amal Purnama menimba ilmu perihal seni melalui komunitas fotografi sejak 2019. Cerita-cerita foto yang ia buat pernah dipamerkan di Galeri Salihara (Kisah-Kisah Tanah Manusia, 2019) dan Jakarta International Photo Festival (Pagebluk di Akar Rumput, 2022), juga disiarkan oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (Dialog Lensa, 2020) dan Festival Kebudayaan Yogyakarta (Dokumenter Foto, 2021-2022).

Arif Furqan adalah pengajar sekaligus peneliti yang menggeluti bidang fotografi dan arsip. Mulai serius mengeksplorasi eksperimen dengan medium fotografi sejak 2011. Karyanya berkutat pada isu tentang ingatan, rumah, keluarga, dan mobilitas. Menjadi bagian dalam Flock Project, sebuah kolektif yang mengeksplorasi kemungkinan medium cetak fotografi. Pada tahun 2021 menerima Prince Claus Seed Award atas Unhistoried, sebuah proyek berbasis arsip foto keluarga Indonesia di era Orde Baru (1960-1990an). Kini sedang meluangkan waktu melakukan riset serta proyek seni menggunakan materi arsip keluarga Indonesia.

Arifa Safura aktif bergerak dalam advokasi dan aktivisme melalui seni sejak tahun 2016 di Banda Aceh. Mendirikan forum Perempuan Berbicara tahun 2020 dengan tujuan mencari mitos inferioritas perempuan, memperjuangkan kesetaraan, kampanye anti kekerasan berbasis gender, mencari keadilan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM serta reparasi korban kekerasan.
Dangerdope adalah sebuah proyek oleh DJ Rencong. Dangerdope memadukan hip hop, musik instrumental, soul, funk, jazz, drum dan bass kemudian melapisinya dengan potongan suara dari film, acara bincang- bincang, percakapan, vinil lama, dan banyak klip lainnya menjadi kolase suara yang khas.

Benny Wicaksono ialah seorang seniman media, ilustrator, desainer grafis, dan peneliti media independen. Ia memulai karirnya dalam pameran tunggalnya pada tahun 1999 yang menampilkan karakternya hingga saat ini, yaitu teknologi surveilans. Secara pribadi, ia tertarik pada budaya swakriya dan modifikasi, perbaikan, dan kanibalisasi teknologi mesin analog.
Ketertarikannya ini sering ia wujudkan dalam sketsa, desain, dan acara-acara seni yang ia gagas, baik dalam bentuk pertunjukan langsung maupun pameran di ruang-ruang galeri seni. Pada tahun 2009, ia menginisiasi Videowork Festival dan festival musik Electrowork yang berfokus pada peran teknologi dalam perkembangan seni. Ia pernah menerima penghargaan di Biennale Jawa Timur 2009 sebagai penggagas seni media di Surabaya.
Praktik artistiknya juga termasuk menjadi kurator di sejumlah pameran, salah satunya di Jakarta Biennale 2015. Di tahun 2019 ini melalui pameran tunggalnya yang ke-3, ia mulai memasuki ranah dataisme, bagaimana mesin dan mesin saling terhubung, serta manusia dan mesin menjadi topik utama dalam karya-karyanya.

Dolby lahir di Sragen, 16 Februari 1990 dan mendapat gelar Sarjana Pendidikan – Pendidikan Seni Rupa, Seni Grafis dari Universitas Negeri Jakarta. Saat ini bekerja sebagai pengrajin dan desainer freelance, ia telah terlibat dalam beberapa pembuatan sampul album, merchandise, dan poster band. Inspirasinya yang berakar dari budaya pop anak muda dan gerakan subkultur punk hingga new wave, tercermin dengan jelas dalam karya seninya. Ia cenderung menggunakan teknik sablon sebagai media eksplorasi dan kreatif.

