Catatan Redaksi: Berikut ini merupakan teks yang dibaca oleh Syamsul Arifin pada karya “performance lecture” yang ia lakukan dalam rangka proyek Hari Ini Belajar Sejarah. Teks ini dimuat di website Cemeti dalam rubrik “Esai” sebagai salah satu arsip program Rimpang Nusantara.
[Cuplikan video pidato kebudayaan oleh Hilmar Farid. channel youtube jakartanicus]
Abad 16-17 Risalah Kerajaan Maritim Di Nusantara
“Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke Utara. Sebaliknya, dari Utara sekarang ke Selatan, karena atas angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”[i]
Tuban berhasil diselamatkan tapi pada saat bersamaan lautan sudah jatuh ke tangan orang lain, dan dengan begitu menurut Wiranggaleng, “…nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.”[ii] Setelah dua ratus tahun setelah keruntuhan Majapahit kerajaan maritim, seperti Banten dan Mataram. Ciri utama dari periode sejarah ini adalah perdagangan. Sejarawan Anthony Reid bahkan menyebut periode sejarah ini sebagai zaman keemasan perdagangan maritim, the age of commerce di Asia Tenggara. Tapi zaman keemasan itu tak bertahan lama. Kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara inilah yang membantu kita melihat akar dari gerak memunggungi laut di masa sekarang.
Selama dua ratus tahunan setelah keruntuhan Majapahit ada puluhan kerajaan maritim yang bermunculan silih-berganti. Saya akan tajamkan fokus pada dua di antaranya, Banten dan Makassar. Bukan sekadar karena kemegahan masing-masing sebagai kota perdagangan, tetapi karena dinamika sejarahnya bisa menerangi penglihatan kita mengenai abad ketujuh belas yang teramat penting dalam sejarah kita.
Saya mulai dari Banten, kota pelabuhan di ujung Barat pulau Jawa. Selama berabad-abad para penguasa dan penduduk dari wilayah itu sudah melakukan pelayaran antarpulau dalam skala yang kecil dengan tujuan berdagang. Tapi kemunculannya sebagai sebuah kerajaan maritim yang berpengaruh dimulai ketika kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono dengan bantuan Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin, merebut Banten pada tahun 1527. Maulana Hasanuddin kemudian diangkat menjadi sultan yang pertama. Seperti kerajaan lain di masa itu, Banten juga melakukan ekspansi dengan mengirim armada lautnya ke berbagai daerah. Sementara tentara daratnya masuk ke pedalaman. Di seberang lautan, Banten berhasil menguasai Lampung dan membuka kontak dagang dengan para penguasa di sejumlah pelabuhan di Sumatera, sementara di pedalaman Banten mengakhiri riwayat kerajaan Pakuan Pajajaran.
Seratus tahun kemudian, sekitar pertengahan abad ketujuh belas, Banten mulai muncul sebagai sebuah bandar dagang dan kekuatan maritim yang penting. Di mata sejarawan waktu puluhan tahun sampai seratus tahun itu singkat saja. Bagi arkeologi yang menekuni evolusi manusia dari Pithecantropus erectus sampai Homo sapiens, seribu tahun itu kedipan mata. Skala waktu sengaja dibuat menjadi rapat agar bisa melihat perubahan yang terjadi.
Banten tumbuh sebagai bandar dangan yang terkenal di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten antara 1651 sampai 1682. Ia dibantu oleh dua orang penasehat asal Tiongkok yang masuk Islam, yang pertama adalah Kyai Ngabehi Kaytsu, dan kemudian penggantinya, Kyai Ngabehi Cakradana. Keduanya berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ke Laut Cina selatan, termasuk dengan panglima pasukan dinasti Ming, Guoxingye. Saat kapal panglima ini merapat di Banten para pekerja dan penduduk takjub melihat kemegahannya.
Sultan Ageng juga dibantu oleh orang Inggris, Denmark, dan Portugis dalam menjalankan pemerintahannya. Sementara Cakradana mengurus pembangunan kota, merancang dan mendirikan bangunan batu dan jembatan. Maka para penasehat Eropa membantu Sultan Ageng mengembangkan armada kapalnya, melatih pasukan militernya. Banten, seperti juga Ternate, Makassar, dan banyak kota pelabuhan lain di Nusantara adalah kota Internasional. Kalau hanya cerita seperti film The Last Samurai (2003) karya Edward Zwick atau Anna and the king (1999) karya Andy Tennant, kita punya stock berlimpah. Masalahnya, orang lain kemudian mampu mengangkat cerita semacam itu ke dalam kebudayaan populer sementara kita tidak. Bukan terutama masalah modal, tenaga, dan teknologi, tapi terutama masalah wawasan dan kebudayaan.
Selamat pagi Bapak/Ibu, dan seluruh murid SMA 4 Sampang yang saya cintai, beserta seluruh teman-teman yang hadir dalam program “Hari Ini Belajar Sejarah.” Salam budaya. Salam sejahtera untuk kita semua. Semoga kita selalu diberi kesehatan dan diberkati oleh sang pencipta. Sekali lagi terima kasih telah menyempatkan hadir pada kesempatan kali ini. Kita berjumpa di sini sebagai upaya menatap kembali masa lalu sosok Trunojoyo.
