Akar Rimpang adalah salah satu subprogram dari Rimpang Nusantara. Setiap partisipan program Rimpang Nusantara menyelenggarakan kegiatan mandiri di lokasi mereka masing-masing, guna mengaktivasi sumber daya manusia dan potensi-potensi lokal yang ada di ranah kesenian.
Di tahun 2022, subprogram Akar Rimpang terdiri dari 13 proyek seni yang diinisiasi oleh 13 seniman partisipan program Rimpang Nusantara 2022. Masing-masing partisipan, bersama dengan kawan-kawan komunitasnya, menyelenggarakan proyek seni yang bersifat kontekstual dengan kebutuhan lokasi dan kehidupan masyarakat di kota mereka.

Tiga belas seniman partisipan Rimpang Nusantara 2022 beserta deskripsi ringkas tentang kegiatan Akar Rimpang yang sedang mereka jalani masing-masing, adalah sebagai berikut:

Rahmadiyah Tria Gayathri
Ama, sapaan akrabnya, bersama kolektif Forum Sudut Pandang menelusuri cerita tanah emas Sulawesi dalam lanskap yang lebih kecil di Sulawesi Tengah (Palu), yang dihuni ratusan ancaman bencana alam dan sosial. Ia mencatat ragam kerentanan dan warisan budaya investasi emas sebagai upaya untuk menciptakan narasi yang inklusif bagi warga yang terus diintai oleh ancaman kematian saat ingin mempertahankan tanahnya dari tambang-tambang mineral.

Robby Octavian
Bagi Robby, karya sastra Korrie Layun Rampan berjudul Upacara (1978) memaknai ritual sebagai hidup itu sendiri. Kejadian dan pola perilaku di sela-sela ritual hanyalah kumpulan elemen subliminal yang hadir untuk menopang dominasi ritual dalam proses kehidupan. Ia pun tergerak mengajak beberapa seniman di Samarinda untuk berkolaborasi menginterpretasikan karya sastra Upacara dalam perwujudan sebuah film dengan mengkontekstualisasikannya terhadap kondisi kota Samarinda.

Tajriani Thalib
Tajri mengelaborasi kegiatan Rupa Pia yang sebelumnya diselenggarakan pada tahun 2020. Kali ini, di dalam Akar Rimpang 2022, dirancang lebih menukik pada giat kerajinan perempuan Mandar. Ia melihat aktivitas membuat kerajinan, seperti tenun dan gerabah, tidak hanya sebagai giat ekonomi kreatif, tetapi juga menjadi ruang ekspresi bagi perempuan di wilayah tinggalnya. Rupa Pia tahun ini ia gelar sebagai rajutan ruang ekspresi dan apresiasi di mana perempuan pegiat kerajinan akan menampilkan hasil kerajinan mereka bukan hanya sebagai produk ekonomi tetapi juga sebagai karya seni. Rupa Pia yang ke-2 melibatkan beberapa perupa perempuan, seniman pertunjukan, dan pelaku ekonomi kreatif yang juga perempuan. Diharapkan kegiatan ini membawa kesadaran dan pandangan yang baru akan posisi penting perempuan.

Syamsul Arifin
Syamsul bersama pegiat seni lintas disiplin di Sampang, Madura, membaca ulang dua narasi Trunojoyo yang saling berhadap-hadapan. Narasi yang tumbuh dari kesultanan Mataram Islam menempatkan Trunojoyo sebagai pemberontak, sementara bagi masyarakat Madura, Trunojoyo adalah pahlawan. Melalui karya kolaborasi, Syamsul dan kawan-kawannya hendak menunjukkan bahwa “sejarah tidak tidak hanya dapat ditulis oleh pemenang”.

