
Dapur Hutan
Bertahan Secara Ekologis dan Ekonomis
LabPangan muncul di tengah pandemi, seirama dengan rasa cemas akan hari esok yang semakin tidak pasti, terputus, dan terpisah. LabPangan muncul di sela-sela masa isolasi, sebuah situasi yang penuh risiko bagi Pulau Jawa, pulau terpadat di dunia. Jumlah pabrik dan gedung tinggi akan semakin berebut lahan dengan tanah pertanian karena Pulau Jawa sebagai pusat perekonomian juga menjadi pusat produksi pangan. Isolasi mempersulit perpindahan penduduk dan distribusi pangan dari luar pulau. Kemunculan LabPangan disambut oleh tantangan untuk terus bertahan hidup dan pertanyaan bagaimana caranya terus berlanjut.
Realita kondisi hari ini memang tidak biasa. Kita dihantui oleh Malapetaka Malthusian yang bergema sejak akhir abad 18: ketika pertambahan jumlah makanan tak lagi dapat mengimbangi berlipatnya jumlah manusia. Kecemasan ini mungkin tidak begitu terlihat di LabPangan yang baru muncul di akhir tahun 2020. Hal ini bukan karena kondisi pandemi telah sedikit menekan laju tingkat populasi global dan bukan pula karena LabPangan lebih akrab berinteraksi dengan para seniman dan ilmu estetika (lantas mengabaikan teori-teori sains dari para ilmuwan).
LabPangan tidak terlalu disibukkan oleh narasi besar tentang bencana ekologis saat urusan belanja bahan masakan dan gaji karyawan saja terasa lebih menghantui tiap bulan. Masalah sedekat ini tentu lebih terasa ketimbang soal kepadatan populasi Pulau Jawa. Mungkin inilah alasan mengapa sebuah dialog antara LabPangan dengan Warpopski (dan pengelola warung makan lainnya) amat perlu lewat kegiatan seperti Bajak Dapur. Lewat interaksinya dengan seniman Ryan ‘Popo’ Riyadi selaku pimpinan Warpopski, LabPangan diperkenalkan dengan sosok Abah Isep Kurnia dan Bumi Bagja di Sukabumi.
Setelah satu-dua obrolan bersama Popo, LabPangan memutuskan untuk berkunjung ke Bumi Bagja di Sukabumi. Perjalanan ini membuka banyak kesempatan bagi saya, seorang pengamat dari luar, untuk melihat interaksi LabPangan dengan Popo dan Abah Isep, serta interaksi antar anggota di dalamnya. Kesempatan ini amat menarik (dan unik) bagi pengembangan LabPangan karena telah membuka sebuah ruang pengalaman dan dialog yang tidak biasa: sebuah irisan antara dua kesadaran cara bertahan. Irisan ini tak hanya berkaitan dengan kebertahanan mikro secara ekonomi, namun juga persoalan kebertahanan makro dari sudut pandang ekologi.

Abah Isep banyak membagi pandangannya tentang isu lingkungan di sela-sela obrolan santai setelah makan malam. Menurutnya, food forest menjadi strategi ketahanan pangan alternatif dari pola produksi dan konsumsi pangan model industri pertanian. Kita tak lagi membahas tanaman apa yang perlu ditanam di lahan-lahan pertanian yang semakin hari kian menyusut luasnya. Karena, jika tetap mengandalkan lahan pertanian seperti yang sudah-sudah, kita akan tetap kekurangan pangan. Abah menawarkan pola produksi dan konsumsi pangan yang bersinergi dengan keberadaan hutan agar ada kebiasaan-kebiasaan makan yang baru yang membuat kita lebih bertahan.
Gagasan semacam ini cukup menarik bagi LabPangan. Meski bersebelahan dengan Taman Hutan Raya Juanda, LabPangan belum menjalin hubungan secara maksimal dengannya. Setelah menyimak penjelasan Abah Isep, saya pikir hutan dapat menawarkan aneka sumber pangan alternatif yang dapat diolah dan ditanam oleh LabPangan sebagai bahan dasar masakannya. Eksplorasi pangan telah terwujud dalam bentuk menu-menu yang dihasilkan ketika tim LabPangan bermukim di Bumi Bagja, tinggal diteruskan saja ketika telah kembali ke Bandung. Menu-menu baru yang dihasilkan dapat menjadi strategi untuk bertahan, baik dari sudut pandang ekologi yang makro (kesadaran lingkungan mengenai keterbatasan lahan pertanian) maupun sudut pandang ekonomi yang mikro (mengurangi ketergantungan harga pasar atas bahan pangan dengan cara menanam dan mengolah tanaman alternatif).