[Jeda (Putar lagu Trunojoyo)]
Demikian tayangan ulang pidato bapak Hilmar Farid; membuat saya menemukan satu poin yang sama atas ambruknya kebudayaan maritim di Nusantara, yaitu terjadinya degenerasi, yang ditandai dengan keterlibatan VOC di dalamnya. Kerajaan Banten, misalnya, lewat kelalaian Raja Haji (penerus Sultan Ageng), bersekutu dengan VOC untuk menjatuhan kerajaan Demak, sementara di Sulawesi, tepatnya di Bone, Aru Palakka juga bekerja sama dengan VOC untuk menaklukkan Makassar sebagai pelabuhan internasional, dan persekutuan ini berulang kembali di Mataram, yaitu Amangkurat I juga bersekutu dengan VOC dalam pemberontakan Trunojoyo ke Mataram di abad ke enam belas.
[Slide: Di era sekarang ini, kita berada dalam problem yang krusial: ketimpangan pembangunan, misdefinisi kebutuhan, stereotipe, krisis ekologi dll.]
Pada puncak kejayaan kerajaan maritim dari pertengahan abad ke-15 dan akhir abad ke-17 inilah kejayaan dan kebudayaan maritim runtuh secara bertahap. Hilangnya sebuah lahan tidak hanya menyebabkan hilangnya sebuah tanaman dan kehidupan ekonomi, tetapi juga hilangnya cara hidup, yaitu kebudayaan. Di sinilah akar historis masalah kebudayaan dan cara berpikir praktis yang menyebabkan tumpeng-tindih karena sebuah kepentingan tertentu. Batas antara keberhasilan dan kegagalan menjadi samar, dan proyek akan kemajuan dalam membayangkan hidup modern yang sehat di masa depan menjadi tidak mungkin terjadi karena cara pandang kita yang tidak lagi berbijak pada ekosistem yang ada dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Dan semoga tidak terlalu salah jika saya menyimpulkan bahwa akan terjadi suatu yang serupa, yaitu kegagalan di masa lalu, boleh jadi, akan terulang kembali di masa kini dan di masa mendatang.
Sengaja saya memilih lagu yang Anda dengarkan barusan, tak lain adalah sebentuk penghormatan atas seluruh pengetahuannya di masa lalu melalui perjuangannya atas ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Meski pada akhirnya kembali pada kenyataan, tidak lain adalah kegagalan.
[Slide: foto raport Syamsul tayang di antara teks yang sedang dibaca]
Sekitar tahun 2000, saya mulai menginjakkan kaki di Sekolah Dasar (SD). Masa-masa itu di mana saya mulai bersosial dengan siswa-siswi dari berbagai latar belakang atau kelas sosial yang beragam. Namun, satu hal yang penting untuk saya ingat waktu itu, bahwa saya adalah murid yang gagal. Saya selalu bolos di setiap jam pelajaran ilmu sosial atau pelajaran sejarah. Rasa kantuk dan jenuh sering muncul saat mendengarkan materi tersebut. Jelas waktu itu saya tidak tahu betul mengapa keadaan itu terjadi. Saya hanya merasakan kebosanan waktu itu. Tetapi beberapa tahun belakangan ini saya mulai gelisah dan memiliki beberapa pertanyaan tentang kurikulum sejarah dalam pendidikan kita: Mengapa pelajaran sejarah minim peminatnya? Apakah mereka juga merasakan hal yang sama dengan yang saya alami beberapa tahun silam, yaitu membosankan, atau apakah mungkin ada masalah dengan metode pengajaran, atau justru problemnya pada metode dalam penulisan kurikulum sejarah itu sendiri?
Saya tidak tahu apakah pertanyaan tersebut sebagian di antaranya melanggar etik atau tidak. Saya tidak tahu. Namun juga perlu digarisbawahi bahwa pertanyaan itu lebih kepada soal-soal materi pelajaran dan sejumlah kegelisahan saya tentang minimnya pelajar hari ini yang menggemari kurikulum sejarah. Secara spesifik tentang narasi lokal kita. Dalam proses riset yang saya temukan, khusunya dalam buku pelajaran sejarah, misalnya, narasi yang hadir cenderung bersifat narasi arus utama. Narasi global. Sialnya, kita dituntut untuk terus-menerus menghafalnya. Lalu bagaimana dengan narasi lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di berbagai tempat di nusantara? Jika boleh saya simpulkan bahwa dalam buku pelajaran sejarah dalam pendidikan kita, nyaris tidak ada narasi lokal yang hadir. Contoh, sejarah Trunojoyo, misalnya. Maka tidak heran, ketika salah satu kawan saya saat melalukan wawancara terhadap pelajar hari ini, tidak banyak yang tahu tentang Trunojoyo. Kalaupun ada, itu hanya diketahui oleh generasi sebelumnya atau generasi tertentu yang memang memiliki disiplin bacaan di luar konteks sekolah. Maka dari kasus ini, bahwa pengetahuan akan sejarah tidak menyebar secara merata, sehingga pengetahuan tentang sejarah terbilang terbatas. Tetapi, apakah penting belajar sejarah, dalam hal ini sejarah Trunojoyo, misalnya? Menurut saya, bukan soal penting atau tidak penting.