Engel Seran
Engel bersama Alfred W. Djami dan Nasrijal akan menggelar pameran kelompok yang diberangkatkan dari pendokumentasian ragam tenun warga desa Sadi yang mengandung cerita-cerita kehidupan dan ingatan proses perpindahan mereka ke wilayah Timor Barat. Sesungguhnya, wilayah yang ditempati orang-orang Kemak di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, saat ini adalah sebuah tanah pelarian. Orang-orang Kemak atau Rumpun Suku-suku Kemak berasal dari beberapa tempat yang sekarang bernama Timor Leste. Perpindahan tersebut berlangsung melalui empat peristiwa, yakni pemberontakan antipajak di Manufahi pada masa kolonial portugis (1910-1912), masa pendudukan Jepang (1942 – 1944), ekspansi militer Indonesia ke Timor Leste (1974–1975), dan konflik perang saudara terkait referendum Timor Leste (1998-1999).

Ester Elisabeth Umbu Tara
Perjalanan Ete mengkampanyekan pangan lokal di Pulau Timor terus memperkuat pembacaannya, bahwa perempuan adalah kekuatan dalam melestarikan dan mengembangkan pangan lokal. Bukan hanya itu, perempuan menjadi kunci kelestarian resep budaya dan juga perkembangan inovasi pangan yang diolah untuk diri mereka sendiri ataupun keluarga dan masyarakat secara luas. Pengetahuan lokal tersebut diwariskan secara turun-temurun melalui lisan. Ete akan meramu dan membagikan catatan perjalanannya ke dalam beberapa bentuk yang dekat dengan dirinya, yakni buku dan fotografi.

Remzky F. Nikijuluw
Berangkat dari perenungan tentang perubahan ruang yang berlapis di Ambon, Remzky menyusun proyek seni “Teater Bunyi” untuk menyusuri kilas balik memori tubuh di dalam ruang, merespon ruang gerak manusia yang paling intim, yakni rumah, dan mencungkil isi kepala dari mabuknya kesadaran. Proyek ini ia bangun secara kolaboratif melalui “residensi bunyi” bersama empat seniman muda lintas disiplin dan wilayah: Ayu Permata Sari (Koreografer, Lampung), Chalvin Papilaya (Aktor Teater, Ambon), Dana Maulana (Musisi, Aceh), dan Syahidin Ali Pamungkas (Aktor Teater, Yogyakarta). Melalui residensi bunyi tersebut, Remzky dan para kolaboratornya menyusun skenario adegan bunyi yang akan dipresentasikan secara luring di Ambon, dan daring di website Rimpang Nusantara.
Ipeh Nur
Pengalaman mengamati laku hidup masyarakat pesisir Pambusuang, Mandar, dan keterlibatan Ipeh dalam ritual pembuatan perahu di Tana Beru pada tahun 2019 lalu, menggerakkannya untuk kembali ke sana. Tak sekadar ingin memanggil kembali ingatan dan pengalaman tubuh akan perjalanan sebelumnya, Ipeh hendak menyelami kehidupan masyarakat pesisir Mandar dengan lautnya. Perjalanan itu akan ia catat di dalam manuskrip dan sebuah karya kolaboratif dengan Tajriani, kawan sesama seniman partisipan program Rimpang Nusantara yang berbasis Polewali Mandar, untuk memadukan visual bergerak dengan nyanyian.

Suvi Wahyudianto
Biskuit “Mari” menjadi cemilan masa kecil yang digemari oleh Suvi dan mayoritas kawan-kawan sebayanya. Suvi menggunakan biskuit “Mari” sebagai titik temu sekaligus metafora untuk mengajak kawan-kawannya di Surabaya meninjau kembali ingatan-ingatan masa lalu. Di dalam pameran yang akan digelar di C2O library & collabtive, biskut “Mari” buatan tangan Suvi disajikan sebagai bagian dari karya yang akan disantap bersama-sama dengan penonton. Selain itu, ia akan menyelenggarakan lokakarya yang melibatkan 10 orang (praktisi seni dan non seni) dimana ingatan akan disusun dalam wujud karya patung biskuit “Mari” yang juga akan disantap bersama, dihabiskan saat itu juga. Di dalam peristiwa pameran itu, Suvi mensituasikan karya seni rupa sebagai benda yang retan, mudah hancur, dan dapat dihabiskan. Dengan demikian, alih-alih menggunakan moda karya seni rupa untuk mengekalkan peristiwa menjadi benda, Suvi bekerja dengan benda (objek yang terlekati ingatan) untuk mengekalkan peristiwa.