Strategi kebertahanan mikro tentu juga tak lepas dari bagaimana LapPangan mengorganisir kegiatan jual-beli serta mengelola dapur dan anggotanya. Selama perjalanan tim ke Sukabumi, saya amati, adanya dinamika di dalam kelompok yang jauh dari pola berorganisasi yang maskulin dan mekanis seperti umumnya ditemui di dapur restoran profesional.
Jika saya andaikan tim LabPangan dengan suatu kawanan binatang, maka interaksi anggotanya akan lebih mirip dengan kawanan hyena daripada kawanan singa; anggota perempuannya (Ferial, Tsara, dan Widi) lebih sering untuk menyantap makanan terlebih dahulu daripada anggota laki-lakinya (Fajar dan Haris) terlepas besar kecilnya kinerja, kontribusi, dan andil mereka dalam menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan sesudahnya. Begitu pula soal akomodasi dan akses kamar mandi yang dipilih oleh anggota perempuannya.
Sekilas, saya amati pola organisasi semacam ini biasanya disebut sebagai pola-pola amatir ketika sebuah dapur atau restoran, misalnya, belum mencapai taraf bisnis profesional. Namun, istilah amatir, jika kita lacak sesungguhnya berasal dari kata amare, yang berarti to love; untuk mencintai. Saya sendiri tidak terlalu setuju dengan persepsi peyoratif dari kata amatir. Jadi, amatlah wajar jika pengelolaan secara amatir dapat berarti pengelolaan dengan penuh passion, rasa cinta, semangat, dan hangatnya rasa kekeluargaan. Sebuah pola yang lebih akrab kita jumpai di dapur komunitas.
Hal senada sempat dilontarkan juga oleh Abah Isep ketika menjelaskan pandangannya mengenai perbedaan nilai yang mendasari homestay dengan penginapan. Homestay berbasis nilai-nilai kekerabatan, bukan hospitality. Saya menangkap maksud Abah Isep adalah untuk mengkritik pola dari industri dan bisnis hospitality, bukan sifat ramah tamah yang memuliakan tamu. Kekerabatan juga menjadi istilah yang lebih dekat dengan istilah ‘amatir’ tadi, bila dibandingkan dengan istilah ‘profesional’ dari dunia bisnis dan industri. Saya perhatikan, baik LabPangan dan Bumi Bagja sama-sama berjarak dari pola-pola profesionalitas yang umumnya berlaku di dunia bisnis dan industri.
Namun, kita juga perlu garis bawahi persoalan ekonomi yang nyata dihadapi oleh dapur-dapur komunitas semacam LabPangan; ada urusan gaji karyawan, laba-rugi, dan manajemen dapur. Semua ini tentu tidak serta merta bisa bertahan dengan rasa cinta dan passion dari orang-orang di dalamnya. Mau tidak mau, akan ada pembahasan mengenai proporsi upah dan kontribusi masing-masing anggota dan bagaimana upah bisa sebanding dengan proporsi kinerja. Saya pikir, tidak mengapa jika LabPangan tak lagi menjadi kawanan Hyena (dan tidak pula menjadi kawanan singa) asal bisa menjadi kawanan Manusia yang sepakat mengenai strategi kebertahanan semua anggotanya.
Oleh karena itu, LabPangan perlu eksplorasi lain seperti yang di Sukabumi, yang mampu menjadi irisan antara aspek ekologi dengan aspek ekonomi. Hanya saja, kali ini eksplorasi bukan lagi soal pangan dan masakan, tapi fokus pada aspek organisasinya. Mungkin saja, sebuah pola organisasi bisa dipelajari dari hutan seperti eksplorasi pangan dari food forest. Akhir kata, menurut amatan saya, dapur hutan ini tidaklah harus menjadi profesional, tapi tentu harus bisa bertahan melampaui kondisi pandemi yang mengiringi kemunculannya. *