"Pengantar Proyek", Akar Rimpang, Ragam Tenun Ragam Ingatan
Leave a Comment

Ragam Tenun Ragam Ingatan

Daftar Isi

Pengantar | Riset dan Produksi | Presentasi Publik | Diskusi Publik | Wawancara Seniman

Ragam Tenun Ragam Ingatan

Inisiator Proyek:
Engel Seran

Kolaborator Proyek:

  • Lembaga: nu Kolektif
  • Individu: Alfred W. Djami (Peneliti dan desainer), Nasrijal (Ilustrator), Emilio Rafel (Peneliti dan juru dokumentasi), Sofia Bekalani (Desainer pakaian/fesyen), dan Ibu-ibu Penenun Desa Sadi.

Lokasi Pelaksanaan Proyek:
Kota Atambua, dan Kelurahan Sadi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur

Lokasi Presentasi Publik:
Gd. Gereja Lama – Paroki Tritunggal Maha Kudus, Jalan Naikes, Desa Sadi, Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur

Latar Belakang dan Gagasan Proyek:

Tenun ikat di Kabupaten Belu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Sejak dulu, sudah ada dan melekat dalam budaya di Belu. Tradisi ini diturunkan oleh leluhur kepada generasi-generasi setelahnya. Hingga kini.

Motif pada kain tenunan sangat beragam. Ada yang berupa binatang, bagian-bagian dari tumbuhan, manusia, rumah adat, dan juga simbol-simbol yang abstrak. Masing-masing motif mengandung informasi tentang cerita sejarah. 

Ada jenis kain tenun yang dulunya hanya boleh dipakai oleh kalangan-kalangan tertentu. Misalnya, kain tenun dengan motif  Dikur (Tetun) atau Nugu (Kemak) yang secara harafiah artinya tanduk, dulu hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Ada juga kain dengan motif ayam jantan (Manuaman) yang dikenakan oleh para pejuang perang. 

Dari orang-orang tua, ada cerita-cerita tentang bagaimana kain tenun diproduksi pada masa lalu. Mulai dari kapas yang dipintal dengan tangan menjadi benang, kemudian dengan beragam teknik dibuatlah bentuk-bentuk motif. Dari daun, kulit kayu, lumpur, terciptalah warna-warna. Ini adalah sepenggal cerita tentang kain tenun di Belu. 

Dalam program-program pemerintah, kelompok tenun menjadi sasaran program bersifat pemberdayaan pada setiap tahun. Benang-benang industri buatan pabrik dan macam-macam pewarna sintetik/kimia dibagi-bagi kepada kelompok tenun. Harapannya, agar proses menenun menjadi lebih mudah dan tidak memakan waktu lama agar bisa cepat dijual. Pendekatan ala pemerintah ini berjalan sudah cukup lama sehingga beberapa pendekatan/metode tenun yang diturunkan oleh leluhur di masa lampau (yang alamiah) menjadi tidak lagi diturunkan dan semakin dilupakan.

Pada masa kepemimpinan lima tahun terakhir (2016-2020), lewat program PKK/Dekranasda, pewarnaan dengan sumber bahan alami kembali lagi diangkat. Para penenun diundang oleh Ibu Bupati untuk mengikuti pelatihan-pelatihan pewarna alami. Pelatih-pelatih yang dari luar Belu diundang untuk berbagi ilmunya.

Para penenun yang sudah sekian lama merasa “nyaman” dengan pewarna sintetis/kimia diarahkan untuk kembali bereksperimen dengan sumber-sumber pewarna yang ada di alam. Pewarnaan alami membutuhkan waktu yang lebih lama. Tidak semua penenun mau kembali menggunakan pewarna alami. Namun, ada jaminan pasar (dengan harga yang lebih tinggi) yang diberi oleh pemerintah sehingga ada juga kelompok-kelompok yang mau menjalankan proses pewarnaan secara alami. Sementara kini, Belu berada dalam masa transisi kepemimpinan, juga dilanda situasi pandemi yang membingungkan. Hal ini membuat pasar kain tenun alami mengalami guncangan. Banyak penenun yang hasil kerjanya menumpuk dan akhirnya terpaksa dijual lebih murah dari harga biasanya. 

