English | Indonesia

Semenjak bulan September 2021, saya memutuskan mundar-mandir Sampang-Sumenep untuk mempersiapkan proyek Babad Lembana. Proyek itu dalam rangka program Lembana Artgroecosystem, sebuah platform yang baru saja dibentuk dan dirancang sedemikian rupa untuk kemudian hendak diproyeksikan sebagai platform bersama. Platform ini diprakarsai oleh Fikril Akbar yang sekaligus menjadi direktur Lembana Artgroecosystem. Platform ini hendak menyisir hubungan antara seni dan pertanian atau isu-isu di sekitar lingkup agrikultur.
Lembana Artgroecosystem sendiri berlokasi di daerah Gadu Barat, Ganding, Sumenep. Tepatnya di desa Pregih. Itulah rumah Fikril Akbar, yang saat ini disulap menjadi sebuah galeri, dikelilingi lahan pertanian. Di seberang jalan depan Galeri Lembana terdapat sebuah bukit disertai juga sebuah makam leluhur tepat di ujungnya yang sampai saat ini masih misteri asal muasalmya. Dan tepat di samping Galeri Lembana, sebuah masjid, Masjid Lama Lembana, menjadi ruang transit orang-orang yang bepergian untuk beribadah. Dengan lingkup teritori semacam ini, seperti yang dikatakan oleh Ayos Purwoaji dalam percakapan kecil saat bertandang ke acara ini, dapat dipahami bahwa rumah Fikril memiliki garis imajiner yang saling bertautan, antara rumahnya sebagai art space, agrikultur (ditandai oleh tegalan/sawah), dan spiritual (ditandai oleh masjid). Saya sendiri menyebutnya sebagai segitiga garis imajiner. Lembana Artgroecosystem berada dalam suatu kondisi geologis berupa dataran rendah. Berbagai hal itulah yang menjadi latar belakang bagaimana platform ini dinamai. Sebagai Lembana Artgroecosystem. Sebagai Art Space.
Proyek Babad Lembana yang pertama (7-13 Desember 2021) dalam platform Lembana Artgroecosystem ini diinisiasi oleh Shohifur Ridho’I, sebagai pemangku program, dan Fikril Akbar, sebagai direktur. Shohifur Ridho’i juga berperan sebagai kurator. Program ini tidak memiliki cukup anggaran apa pun atau dukungan subsidi dari dinas atau lembaga kebudayaan dan semacamnya. Dana yang ada di kantong pribadi Fikril dan beberapa sumbangan dari teman-teman Fikril hanya cukup untuk membeli peralatan galeri dan konsumsi. Tetapi, modal sosial yang dimilikinya berhasil melancarkan program yang berlangsung selama tujuh hari ini, dan bahkan secara tak terduga melampaui ekspektasi Fikril dan Ridho.
Program ini cukup menarik karena memiliki beberapa mata program yang Ridho dan Fikril rangkai, seperti Pameran, Nobar, Ceramah Budaya, Peluncuran dan Diskusi Buku, Forum Perempuan, Pertunjukan, dan Workshop Fotografi.
Dalam program ini, saya sendiri diberi kepercayaan bekerja di bagian produksi pameran dan diberi tugas untuk mengurasi seniman pertunjukan yang menarik dan potensial untuk dilibatkan ke dalam agenda performans dalam program Babad Lembana ini. Meski demikian, saya secara pribadi tidak terlalu berani dan percaya diri menyebut profesi dari tugas saya itu sebagai kurator dalam konteks mencari dan memilih seniman pertunjukan. Saya sadar betul bahwa saya tidak memiliki cukup pengalaman sekaligus saya tidak tahu banyak tentang praktik-praktik kerja kuratorial, sebenarnya. Oleh karena itu, proses kurasi hanya berhenti pada pemilihan nama seniman (pertunjukan) yang memungkinkan untuk tampil. Nama-nama seniman yang saya pilih, antara lain Arung Wardhana Elhafifie (seorang dramaturg dari Bangkalan), Anwari (sutradara dan aktor dari Sumenep), dan Jufriyanto (seniman muda asal Sumenep). Ketiganya saya pilih hanya berdasarkan relasi pertemanan dan potensi yang saya pikir ada dimiliki oleh setiap personalnya. Tidak lebih dari pada itu. Semoga ini bukan kabar buruk buat saya nantinya.
Suara Jernih Anak-anak (SD) Pregih
Pada konteks pameran seni rupa, misalnya, Shohifur Ridho’i menekankannya pada karya Tohjaya Tono yang digarap sebagai proyek pameran tunggalnya Tohjaya Tono. Meskipun begitu, juga terdapat ruang pameran bersama di bagian yang lain di ruang Kamarrupa.







Sementara Tohjaya Tono memenuhi ruang tamu yang memanjang dengan puluhan karya-karyanya yang bertajuk pamungkas ‘Toron Gunong’ (Turun Gunung), di dalam Kamarrupa sebagai ruang pameran bersama terdapat karya beberapa seniman lintas generasi, di antaranya Hidayat Raharja, Eros Van Yasa, Sa’adatul Ubudiah, dan Anak-Anak Pregih. Secara garis besar, pameran ini bertolak seputar pertanian atau agrikultur dan kemungkinan irisannya. Oleh karena itu, pameran di galeri Lembana Artgroecosystem sarat dengan hal-hal visual artistik yang bernuansa lingkungan persawahan/pertanian. Kerangka tematik kuratorial dalam pameran ini sangat tebal direpresentasikan oleh kumpulan karya Tohjaya Tono dengan ‘Toron Gunong’-nya, dan beberapa karya seniman yang lain di ruang Kamarrupa.

