
Menatap Hubungan Kolaborasi dalam Pengembangan Wacana
Catatan Dramaturgi Hari Ini Belajar Sejarah
Bertolak dari Tubuh yang Ekstrem dan Jalur Evakuasi
Saya ingin memulai tatapan hubungan kolaborasi ini dari tubuh diri sendiri yang mengalami keekstreman; hal yang keterlaluan; ekstremitas; kefanatikan, kalau saya boleh menyebutnya. Apa yang dimaksud keekstreman itu dalam konteks diri, terus apa kaitannya dengan terbatas, dan apakah beririsan antara ekstrem dengan terbatas, atau bagaimana irisannya dengan gagal? Gagal dan terbatas, sepengetahuan saya, berada di wilayah ekstrem tersebut; mencakup di antaranya.
Saya memilih pekerjaan dramaturg—seseorang yang diberikan peran penuh dalam medan artistik kerja sutradara/seniman yang saya sebut pada catatan ini sebagai informan dalam atau eksekutor karya. Khususnya informan dalam di Sampang—untuk mendampingi proses latihan dalam menemukan metode praktik kerja yang tidak terbaca dari sudut pandang teoretis, gaya pengkaryaan, hingga visualnya, dan memberikan argumentasi secara ketat serta temuan-temuannya, sebagiannya memiliki kuasa artistik. Keekstreman lainnya, mereka dapat dilihat tidak mengetahui ekosistemnya apa, datangnya dari mana, kenapa asal-usulnya, dan untuk apa ekosistem itu dibangun, serta bagaimana cara membangunnya.
Saya, sejujurnya, cukup terkejut ketika diajak Syamsul Arifin, inisiator Tanglok Art Forum (programer/kurator), untuk terlibat dalam program yang sudah dijalankan pada bulan April-Mei (tepatnya 25-27 Mei) 2022 di SMAN 4 Sampang) sebagai dramaturg. Apalagi, bagan besarnya mengenai Trunojoyo,[1] yang mana saya cukup berjarak dengan hal yang berbau sejarah.
Proposal Syamsul, Hari Ini Belajar Sejarah, melihat ulang dua narasi Trunojoyo yang saling kontradiktif, yakni “arsip” dan “ingatan”, demi menemukan kemungkinan baru sebagai tawaran dari sudut pandang alternatif. Yaitu, dengan mempelajari untuk menemukan suatu kemungkinan mengenai teknologi berpikir Trunojoyo; adalah hal yang menarik sekaligus menantang dalam mengkontekstualisasikan kenyataan hari ini, di mana saya memosisikan diri—cukup disadari bahwa ekosistem di Madura sebagian besar bertolak dari ekosistem yang sama atau ekosistem yang tidak dimiliki secara penuh pengertian dari ekosistemnya meskipun sering kali dinarasikan secara terus menerus. Tentu saja, ini dapat dilihat sebagai tantangan yang menarik dan menegangkan.
Bagaimana mungkin hal ini tidak disebut sebagai sesuatu yang menarik dan menegangkan jika merujuk pada peristiwa sebelumnya; saya selalu berhadapan dengan informan dalam yang langsung menutup diri, merasa terancam, dan tidak pandang bulu dengan siapa pun. Seketika keluar dari grup Whatsapp seenaknya tanpa mention siapa yang membuatkan rute perjalanannya. Bukan dipahami bahwa keadaan semacam itu untuk dijadikan sebagai medan kerja yang menarik dari hal yang tidak menarik sekalipun; ditatap untuk melihat tubuh masa depan. Proyeksi, orientasi, dan cita-cita seperti lenyap seketika bersama keekstreman yang terus mengganggu serta menunggu di tempat-tempat yang gelap. Seperti mengatakan “Good bye, Sayangku!”.
Tubuh yang ekstrem harus disadari dan diperlukan suatu jalur evakuasi. Saya memilih jalur tempuh bertanya layaknya seorang etnografer pemula (anggap saja begitu atau ‘abal-abal’—supaya gampang dipecahkannya) sebagai metode kerja: (1) Dramaturgi difungsikan sebagai rute etnografi; suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografis, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan[2], untuk mencatat jawaban-jawaban yang sekiranya dijawab atau tidak tanpa adanya unsur pemaksaan. (2) Pertanyaan dan jawaban; tidak pernah dilakukan di ruang yang sifatnya pribadi atau ruang yang terkesan interogatif, karena tampak interogasi dalam tubuh yang ekstrem selalu menyulitkan. (3) Pertanyaan dan jawaban bisa lahir dalam keadaan yang santai; di saat berkumpul bersama sembari beraktivitas, atau saya mengambil tindakan menyapu, bersih-bersih sampah, dan mengepel.
