
Yang Puitik dari Proses, Data, dan Peristiwa
Refleksi kuratorial atas Pameran Tunggal Dyah Retno
∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR)
MENINJAU KEMBALI PAMERAN Tunggal Dyah Retno, berjudul ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), yang diselenggarakan pada tanggal 2-30 Juli 2022 di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta, kita bisa mengelaborasi konsep “proses”, “data”, dan “peristiwa”. Selain itu, dalam hubungannya dengan kesenian keramik, ialah juga tentang apa yang ditawarkan oleh upaya-upaya yang memilih untuk mengesampingkan konvensi-konvensi mapan terkait modus presentasi karya seni keramik. Tawaran dari upaya itu, antara lain, ajakan untuk mengempang sajian-sajian praktis yang mengistimewakan—atau yang berorientasi pada tujuan—objek final.
Kuratorial pameran telah menyiratkan bahwa salah satu gagasan besar dalam proyek seni keramik ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) adalah pemaknaan ulang terhadap relasi antara seni dan penelitian ilmiah. Apa yang ditentukan sebagai kegiatan produksi seni adalah apa yang juga ditetapkan sebagai kegiatan penelitian ilmiah, yaitu uji coba sekaligus observasi intensif terhadap tungku pembakaran yang terbuat dari limbah glasswool. Dyah melakukan kegiatan ini untuk mengetahui efektivitas limbah glasswool sebagai material alternatif pembuatan tungku. Apa yang mengikuti kemudian dalam gagasan tentang pemaknaan ulang ini adalah kesadaran tentang pentingnya kebergabungan antara dua metode—yang secara umum melekat pada sebuah istilah yang biasa kita kenal sebagai “pengalaman”—yaitu idiografis dan nomotetis.
Meminjam pandangan Neo-Kantian, kita dapat mengartikan bahwa metode idiografis menyasar hal-hal khusus, sedangkan yang nomotetis mengejar hal-hal umum.[1] Pada metode yang pertama, suatu rangkaian nilai diyakini berasal dari pengetahuan tentang sifat-sifat konkret dan unik realitas, sedangkan pada metode yang kedua, nilai-nilai dipahami sebagai hal yang berasal dari pengetahuan tentang sifat-sifat umum realitas.[2] Melandaskan argumen pada perbedaan tersebut, di sini kita mencoba menarik suatu perbandingan: “pengalaman sebagai basis keterampilan” agaknya lebih bersifat idiografis, sedangkan “pengalaman sebagai basis pengetahuan” tentunya lebih bersifat nomotetis.[3]
Konon, dalam sejarahnya, seni dianggap melepaskan diri dari bentuk-bentuk komunikasi “statistikal” yang gamblang. Tradisi semacam ini secara tidak langsung membuat dirinya berbeda dari praktik-praktik yang umumnya diterapkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (sains). Mayoritas praktik seni lebih fokus pada satu hal secara individu; seni mengedepankan penilaian-penilaian tegas nan tunggal pada subjek-subjek yang unik. Berbeda dengan tradisi-tradisi produksi pengetahuan yang mengandalkan pendekatan empiris, seni lebih cenderung untuk membingkai persoalan secara terfokus dalam rangka mengajukan spekulasi ketimbang menarik simpulan-simpulan umum yang menawarkan penjelasan atas sebuah masalah.
Namun, Dyah Retno, lebih sering menekankan pendekatan saintifik sebagai kerangka utama karya-karya seninya. Atau, setidaknya dalam proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), ia berupaya memadukan dua metode berbeda yang saya singgung di atas ke dalam satu kegiatan seni yang konkret. Ia mencari penilaian idiografis melalui nilai-nilai berbasis nomotetis. Di saat yang bersamaan, ia juga mencoba membangun gambaran-gambaran nomotetis di atas penggalian-penggalian idiografisnya yang intensif. Sebagai “kegiatan empiris”, proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) menguji bagaimana “pengalaman (baik milik si seniman maupun milik audiens) terhadap karya” dapat menjadi “mesin” bagi penciptaan karya itu sendiri secara utuh. Sedangkan sebagai “kegiatan artistik”, proyek ini memperlakukan “catatan-catatan empiris” sebagai bahasa puitik yang menentukan nuansa karya.