Dyan Anggraini lahir di Kediri tanggal 2 Februari 1957. Mengenal seni rupa dari ayahnya, Rais Rayan mahasiswa ASRI angkatan pertama. Dyan dibesarkan dalam lingkungan Tamansiswa, lingkungan yang mengenalkan seni budaya sejak dini. Ibunya, Sri Mooryaningsih adalah pamong Tamansiswa. Aktivitas seni rupa selain di sekolah, juga dilakukan di rumah , yang juga berfungsi sebagai sanggar seni rupa yang didirikan Rais Rayan, sebagai tempat kegiatan anak-anak muda beraktivitas seni budaya. Lulus Taman Madya Tamansiswa Kediri , Dyan memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di STSRI “ASRI“ Yogyakarta jurusan Seni Lukis, lulus tahun 1982. Setelah menikah, menetap di Madura tujuh tahun mendampingi suaminya, Hutomo yang bertugas di Tambelangan, Sampang, Madura. Tahun 1989 kembali ke Yogyakarta bekerja di Taman Budaya. Pada tahun 2004 saat mengemban tugas sebagai kepala Taman Budaya, Dyan membangun branding Taman Budaya Yogyakarta sebagai ‘The Window of Yogyakarta’. Turut memprakarsai lahirnya Majalah Seni Budaya ‘MataJendela’, ruang seni untuk anak-anak ‘Art for Children’, Yayasan Biennale Yogyakarta, Museum Anak Kolong Tangga, dan ‘Pasar Kangen Jogja’. Pada tahun 2018 menerima Penghargaan Lifetime Achievement BEBRAYAN D.I.W.O dari Taman Budaya Yogyakarta, Dan pada Tahun 2019 menerima Penghargaan Anugerah Kebudayaan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemerintah Daerah DIY)
Disamping berpameran bersama, pameran tunggalnya seperti “Neng-Ning-Nung-Nang” digelar di Perguruan Tamansiswa Kediri (2022); “Temu Para Maestro” Maestro Meeting di Jogja Gallery, Yogyakarta (2021); Hitam-Putih Dyan Anggraini di Dyan Art Studio, Yogyakarta (2019); Ambang/Threshold di Sangkring Art Space, Yogyakarta (2013); Beyond the Mask di Griya Santrian Gallery, Sanur, Bali (2007); decoraGent di Hadiprana Gallery, Jakarta (2007); Invisible Mask di CSIS, Jakarta (2005); So(k)-So(k) Topeng di Bentara Budaya, Yogyakarta (2004); Pameran Tunggal II, di CCCL (French Cultural Center, sekarangIFI), Surabaya (2003); Pameran Tunggal I, di PPIA (Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika), Surabaya ( 1989).

fionnymellisa diambil dari nama nya,“Fionny Mellisa T.”, yang merupakan bentuk dari ‘jembatan’ atau ‘penyambung’ antara sosok masa kecil dan sosok dewasa dari diri Fionny. Pendewasaan diri tidak boleh melupakan akar rumputnya, maka terjadilah sebuah proyek personal untuk kembali mengenal diri dan sekitarnya. Langkah awal yang diambilnya dengan hijrah ke Kota Semarang, Jawa Tengah pada tahun 2014 dari asalnya Samarinda, Kalimantan Timur. Fionny pernah menelusuri dunia stage photography pada tahun 2016, lalu terjun ke dunia manajemen musik, sampai akhirnya berlabuh kembali ke dunia menulis dan menggambar di tahun 2020. Lewat medium fanzine ia mengajak orang-orang menjadi bagian dari tulisan dan gambar coret yang ia buat. Hingga hari ini, sudah ada 3 edisi yang terbit secara mandiri dengan edisi cetak terbatas.

FX Harsono (b.1949) adalah perupa senior yang masih sangat aktif dan produktif dengan karya-karya terkait dengan isu sosial di Indonesia. Berbasis awal seni grafis, ia menempuh pendidikan seni di ASRI (sekarang ISI) dari 1969 sampai 1974, dan juga di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dari 1987 sampai 1991. Sekarang ia tinggal dan bekerja di dua kota: Jakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1975, ia dan sejumlah seniman lainnya mendirikan Gerakan Seni Rupa Baru, yang melakukan berbagai dobrakan estetika seni rupa masa itu serta memperkenalkan pendekatan baru seperti seni instalasi dan performance art. Selama 1980-an FX Harsono terlibat dalam apa yang oleh Harsono dan para sejawatnya sebut sebagai seni kontekstual dan/atau seni penyadaran. Pada masa tersebut, kesadaran Harsono segera terserap ke masalah lingkungan hidup dan konflik agraria, seperti ditunjukkan oleh beberapa pameran yang diikutinya pada masa itu, dan menjalin kolaborasi dengan para aktivis seperti dengan Asosiasi Peneliti Indonesia (API) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Ia meneruskan pengkaryaan berbasis seni penyadaran ini sampai awal 1990-an. Salah satunya adalah karya instalasi “Suara dari Dasar Bendungan” (1994) yang mengangkat kisah dari warga-warga yang tergusur akibat pembangunan Waduk Nipah.

Gisela Maria, seorang seniman yang bekerja secara interdisipliner. Ia juga seorang peneliti dan fasilitator anak dan komunitas yang memfokuskan diri pada isu-isu sosial budaya. Gisela lahir dan besar di Jakarta, dan sekarang berdomisili di Yogyakarta.
Dalam praktiknya, Gisela banyak membahas isu-isu lingkungan dan sosial budaya. Sejak tahun 2016, Gisela memfokuskan diri pada penelitiannya tentang kearifan lokal, pertanian, dan anak-anak di Indonesia. Ia juga biasa bekerja dengan anak-anak dan beberapa komunitas di Indonesia.
Pada tahun 2021, ia mendirikan Children Power, sebuah kelompok pembelajaran kontekstual untuk anak-anak dan komunitas. Dengan Children Power, Gisela mencoba membangun ruang diskusi dan eksplorasi tentang penyebaran kearifan lokal di masyarakat. Gisela juga terlibat aktif di HONF Foundation, sebuah kolektif seni, sains, dan teknologi yang berbasis di Yogyakarta, sebagai manajer proyek. Ia juga melakukan eksperimen dengan material untuk karya-karyanya, kebanyakan ia menggunakan material daur ulang yang ia buat sendiri sebagai media karyanya.