Empat domain berikutnya bisa diposisikan sebagai dukungan kerja: (4) Dramaturg yang difungsikan sebagai etnografer, otomatis hanya mencatatkan tanpa memberikan uraian secara detail layaknya medan artistik dalam konteks visual. (5) Membacakan analisisnya terhadap kurator, tanpa mengutak-atik wilayah artistik visual karya, dan (6) mengabstraksikan pada programer/kurator, di ruang diskursus yang tertutup tanpa informan dalam, serta (7) sifat semua pekerjaan yang dilakukan hanya untuk ‘bermain-main’, yang bisa dipahami sebagai pemetaan, pemeriksaan, dan pelacakan, tanpa berpikir campur tangan pembentukan karya yang lebih jauh.
Saya yang bertolak dari tubuh ekstrem, tidak harus memasuki ruang kritik internal layaknya seorang dramaturg pada umumnya, terhadap apa yang dilakukan informan dalam. Sementara informan luar merupakan mereka yang memberikan wawasan tentang Trunojoyo, salah satu di antaranya Ahmad Kholid Syarif (peneliti Trunojoyo, Sampang). Keekstreman dilanjutkan menjadi metode dengan sendirinya. Apa yang saya temukan sebagai catatan, bisa mungkin menjadi diary terhadap kurator, semacam laporan etnografis atau analisis singkat karena keterbatasan waktu maupun finansial.
Saya kira, ini perjalanan tantangan yang tidak mudah dalam menemukan ekosistem yang sebetulnya memang tidak pernah dimiliki. Tetapi, saya mengalihkannya dengan sebutan ekosistem ekstrem. Keesktreman itu bisa dikelola dengan menciptakan banyak metode. Tentunya, ini sebagai catatan laboratorium untuk mengembangkan diri saya dalam menyelesaikan masalah tubuh yang ekstrem, kepada jejaring yang lebih luas. Setidaknya, harapan dari platform ini memiliki pintu dasar pengelolaan keekstreman untuk mengembangkan wacana.
Potongan Arsip Belén Cerezo: dalam Pengembangan Wacana


Makalah Belén Cerezo What is it “to move” a photograph?, 2015, ‘Artistic tactics for destabilising and transforming images’, tesis doktoral di Nottingham Trent University, merupakan penelitian kerja akademis PhD-nya di Nottingham Trent University, yang menyajikan dan mengkaji penelitian/karyanya; bagaimana Cerezo membuka cara pandangnya? Pertanyaan ini dijadikan sebagai studi kasus yang mencoba atau menyoroti taktik performance-lecture sebagai metode kritis yang penting dalam penelitian artistik; posisi informan dalam yang juga disadari penuh sebagai peneliti, dalam peran kolaborasi untuk mengembangkan wacana di Sampang. Di mana performance-lecture adalah bentuk hybrid dan heterodoks (menyimpang dari konvensi sebelumnya) yang mengandung komponen performatif dan diskursif, yang kemudian ditempuh oleh Syamsul Arifin dalam mendekati Trunojoyo melalui kemaritiman.
Sejak era 1990-an, performance-lecture menjadi terkenal dalam praktik artistik kontemporer dan sejumlah seniman visual maupun pertunjukan yang menggunakan format ini semakin terus bertambah. Makalah Daniel Ladnar (akademisi di Department of Theatre Film and Television Studies, Universitas Aberystwyth; sebuah universitas negeri berbasiskan riset yang terletak di Aberystwyth, Wales), 2013, The lecture performance: contexts of lecturing and performing, mempunyai fokus pada penelitian artistik, dan tujuan dari makalah ini adalah untuk menganalisis bagaimana performance-lecture beroperasi sebagai metode yang menghasilkan pengetahuan baru, menggambarkan interogasi penelitian/karya, dan membuka perspektif yang berbeda dari sebelumnya, sehubungan dengan arsip, montase, dan taktik artistik yang disebut oleh Cerezo sebagai ‘dokumen pertunjukan’; dalam operasi dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi, kategori visual yang diam ataupun visual yang bergerak, dan ‘pertemuan afektif’ yang berasal dari diskursif presentatornya.
Sifat atau ciri utama dari performance-lecture, yang sangat memungkinkan variasi yang tidak terbatas, tergantung pada konten pekerjaan dan juga pada bentuk presentasinya. Daniel menjelaskan bahwa sedikit sekali bibliografi dalam bahasa Inggris tentang gagasan ini dengan ditemukannya performance-lecture, lecture-performance, dan performative-lecture, di mana perbedaannya juga masih tidak jelas; yang saya lihat secara keseluruhan proses atau praktik kerja dalam platform ini[3] beririsan dengan ketiganya. Analisis dan kajian tentang praktik kerja menjadi fokus utama dalam mempertemukan pengetahuan, menemukan metode pendekatan praktik kerja, dan menyelesaikan masalah keterbatasan/keekstreman.