Belajar sejarah sebagai suatu kemungkinan terjadinya produksi pengetahuan baru yang dilandaskan dengan kerja eksplorasi pikiran dalam menemukan inti dari peristiwa yang terjadi di masa lampau, sehingga dapat mengembangkan daya kreativitas dalam kerja bernalar, dan sebagai upaya membangun sikap kritis untuk masa depan yang sehat. Dengan bahasa yang lebih lugas, bahwa mempelajari sejarah bukan lagi untuk menarasikan ulang kisah perjuangan Trunojoyo, tidak juga menghafal nama kerajaan-kerajaan di Nusantara atau nama raja-raja yang memerintah. Bukan lagi menghafal tahun kapan peristiwa peperangan terjadi, dst. Barangkali benar pengamatan Bapak Bambang Budi Utomo dalam catatan kritisnya mengenai kurikulum sejarah dalam pendidikan kita.
Saya kutip: “Apabila kita cermati buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, maka yang terbaca isinya tentang kerajaan-kerajaan di Nusāntara, perang antar-kerajaan, dan setelah masuknya kolonialisme Eropa. Perang antar-kerajaan diakibatkan oleh adu-domba penjajah untuk keuntungan mereka. Penulisan sejarah yang demikian boleh jadi disebabkan karena dalam penulisannya menggunakan pendekatan sejarah politik. Akibatnya, banyak kerajaan di Nusantara yang saling berebut wilayah karena politiknya berbeda. Keadaan seperti ini sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa ini.
Dalam kitab sejarah yang kita baca, isinya tidak lain tentang kerajaan-kerajaan dan kejayaannya, kecuali dari masa prasejarah, diungkapkan mengenai peralatan dan sistem mata pencaharian hidup. Penulisan sejarah dari masa setelah masuknya kebudayaan India, jarang sekali ditemukan hal yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian hidup dengan peralatannya, hubungan perdagangan antarwilayah dengan moda transportasinya, dan bagaimana masyarakat hidup dalam lingkungan alam yang berbeda-beda. Buku-buku sejarah Indonesia umumnya berisi tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara, tahun-tahun pemerintahan setiap raja yang berkuasa, dan tahun-tahun penting peristiwa sejarah. Inilah yang harus dihafal para peserta didik, sangat membosankan. Karena itulah mata pelajaran sejarah sangat tidak populer di kalangan peserta didik.”
Hari Ini Belajar Sejarah tidak bermaksud dalam rangka mencari kebenaran akan sejarah. Buat saya, itu tidak mungkin saya temukan. Sebab, sebagaimana kita ketahui, narasi sejarah selalu memunculkan ruang abu-abu. Namun, saya ingin mengajak Anda semua untuk melihat ulang narasi masa lalu. Sejarah menjadi penting untuk kita lihat ulang. Tidak juga sebagai agenda mengenang atau romantisme belaka. Melainkan sebagai ruang belajar untuk meraih sebuah pengetahuan. Saya yakin bahwa… katakanlah problem yang terjadi hari ini merupakan bagian dari apa yang pernah terjadi di masa lalu. Masa kini bukanlah suatu yang terpisah atau berdiri sendiri sebagai kenyataan yang tunggal. Oleh sebab itu, masa lalu dan masa kini merupakan realitas yang saling berkelindan antara masa kini dan masa lalu atau sebaliknya. Kegagalan hari ini sebetulnya disebabkan oleh kegagalan di masa lampau.
Terkait kasus ini, saya akan berangkat dari hasil temuan dan sudut pandang saya mengenai sosok heroik, yaitu Trunojoyo. Apakah Anda yang ada di ruangan ini pernah mendengar ceritanya? Baik, saya akan menceritakan dengan sangat singkat juga informatif.