Dr. I Ngurah Suryawan (b. 1979) adalah seorang antropolog, peneliti, penulis, dan dosen di Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat dan di Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Warmadewa. Ngurah menyelesaikan pendidikan Doktor Antropologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan beasiswa penulisan disertasi dari Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore (NUS) pada tahun 2013 dan NUFFIC-NESO di Faculty of Humanities, Universiteit Leiden, Belanda pada tahun 2014. Program penelitian pascadoktoral dimulainya dari tahun 2016-2017 tentang ekologi budaya orang Marori dan Kanum di Merauke, Papua dalam skema ELDP (Endangered Languages Documentation Programme) bekerjasama dengan Australian National University (ANU). Ia juga menjadi peneliti tamu di KITLV (Koninklijk Instituut voor taal-, Land-en Volkenkunde), Universiteit Leiden 2017 – 2018 untuk menulis penelitiannya tentang terbentuknya kelas menengah Papua di daerah-daerah pemekaran. Pada tahun 2019 – 2020 mengerjakan project penulisan bersama dengan aktivis muda Papua dan menerbitkan karya berjudul Berhala-Berhala Infrastruktur: Potret dan Paradigma Pembangunan Papua di Masa Otsus (2020). Bukunya yang terbaru adalah Bali, Pandemi Refleksi (2021) dan Hidup Papua Suatu Misteri (2022). Ngurah sedang menyelesaikan penelitian kolaboratif tentang politik akses perempuan Papua terhadap ruang-ruang hidupnya pada tiga wilayah di Tanah Papua (2022).

I Wayan Bendi (b. 1950, d. 2020) lahir di Desa Batuan, Gianyar, Bali. Dia belajar melukis pada ayahnya, Wayan Taweng. Dia adalah salah satu ikon seni lukis gaya Batuan yang sangat popular di kalangan publik dan kolektor. Karya-karyanya sangat kuat menampilkan gaya Batuan dengan tema-tema kontemporer. Bendi telah memamerkan karya-karyanya di dalam dan luar negeri, seperti di Indonesia, Jepang, Singapura, dan Amerika. Ciri khas lukisannya adalah kecenderungan menggunakan warna oker dan munculnya ikon pesawat terbang dan helikopter yang berpadu dengan suasana pedesaan Bali. Dia banyak melukiskan perkembangan Bali dengan pariwisatanya yang riuh padat. Dia adalah pelukis yang sangat produktif. Prinsip hidupnya adalah melukislah terus selagi masih bernafas. Karya yang dipamerkan untuk Pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi” merupakan koleksi Sagatha Art Gallery, Bali.

Kharisma Adi adalah seorang seniman asal Pasuruan yang saat ini fokus pada praktik artistik eksperimental dengan menggunakan sumber daya alam yang mudah ditemukan di daerahnya, terutama sumber daya alam yang dapat dimakan. Aris adalah nama panggilan pria kelahiran Pasuruan, 8 Rajab 1929 (Hijriah) yang bertepatan dengan Selasa Pon menurut penanggalan Jawa, atau 19 November 1996.
Aris saat ini merupakan mahasiswa aktif S2 di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, sejak tahun 2020. Karya-karyanya berfokus pada refleksi spiritual dari perenungan dan elaborasi literatur akademis, mitos, dan medium yang ia gunakan – medium yang berasal dari eksperimen cat alami dan sumber daya alam.
Dengan menggunakan pendekatan teori Roland Barthes, Aris membongkar konotasi dan denotasi dari mitos-mitos yang ada di masyarakat untuk menemukan makna yang lebih relevan dengan perkembangan zaman, sehingga mitos-mitos yang berkembang di masyarakat dapat dijadikan nilai edukasi yang kritis terhadap lingkungan, tidak hanya sekedar apa dikatakan dan dipercayai oleh masyarakat dahulu.