Dalam rangka menunjukkan skema dari karya semacam itulah, sebagai subsekuensinya, pameran dari proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) justru berkutat dengan “bahasa dari proses”. Tercakup juga di dalam skema ini, ialah “potensi puitik dari data” dan “fakta dari peristiwa produksi/penelitian” sebagai tujuan estetikanya. Tiga aspek ini sebenarnya mengitari eksperimen Dyah dengan tungku pembakaran berbahan limbah glasswool itu.
Yang Puitik dari Proses
Dalam tujuannya untuk menyajikan bahasa dari proses, yaitu “proses uji coba dan observasi tungku pembakaran”, pameran ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), pertama dan utama sekali, memaksimalkan penggunaan arsip. Selanjutnya, menekankan keberpihakan terhadap signifikansi aksi. Secara khusus dalam konteks pameran ini, ialah aksi di dalam ruang galeri. Melengkapi dua poin itu, adalah poin ketiga: durasi, yang dipertimbangkan secara sadar untuk menspesifikasi pengadaan sekaligus penggunaan arsip dan aksi.
Mengingat bahwa aksi produksi proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) adalah juga aksi penelitian, sebagaimana aktivitas di dalam studio atau laboratorium, aksi-aksi yang dilakukan selama produksi/penelitian tersebut merupakan peristiwa paling penting dari seluruh rangkaian pelaksanaan proyek ini. Karena “peristiwa”—yang di dalamnya arsip dan aksi hadir secara bersamaan—merupakan hal yang secara khusus ditekankan dan menjadi salah satu konsep bagi proyek ini, maka durasi pun menjadi aspek yang sangat diperhatikan dan menentukan bentuk proses yang berlangsung. Pada akhirnya, ketiga hal itu, yaitu “arsip”, “aksi”, dan “durasi”, merupakan tonggak konstruktif pameran dalam rangka menempatkan atau menerjemahkan proyek seni keramik ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) menjadi “seni proses” (process art).
Menurut Robert Pincus-Witten (1981), di dalam apa yang disebut “seni proses”, sebuah proses hadir dan tampil begitu empatik sehingga justru diakui sebagai konten utama, sedangkan sesuatu yang biasanya dalam pemahaman konvensional dianggap sebagai konten, pada akhirnya, hanyalah suatu “penciptaan-ulang” intelektual para penonton belaka atas aksi yang dilakukan seniman ketika mewujudkan karya.[4] Lebih jauh, jalan untuk mengedepankan “proses kreatif sebagai konten” dapat dibuka lewat penolakan terhadap “estetika” sehingga mendorong pengeliminasian “objek seni” dan menggantikannya dengan ide.[5] Menurut perspektif ini, apa pun output (karya final) dari proses seni itu tak lagi penting, sebab tujuan dari “karya final” itu sendiri adalah untuk menjadi restan/residu, atau menjadi sekadar saksi bagi sebuah proses yang menciptakannya; output yang semestinya dikenal sebagai “karya final” itu tidak lagi disikapi sebagai objek dengan signifikansi estetis yang independen.[6]
Konsepsi berdasarkan pengertian-pengertian di atas, menurut saya, termanifestasi dalam proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR). Kita bisa memahaminya dengan mencoba mengurai makna dari kehadiran “arsip”, “aksi”, dan “durasi” di dalam proyek tersebut, khususnya dalam kedudukan mereka sebagai tiga elemen yang saling berhubungan satu sama lain.
Arsip, di dalam semesta ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), mencakup bukan hanya teks-teks, tetapi juga benda-benda, yang dikumpulkan dan diseleksi oleh Dyah dari proyek-proyek sebelumnya, ataupun dari sumber-sumber sekunder lainnya dalam tahapan “penelitian pra-proyek”, serta yang dihasilkan secara langsung dari aksi-aksi yang ia lakukan selama tahapan produksi proyek.