Masyarakat Madura berkeyakinan bahwa Trunojoyo adalah seorang Pahlawan, meski di sisi yang lain Trunojoyo dianggap sebagai pemberontak karena melawan kepemerintahan kerajaan Mataram. Tepatnya di era Amangkurat menduduki tahta Mataram. Kegaduhan saat itu karena kelaliman Amangkurat sebagai raja. Amangkurat adalah seorang raja penerus yang keji terhadapat rakyatnya, berbeda dengan Ayahnya, Sultan Agung, saat menjadi raja Mataram sebelumnya. Amangkurat begitu murah tangan mengeksekusi mati jika ada yang tidak sepemikiran dengannya. Trunojoyo tidak suka saat mendengar perilaku jahat Amangkurat. Di sisi lain, Adi Pati Anom pun tidak suka dengan Amangkurat, karena tahta kerajaan tidak diberikan kepadanya. Pemberontakan Trunojoyo tidak saja dipicu oleh ketidaksukaan Trunojoyo terhadap raja yang semena-mena pada rakyat Mataram, tetapi juga ada peran Adi Pati Anom yang meminta pertolongan untuk menyingkirkan Amangkurat dengan cerita kekejiannya sebagai raja. Tanpa Trunojoyo ketahui, bahwa ada maksud lain dalam diri Adi Pati Anom. Tanpa banyak pertimbangan, Trunojoyo menerima permintaan Adi Pati Anom. Saya tidak ingin bicara bagaimana perang itu berlangsung, siapa yang menang, dan siapa yang kalah, buat saya itu usang. Toh, pada akhirnya Amangkurat dan Trunojoyo sama-sama dikalahkan. Kemenangan Amangkurat atas kekalahan Trunojoyo adalah kekalahan yang lain bagi Mataram atas kemenangan VOC dengan memberikan upeti berupa kawasan pesisir di sepanjang pantai utara Jawa dan mengganti biaya peperangan saat VOC membantu Mataram melawan Trunojoyo dan para sekutunya. Kekalahan Trunojoyo melawan Mataram adalah kemenangan total bagi VOC. Tidak terlalu selisih jauh waktunya, bahwa pada abad ke-16 sampai abad ke-17 akhir, masa itu juga menandai runtuhnya kerajaan maritim di nusantara. Dan setelah itu, disusul dengan krisis kebudayaan. Sekurang-kurangnya, saya bertolak dari abad ke-16 sampai abad ke-17, di mana era itu Mataram mengalami guncangan dan secara berdekatan juga menjadi peristiwa penting dalam sejarah; runtuhnya kerajaan maritim di nusantara. Seperti Banten, Makasar, Mataram, Bone, dan seterusnya, sebagaimana potongan pidato kebudayaan Bapak Hilmar Farid.
Peristiwa itu, dalam kaitannya dengan kawasan pesisir atau pelabuhan tidak lain adalah sebagai ruang strategis bagi VOC melancarkan perniagaannya. Di sini kemudian dapat kita nyatakan bahwa laut adalah pintu pertama terjadinya sebuah peradaban. Artinya, laut memiliki peran penting dalam peradaban nusantara. Sebagaimana untuk melancarkan niaga dari tempat ke tempat yang lain dengan moda transportasinya menggunakan kapal.
Dalam konteks yang lebih spesifik lagi, selain laut memiliki peranan penting sebagai jalur peradaban atau peristiwa sejarah, laut telah beribu-ribu abad menjadi sumber pertama dalam hidup manusia. Laut memberikan fasilitas tak terbatas dengan kekayaan di dalamnya yang juga menjadi bagian dari kebudayaan kita.
Salah satu butir penting melacak sejarah Trunojoyo adalah tentang pola. Yang perlu kita telusuri adalah bagaimana kerangka berpikirnya? Misal, strategi semacam apa yang ditawarkan Trunojoyo sebelum memutuskan untuk menyerang musuhnya? Trunojoyo jelas tidak mungkin bertindak gegabah. Ia pasti memikirkan taktik berperang. Layaknya militer sebelum menggencarkan aksinya. Geografi menjadi hal penting yang disadari oleh Trunojoyo. Trunojoyo terlebih dahulu menguasai daerah pelabuhan (di mana dan apa nama pelabuhannya?). Nah, dari sini kita bisa lihat suatu kemungkinan pola yang menarik. Kendati demikian, laut di era itu memang menjadi ihwal penting dalam peristiwa bersejarah dalam peradaban nusantara. Namun, laut kita hari ini tak lagi sama wajahnya. Situasi laut kita hari ini sedang berada dalam kondisi yang mengenaskan. Jika di abad ke-16 terjadi peristiwa sejarah terkait runtuhnya kerajaan maritim yang disebabkan oleh peperangan untuk kepentingan kekuasaan, dan pada saat ini sedang berlangsung sebuah krisis ekologi terkait ekosistem laut, yang disebabkan oleh gagasan kapitalisme para kaum elite. Namun tidak dapat pula kita pungkiri bahwa kita sebagai konsumen, alpa tentang kesadaran lingkungan sehat. Dua era ini dengan dua kasus spesifik itu, sama-sama memiliki efek yang saling terhubung satu sama lain; yaitu, krisis kebudayaan. Salah satu contoh konkret saya akan berangkat dari catatan perjalanan riset saya 3 tahun belakangan ini.
[Tampilkan judul ini di siluet proyektor: Gawat Darurat Kebudayaan Maritim]
Masyarakat pesisir memiliki perangai yang keras/pemberani/tangguh, kreatif, bertindak cepat, adaptif, peka terhadap situasi sekitarnya. Sebagaimana orientasi hidup masyarakat pesisir pada umumnya bergantung pada situasi laut yang berubah-ubah. Demikianlah laut ikut andil menjadi bagian dari sejarah (karakter) masyarakat pesisir yang tidak dapat kita lepaskan sebagai bagian dari sejarah hidup sekaligus kebudayaannya. Etos kerja “ambantal omba’ asapok angen” (‘berbantal ombak, berselimut angin’) menjadi bukti bagaimana kemudian berbagai aspek dari kehidupan sosial-budaya menjadi instrumen atas sejarah tubuh masyarakat pesisir.