Krisna Jiwanggi Banyu, akrab dipanggil Jibon, lahir di Banyuwangi, 5 Desember 1996. Sejak kecil lingkungannya memang kesenian karena ayahnya adalah seorang pelukis. Pernah mengikuti sanggar lukis Young Artist ketika sekolah dasar. Ketika Sekolah Menengah lebih condong bermain alat musik. Lanjut sekolah menengah atas ketertarikannya dengan dunia teater dan karawitan membawanya mewakili Banyuwangi di Ajang tersebut, setelah lulus Jibon lebih memilih melanjutkan kuliah di jurusan Seni Murni Institut Kesenian Jakarta serta aktif berpameran di Jakarta, Jogja, Solo, Surabaya, Banyuwangi, dan pameran tunggal yang bertajuk ‘Lakune Banyu’ di Omah Wiji Kawih, Malang, 2018 yang dibuka oleh Zuhkhriyan Zakaria. Pada semester empat hingga lulus 2020, Jibon nyantrik dengan Candra Malik, Budayawan Sufi. Hobi sejak kecil bermain bola, basket, berlanjut hobi lain setelah kuliah adalah membaca buku seni, sejarah, spiritual.
Setelah pulang kampung pada 2020 pekerjaan lainnya selain melukis adalah mengelola sawah dan kebun. Pada 2021 mendirikan Ruang Kawitan Studies Culture Center Banyuwangi dengan Dwiki Nugroho Mukti. Memiliki ketertarikan praktek seni khususnya, lukis, dan media lain. Jibon juga melanjutkan belajar lukis secara teknik dengan ayahnya dan berpameran di beberapa kota yakni, Banyuwangi, Jogja, Sidoarjo.

Praktik artistik Meliantha Muliawan (lahir 1992, Indonesia) berpusat pada pengamatannya terhadap benda-benda domestik di lingkungannya. Ketertarikannya ialah memahami fungsi dan peran benda-benda tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dalam kaitannya dengan perilaku manusia dan situasi sosial yang kita hadapi.
Muliawan menamatkan pendidikan Sarjana Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung (2014) dan saat ini bekerja dan tinggal di Depok. Ia memenangkan UOB Painting of the Year Indonesia 2021, dan menjadi salah satu dari 3 finalis utama Young Artist Award di ARTJOG 11 pada tahun 2018. Ia telah berpameran di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Singapura, dan Melbourne, termasuk Biennale Jogja Equator 5 2019, Art Jakarta 2018, ART JOG 2018, dan ART BALI 2018.

Moch. Krismon Ariwijaya lahir pada tahun 27 juni 1998, tinggal di desa Gebangkerep kecamatan Baron kabupaten Nganjuk Jawa Timur-Indonesia.
Founder kolektif Kecoak Timur sebuah kolektif seni rupa yang anggotanya merupakan penggiat seni rupa di Surabaya. Aktif berkegiatan bersama kolektif, mengerjakan karya bersama kolektif dan bekerja sebagai kurator kolektif di Biennale Jatim 9 sebagai Dewan Syuro Kurator. Memiliki basecamp yang bertempat di Gadung, Driyorejo, Gresik.
Dalam karyanya Krismon fokus untuk menarasikan sejarah, mitos dan kebudayaan Jawa yang berkembang di masyarakat sebagai pijakan dalam beberapa proyek seni yang ia kerjakan. Lahir dan tumbuh setelah rezim Orde Baru runtuh, tinggal dan dibesarkan di desa dengan lingkungan pertanian, tumbuh sejalan bersama berjalannya reformasi hingga sekarang. Menubuh dengan nama Krismon sejak lahir menjadikan hal itu semacam monument berjalan bagi tubuh sendiri, yang selalu mengingatkan kita dalam pergulatan politik yang terjadi selama rezim orde baru berjalan hingga perubahan-perubahan yang terjadi setelah rezim itu bubar. Menjadi patok, pengingat, petanda, tanda, simbol dalam ingatan masyarakat membawanya untuk mendalami peristiwa sosial, budaya dan politik saat ini serta menghubungkannya kembali dengan sejarah panjang yang pernah terjadi.
Ia sering menggunakan media seni konvensional dan non konvensional saling mencampurkan dengan teknologi yang berkembang saat ini menjadi media ungkapan yang akrab ia kerjakan dalam beberapa karya.
Krismon melihat seni sebagai bentuk media yang dapat melihat segala persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya untuk merefleksikannya di masa yang akan datang dari masa lalu yang pernah dilalui bersama.