Wacana tentang performance-lecture, jauh ke belakang sebelum era 1990-an, merujuk pada makalahnya Cerezo: bahwa menurut beberapa penulis, performance-lecture berawal dari bagian tradisi kuliah seniman dan sejarah pertunjukan. Misalnya, pada tahun 1964; pemeragaan ulang yang dilakukan oleh Robert Morris (1931-2018, pembuat patung, pertunjukan, tari, dan objek seni konseptual, Amerika); kuliah seni-nya Erwin Panofsky (1916-65, sejarawan seni, Jerman/Amerika), ‘studi dalam ikonologi’, dirujuk sebagai performance-lecture pertama kali di dunia. Contoh lain dari performance-lecture sebelum era 1990-an, adalah slide Hotel Palenque dari tahun 1969-72 oleh Robert Smithson (1938-73, seniman, Amerika), dan juga ceramah yang dikembangkan oleh David Abram Antin (1932-2016, penyair, Amerika). Tetapi, pada perkembangannya, saya juga melihat bahwa sebagian besar video telah menjadi bahan utama dalam setiap lecture. Karenanya tampak sekilas ada semacam hubungan antara performance-lecture dan film-essay, atau essay-film, sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Cerezo. Hal ini juga menjadi bagian kecil yang dilakukan dalam platform Hari Ini Belajar Sejarah.
Fokus makalah Cerezo terletak pada bagaimana gagasan performance berpartisipasi dalam karya penelitian? Platform ini juga bertolak dari tujuan gagasan sebagai laboratorium menjadi pengembangan wacana. Diperiksa olehnya bagaimana gagasan performance dan performativitas beroperasi dalam taktik artistik yang disebut ‘dokumen pertunjukan’ sebagai hal yang cukup identik dengan lecture dalam performance. Syamsul juga melakukan taktik platformnya dalam perlintasan pengetahuan; informan dalam yang mengalami kebuntuan dengan dirinya yang hendak membuat jalur evakuasi kebekuan. Dan proses praktik platform ini, secara tidak langsung, dipenuhi dengan catatan, sketsa-sketsa, rekaman suara, dan video, serta rekam jejak digital sebagai dokumen dengan ujaran, yang dijadikan rute utamanya.
Cerezo menegaskan bahwa ujaran itu sendiri dalam lecture memiliki ‘kekuatan performatif’ karena menghasilkan, sebagaimana adanya sesuatu. Belakangan, menurutnya, para filosof lain seperti Jacques Derrida (1930-2004, Aljazair/Prancis), Judith Butler (filsuf dan teoritis gender, Amerika), dan Maurizzio Lazzarato (sosiolog, Italia/Prancis) telah mempelajari pengertian performativitas. Bagi Derrida, tindakan performatif mengandung kekuatan transformatif dan provokatif. Butler membahas bagaimana identitas dan gender dibangun melalui tindakan yang dilakukannya sendiri; oleh karena itu mereka bisa berubah atau cair dalam pemahamannya, dan konsep bertutur itu sendiri merupakan bentuk tindakan. Istilah ‘melakukan’ dalam dokumen pertunjukan, diterapkan pada aktivasi produktif yang terjadi dalam ‘perjumpaan afektif’ untuk mengikuti ide-ide yang ditulis dan dibahasnya.
Refleksinya adalah, bahwa performance-lecture, yang kemudian berkelindan dengan lecture-performance, performative-lecture, dan beberapa istilah yang serupa, bisa menjadi sebutan pondasi utama Hari Ini Belajar Sejarah. Syamsul mencoba menganalisis fungsi ceramah/suara dalam penelitian/karya ke dalam praktik kerjanya; juga berfungsi di luar pertunjukannya. Justru, praktik proses platformnya jauh lebih memiliki suara, sebagaimana dirinya sering kali membahas bagaimana teori didapatkan, wacana direbut, dan data-data dihasilkan sebagai pengetahuan dengan cara eksperimental. Wacana ini direfleksikan dari praktik kerja performance-lecture oleh Cerezo yang bagi Syamsul dapat menjadi penting untuk pertanyaan artistik. Melalui taktik ini, diselesaikannya dan direfleksikannya, serta dikonseptualisasi secara terus menerus. Termasuk, memecah problematika dari kolaborasi. Oleh karena itu, bagi Syamsul, dalam kaitannya dengan masalah diskursif, performance-lecture dilihat sebagai suara yang berbeda, baik yang terjadi di hadapan publik secara umum layaknya sebuah platform maupun di hadapan informan dalam setiap kali menatap Trunojoyo. Saya menatapnya jauh lebih menegangkan dan dibutuhkan kerja-kerja analisis yang ketat dalam menghadapinya; problematika yang cenderung baper, batasan motif ekonomis dan swadaya yang samar, kebekuan yang akut parah, dan relasi pertemanan yang cenderung menonjol, serta konstruksi-konstruksi ‘mapan’ yang tidak berarti apa-apa yang tidak disadari sebagai malapetaka dan penyebab terhambatnya suatu pengetahuan.
Sejarah ditempatkan atau diposisikan sebagai Apa?