Seorang nelayan terbiasa hidup dengan berbagai kejutan yang (kadang) datang secara tak terduga. Seperti yang saya sebutkan barusan, perihal situasi laut yang berubah-ubah; seperti munculnya badai, gelombang besar, petir, hantu laut, dll. Mereka terbiasa dengan ancaman tersebut, bahkan saat di tengah lautan yang gelap, kematian seperti sedang menatap dirinya. Sebagaimana falsafah perempuan (pesisir) Madura: saat seorang istri mengantar suaminya sampai ke geladak kapal, itu sama halnya dengan mengantarkan pada kematian sang suami. Oleh sebab itu, kematian menjadi suatu yang akrab dalam kehidupan seorang nelayan. Dari beberapa hal paparan tersebut, sebagaimana perangai masyarakat pesisir yang telah saya sebutkan di paragraf sebelumnya, perjalanan hidup di laut yang seperti itulah yang membentuk karakter mereka.
Jika bahaya di laut yang dekat dengan sebuah kematian bukan lagi menjadi suatu ancaman dalam diri seorang nelayan, dengan kata lain sebagai suatu yang biasa bahkan tidak menjadi sebagai suatu hal yang mengerikan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama kehidupan seorang nelayan berada dalam ancaman kematian yang lain: matinya kebudayaan. Matinya kebudayaan tersebut disebabkan oleh krisis ekologi yang tampaknya marak terjadi di lingkungan perairan.
[Dokumentasi kapal nelayan di pesisir Branta, dan gambar pukat harimau]
Di era sekarang ini, kita berada dalam problem yang krusial: ketimpangan pembangunan, misdefinisi kebutuhan, stereotipe, krisis ekologi, dll.
Salah satu contohnya ialah dengan berkembangnya teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring yang dikenal dengan “Pukat Harimau”, saat itulah kebudayaan maritim mulai terancam. “Pukat Harimau” adalah sebuah jaring penangkapan ikan yang praktiknya bertendensi merusak terumbu karang di dasar laut yang notabene menjadi bagian penting bagi ekosistem laut. Praktik dalam penggunaan jaring tersebut (Pukat Harimau) ,yaitu dengan cara diturunkan dari dek kapal sampai ke dasar laut, kemudian ditarik dengan kapalnya dalam keadaan berjalan. Jelas bahwa yang disasar oleh nelayan yang menggunakan teknik ini adalah ikan yang notabene hidup di dasar laut dan terumbu karang adalah habitat yang menyokong berlangsungnya ekosistem bawah laut. Dari pemaparan singkat barusan, jelas dapat kita simpulkan bahwa jika terumbu karang dirusak atau mati, tidak hanya kekayaan alam laut yang terancam, organisme dalam laut pun terancam, dan tidak luput hidup manusia juga demikian.
Pada tahun 2019, saya pernah melakukan perjalanan riset artistik di pesisir Pambusuang, Polewali-Mandar, Sulawesi Barat, dalam program residensi kesenian. Sedari awal, saya memilih fokus ruang observasi saya di kawasan pesisir. Di sana saya juga menjumpai dinamika sosial, perubahan budaya, beserta tegangan yang berlangsung di saat/sesudah pembangunan tanggul beton di sepanjang bibir pantai Pambusuang sampai ke ujung desa sebelahnya. Pembangunan tanggul beton mengganggu proses pembuatan kapal khususnya, juga ketika hendak melarungkannya serta membatasi ruang (space) berlabuhnya kapal usai melaut.
Alasan saya begitu tertarik menelusuri atau mempelajari hal-hal dari ruang pinggiran seperti pesisir, atau kebudayaan maritime, adalah, pertama, saya meyakini bahwa ruang pinggiran menyimpan banyak narasi sejarah yang menarik sekaligus memiliki peran penting mengenai peradaban di nusantara. Seperti peradaban Islam dengan praktik penyebarannya yang beriringan dengan praktik niaga, dan akulturasi budaya yang berlangsung saat itu, juga hal sekitarnya. Kedua, tentang isu sentralisasi, bahwa kota/tengah seolah menjadi sesuatu yang sentralistik dalam berbagai hal, mulai dari sosial-politik, budaya atau identitas, ras, dan segala macam mobilitas modernisme serta tete-bengek lainnya.
Saya melihat hal-hal unik dari peristiwa nelayan dengan kapal saat bekerja sebagai nelayan di kampung saya sendiri. Saya punya praduga bahwa nelayan tertentu memiliki hubungan erat dengan kapal dan menganggap kapal lebih dari sekadar alat transportasi. Kemudian kecurigaan itu saya dekati saat saya bekerja atau melaut di kampung saya sendiri maupun saat perjalanan observasi di Pambusuang, Polewali Mandar. Kapal pada dasarnya dimaknai sebagaimana mahkluk hidup. Lebih luas dari pada praduga itu, saya ingin mempelajari dan melihat sejarah Indonesia melalui perspektif pinggiran. Ruang pinggiran seperti pesisir, menurut saya, adalah identitas bagi Indonesia itu sendiri, yang lebih spesifik, yang primordial. Saya menganggap ruang pinggiran adalah juga sejarah Indonesia. Ruang pinggiran adalah pintu utama awal mula terjadinya sebuah peradaban di Nusantara, atau yang sekarang berubah nama menjadi Indonesia. Meski pada akhirnya, ruang pinggiran akhir-akhir ini tampak teralienasi oleh otoritas pusat/kota yang seolah-olah perkembangannya berdiri sendiri, menjadi sentralistik dalam aspek kebudayaan, politik, juga ekonomi.