Mujahidin Nurrahman adalah seorang seniman yang lahir di Bandung (1982), di mana ia saat ini tinggal dan berkarya. Ia kuliah dan lulus dengan gelar sarjana seni di jurusan seni grafis dari Institut Teknologi Bandung. Dalam sepanjang karir keseniannya yang telah berlangsung lebih dari lima belas tahun, ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran di berbagai belahan dunia. Pameran tunggalnya yang paling penting adalah Dogmatic Desires, ArtSociates, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2018); The Black Gold, Art Fair Tokyo, Tokyo, Jepang (2017); Chamber of God, stan ArtSociates di ArtStage Singapore, Singapura (2016); Essentia, Centre Intermondes, La Rochelle, Perancis (2015); Hidden, JIKKA, Tokyo, Jepang (2015); dan Soft Power >< With All Reasons and Decisions, Lawangwangi Creative Space, Bandung (2014). Ia juga secara konsisten mengikuti pameran kelompok, antara lain Gairah Seni Rupa Bandung, Semarang Gallery, Semarang (2019); Assemblage, Lawangwangi Creative Space, Bandung (2019); Power, Play & Perception, Gajah Gallery dan Tabularasa Studio, Kuala Lumpur, Malaysia (2018); Jangan Sentuh, Visma Gallery, Surabaya (2017); Art Charity, Art Bazaar, Jakarta (2017); Waiting For It To Happen, Nadi Gallery (2016); VOID, Langgeng Gallery, Magelang (2015); The Language of Human Consciousness, ATHR Gallery, Jeddah, Saudi Arabia (2014); Yunnan International Prints 2012, Yunnan, China (2012); ART/JOG/11, Yogyakarta’s Cultural Park, Yogyakarta (2011); ASYAAF, Seoul, Korea Selatan (2009); dan Re: (Post), Japan Foundation, Jakarta (2005). Ia memenangkan Bandung Contemporary Art Award #3 pada tahun 2013.
Karya-karya Mujahidin memiliki tingkat keartistikan yang tinggi, karena ia dengan telaten memotong kertas menjadi pola arabesque yang rumit dari gambar senapan, peluru, dan roket rudal. Dia menyajikan teknik keterampilan yang tinggi untuk mengartikulasikan gagasan tentang kelaknatan dan keburukan dari tampilan yang halus dan dekoratif, yang tampaknya bebas dari perselisihan. Terlahir dari keluarga Islam yang taat, karya-karya Mujahidin sebagian besar membahas keprihatinannya terhadap Islam dan citranya yang terstigmatisasi di mata dunia, bagaimana umat Islam dicap dengan tindakan kekerasan dan terorisme. Mengutip pernyataannya dalam katalog Bandung Contemporary Art Award #3: “Saya menggambarkan salah satu persepsi dunia tentang Islam: di balik keindahannya, ada persepsi yang kuat tentang kekerasan.”

Popok Tri Wahyudi (Mojokerto, b. 1973) adalah seniman visual mixed media, belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta sekitar tahun 1992 di Yogyakarta. Saat di era kejatuhan pemerintahan Orde baru, dia bergabung dalam Apotik Komik, sebuah grup seniman yang dibentuk di tahun 1997 dimana saat itu mereka mengangkat isu politik dan sosial dalam membuat karya yang menggunakan media komik, mural dan poster.
Popok berkarya dengan kanvas, kertas dan material lain dengan menggunakan metode bercerita dan menceritakan situasi faktual dengan penuh humor namun tanpa mengurangi intensitas dari kondisi situasional saat karya itu dilahirkan. Popok memadukan kemampuan ilustrasinya dalam komik dan mural untuk menciptakan narasi visual tentang kehidupan kontemporer yang menarik dan ekspresif. Karya visualnya menggambarkan kegilaan kondisi politik Indonesia dan betapa terbatasnya kekuasaan dalam masyarakat di Indonesia dan dunia.
Sejak akhir 90an, karya popok sudah dipamerkan di Jepang, Australia, Belanda, Thailand, Singapura, Jerman dan Amerika. Di tahun 2001 Popok pernah tinggal di Santa Monica, California, Amerika untuk program artist in residence dari UNESCO di 18th street Art Complex. Di tahun 2007 dia tinggal agak lama untuk residensi di Akademie Schloss Solitude di Stuttgart, Jerman. Semua pengalaman ini memberikan kemampuan untuk beradaptasi dan bernegosiasi atas perbedaan budaya, kemudian mencoba untuk memberi ide atas komunikasi sosial. Dengan bertutur yang komikal ini, dapat memberikan sebuah alternatif untuk menciptakan ruang dialog antara yang tidak terucap dengan apa yang tertulis dalam sebuah budaya. Popok sekarang tinggal dan bekerja di Magelang.

Terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Sosiologi di Universitas Terbuka, Semarang. Sebelumnya, Pujo Nugroho pernah berkuliah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Jurusan Seni Rupa Murni. Antusias dan tertarik merespon isu-isu yang berkaitan dengan budaya populer anak muda muda urban, kehidupan perkotaan, dan wacana politik alternatif harian. Cenderung menggunakan pendekatan berbasis seni dalam menulis, riset sosial, maupun mempresentasikan hasil temuan-temuan.
Sejak tahun 2013 hingga 2019 terhitung telah membuat 8 zine dan terbitan alternatif lain. Sejak tahun 2018 terlibat dalam Kolektif Hysteria yang membuatnya banyak belajar tentang isu-isu seni budaya yang kaitannya dengan kehidupan masyarakat perkampungan di Semarang khususnya.
Menjadi manajer program untuk AKSARA—Festival Media Alternatif 2019. Pada tahun yang sama menginisiasi kelompok kerja yang berbasis seni dan literasi, solidaria.id, yang pada tahun 2021 bertransformasi menjadi solidaria.publish yang berusaha melakukan riset dan penerbitan alternatif pada fokus isu kewargaan, lokalitas, dan wacana politik harian dalam konteks spasial Kota Semarang. Pada tahun 2021 merancang kurikulum untuk PekaKota Institute, suatu program pembelajaran urbanisme warga berbasis komunitas yang mencoba menggabungkan pendekatan unsur seni dan aktivisme.
Pada akhir 2021 menerbitkan buku dengan pendekatan sejarah yang berjudul ‘Kota Merah Hitam—Lintasan Waktu Anarkisme di Semarang’ yang membuatnya memutuskan untuk lebih lanjut mengulik isu-isu yang dekat hal-hal anarkistik. Saat ini sedang menyelesaikan riset sosial yang berkaitan dengan stigma negatif terhadap Kampung Barutikung, Semarang. Selain itu juga tengah menulis karya terbaru yang membahas Anarkisme yang muncul circa tahun 1996-2006 di Semarang.

Raslene (lahir 1991, Indonesia) adalah seorang seniman video dan visual yang berbasis di Jakarta, manajer seni/proyek, peneliti, dan sesekali penulis. Dalam praktik artistiknya, sebagian besar, ia bekerja dengan rekaman dan arsip yang ditemukan, dalam mempertanyakan dan melibatkan pembuatan gambar bergerak yang historis dan kontemporer. Isu-isu sosial, budaya, gender, politik, keberlanjutan, arsip yang hilang, ialah hal-hal yang menjadi ketertarikannya dalam melakukan penelitian.

Redhy Murti Rosyidi, akrab dipanggil Redi, lahir tanggal 6 September 1987. Dari tingkat sekolah dasar hingga lulus sarjana di Surabaya. Mulai tertarik dengan dunia seni dan desain sejak SMA, setelah lulus sekolah, lalu melanjutkan kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual UK PETRA, lulus tahun 2012. Hobi mengumpulkan buku dan majalah tentang seni, sejarah dan komik. Sampai saat ini masih aktif menjadi anggota di kelompok Milisi Fotocopy, yang fokus pada penerbitan buku dan komik. Pekerjaan sehari-harinya mengelola toko kue bersama ibu dan kakak-kakaknya. Memiliki ketertarikan pada praktek seni rupa, khususnya komik dan novel grafis. Selama di Surabaya mendalami bidang seni grafis dan metode cetak cukil kayu dan sablon. Beberapa karyanya di antaranya adalah desain ilustrasi sampul dan gambar kaos untuk grup band-band lokal. Sejak 2015 sampai sekarang masih menggarap beberapa desain sampul untuk penerbit Komunitas Bambu.

Sekolah Musa (SkolMus) didirikan pada tahun 2011 di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berfokus pada usaha mengembangkan ekosistem seni, kebudayaan, dan pengarsipan publik di NTT. Dalam rangka mencapai visi ini, SkolMus menempatkan diri sebagai komunitas tempat belajar yang inklusif bagi anak-anak muda di NTT, juga membuka akses pengetahuan multimedia dan pengarsipan publik dalam konteks kebudayaan dan pembangunan berkelanjutan. SkolMus telah mengelola Pameran Arsip Publik MEREKAM KOTA (2020, 2022), terlibat dalam Mitra Docking Program Biennale Jogja (2021), ARTIdentity: Kultur Pangan – Pameran Seni Media (2021), Kampanye Digital yang fokus pada cerita Perempuan-Perempuan Papua bersama Asia Justice and Rights (AJAR) dan Udeido Collective (2021), Jakarta International Photo Festival 2019 (JIPFEST’19) dan KELAS PAGI BERGERAK-Kupang (2018).

Slinat (Silly in Art) adalah seorang muralis asal Bali, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada tahun 2006. Ia telah memulai karirnya di dunia seni sejak tahun 2000. Selain seni jalanan seperti mural, ia juga menciptakan karya-karya berbasis studio dengan menggunakan bahan-bahan seperti kardus, barang bekas, bahan cetak, kemudian digambar atau dilukis dengan menggunakan cat, tinta alami, dan tinta cina. Slinat memiliki ketertarikan untuk menceritakan isu-isu tersembunyi di balik keindahan pariwisata Bali. Salah satu tema yang ia angkat adalah memparodikan jargon pariwisata menjadi “X VISIT BALI YEAR X” yang menunjukkan potensi dampak buruk pariwisata di Bali. Slinat pernah berpameran di Indonesia dan Australia.