FERIAL AFIFF
Judul Proyek: Food Study – Mini Lab & Forum
Kolaborator: LabPangan, Warpopski, dan Bumi Bagja
Lokasi Riset: Kabupaten Sukabumi
Lokasi Presentasi: Gelanggang Olah Rasa (GOR), Kabupaten Bandung
SERIMPANGAN, bagian dari proyek Food Study: Mini Lab & Forum, adalah pameran seputar pangan dengan menampilkan karya, dokumentasi, zine, buku resep, dan tulisan hasil perjalanan Lab Pangan ke Sukabumi. Hasil pertemuan di Sukabumi telah dihadirkan menjadi sudut presentasi/pameran dan diskusi luring di GOR, Jawa Barat. Rekaman kegiatan itu juga ditampilkan daring via IG Live dan IG TV milik Lab Pangan dan GOR, dengan menyajikan makanan atau resep oleh-oleh dari Sukabumi. Serta zine digital berisi foto-foto selama proses di Sukabumi, dan teks dari catatan observasi harian, beserta beberapa resep terpilih. Perjalanan Lab Pangan bekerja sama dengan WARPOPSKI dan BUMI BAGJA. Kegiatan ini berlangsung pada 21 – 27 Maret 2022. (Baca detail kegiatan di sini!)
Arif Setiawan
Di Pontianak, makelar, calo, ataupun perantara memiliki nama tersendiri, yaitu belukar. Penamaan ‘belukar’ sendiri melekat karena kehadiran mereka yang liar, banyak, dan organik. Munculnya perantara atau makelar disebabkan oleh situasi yang sulit “ditembus”. Mensimulasikan ragam peristiwa transaksional yang dihadapi belukar, Arif menginisiasi Proyek Toko Jubel. Proyek ini akan mencoba menawarkan pengalaman jual-beli performatif untuk aneka barang dengan nilai tukar yang beragam.
Riky Fernando
Riky Fernando melihat pasar Tanjungpinang tidak sekadar tempat jual-beli barang kebutuhan sehari-hari, tetapi pasar itu adalah ruang spasial di mana perbatasan, pertemuan, percampuran, dan pertukaran berkelindan di dalam riuhnya. Dahulu, pasar tersebut adalah pusat kota Tanjungpinang. Seiring laju perkembangan zaman, kota meluas, lokasi pasar pun disebut kota lama. Meskipun demikian, beragam pertukaran budaya masih dinamis bergerak dari dulu hingga hari ini. Belajar dari pasar Tanjungpinang, Riky mencoba merespon segala aspek pada pasar dengan melakukan graffiti/jamming di sudut pasar, diskusi hingga minikonser, melibatkan seniman graffiti dan musik dari Tanjungpinang dan Batam. Rangkaian kegiatan ini diharapkan dapat memperluas perspektif baru tentang sejarah kota Tanjungpinang bagi seniman yang terlibat dan publik secara luas.
Cut Putri Ayasofia
Melanjutkan gagasan dan inisiasinya di tahun 2019 ketika menjalani kegiatan Akar Rimpang di Yogyakarta, Cut berencana akan menggelar sebuah riset mengenai pendidikan dan masa tumbuh-kembang anak. Berkolaborasi dengan Tajriani, partisipan Rimpang Nusantara lainnya, ia berniat untuk memproduksi modul pendidikan alternatif dan buku mewarnai untuk anak-anak. Subjek riset dengan pendekatan artistik ini tidak hanya mencakup anak-anak usia Sekolah Dasar, tetapi juga remaja tingkat Sekolah Menengah.
Pingback: Rimpang Nusantara | CEMETI
Pingback: Kumpar Rimpang: Almanak Rimpang Nusantara 2022 | CEMETI