Pertanyaan mendasar adalah, ketika saya tidak mengetahui tentang sejarah Trunojoyo, bagaimana cara saya mendekati sejarah itu sendiri melalui praktik kerja informan dalam? Apakah dengan membaca berbagai macam buku terkait Trunojoyo, atau jurnal, yang sebetulnya tidak terlalu banyak, lantas saya bisa langsung mengoperasikan sistem kerja kekaryaan ini, yang hanya terbatas oleh waktu dalam dua bulan? Jawabannya tentu saja tidak, karena sebagian informan dalam juga tidak memahami betul siapa Trunojoyo, termasuk programer sekaligus kurator Hari Ini Belajar Sejarah, Syamsul Arifin. Jadi, kami bekerja dengan praktik riset artistik yang bertolak dari ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakmengertian siapa sebetulnya Trunojoyo dan untuk apa mempelajari Trunojoyo.
Fadzil Shufina (penyair) bertolak atau menunjuk langsung sebuah Jalan Trunojoyo; pertanyaan ketidaktahuan di kepala, di Madura; ada berapa Jalan Trunojoyo? Di setiap Kabupaten, adakah nama Jalan Trunojoyo? Saat itu, juga coba ditelusuri dengan bala bantuan Google Map, memang setiap Kabupaten di Madura ada nama Jalan Trunojoyo. Lantas, kalau di Kabupaten di provinsi lain, adakah jalan Trunojoyo? Tentu ada, seperti di Bantul, Surakarta, Batu, Semarang, Malang, Kediri, Sidoarjo, Jember, Jakarta Selatan, Mojokerto, Purworejo, dll.
Fadzil langsung melakukan satu praktik kerja penelusuran sepanjang jalan kurang lebih 3 km di Jalan Trunojoyo, Sampang, yang ditandai dengan polres Sampang, yang berujung dengan monumen Trunojoyo atau sebaliknya. Penelusuran ini membawa kesan yang paling mencolok ditatap dari aspek ekonomi. Terutama ekonomi kecil dan ekonomi besar. Penunjukan ini berdasarkan jumah keramaian dari konsumen, dan lintas generasi, sehingga tertuju pada warung nasi bebek dan supermarket yang pergerakan konsumennya tidak semasif di warung nasi bebek.
Pendekatan sejarah melalui nasi bebek, berusaha keluar dari kenikmatan dan kelezatan nasi bebek itu sendiri. Melainkan, Fadzil melakukan suatu kajian; bahwa dari sekian konsumen di Jalan Trunojoyo, jarang sekali ditemukan konsumen yang memahami tentang Trunojoyo. Bahkan, juga tidak diketahui bahwa nasi bebek itu berada di Jalan Trunojoyo dalam arsip-arsip video risetnya. Ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman dari jumlah konsumen nasi bebek maupun pedagangnya tentang Trunojoyo, tidak lantas dipahami sebagai satu sikap skeptis terhadap mereka. Tiga hal tersebut dipengaruhi karena sebagian besar dari mereka, khususnya pedagang nasi bebek memiliki daya juang untuk memperbaiki perekonomian keluarga menuju lebih baik, tanpa berpikir absensinya Negara, tanpa peduli tetek bengek yang dilakukan oleh sistem perkotaan, selain memperbaiki dengan caranya sendiri, tanpa juga melihat sejarah nama jalan yang disinggahi. Kami justru menatapnya bahwa, ini sebagian dari cara Trunojoyo untuk melawan VOC; penjajah, dalam melepaskan diri dari cengkeraman kemiskinan.
Pedagang nasi bebek bertahan hidup dengan omset 3 juta per hari tanpa mempedulikan ketidakhadiran Negara, sebagaimana bagian pola Trunojoyo pada 1674, memimpin pemberontakan terhadap raja Mataram Amangkurat I dan Amangkurat II dengan dukungan dari para pejuang asal Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong, agar terbebas dari kemiskinan yang terus merajalela. Hanya saja, para pedagang dan konsumen nasi bebek tidak serta merta melawan sistem yang dihadapi kini, atau jangan-jangan dengan ketidakpedulian terhadap sejarah nama Trunojoyo, menjadi nilai pemberontakan terhadap kemiskinan itu sendiri atas ketidakhadiran pengetahuan.
Sejarah ditempatkan sebagai ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman juga ditempuh oleh Deni Aji (komposer), dalam melakukan satu praktik kerja riset artistiknya. Di mana dirinya tidak lagi berfungsi sebagai informan dalam, tetapi juga bertindak sebagai periset dari hal-hal yang tidak diketahuinya. Pengumpulan data secara kuesioner yang semula dilakukan secara acak, merujuk pada generasi Z. Hasil awal yang ditunjuk menuju pada sebuah monumen Trunojoyo dengan alasan bahwa tempat itu dijadikan sebagai tempat plesir, ramai dengan beraneka ragam jualan, dan berhubungan dengan arsitektur; proses dan produk dari perencanaan, perancangan, dan konstruksi bangunan atau struktur lainnya, dari monumen itu sendiri. Dari ketiganya, ditemukan paling banyak tidak lain, alasan mereka datang ke tempat tersebut karena arsitektur dari monumen itu yang berbentuk bambu runcing, obeng, piramida, dll. Suara noise ini semakin menjadi tumpuan yang menarik untuk dilacak dari perspektif arsitektur atas kaitannya dengan Trunojoyo, yang praktiknya dilakukan secara persentase; mereka tidak sama sekali mengetahui tentang Trunojoyo.