Melihat kondisi ini, ada hal yang kami rasa masih kosong dalam proses yang kami coba jabarkan di atas. Dari hasil diskusi dengan beberapa sumber, kami menemukan ada begitu banyak ragam motif di Belu. Namun, sayangnya, itu tidak terlihat pada kain-kain tenun yang diproduksi pada masa sekarang. Motif-motif leluhur itu juga sudah susah diakses oleh generasi muda sekarang, juga oleh para penenun yang rata-rata sudah berumur. Arsip-arsip dokumentasi sejarah yang berisi tentang informasi (visual dan tulisan) begitu sulit diakses karena arsip-arsip itu disimpan di museum-museum luar negeri. Kain-kain peninggalan warisan pusaka leluhur yang disimpan di rumah adat juga sudah habis dijual oleh generasi penerusnya. Kain-kain sakral yang mengandung narasi-narasi sejarah itu sudah tidak lagi sakral. Memori tentang leluhur juga akhirnya perlahan redup.

Dalam rangka program Rimpang Nusantara, kami, bersama para penenun, akan mendokumentasikan cerita-cerita dalam bentuk visual, yaitu simbol-simbol yang mengandung cerita-cerita seputar kehidupan penenun di masa kini. Khususnya, pada penenun yang mempunyai keterampilan ikat motif, atau, dalam bahasa di Belu, disebut dengan futus

Dalam proses penciptaan sebuah kain tenun, ada beberapa tahap yang perlu dilalui. Mulai dari mengguling benang, lalu disusun, diikat (futus) menjadi motif, pencelupan, baru pada tahap terakhir ditenun menjadi kain.

Kemampuan untuk ikat (Futus) adalah hal yang tidak dimiliki oleh semua penenun. Di desa Sadi yang telah kami coba kunjungi, misalnya, kurang dari 10 orang ibu yang bisa ikat (Futus). Padahal, dalam proses penciptaan kain tenun bermotif, kemampuan ikat adalah inti. 

Motif-motif yang kini diproduksi juga terkesan “monoton”. Tidak begitu beragam. Ada beberapa motif nenek yang diwariskan oleh orang tua yang secara repetitif dibuat, namun cenderung narasi yang mengikutinya kian terlupakan.

Tujuan Kegiatan Proyek

Sebagai orang yang bekerja di bidang visual design, saya merasa media tenun menarik untuk di eksplorasi. Sembari tetap mencari narasi-narasi masa lampau dari motif leluhur, dalam kesempatan menjadi partisipan Rimpang Nusantara ini, saya, teman-teman dan para penenun futus akan berkomunikasi, berkolaborasi, dan mendokumentasikan cerita cerita yang ada pada masa kini lewat kain tenun.

Dunia masa kini berubah begitu cepat. Kain tenun akan menjadi media yang merekam cerita-cerita. Kami akan memulai dari cerita-cerita yang ada pada kehidupan dan lingkungan para penenun ikat (Futus) yang kami ajak berkolaborasi. Cerita mengenai kesehariannya sebagai perempuan, ibu, istri, penenun, juga pengetahuannya tentang sumber pewarna alami, proses ekstraksi warna, dan proses pewarnaannya. 

Kisah-kisah yang kami dengar dalam proses ini akan ditransformasi ke dalam bentuk visual yang kemudian akan diaplikasikan dalam media tenun. 

Diharapkan dari proses kolektif ini, kami dapat memperoleh cara pandang yang baru berkaitan dengan sebuah proses penciptaan seni lewat kain tenun.

Bentuk Kegiatan Proyek

Langkah awal kami memulai kegiatan ini ialah, memulai percakapan dan cerita dengan masyarakat Adat Sadi, Suku Kemak, tentang ingatan masa lalu, tentang bagaimana sekarang mereka bisa ada di Belu, khususnya Desa Sadi.

Dalam ingatan tersebut, bahwa proses perpindahan mereka ke wilayah Timor Tengah bagian barat, adalah satu gerakan perlawanan terhadap kaum penjajah di negeri matahari terbit, yakni Timor Portugis yang kini menjadi Timor Leste. Dan ini sepenggal cerita saja dari ingatan di masa lampau. Sesungguhnya, wilayah yang ditempati Suku Kemak di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur saat ini adalah sebuah tanah pelarian. Orang Kemak atau warga Suku Kemak berasal dari beberapa tempat di Timor Leste. Alasan dari pelarian ini sangat dipengaruhi oleh dinamika politik kekuasaan yang terjadi di Timor Timur pada masa kolonial Portugis, ekspansi militer Indonesia, dan konflik perang saudara yang terjadi. Perjalanan orang-orang Suku Kemak dari Timor Timur ke wilayah Belu mengalami beberapa fase, yakni: Fase pertama, tahun 1910-1912, ratusan tahun dijajah Portugal, baru pada tahun 1910 sampai 1912, orang Timor melakukan pemberontakan yang cukup besar buat mengguncang keadaan. 