Ruang pesisir sebetulnya bisa kita imajinasikan sebagai benteng. Tetapi, sebagai benteng, rupanya ia belum cukup kuat di hadapan penjajah. Rapuh. Ia mudah ditembus dan tak terhindar dari berlangsungnya beragam praktik peradaban dan modernisasi. Hal lain, politik kekuasaan melalui segala macam cara, siasat, dalam praktik pendudukan di era kolonial, pintu masuknya juga sebagian besar lewat ruang-ruang pinggiran. Sialnya, sejarah serta kebudayaan yang ada di ruang pinggiran-pesisir ini mudah ‘terlupakan/tidak dibicarakan’ sebagai pintu pertama peradaban. Mudah dilupakan atau sengaja tidak dibicarakan sebagai entitas yang tak terpisahkan dalam sejarah nusantara. Adalah benar apa yang disampaikan Bapak Hilmar Farid dalam pidatonya, bahwa; “Kita telah lama bergerak memunggungi laut”. Laut tidak lagi ditatap sebagai subjek pengetahuan, atau pintu peradaban dan semacamnya. Laut hari ini lebih dimaknai sebagai objek wisata, yang memicu terjadinya sebuah pengrusakan ekosistem laut itu sendiri: dengan cara mereklamasi pantai, pengerukan pasir secara massif, dll., yang pada akhirnya menimbulkan matinya terumbu karang.
Gambaran yang juga jelas, perubahan nalar berpikir, dapat kita lihat pada realitas Madura saat ini. Setelah Madura berhasil diterobos oleh Jembatan Suramadu, percepatan ekonomi, infrastruktur dan teknologi yang berlangsung, sebagian besar telah mengubah lanskap Madura. Dalam konteks ekonomi-politik dan pengembangan kota, jelas barhasil. Tetapi perkembangan itu jelas juga memengaruhi cara pandang dan cara berpikir sebagian besar masyarakat Madura, juga cara masyarakat Madura bernegosiasi dengan pola-pola urban seperti Surabaya, misalnya. Untuk melihat lebih konkret visualisasi dari kata kunci-kata kunci yang telah saya sebut barusan, bahwa perubahan sosial-budaya, pembangunan, infrastruktur, percepatan ekonomi, tengah mengubah Madura saat ini, kita bisa menyaksikannya itu langsung melalui frame Bangkalan. Sebagaimana daerah yang lebih dekat dengan Surabaya sebagai pusat kota di Jawa Timur, sehingga masyarakat Bangkalan sangat mudah dan leluasa mengakses atau membuat relasi pertemuan sosial-budaya dengan kehidupan urban Surabaya.
Itulah alasan saya akhirnya menyebut ruang pinggiran sebagai salah satu benteng, meskipun pada kenyataannya ia belum cukup kuat. Dalam segala perkembangan arus globalisasi dan atau modernisasi itu, saya setuju dengan ujaran Afrizal Malna: “Kebudayaan lebih banyak diwarnai atau didikte oleh ekonomi dan politik.”
Masalah yang lain dari krisis ekologi; misalnya kita bisa lihat melalui bertumpuk-tumpuknya sampah yang bermuara di lingkungan pesisir, seperti di sungai, atau di sebuah pantai. Produksi plastik yang masif telah menjadi masalah ekologi dalam lingkungan makhluk hidup. Tidak hanya manusia saja tetapi makhluk hidup lainnya juga. Saat sebuah sungai atau pantai mulai tercemar oleh sampah, tidak hanya satwa yang hidup di sekitarnya yang terancam, kehidupan manusia sendiri juga terancam. Secara lebih luas, ancaman tersebut bukan tidak mungkin akan juga mengancam kebudayaan kita sendiri.
Kita selalu menginginkan sesuatu yang kita butuhkan, tanpa memikirkan suatu yang lain dari yang kita butuhkan: sebagaimana makhluk hidup, setiap hari kita mengkonsumsi kebutuhan hidup seperti panganan, makanan ringan atau camilan, dan jenis makanan lainnya yang diproduksi pabrik-pabrik dan terbungkus plastik. Dari sini, barangkali tidak salah jika saya ber-statement bahwa masyarakat kita hanya memikirkan hal yang mereka butuhkan untuk kepentingan hidupnya, tetapi nihil menyadari hal sekitarnya, misal sampah plastik yang kita konsumsi setiap hari. Lantas bagaimana dan di mana sampah itu berakhir? Sampah dalam konteks kita memang belum menemukan tempat yang jelas dengan pertimbangan ekologis dan kesehatan seluruh makhluk hidup di bumi.