Deni coba melakukan pendekatan karyanya, yang tidak musikal, atau musik bukan musik. Bisa mungkin sebagai bunyi dari arsitektur itu sendiri. Dan kami semua berada dalam arsitektur perkotaan yang juga noise, dan bisa dilihat di balik dari ketidaktahuan bahwa generasi hari ini secara tidak langsung menyukai arsitektur. Apalagi melalui teknologi internet, seperti media sosial yang menawarkan ruang-ruang arsitektur yang beragam, sehingga dari pertemuan musik dengan arsitektur itulah kami mendekati sejarah Trunojoyo; yang memiliki pola atau kecintaan terhadap seni. Hal ini, secara subjektif, ditandai dengan pilihannya untuk kembali ke bentengnya di Kediri. Dilakukan oleh Trunojoyo selepas jatuhnya Plered, yang menyebabkan Amangkurat I melarikan diri ke pantai utara bersama putra sulungnya Amangkurat II dan meninggalkan putra bungsunya Pangeran Puger.
Deni seakan mengatakan bahwa dari pertemuan arsitektur dengan musik; menghasilkan kata “bukan”, juga sebagai satu catatan kritis dari pola nilai seni Tunojoyo, khususnya pada arsitektur ditandai oleh generasi Z (1996-2010), menemukanmonumen berdasarkan dari arsitektur media sosial, yang juga sejalan dengan pandangan arsitek Romawi, Vitruvius tentang bangunan yang harus memiliki firmitas (kekuatan), utilitas (kegunaan), dan venustas (keindahan). Hal ini memiliki daya tawar, yang bisa mungkin dijadikan bunyi dari TikTok, bunyi dari status WhatsApp, ataupun Instastory, yang juga menyasar pada nilai-nilai ekonomis atau keuntungan secara individu, juga dilakukan oleh Trunojoyo dengan menjarah hasil jarahannya. Yang bisa mungkin lagi dari bunyi ini membuat generasi Z di Sampang mendapatkan keuntungan secara personal, ketimbang sibuk berjalan pada sistem perkotaan yang juga dinilai rumit dan pelik sebagai catatan kritis.
Hal lainnya yang dapat dibaca oleh Deni atas kerja kolaborasi ini, bahwa arsitektur sebagai modus kerja: wacana kritis terhadap terhambatnya distribusi dan sirkulasi pengetahuan tentang Trunojoyo. Di mana juga berkaitan dengan generasi yang jauh lebih hadir sebelumnya, atau kemampetan ini. Yang dinilai berlindung pada nilai-nilai kereligiusan, sekaligus ingin ditegaskan bahwa Trunojoyo tidak lain seorang santri. Santri yang memiliki suara lantang melalui pengetahuan arsitektur, dan berbagai macam pengetahuan lainnya. Wacana kritis dan pengetahuan yang bertemu ini saling bersinggungan dengan aspek ekonomis yang dikaji oleh Fadzil di sepanjang Jalan Trunojoyo; yang juga pelik dalam praktik proses platformnya. Saya merasa, dari proses dua bulan ini, ‘jalan sesungguhnya’ Trunojoyo yang penting diurai. Karena rutenya penuh dengan metode di antara tegangan praktik kuratorial dengan relasi ‘pertemanan’, swadaya, dan motif ekonomi. Irisannya sehubungan dengan unsur ketidakpercayaan, pandangan tentang sikap antikemanusiaan, teks-teks tujuan wacana yang dianggap “membahayakan” atau bermuatan dendam, dan lain sebagainya. Saya seakan merasa membayangkan berada di jalan panjang Trunojoyo era kini dalam menghadapi kesewenang-wenangan Amangkurat I; dan ketakutan hadirnya VOC di tanah kita. Kecurigaannya berhubungan dengan bagian berikut; saya hari ini merasa sedang menjajah diri saya sendiri melalui kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang terus membelenggu ketidakjujuran alasan kenapa VOC pernah hadir di sini, atau kenapa kita berada dalam platform ini.
Sejarah dipotensikan sebagai Apa dalam Menatap Hari Ini?
Pertanyaan ini tentu juga bertolak dari sejarah yang ditempatkan atau diposisikan sebagai ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman. Tetapi informan dalam, khususnya programer sekaligus kurator dalam program ini, juga saling memengaruhi dengan informan dalam lainnya, Hidayat Raharja (seniman, penulis, dan kepala sekolah). Syamsul menganggap Hidayat sebagai seniman yang cukup dihormati dalam menjalin atau mengembangkan wacana. Khususnya, untuk membaca dan memetakan perkembangan seni dan budaya di masa kini. Pilihan program itu, juga dipantik oleh Hidayat, yang dianggap sebagai rekan kolaborator sekaligus sebagai orang tua, yang juga menyadari pentingnya support system, dalam membangun ekosistem kesenian.