Sudut Kalisat merupakan sebuah komunitas yang berumah di Ruang Ingatan, mereka meyakini dan menjalani proses bahwa waktu senggang adalah sumber dari kebudayaan. Keanggotaan dari komunitas ini bersifat dinamis, dari latar belakang profesi yang beragam dan jangka usia yang bervariasi pula. Dikatakan dinamis karena keanggotaan tidak terikat dan telah memiliki regenerasi dari pertama kali Sudut Kalisat dibentuk pada tahun 2015.
Kini Sudut Kalisat terus berupaya untuk memelihara ingatan warga sebagai sumber untuk dikembangkan menjadi produk kegiatan kesenian. Mereka meyakini bahwa warga adalah mahaguru untuk menjelaskan sejarah Kalisat. Karena untuk mencintai suatu kampung halaman akan terasa dekat jika kita mengetahui pengalaman sejarahnya.

Syska La Veggie. Nama aslinya Syska Liana, berdomisili di Sidoarjo. Seniman visual dengan berbagai media: melukis, menggambar, menyulam, seni grafis, mix media, video art, dan performance art. Sebagian besar karya saya mengangkat isu-isu perempuan, terutama tentang kesetaraan gender dan resistensi terhadap budaya patriarki. Syska juga sering terlibat dalam pengelolaan berbagai proyek seni serta menggagas beberapa program kegiatan. Kerap diundang sebagai narasumber atau mentor dalam seminar, diskusi, dan workshop, terutama bertema seni dan gender.
Bersama beberapa seniman perempuan di Jawa Timur, mengelola Perempuan Pengkaji Seni, sebagai wadah bagi perempuan dalam menyampaikan perspektifnya melalui seni serta hadir untuk membangun ekosistem seni yang lebih kritis, beragam, dan setara dalam konteks keadilan gender. Syska menjabat sebagai Direktur Program Biennale Jatim 8, IX, dan X. Ketua gerakan “International Women’s Day Surabaya”. Anggota Koalisi Seni Indonesia dan Jaringan Seni Puan. Syska bersama rekannya membuat platform Art Down Forum, dengan beberapa program dikerjakan di akun IG @artdown_forum.

Taring Padi didirikan di Yogyakarta, Indonesia pada tahun 1998 oleh sekelompok seniman dan aktivis yang terlibat dalam pemberontakan sosial-politik melawan kediktatoran militer Suharto yang korup dan kejam. Taring Padi memiliki sejarah panjang dalam bekerja dalam solidaritas dengan kelompok-kelompok masyarakat dalam isu-isu keadilan sosial dan lingkungan. Semangat kreatif Taring Padi menekankan pada proses kolektif dalam memproduksi karya seni. Mereka terkenal dengan produksi poster woodcut serta membuat wayang kardus, mural, spanduk, patung, dan pertunjukan teater jalanan untuk menunjang aksi-aksi di jalanan.

Tennessa Querida Waksman, adalah seorang seniman, ilustrator, perancang busana, visualisator, fotografer yang tinggal di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, Indonesia. Pernah menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Desain Produk/Mode Dan Busana (2008-2012), Institut Kesenian Jakarta, Indonesia. Praktik artistiknya diaplikasikan ke berbagai medium dengan merespons isu-isu keseharian seperti perilaku manusia, emosi, alat kerja, dan sebagainya. Karya seninya berfokus pada gagasan interpretasi visual yang beragam untuk menciptakan visual alternatif yang estetis untuk membangun hubungan sosial. Ia telah terlibat dalam beberapa pameran seperti Artisan Karya di Museum Macan, Indonesia (2020), dan berpameran di Jakarta32*, Galeri Nasional Jakarta, Indonesia (2010).

Theresia Agustina Sitompul (lahir 1981) menciptakan karya-karya yang berkaitan dengan persoalan ingatan (personal), identitas, dan penulisan ulang sejarah melalui sudut pandang yang intim dalam membaca konteks sosial. Lulusan Seni Grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa objek-objek visual yang merepresentasikan ingatannya tentang narasi-narasi tertentu yang telah diterima begitu saja sebagai kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Theresia berupaya untuk mempertemukan dialog antara ingatan dan kehidupannya, merefleksikan peristiwa mengingat dan melawan lupa. Relasi antara sisi religiusitas pribadinya dan dilema identitas yang kompleks sebagai seorang perempuan, seorang ibu, dan juga tentang nilai-nilai dalam kehidupan yang ia anggap sebagai sebuah kebenaran. Ia adalah seorang dosen seni grafis di ISI Surakarta dan salah satu pendiri kolektif seni grafis, Grafis Minggiran. Ia telah berpameran di Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Australia, dan Bulgaria.