Arsip-arsip tekstual (dan juga visual) di dalam proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) terbagi ke dalam dua domain. Yang pertama, kumpulan arsip yang berperan sebagai latar belakang reflektif dan teoretis yang mendasari bentuk aksi yang dipilih dan dilakukan oleh Dyah selama pameran, salah satunya ialah aksi membakar sampel keramik menggunakan tungku buatan yang dirancang si seniman. Sejumlah arsip (yang berasal dari atau yang berhubungan dengan proyek-proyek terdahulu) berisi kerangka-kerangka konseptual mengenai langkah-langkah ilmiah dalam memahami bakat material keramik. Kerangka ini, nyatanya, merupakan gambaran-gambaran representasional dari alasan-alasan yang mendorong Dyah, baik langsung maupun tidak, untuk akhirnya memilih fokus pada alat produksi pembakaran (tungku) daripada semata produk keramiknya.
Arsip tekstual yang masuk kategori domain kedua berperan sebagai “rekaman langsung”, yaitu berupa catatan-catatan yang ditulis oleh Dyah berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan ketika melakukan aksi pembakaran sampel keramik. Dengan kata lain, arsip dalam domain ini merupakan bagian konten yang terus berkembang seiring berjalannya kegiatan produksi/penelitian tungku pembakaran sebagai sebuah “pameran dari peristiwa”.
Sementara itu, arsip-arsip benda terkategorisasi ke dalam tiga domain. Yang pertama, adalah benda-benda keramik hasil proyek terdahulu. Alih-alih sebagai “karya”, mereka hadir di dalam pameran sebagai rekaman, yaitu rekaman tentang karier praktik Dyah selama menjalani profesi seniman keramik: praktiknya menaruh perhatian pada efek yang diterima/dihasilkan material keramik pascapembakaran ketimbang keindahan dan kesempurnaan bentuk keramik. Domain yang kedua, adalah benda-benda berupa bahan baku keramik, khususnya material limbah. Kumpulan arsip benda dalam domain ini, pada satu sisi, mempunyai nilai yang sama dengan benda-benda di domain pertama, tetapi di sisi yang lain juga bersifat aktual. Dalam arti, bahan-bahan baku berupa limbah itu masih akan digunakan untuk menggali nilai atau informasi baru terkait eksperimen yang berlangsung di dalam pameran ketimbang semata menjadi artefak atau rekaman pasif dari suatu model penelitian tentang limbah yang dikembangkan Dyah. Sedangkan arsip benda yang termasuk domain ketiga, adalah tungku pembakaran.
Hubungan antara arsip [tekstual dan benda] dan aksi (yang dilakukan seniman), di dalam pameran proyek ini, muncul pada tahapan “aktivasi arsip”. Teks dan benda diaktifkan, dan “pengaktifan” itu dibingkai sebagai peristiwa artistik. Yang terutama, ialah aktivasi tungku pembakaran. Benda ini tidak hanya menjadi pajangan, melainkan dioperasikan secara riil di waktu-waktu tertentu selama pameran berlangsung. Selain itu, aktivasi arsip juga terwujud melalui aksi penambahan ataupun pengurangan. Beberapa arsip tekstual mengalami penambahan isi, khususnya arsip-arsip tekstual domain kedua, karena Dyah secara kontinu membuat catatan-catatan baru mengenai ukuran-ukuran dan gejala-gejala yang teramati selama proses uji coba dan observasi tungku. Sementara, sejumlah arsip tekstual yang lain mengalami pengurangan, atau bahkan sengaja dihilangkan (diturunkan dari dinding galeri). Nyatanya, seiring berjalannya durasi pameran, temuan-temuan dalam eksperimen tungku pun semakin berkembang sehingga sejumlah arsip tekstual pada domain pertama tak lagi relevan dengan naratif proyek. Keberadaan mereka selanjutnya digantikan oleh benda-benda keramik yang sebelumnya tidak ada di dalam galeri. Pengurangan arsip juga termanifestasi lewat transformasi wujud dan bentuk benda: sebagian material limbah diambil dari tempat asalnya (yaitu dari dalam toples-toples kaca yang dipajang pada rak di dinding) untuk diolah langsung oleh Dyah di dalam galeri, menjadi sampel, untuk kemudian dibakar ke dalam tungku. Dengan begitu, kegiatan ini memunculkan “benda baru”, yaitu sampel-sampel keramik yang sudah dibakar; mereka lantas menjadi rekaman primer dari peristiwa produksi/penelitian artistik di dalam galeri.