Catatan-catatan kritis yang muncul dari Syamsul juga sebagian juga dipantik oleh Hidayat, selain dari informasi pengetahuan jejaring luar yang didapatkannya selama ini, jejaring untuk mengembangkan ke dalam lanskap yang luas, dapat dihubungkan dengan upaya Trunojoyo dalam membangun satu relasi dengan Sultan Agung di Mataram, yang setelahnya dikuasai oleh Amangkurat I dan Adipati Anom (Amangkurat II). Trunojoyo merasa bahwa, pada jejaring pengetahuan untuk membangun atau memberantas kemiskinan diperlukan pola atau rujukan yang jelas. Terutama dalam membendung tipu muslihat VOC maupun membangun mental agar tidak melakukan konsesi ke VOC layaknya Amangkurat II, dalam ketidakberdayaan untuk terus mencintai tempat lahirnya.
Syamsul mendekati sejarah dengan intens melalui informan luar, yang kemudian tidak lagi diposisikan, tetapi sebagai kepanjangan tangan dari ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman untuk dipotensikan sebagai wacana kritis secara lugas dan lantang dengan cara menemukan pola-pola atau strategi apa yang dilakukan Trunojoyo; yang kemudian direfleksikan pada ruang biografisnya, dan bertolak dari fenomena sosial maupun budaya yang terjadi di Sampang.
Ruang biografis Syamsul yang dimaksud langsung merujuk pada latar belakang pertumbuhan dan perkembangannya sebagai generasi hari ini di lingkungan pesisir. Pekerjaan lainnya sebagai nelayan, tak bisa dipungkiri membuatnya melacak kembali sejarah maritim di Nusantara ini, sebagai dampak dari jejaring yang sudah dilakukan sebelumnya di luar kota Sampang. Pengetahuan yang hendak diuraikannya, bahwa pada abad ke-16 sampai abad ke-17 akhir, disebut sebagai tanda-tanda runtuhnya kerajaan maritim di Nusantara. Seperti Banten, Makassar, Mataram, Bone, dll. Dan setelah itu, disusul dengan krisis kebudayaan. Hal ini juga berkaitan dengan pengetahuan strategi Trunojoyo untuk menguasai daerah pelabuhan dalam melawan kesewenang-wenangan.
Ruang biografis ini, berkat jejaring pengetahuan yang luas, didekatkan dengan cara presentasi, atau disebut semacam performance-lecture; pertunjukan dengan mendudukkan kuliah sebagai subjek dengan didukung dokumen maupun arsip pertunjukan sehubungan dengan data pengetahuan “Segitiga Emas Nusantara” yang di dalamnya meliputi enam suku yang berorientasi sangat kental terhadap laut, di antaranya Bajau, Bugis, Buton, Madura, Makassar, dan Mandar. Maupun pengetahuan tentang kerajaan Maritim di Banten, sekitar pertengahan abad ke-17, yang dikenal sebagai sebuah bandar dagang dan kekuatan maritim yang penting dengan kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten antara 1651 sampai 1682. Dan dokumen tentang maritim di Makassar, merupakan bandar yang ramai dengan penduduk sekitar 160.000 orang, dengan kepemimpinan Sultan Malikussaid (1639-1653).
Saya melihatnya bahwa sejarah Tunojoyo dipotensikan sebagai pengetahuan kritis bahwa keterlibatan VOC di dalamnya, yang dapat diidentifikasi dengan kesewenang-wenangan, selalu berkelindan dengan orang-orang yang memanfaatkan kekuatan besar. Layaknya di Banten, kelalaian Raja Haji (penerus Sultan Ageng), di Bone-Makassar, melalui Aru Palakka, dan di Jawa, melalui Adipati Anom (Amangkurat 2) yang sebelumnya Amangkurat I, juga bertindak sama. Kesewenang-wenangan yang dimaksud juga beririsan dengan pengetahuan hari ini. Karena banyak juga kini pengetahuan dimiliki banyak orang, salah satu di antaranya kaum elite sosial, yang ditentang oleh Trunojoyo yang sejatinya menjadi manusia yang humanis dalam memperoleh pengetahuan.
Pola-pola humanis lewat maritim yang dimiliki Trunojoyo menjadi penghubung kritis antara problem yang terjadi di daratan dengan strategi kemaritiman. Bagaimana pengetahuan kemaritiman yang didekatkan dengan pola Trunojoyo sebagai wacana kritis dan membombardir sejuta permasalahan di kota Sampang, yang menyasar isu-isu tipisnya nilai-nilai kemanusiaan, perubahan ekologi yang terjadi di laut dan darat, dan miskinnya distribusi maupun sirkulasi pengetahuan, sekalipun dipercayai bahwa dari masa ke masa, manusia Sampang khususnya sebagai genetik dari kecerdasan dan kejeniusan seorang Trunojoyo. Syamsul dapat didudukkan sebagai seseorang yang sedang menempuh pengetahuan, dengan menyeimbangkan pengetahuan dan kemanusiaannya dalam membangun wacana kritis; krisis ekologi terkait ekosistem laut, kesadaran lingkungan sehat, berlangsungnya proyek Jalan Raya Lintang Selatan yang dianggap merampas hidup masa depan generasi mendatang dengan membabat lahan pertanian, maupun posisi gawat darurat kebudayaan maritim, dengan berkembangnya teknologi penangkapan ikan. Penggunaan jaring yang dikenal dengan “pukat harimau”, dengan tendensi merusak terumbu karang di dasar laut yang notabene menjadi bagian penting bagi ekosistem laut.