Tumbuh di kota Bandung-Jawa Barat, Titarubi kemudian menempuh pendidikan di jurusan Seni Murni di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1987. Sejak mahasiswa telah terlibat dalam berbagai gerakan sosial kemanusiaan menjadikan seni diyakininya sebagai cara berbagi pemikiran dalam memahami kehidupan. Titarubi, mengeksplorasi tubuh, identitas, gender, memori, kolonialisme, kesetaraan, sejarah, keadilan sosial dan persoalan-persoalan masyarakat dalam kehidupan bersama lainnya dengan menggunakan berbagai media yang diwujudkan dalam berbagai disiplin seni rupa seperti instalasi, patung, pertunjukan, peristiwa, lukisan, gambar, grafis, interaktif maupun partisipasi dengan penonton. Juga berkolaborasi dengan berbagai disiplin seni lainnya: musisi, teater, koreografi, film, maupun bekerja dengan berbagai disiplin ilmu lainnya untuk mewujudkan karya-karyanya.

Wimo Ambala Bayang (1976), seniman yg tinggal di Yogyakarta. Salah satu pendiri Ruang MES 56 pada tahun 2004. Sebuah kolektif seni dimana ia terus menjadi anggota aktif. Pada tahun 2004 ia mendirikan Video Battle, sebuah proyek kompilasi video yang didistribuskan secara independen.
Dalam praktik artistiknya, Wimo beralih antara fotografi, video, dan pembuatan objek untuk menjawab dan menantang dialektika realitas dan ilusi, pemahaman dan pengalaman, atau kehadiran dan ketidakhadiran dalam pembuatan gambar dengan selalu mendefiniskan kembali makna subjeknya melalui berbagai sudut pandang dan aneh. Dengan menggunakan pendekatan partispatif, foto yang dipanggungkan, kolase digital atau fotografi jalanan, ia sering menciptakan setting fiktif dimana objek siap pakai atau tubuh panggung menjadi elemen sentral, membentuk subjektivitas dan cara baru untuk dipersepsikan.
Wimo telah berpartisipasi dalam program residensi dan pertukaran seniman Internasional, seperti di China, Australia, Belanda, Denmark dan Rumania. Ia juga melakukan kurasi untuk Indonesia Today pada Tokyo Photography Month 2011, Jimei X Arles, International Photo Festival di Xiamen 2017, FOAM Collaborate Ruang MES X FOAM Fotomuseum Amsterdam 2017. Disana ia mengkesplorasi ide-ide baru, pendekatan dan konteks yang berbeda terkait perkembangan fotografi kontemporer, yang mempengaruhi keputusannya untuk menyandingkan fotografi dengan disiplin lain dalam seni. Pada tahun 2021, film dokumenter The Enigma of HeDonism yang ia sutradarai mendapatkan penghargaan dari Festival Film Dokumenter sebagai Film Dokumenter Panjang Indonesia Terbaik 2021.

Woven Kolektif adalah sebuah kelompok yang terdiri dari tujuh seniman yang berbasis di sepanjang pantai timur yang disebut Australia dan Berlin, yang pada awalnya terbentuk melalui ikatan diaspora Indonesia. Kolektif ini mengusung beragam praktik, termasuk karya seni pertunjukan, instalasi, video, fotografi, lukisan, dan patung. Woven bekerja baik sebagai kelompok praktik individu maupun sebagai kolektif seniman kolaboratif. Proyek-proyek mereka dibentuk melalui pemikiran dan sumber daya kolektif: memupuk mode pertukaran yang menawarkan kelonggaran dari praktik seni profesional yang terkotak-kotak. Pameran yang pernah mereka lakukan bersama antara lain: Woven di Verge Gallery, Sydney (2017), looking here looking north di Casula Powerhouse Arts Centre (2019), Breathing Room di Cement Fondu, Sydney (2019), Bara di Bankstown Arts Centre (2020), dan Cascade di Outer Space (2022). Woven Kolektif beranggotakan Bridie Gillman, Ida Lawrence, Kartika Suharto-Martin, Kyati Suharto-Martin, Leyla Stevens, Mashara Wachjudy, dan Sofiyah Ruqayah. Lima dari tujuh anggota tersebut terlibat dalam pameran ini.

Yaya Sung (b. 1986) adalah seorang seniman interdisipliner yang mulai berkarya sejak 2006. Dalam laku artistik dan berkarya di dunia seni rupa kontemporer, Yaya mengangkat narasi yang berkaitan dengan isu perempuan, minoritas dan HAM. Baginya, seni tak sekadar menampilkan keindahan namun juga mampu menjadi wadah untuk mengekspresikan aspirasinya. Dalam berkarya, ia mengeksplorasi berbagai medium seperti fotografi, videografi, performance, hingga instalasi desain, foto, dan teks. Ia tak hanya memanfaatkan benda-benda sebagai representasi gagasannya, tapi tubuhnya pula ia gunakan untuk menyerap pengalaman otentik dari riset lapangan yang ia lakukan sebelum mulai berkarya. Yaya pernah berpameran di Indonesia, Singapura, Australia, Jepang dan Taiwan.
Pingback: Remembering 25 Years of Reformation | CEMETI