Aktivasi arsip (atau aksi seniman mengintervensi arsip) dilakukan dalam frekuensi tertentu selama pameran berlansung. Di sini, ada durasi berlapis. Pertama, durasi dalam konteks “durasi pameran”. Kedua, durasi yang secara spesifik mengacu pada durasi dari setiap aksi seniman ketika mengintervensi (menambahkan atau mengurangi) arsip. Durasi dalam tingkatan “intervensi arsip” mencakup, di antaranya, durasi persentuhan seniman dengan material limbah ketika mengolahnya menjadi sampel, durasi interaksi seniman dengan tungku (terutama pada momen-momen menunggu sekaligus mengobservasi proses pembakaran), dan durasi pencatatan data tentang pembakaran dan hasil pembakaran sampel.
Pada situasi lainnya, hal-hal yang durasional juga menjadi sesuatu yang terpatri ke dalam data: arsip tekstual domain kedua dan arsip benda domain kedua, sesuai perkembangannya sebagai bagian dari konten pameran, justru merepresentasikan informasi mengenai durasi-durasi dari aksi-aksi spesifik si seniman. Representasi-representasi tekstual mengenai durasi aksi, misalnya, terwujud dalam tulisan-tulisan berupa angka, sedangkan representasi-representasi objektif (kebendaan) tentang durasi aksi, satu di antaranya, terwujud dalam corak warna yang berbeda-beda pada sampel-sampel yang telah dibakar. Dan representasi-representasi ini berlangsung terus selama sisa durasi pameran.
Lapis-lapis durasi di atas mengindikasikan suatu ritme dari proses pelaksanaan proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR). Dinilai dari sudut pandang “seni berbasis peristiwa”, ritme durasional inilah yang layak kita sepakati sebagai hal yang mentransfigurasi proses tersebut menjadi suatu moda bahasa. Durasi, bagaimanapun, selalu mengandaikan daya tahan dan intensitas tertentu di dalam ruang dan waktu, dan secara dasariah merupakan sesuatu yang mendefinisikan batas-batas pernyataan dan ekspresi—ada awal dan akhir. Akan tetapi, durasi berlapis dalam konteks proyek seni ini, yang mempunyai beberapa tingkatan itu, adalah sebuah kompleks yang di dalamnya setiap bagian saling berresonansi satu sama lain dan eksis bersama-sama sebagai peristiwa langsung, yaitu peristiwa tentang eksperimen produksi/penelitian dari proyek ini sendiri; eksperimen yang dibingkai sebagai pameran. Nyatanya, durasi berlapis tersebut tidak hadir sebagaimana kerangka durasi dalam suatu pertunjukan (performing). Ia justru merupakan sifat temporal dari suatu peristiwa total yang faktual, wajar, alamiah.
Yang Puitik Dari Data
Ada banyak inisiatif seni di dunia yang telah merangkul data sebagai elemen ekspresif bagi artikulasi artistik. Intervensi semacam ini biasanya mencoba melampaui kemungkinan data sebagai semata sarana komunikasi informatif, yaitu dengan cara meluaskan potensi tampilan representasionalnya.