Catatan kritis yang diusung Syamsul tentu saja tidak berdiri sendiri, karena ditatap oleh Hidayat dalam hubungan kolaborasi untuk mengembangkan wacana kebudayaan, yang sebetulnya problem-problem itu sebagai krisis kebudayaan yang juga dirujuk oleh Trunojoyo untuk melihat kebudayaan. Seyogyanya berhubungan dengan nilai-nilai etik dan moral. Tetapi kenyataannya hari ini, pola-pola yang ditawarkan Trunojoyo, tidak betul-betul dirujuk sebagai referensi. Atau hilangnya hal itu semua. Dan untungnya support system yang dilakukan oleh Hidayat terhadap Syamsul seakan memberi ruh, dalam mengikat satu kerja dramaturgi; yang bertolak dari kota, kereta, dan daul kombo. Lainnya, menatap pola keteguhan Trunojoyo dalam memegang prinsip dan tindakan. Sketsanya dibangun juga atas potensi wacana kritis di antara kenangan dan pertumbuhan Sampang saat ini; yang seakan-akan menjadi ciri dari ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman.
Tiga hal di atas, selalu saya sebut sebagai satu ikatan kerja dramaturgi; yang menurut saya bisa dipotensikan sebagai catatan kritis atas hadirnya sebuah gereja yang berada di dekat pertokoan yang tetap kukuh berdiri tanpa ada papan yang menjelaskannya sebagai sebuah gereja yang kerap dilakukan kebaktian para jemaatnya; lalu stasiun yang pernah menjadi tempat singgah kereta api dari Sumenep menuju Kamal masih kokoh berdiri dengan segala kenangannya yang dirobek, dilengkapi memori kolektif yang masih terus terjaga yakni sebuah musik saur yang lebih dikenal dengan “daul kombo,” musik yang sederhana dengan iringan kendang, beduk, dan pianika dengan corong yang terbuat dari kertas kardus untuk pelantang suara penyanyinya. Memori kolektif ini, langsung dapat dibaca, bahwa produk yang notabane milik publik, tanpa ada kaitannya dengan sistem perkotaan, masih lebih terjaga dan tegak teguh keberadaannya, seakan-akan tidak lagi menganggap ketidakpedulian dari apa yang sedang terjadi saat ini. Saya membaca ini potensi wacana kritis yang dihadapkan oleh Hidayat, bahwa publik lebih bisa merawat ingatan dan arsip masa lalu, merujuk pada bangunan yang terus diikuti dengan narasi-narasi lampau, hingga masuk pada sejarah Trunojoyo. Membuat saya berpikir ulang bahwa Hidayat bersama Syamsul tampak menciptakan ikatan yang saling terkait, atau ikatan yang saling bergandengan tangan bagaimana masa lalu dijaga melalui sketsa sebagai potensi untuk menengok kembali taktik artistik Trunojoyo, melalui “daul kombo” yang mungkin hari ini kita bersama-sama sedang kehilangan taktik-taktik artistik dalam melihat arsip dan ingatannya.
Sejarah Diganggu sebagai Apa dari Generasi Hari Ini, dalam Relasi Lokal-Global?
Kata kunci terakhir sebagai pamungkas adalah ketidakpedulian; yang bisa saya urai melengkapi ketidaktahuan, ketidakmengertian, dan ketidakpahaman, yang ditemukan dari informan dalam, Ibni Rokhi Al Farizi (perupa dan karyawan kafe) bersama Monica Wara Santi (penari dan koreografer, Surabaya). Pemilihan Rokhi yang memang berasal dari Sampang, bersama kekasihnya yang baru tinggal di Sampang, sebagai keturunan Flores-Kalimantan, menurut saya adalah cara bagaimana sejarah diganggu untuk tidak peduli, tidak mau tahu, dan bersikap bodo amat. Sengaja saya narasikan sebagai bagian akhir, di antara wacana kritis Syamsul dan Hidayat, karena sejarah diposisikan, atau sejarah diganggu sebagai apa, payungnya ada dalam sejarah yang dipotensikan. Maksudnya, sekalipun diposisikan maupun diganggu untuk bersikap bodo amat, tetapi di balik itu semua ada bagian dari catatan kritis itu sendiri.