Perlawanan itu dikenal sebagai Pemberontakan Manufahi. Portugis dengan gaya memimpinnya telah melemahkan kekuasaan dan pengaruh Raja Suku Kemak sehingga muncullah tindak perlawanan dan pemberontakan. Namun, dengan kekuatan senjata yang terbatas maka Raja Suku Kemak beserta rakyatnya harus meninggalkan tanah leluhur mereka dengan melakukan perjalanan mencari pemukiman baru di wilayah Timor bagian utara. 

Fase kedua, integrasi Indonesia dan Timor Leste. Masyarakat Suku Kemak yang berada di Timor Timur waktu itu memilih untuk keluar dari tanah mereka karena merasa trauma atas kejadian pertumpahan darah yang telah terjadi dimasa-masa silam.

Fase ketiga terjadi pada tahun 1998-1999 yang disebabkan oleh perang saudara yang terjadi di Timor Timur. Perubahan dinamika politik tersebut berdampak pada perpindahan Suku Kemak secara besar-besaran ke wilayah Belu dengan alasan keamanan serta mengikuti sanak keluarga yang sudah mendahului mereka untuk menetap di Belu sejak dua dasawarsa terakhir.

***

Tenun ikat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan Suku Kemak. Khususnya, bagi perempuan-perempuan Suku Kemak. Pada ritual yang berhubungan dengan kelahiran, Tenun sudah ada sejak bayi berumur 40 hari. Di mana pada masa itu bayi akan dikeluarkan dari rumah dan dipangku di bawah sinar matahari. Pada saat itu pula, alat tenun akan ditaruh dekat si bayi sekalian diperagakan. Dalam kehidupan sehari-hari, menenun menjadi aktivitas inti yang dilakukan di sela-sela pekerjaan lain. 

Pola hidup Suku Kemak, dalam ironi perjalanan mereka, tidak mengubah aspek yang penting dalam keberlanjutan hidup. Mata pencaharian pokoknya bercocok tanam di ladang dan beternak. Tanaman utama di ladang adalah padi dan jagung, yang sekaligus menjadi makanan pokok. Mereka juga menanam keladi, ubi kayu, labu, dan sayur-sayuran. 

Hewan peliharaan yang terpenting adalah sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Ternak peliharaan itu digunakan untuk konsumsi sendiri, kepentingan upacara, dan keperluan mempertahankan gengsi. Mata pencaharian tambahan adalah berburu, bertenun, dan membuat anyaman. Berburu dilakukan pada waktu senggang sesudah pasca panen.

Struktur pemerintahan menurut adat yang pernah berlaku pada masyarakat Kemak, seperti halnya pada suku bangsa lainnya di Pulau Timor, dikuasai oleh kelompok kerabat tertentu. Kelompok kerabat ini menganggap dirinya sebagai keturunan pembuka pertama daerah yang didudukinya. Mitologi mereka menggambarkan golongan itu sebagai keturunan dewa yang turun dari langit dan kemudian mendirikan kerajaan. Penguasa adat yang tertinggi adalah Loro (Raja). Stratifikasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada dekat atau jauhnya hubungan darah dengan Raja, yaitu keturunan raja, kaum bangsawan, golongan tua-tua adat, dan rakyat biasa.   

Dalam kisah perjalanan yang begitu berat maka hal-hal menarik yang bisa kita lakukan untuk memberdayakan masyarakat Suku Kemak, khususnya kaum perempuan, adalah berkolaborasi dengan mereka dalam konsep tenunan tanpa mengurangi nilai sejarah perjalanan, tradisi, adat istiadat, dan ingatan-ingatan yang dapat diwujudkan dalam motif-motif tenun. Selain itu, dalam upaya ini, bukan semata berarti membudidayakan kebiasaan menenun, tetapi juga mengangkat nilai sejarah dan perasaan leluhur Suku Kemak di masa lalu dan relevansinya hingga sekarang dalam bentuk desain tenun yang menarik tapi juga merepresentasikan banyak makna yang terdapat dalam Suku Kemak, khususnya perempuan-perempuan Kemak.