Perlakuan artistik terhadap data sebagai objek representasional kerap kali berangkat dari pertanyaan tentang ke arah mana sisi kemanusiaan kita mampu membebaskan diri dari kekakuan dan standarisasi reduktif data yang umumnya tampil sebagai bahasa untuk menggeneralisasi. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Giles Lane,[7] seniman sekaligus pendiri studio kreatif Proboscis.[8] Menurutnya, penciptaan hal yang puitik dari data merupakan salah satu jawaban untuk menerabas batasan-batasan kekakuan informasi, terutama informasi yang ter-/dikontrol. Poetics of Data, istilahnya yang digunakannya, ialah upaya untuk memicu sebuah pergeseran fase dalam hal bagaimana manusia berinteraksi dengan data tersebut. Sebagaimana pernyataannya:
“A shift away from the familiar and ordered modes through which we are used to experiencing it on screens, via spreadsheets, tables, graphs, counters, dials or the linear waveforms of measuring devices. Poetry and poetics are time-honoured ways in which people have communicated things that are beyond just measurement – emotions, feelings, beliefs. Things which are at the very limit of description. Things which defy rationality and even reason.”[9]
Di Indonesia sendiri, contohnya, karya Ade Darmawan dalam pameran tunggalnya yang berjudul Human Resource Development (2012)[10], menerapkan gagasan ini. Data-data statistik mendapat perlakuan artistik dengan cara menghilangkan semua informasi angka dan menyisakan hanya bentuk-bentuk garis dan warna sebagai semata murni komposisi rupa. Dengan cara ini, orientasi penikmat karya digeser dari tindakan “membaca” (serebral) menjadi tindakan “melihat” (eksperiensial). Proyek-proyek yang dilakukan oleh Giles Lane, adalah contoh yang lain, terutama tentang bagaimana data yang pada dasarnya hanyalah informasi abstrak diubah menjadi lebih bersifat puisi yang taktil.[11]
Perlakuan Dyah atas data di dalam proyek seni keramik ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), sebagaimana yang coba didireksi di dalam pameran, merealisasikan sesuatu yang lebih bersifat alternatif terhadap—kalau bukan menuju hal yang menyerupai—gagasan-gagasan seperti yang dikemukakan oleh Giles Lane. Dalam realisasinya, “intervensi artistik” (kalau ingin menyatakannya demikian) Dyah atas data tidak terjadi dalam aspek bentuk berbasis formal-visual. Apa yang justru dilakukan oleh Dyah, sehubungan dengan ide mengenai relasi antara “aksi” dan “durasi” yang telah dijelaskan pada subjudul sebelumnya, adalah menegaskan kejadian alamiah proses penelitian di dalam waktu. “Puisi dari Data” yang diciptakan Dyah berpijak pada durasi pengumpulan data itu sendiri. Antara lain: formulir kosong akan diisi secara berangsur sepanjang kegiatan uji coba tungku pembakaran. Perlahan, formulir-formulir itu akan dipenuhi data. Yang puitik dari hal ini adalah momen pengumpulan alih-alih visual datanya. Pada bagian “pengisian data” berkelanjutan ini, “Puisi dari Data” Dyah lebih berbasis waktu ketimbang rupa; bersifat temporal ketimbang visual.
Karakter tersebut juga terdapat dalam aksi Dyah yang mengolah tanah menjadi gelang-gelang beragam ukuran, untuk diniatkan sebagai sampel keramik yang akan dibakar. Pada aksi ini, durasi merupakan elemen terpenting. Dyah duduk berjam-jam membuat puluhan gelang tanah. Pada setiap kegiatan membuat satu gelang tanah, berbagai momen terjadi: gejala-gejala alamiah di lingkungan sekitar memengaruhi reaksi tubuh, sementara tubuh yang bereaksi juga menentukan kualitas dari olahan material tanah menjadi gelang. Dalam durasi yang panjang, dan kegiatan yang intens, gelang-gelang tanah tersebut pada akhirnya menjadi “data konkret”, di mana informasi-informasi mengenai ukuran tak lagi dilihat melalui angka, tetapi dapat dipahami, dirasakan, melalui pemahaman atas bobot material yang merepresentasikan waktu yang telah dilalui si seniman ketika membuat gelang-gelang tanah. Sebagaimana puisi-data Ade Darmawan yang nir-angka, puisi-data Dyah menuntut sesuatu yang berada di atas batas deskripsi, menantang rasionalitas, dan mengamini empati ketimbang pengartian, meskipun apa yang ditampilkan adalah data mentah tanpa intervensi aristik apa pun pada aspek formalnya. Dengan kata lain, puisi-data Dyah lebih mengejar gejala performatif daripada sekadar kontemplatif.