[Tayangkan foto riset di Pambusuang, Polewali Mandar, dan dokumentasi pertunjukan di Muncar, Jawa Timur]
Demikian laut semacam menjadi ruang akhir dari perjalanan sampah plastik yang kita konsumsi setiap hari. Dan laut beberapa tahun belakangan ini, benar-benar berada dalam ancaman yang sangat serius, yang juga dapat berakibat fatal dalam kehidupan kita secara menyeluruh.
Ancaman matinya kebudayaan laut untuk masyarakat nelayan di sana, selain masalah sampah, juga terjadi di pesisir Muncar saat saya bermukim dan berkarya di sana pada tahun 2020 kemarin. Tanggul beton yang dibuat di pesisir Pambusuang, sebagai pemecah ombak agar pemukiman warga tidak digenangi air pada saat air pasang. Sialnya, tanggul tersebut pada akhirnya membatasi ruang gerak kapal para nelayan Pambusuang; nyaris tidak dapat lagi memarkirkan kapal. Apalagi untuk sekadar melarungkan kapal yang baru selesai dibuat, terhalang oleh tanggul beton.
Manusia tampak begitu lalai dan tidak mau berterima kasih pada alam sekitar yang merupakan pijakan fundamental dalam sejarah hidupnya. Bahwa hidup manusia berasal dari apa yang telah disediakan oleh alam semesta: tanah dan laut misalnya.
Bagian Akhir/Penutup
Dari Laut kita lanjut ke Darat.
Gagasan terkait mengembangkan Madura ini, sebetulnya, apa proyeksinya? Kita semua telah bersepakat bahwa Trunojoyo adalah sosok yang memiliki intelektualitas yang cukup mewadahi dan melalui peristiwa fenomenalnya dalam pemberontakannya terhadap raja Mataram itu, dapat juga saya sebut bahwa, Trunojoyo adalah sosok yang penuh dengan sikap kritis, namun juga humanis. Dan pada bagian ini, saya hendak mengimajinasikan diri saya sebagai Trunojoyo dengan kesadaran atau pemikiran kritisnya (Trunojoyo) sebagai suatu auto-kritik atas fenomana sosio-kultural di era sekarang.
Oleh karena itu, saya memiliki beberapa pertanyaan mendasar yang kemudian dapat menjadi refleksi kita bersama sebagai pengetahuan: kita sudah tidak asing lagi dengan proyek mengembangkan Madura. Pertanyaannya adalah, apakah mengembangkan sumber daya manusianya, atau justru gagasan pembangunan yang tampaknya tidak mempertimbangkan aspek ekologis? Saya tidak sama sekali menolak gagasan modernisasi melalui proyek pembangunan. Mau bagaimanapun, modernitas tidak dapat saya abaikan sebagai suatu realitas yang terus bergerak dan berkembang. Tetapi apa yang perlu dijalankan oleh gagasan modernisasi (pembangunan jalan lingkar selatan) ini; juga perlu mempertimbangkan sisi yang lainnya. Lebih-lebih gagasan pengembangan itu berkaitan dengan alam. Artinya, untuk mencapai Sampang modern dalam aspek pembangunan, maka perlu melihat kebertahanan ekologi lingkungan yang sebetulnya ia juga menjadi bagian dari ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga pembangunan dan keberlangsungan perekonomian berjalan seimbang. Sayangnya, gagasan pembangunan ini cenderung mementingkan capaian visual ketimbang sumber daya alam dan pengetahuan yang sebetulnya memiliki peluang dalam ekonomi berkelanjutan atau menuju masyarakat yang sejahtera. Tampaknya, ada problem mis-definisi dari awal tentang gagasan pengembangan, untuk sampai pada konsep kemajuan. Kemajuan hanya diartikan pada proyek pembangunan, bukan pada pengetahuan. Apakah dengan mengembangkan kultur perkotaan, harus sedemikian mengancam kultur agraris kita? Apakah parameter kemajuan sebuah daerah dan kesejahteraan masyarakat bergantung pada bagaimana tata kotanya, daripada pengetahuan bertani? Kita telah lama dimanjakan dengan pemandangan, ketimbang mengasah pengetahuan tentang pertanian atau tata-cara menangkap ikan di laut, misalnya. Inilah, salah satu jawaban faktual terkait apa yang disampaikan Bapak Hilmar Farid dalam pidatonya mengenai “krisis kebudayaan.”
Saya mengambil salah satu kasus terkait ini, yaitu pembangunan jalan raya Jalur Lingkar Selatan yang sedang berlangsung baru-baru ini. Jika latar belakang gagasan proyek ini tentang perkembangan sebuah kota dan sebagai akses jalan bagi masyarakat yang tinggal di pelosok desa, maka saya sangat mengapresiasi akan hal itu. Dan sudah sepatutnya, masyarakat yang tinggal di pedesaan mendapatkan fasilitas itu. Tetapi, jika proyek pembangunan tersebut memiliki latar belakang dengan mengatasnamakan “untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” adalah kekeliruhan yang amat sangat kompleks. Mengapa demikian, untuk meningkatkan nilai perekonomian masyarakat, hal yang paling sederhana sebetulnya adalah beri nilai jual komoditas yang diproduksi para petani dengan layak, dan distribusi pengetahuan yang memungkinkan dan berkembang saat ini terkait teknologi bertani. Saya rasa inilah yang diinginkan Trunojoyo.