Poin penting yang bisa diakses dalam media tenun yang dikerjakan bersama perempuan Suku Kemak di antaranya :

1. Menjadikan Tenun sebagai Penghubung

Dari aspek geografi, motif tenun Suku Kemak dengan ciri khasnya menunjukkan adanya hubungan antara Suku Kemak yang ada di Timor Leste sebagai tempat asal suku Kemak di Belu. Sekaligus menunjukkan hubungan persaudaraan yang kental dalam struktur Suku Kemak dan jejak-jejak perjalanan leluhur. Dengan demikian, motif tenun yang akan ditawar tidak terlepas dari kisah-kisah perjalanan orang-orang Suku Kemak mencari tempat yang aman di tempo-tempo yang silam.

Dari aspek pola hidup, motif tenun akan dibuat berdasarkan kehidupan Suku Kemak dalam berinteraksi dengan sesama manusia, lingkungan, alam sekitar, dan leluhur. Dimana alam sebagai pemberi kehidupan yang berlalu menjadi saksi perjalanan dan keberlangsungan hidup Suku Kemak. Tenun menjadi elemen penting dalam ritual kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Menjadi simbol hubungan antarkeluarga. 

2. Menjadikan Tenun sebagai Ingatan

Dengan tenun yang dibuat oleh perempuan Kemak, dikemaslah ingatan atau rekaman momen penting yang selalu ada dalam pikiran mereka. Motif tenun yang dirancang menjadi wujud ingatan yang dulu hanya sebatas cerita turun-temurun menjadi sebuah kisah yang dituturkan dalam bentuk tenunan. Misalnya, kisah heroik para tentara Kemak ataupun kisah sejarah yang ditemui dalam proses pelarian. Tentunya, kisah-kisah yang dialami Suku Kemak yang bisa berkuasa, sedih, atau haru, maupun kisah sedih dan intrik.

3. Menjadikan Tenun sebagai Perpindahan

Riwayat perpindahan tempat tinggal Suku Kemak menjadi aspek yang penting untuk dituturkan lewat tenun. Pilihan untuk sebuah perpindahan bukan pilihan gampang. Ini pilihan yang berdasarkan keputusan bersama para tokoh-tokoh adat, serta keluarga yang terkait. Perjalanan pada masa eksodus berisi cerita-cerita yang sarat dengan narasi hidup-mati para pendahulu, dinamika konflik, narasi tentang kepemimpinan, dan pentingnya keputusan untuk masa depan segenap suku. Titik-titik persinggahan menjadi penanda sekaligus ikatan sejarah antarmanusia. Hubungan pendatang dengan “orang asli”, kesepakatan-kesepakatan sakral yang terjalin dengan sebuah tempat yang bukan hanya untuk persinggahan semata, tapi juga hubungan kehidupan.

4. Menjadikan Tenun sebagai Artefak

Tradisi menenun sudah ada sejak dulu. Kapan dan siapa yang memulai masih menjadi teka-teki. Tradisi ini melekat, menjadi bagian dalam segala aspek kehidupan, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Perubahan zaman turut menentukan kokoh atau rentan-nya “keutuhan” narasi dari para pendahulu. Dalam ritual-ritual adat, tenun merupakan salah satu elemen penting yang merepresentasikan keterwakilan, atau kehadiran, para leluhur. Tenun disimpan pada tempat-tempat yang sakral dan hanya dikeluarkan pada masa-masa tertentu, yaitu masa-masa ketika ritual-ritual diadakan. Para pendahulu yang sudah meninggal bukan hanya dikenang lewat cerita-cerita tutur. Mereka hadir lewat tenun.

Output Proyek

Dari cerita singkat dan beberapa poin di atas, kami mencoba merancang sebuah konsep untuk proyek seni berjudul Ragam Tenun Ragam Ingatan. Proyek ini menciptakan satu motif kain tenun baru berdasarkan ingatan dan respon terhadap cerita-cerita masyarakat Suku Kemak. Bentuk presentasi dari kegiatan ini, antara lain buku, film dokumenter, dan pameran arsip.

Kembali ke Daftar Isi

RISET DAN PRODUKSI

(Konten dalam pengembangan)

Kembali ke Daftar Isi

WAWANCARA SENIMAN

Kembali ke Daftar Isi

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.