Yang Puitik dari Peristiwa
Alih-alih tampil dengan karakteristik “pertunjukan”, peristiwa produksi/penelitian dari proyek seni keramik ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR) dipamerkan dalam bentuknya yang paling alamiah; apa yang dapat dilihat oleh pengunjung pameran merupakan fakta-fakta peristiwa yang sebagian besar tidak terprediksi sebelumnya meskipun Dyah melakukan sejumlah aksi menurut aturan tertentu. Namun, Aturan yang dimaksud, nyatanya, lebih merupakan langkah-langkah penelitian yang memang perlu ia lakukan untuk mendapatkan bukti-bukti empiris mengenai efektivitas tungku ketimbang suatu tindakan yang dikonstruksi sebagai pertunjukan untuk merepresentasikan sesuatu. Pameran proyek ini, dengan sadar, membingkai rangkaian kejadian alamiah dari penelitian tersebut menjadi peristiwa yang justru ditampilkan ke publik sebagai peristiwa artistik: laboratorium penelitian Dyah tentang keramik dan tungku pembakaran didefinisikan kembali melalui perspektif seni yang menaruh perhatian pada estetika keseharian, di mana rutinitas menjadi kunci bagi gaya ungkap ekspresi.
Selama pameran, Dyah melakukan kegiatan uji coba tungku pembakaran dengan membakar sejumlah sampel tanah yang sudah dicetak. Hal ini dilakukan setidaknya dua kali dalam seminggu. Selain menguji tungku, Dyah juga mengolah tanah menjadi sampel-sampel berbentuk gelang dengan ketebalan dan diameter beragam. Sampel-sampel berbentuk gelang ini juga dibakar ke dalam tungku sebagai bagian dari kegiatan menguji efektivitas tungku tersebut. Semua kegiatan ini direkam menggunakan video—Dyah selalu mengemukakan penjelasan lisan ke hadapan kamera setiap kali melakukan setiap langkah dalam rangkaian aksi pengujiannya. Selain itu, Dyah juga mencatat semua kejadian yang berkaitan dengan proses uji coba (termasuk gejala-gejala tertentu yang terjadi pada tungku tersebut), serta mencatat juga hasil-hasil tertentu setelah pembakaran selesai.
Nyatanya, kegiatan-kegiatan tersebut beberapa kali berlangsung tak lancar. Namun, ketidaklancaran ini tetap direkam dan tetap dibiarkan menjadi sebuah kejadian yang dapat disaksikan oleh pengunjung pameran. Termasuk juga dengan apa yang terjadi pada tungku. Mengingat bahwa aksi adalah sebuah penelitian yang menguji coba kinerja tungku, sementara uji coba saintifik dalam derajat tertentu juga mengamini cara pandang berdasarkan falsifikasi,[12] maka eror-eror yang dialami tungku justru merupakan temuan yang tidak ditutup-tutupi. Bukannya keberhasilan dan kesempurnaan kinerja tungku, yang justru menjadi sasaran dari rangkaian aksi ini adalah fakta-fakta yang dialami tungku selama proses eksperimen tersebut dilaksanakan.