Jika perlawanan Trunojoyo tidak lain adalah didasari atas nama kemanusiaan, dan karena kekejaman dari seorang raja dalam negara kecil bernama Mataram yang diampu oleh Amangkurat sebagai generasi penerus yang lalim, maka perlawanan Trunojoyo menjadi sah di sepanjang sejarahnya. Namun, di sini saya tidak berambisi untuk mempahlawankan Trunojoyo, tetapi melalui Trunojoyo saya hendak menatap era yang mengalami krisis dalam berbagai aspek dalam kehidupan dan kebudayaan. Dari sepanjang sejarah Trunojoyo yang dapat kita temukan dan dengarkan kisah-kisahnya dari ingatan kolektif masyarakat Madura maupun dari teks literatur, kemudian dapat kita sebut bahwa Trunojoyo adalah sosok revolusioner yang perlu kita jadikan contoh. Tetapi, sebagaimana seorang revolusioner yang dimodifikasi citranya sehingga dikenal sebagai pemberontak. Sementara kita tahu bahwa Trunojoyo berpihak pada kebenaran.
Saya sanksi dengan kata ‘Pemberontak’ yang dilekatkan dalam sejarah Trunojoyo. Sebab, kata itu lebih berorientasi pada sudut pandang kolonialisme, dalam sistem administrasi VOC untuk mengadu-domba, sehingga spirit Trunojoyo tidak lagi begitu penting untuk diperhitungkan. Anehnya, negara kita terhegemoni sehingga narasi tentang Trunojoyo sebagai pemberontak lebih dominan ketimbang ingatan kolektif masyarakat Madura tentang Trunojoyo. Sebagai hasilnya, kisah perjuangan Trunojoyo tersingkir dari kitab sejarah. Karena negara kita lebih bersepakat pada apa yang dikatakan para kaum kolonial ketimbang warganya sendiri.
Trunojoyo teralienasi dari kitab sejarah, tidak hanya kisah-kisah perjuangannya membela rakyat kecil yg ditindas oleh Amangkurat. Trunojoyo semacam direbut dan disingkirkan dari peta kurikulum sejarah, dan lokalitas yang kita miliki diambil kemudian dibuang jauh-jauh dari ingatan kita lewat pelajaran sejarah yang cenderung global narasinya. Demikianlah Trunojoyo tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Indonesia yang selalu disebut-sebut sebagai negara demokratis tidak lain hanya omong kosong belaka. Faktanya, negara ini tidak pernah adil sejak dalam sejarah.
Pemikiran yang patut diperjuangkan selalu berdekatan dengan tegangan. Tokoh-tokoh penting di masa lalu hampir semuanya memiliki riwayat hidup yang jauh dari ketenangan. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita mencurigai diri sendiri. Apa yang membuat kita setenang itu atau seperti mahkluk hidup yang tak memiliki tujuan hakiki? Jangan-jangan, kita hanya seonggok daging yang hanya kebetulan diberi nyawa tanpa sebuah tujuan. Saya rasa seandainya Trunojoyo masih hidup, tampaknya ia akan bicara hal yang senada. Sementara, kita selalu sibuk dengan perasaan-perasaan berkabung, jika bukan sebagai seremonial belaka dan tanpa kita merebut sesuatu di masa lalu sebagai pembelajaran dan pengetahuan. Pada akhirnya sampai pada kalimat penutup sebagai berikut ini:
Seberapa pentingkah mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawan nasional, sementara kita tunduk pada sistem negara?
Mengapa sangat percaya diri mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawan nasional, sementara dengan berlangsungnya proyek Jalan Raya Lingkar Selatan merampas hidup masa depan generasi mendatang dengan membabat lahan pertanian menjadi laju transportasi antar kota?
Mengapa sibuk mengurusi sejarah Trunojoyo, sementara sistem pendidikan di negara kita tidak peduli dengan sejarah Trunojoyo? Mengurusi bantuan rakyat miskin saja dibuat rumit. Lalu, kita bermimpi mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawanan nasional, apalagi bermimpi menjadi bangsa yang merdeka dan penuh akal sehat.
Pada akhirnya, kita adalah ahli waris yang tidak tahu apa-apa, tetapi sok tahu banyak akan narasi sejarah masa lalu. *
[i] Catatan editor: kutipan teks diambil dari potongan pidato kebudayaah Hilmar Farid. Lihat rekaman pidato pada link ini: https://www.youtube.com/watch?v=cWi5V_tHixI&feature=youtu.be
[ii] Ibid.
Pingback: Pameran “Hari Ini Belajar Sejarah” | CEMETI
makasih ya semoga artikelnya selalu menambah wawasan
LikeLike
Pingback: “Hari Ini Belajar Sejarah” – teks performance lecture Syamsul Arifin – Rimpang Nusantara