Saya menyebutnya tidak peduli, sikap bodoh amat, dan “emang saya pikirin” sejarah Trunojoyo, tidak serta merta lantas dipahami begitu saja bahwa Trunojoyo ditinggalkan. Karena semakin kita merasa tidak penting, tetapi setiap waktu, Trunojoyo dinarasikan terus-menerus, sehingga cukup mengganggu Rokhi yang memang tumbuh dan berkembang di dekat Monumen Trunojoyo, maupun berbatasan dengan Jalan Trunojoyo, membuatnya berkeinginan sesekali untuk bertanya pada orang-orang, terutama sesepuh ataupun orang tua; siapa Trunojoyo, dan juga dilacak dari ‘Mbah Google’, yang juga tidak terlalu banyak ditemukan informasinya. Bahkan, dinilai mengalami kesimpangsiuran.
Sikap tidak peduli yang menimbulkan hasrat ingin tahu; secara tidak langsung berada dalam praktik kerja yang terganggu. Rokhi maupun Monica yang memang sejatinya tidak pernah bekerjasama dengan konsep kolaborasi pengembangan wacana, yang muaranya dari laboratorium; seolah-olah juga tidak peduli dengan kehadiran kurator ataupun dramaturg. Sikap cuek bebek terhadap tawaran bagaimana membongkar urutan metode praktik penciptaan dari Rokhi, maupun mengevakuasi paradigma Monica atas karya sebelumnya; yang juga mengalami satu sikap “bodo amat” dalam hubungan kerjanya. Hal ini seperti melemparkan relasi lokal-global melalui Monica di kota yang bisa disebut dalam distribusi maupun sirkulasi pengetahuan mengalami satu problematika. Seakan-akan mengatakan prinsip keteguhan Trunojoyo dalam melawan kesewenang-wenangan, dan kecintaan tanahnya dari serbuan modernisasi yang dilakukan VOC, sekalipun berujung kematian Trunojoyo.
Pasukan VOC, yang terdiri dari pasukan bersenjata ringan dari Makassar dan Ambon, di samping tentara Eropa yang dipersenjatai lengkap, dapat menumbangkan Trunojoyo di tahun 1678-79, yang tentu VOC dilengkapi dengan pengetahuan. Jika hal ini direfleksikan pada platform Hari Ini Belajar Sejarah, dengan wacana praktik kerja kurator dan dramaturg justru menjadi bumerang karena ketidaksiapan nalar logis. Sama halnya ketika masa lalu memberikan kesempatan pada VOC melakukan transaksi perdagangan, yang berujung “kekerasan simbolik” antara pribumi dengan pendatang, atau perlintasan pengetahuan dalam menghubungkan relasi-global.
Istilah “kekerasan simbolik” ini justru menjadi ruang analisis atau kajian sepanjang proses platform, dan di awal sudah dijelaskan performance-lecture, lecture-performance, maupun performative-lecture dengan sendirinya sudah berlangsung dan terjadi di dalam ‘ruang belakang’ platform itu sendiri. Seperti sedang menyaksikan platform tanpa penonton, dan platform tanpa pengkarya. Karena kami yang terlibat seperti sedang mencari-cari penontonnya, dan karyanya sendiri, yang selalu ditekankan bahwa proses riset artistik lebih utama ketimbang hasil akhir. Tetapi keekstreman yang akut menjadi bekunya jalur evakuasi dalam konteks kolaborasi. Jadi tak ayal; dari lecture ini di luar publik, sepanjang proses semacam lokakarya, yang terus berlangsung hingga dipresentasikan ke hadapan publik, dan publiknya sendiri yang disasar utama adalah generasi hari ini; tidak menutup kemungkinan justru belajar sejarah melalui lokakarya wacana yang sudah dipresentasikan maupun direpresentasikan oleh Syamsul dkk. Platform ini dapat saya pahami dalam kerja dramaturgi; secara tidak langsung lokakarya dijadikan sebagai modus kerja dalam pengembangan wacana. Di mana diharapkan dapat menumbangkan pemahaman yang ‘mapan’ sebelumnya, yang juga tidak dapat berarti apa-apa, untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih bersifat majemuk ketimbang ketunggalan makna yang bersifat statis. Terlepas itu, kebekuan dan kebuntuan dalam hal ini malah menjadi menarik, karena sifatnya terus diganggu, ditandingkan, atau diintervensi secara tidak langsung oleh Syamsul maupun saya untuk melengkapi satu praktik kerja dramaturgi; tubuh, biografis, dan keekstreman dalam rangka mendistribusikan dan mensirkulasikan pengetahuan pada konteks yang lebih luas. *
Endnotes:
[1] Lihat Moh. Romli. “Kuasa dan Moral Pangeran Trunojoyo Madura.” Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019.
[2] Lihat James P. Spradley. Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2006 (edisi kedua), hal. 13.
[3] Catatan editor: yang dimaksud oleh penulis sebagai “platform” adalah proyek seni Hari Ini Belajar Sejarah. Kata ini akan ditemukan lagi pada bagian-bagian selanjutnya, untuk merujuk proyek Hari Ini Belajar Sejarah.
Pingback: Menatap Hubungan Kolaborasi dalam Pengembangan Wacana – Rimpang Nusantara