Keberpihakan pada kewajaran, faktualitas, dan sisi alamiah peristiwa, dalam konteks pameran proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), kiranya, sejalan dengan (atau mencita-citakan visi dari) apa yang Rosenberg definisikan tentang “de-estetisisasi”: suatu upaya untuk memurnikan seni dari benih-benih ‘kilah keahliah’ (artifice) dan menjadikannya “fragmen dari yang nyata di dalam yang nyata.”[13] De-estetisisasi, menurut Rosenberg lagi, juga merupakan suatu gagasan perlawanan terhadap retorika-retorika penyempurnaan formalistik yang berlebihan.[14] Diskursus ini digunakan sebagai suatu protes terhadap ketersempitan sistem museum-galeri yang bergerak hanya pada segelintir basa-basi hampa estetis.[15]
Dalam hal itu, yang kemudian dapat kita pahami sebagai aspek puitik dari peristiwa yang menekankan gaya ungkap keseharian dan potensi rutinitas ini, sebagaimana yang diupayakan dalam proyek ∆HRT =∆HOR+(∆HP-HR), ialah kesehajaan alih-alih artifisialisasi peristiwa. Aksi seni proyek ini menekankan upaya afirmasi terhadap fakta-fakta wajar dari peristiwa, dan segala aspek di dalam momen dirayakan sebagai sebuah proses yang utuh, dibingkai menjadi konten utama, dihadirkan melalui kerangka penyajian yang menolak untuk mengedepankan penciptaan spektakularisasi kejadian. Dalam proyek ini, fakta produksi ataupun fakta penelitian tak lagi memerlukan polesan artistik karena apa yang mentah dari peristiwa itu sendirilah yang lantas dipercaya sebagai hal yang puitik. (*)
Endnotes:
[1] Wilhelm Windelband, “Rectorial Address, Strasbourg, 1894”, dalam History and Theory, Vol. 19, No. 2 (Februari, 1980), hal. 169-185. Lihat hal. 175.
[2] Wilhelm Windelbang dan Guy Oakes, “History and Natural Science”, dalam History and Theory, Vol 19, No. 2 (Februari, 1980), hal. 165-168. Lihat hal. 167.
[3] Meskipun, sebenarnya, Windelband sendiri, orang yang konon pertama kali mengajukan dikotomi ini, menyatakan bahwa kedua metode tersebut, bagaimanapun, adalah kategorisasi umum terhadap semua jenis ilmu pengetahuan (sains).
[4] Robert Pincus-Witten, Postminimalism, New York: Out of London Press, 1977, hal. 16.
[5] Harold Rosenberg, De-definition of Art, New York: Collier Books, 1972, hal. 29.
[6] Kim Grant, All About Process: The Theory and Discourse of Modern Artistic Labour, Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 2017, hal. 191.
[7] Giles Lane, “A Poetics of Data”, 25 Oktober 2019. Diakses dari situs web Giles Lane, paragraf 3.
[8] Lihat http://proboscis.org.uk/about/.
[9] Giles Lane., op. cit., paragraf 3.
[10] Lihat dokumentasi Pameran Tunggal Ade Darmawan, Human Resource Development, di situs web IndoArtNow.
[11] Bisa ditinjau sejumlah proyek Poetics of Data-nya, seperti Lifestream (2012) dan Manifest Data Lab (2019-sekarang), dua contoh yang paling mendekati gagasan ini.
[12] Di sini saya, tentu saja, mengacu kepada Prinsip Falsifikasi-nya Popper. Meskipun telah dikritik oleh banyak filsuf kontemporer, Falsifikasi Popper bagaimanapun merupakan konsep penting yang sudah memberikan dampak besar bagi perkembangan pemikiran-pemikiran Abad ke-20. Penerapan prinsip ini masih relevan dan terbilang masih kerap dipegang oleh banyak peneliti ilmiah dalam beragam kasus sesuai dengan konteksnya masing-masing.
[13] Harold Rosenberg, op. cit., hal. 29.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 30.
Pingback: Yang Puitik dari Proses, Data, dan Peristiwa – risalahseni
Pingback: Puitik dari Proses, Data, dan Peristiwa – risalahseni
Pingback: The Poetic in Process, Data and Events | CEMETI