Tetapi saya tidak akan banyak bicara tentang setiap hal dari setiap karya dalam pameran tersebut secara rinci. Saya rasa Ridho-lah, sebagai kurator sekaligus programmer, yang akan bicara banyak hal tentang gagasan-gagasan pameran dan masing-masing karya dalam tulisan yang lain; mungkin dalam bentuk esai kuratorial.
Di sini, saya akan mencoba memberikan sudut pandang saya atas pengalaman dan pengamatan saya pada salah satu karya daripada beberapa karya yang lain yang tertampung di dalam ruang Kamarrupa. Yaitu, karya dari Anak-Anak Pregih yang terlibat dalam pameran bersama di Kamarrupa dengan ketiga seniman yang lain. Sebuah tawaran ide yang menarik ketika program Babat Lembana ini mengajak Anak-Anak Pregih (SD N 3 Gadu Barat) untuk terlibat dalam pameran Babad Lembana. Sebuah pilihan yang memang perlu dipertimbangkan. Sebagaimana praktik seni dan masyarakat, dengan begitu, seni atau program dari Lembana Artgroecosystem ini tidak hanya memfasilitasi para seniman, tetapi juga menjadi upaya untuk memberi ruang kepada masyarakat setempat. Misalnya, anak-anak kecil di desa Pregih, dengan status pendidikan siswa sekolah dasar, juga ikut serta dalam pameran. Dari sinilah kita mendapatkan suara jernih mereka melalui karya gambarnya.
Saya menyebutnya suara jernih atas karya Anak-Anak SD ini sebagaimana anak kecil yang masih polos dan jujur. Tidak banyak mengerti hukum sebab-akibat atau hukum alam, pengetahuan tentang sosial dan budaya, dst. Tetapi suara jernih di sini tidak lantas berkonotasi layaknya suatu suara kebijaksanaan, atau semacamnya. Justru, suara jernih di sini adalah sebuah gugatan atau semacan kecemasan yang murni dalam suara yang polos itu. Sebagaimana anak-anak, ia juga bagian integral dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, suara jernih ini menjadi penting dalam pameran Babad Lembana. Selain itu, karena masa depan desa Pregih bisa saja ada di tangan anak-anak itu sebagai generasi saat ini yang hendak/akan menyusun sejarahnya sendiri di masa depan.
Saya melihat (karya) anak-anak ini sebagai subjek-konteks dari teritori di mana program ini berlangsung—di desa Pregih. Melalui gambarnya, saya merasa karya anak-anak ini memiliki tawaran suara yang cukup menarik, tajam, dan kontekstual dengan apa yang ada/terjadi di sekitar lingkungan mereka hidup. Sebagaimana masalah lingkungan yang terjadi saat ini, saya ingin menyebutnya suara jernih dalam gambar karya Anak-Anak Pregih sebagai “Gugatan” atas masalah yang terjadi di sekitar mereka. Nyaris semua karya dari Anak-Anak Pregih ini mengambil fokus objek eskavator. Dan seperti biasa, objek Matahari dan Gunung tidak lepas dari tatapan mereka sebagai objek visual atas gambarnya. Laiknya gambar anak-anak pada umumnya.
“Bagaimana Mas Nanda memberi sebuah pengantar dalam kaitannya dengan…, misalnya, bahwa nantinya mereka akan terlibat dalam program Babat Lembana yang diselenggarakan oleh Fikril Akbar melalui platform Lembana Artgroecosystem ini, kira-kira pantikan semacam apa yang Mas Nanda tawarkan pada mereka saat itu sekaligus sebagai guru mereka?” tanyaku malam itu di sela-sela nobar sedang berlangsung dengan suasana sayup-sayup saat menonton film terakhir yang diputar dalam agenda Bioskop Lembana yang juga hendak menutup program Babat Lembana malam itu.
“Ya, saya cuma memantik anak-anak seperti ini: ‘Yuk, menggambar. Kalian boleh menggambar apa saja yang kalian suka atau yang kalian mau. Tidak perlu berpikir bagus. Yang penting menggambar saja. Gambar apa saja, terserah, yang penting menggambar!’” jawab Mas Nanda
“Saya benar-benar kaget saat saya melihat gambar yang dihasilkan oleh anak-anak. Saya tak habis pikir. Ternyata, anak-anak ini cukup peka terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya, yang sampai saat ini saya sendiri dan teman-teman yang lain meresahkan hal tersebut; yang sampai saat ini kami masih terus berpikir dan berusaha untuk mencegah proyek pembangunan itu tidak diteruskan,” imbuh Mas Nanda dalam percakapan kecil kami yang lirih malam itu di tengah-tengah film yang diputar di Bioskop Lembana merebut fokus teman-teman saat menonton. Malam itu, The Insult (2017), sebuah film drama kontroversial karya sutradara Lebanon Ziad Doueiri, menjadikan malam yang tidak biasa malam terakhir program Babat Lembana.
Sebuah bukit kecil di depan rumah Fikril mulai diganggu oleh kehadiran dua alat berat (eskavator) mengeruk bukit Pregih dari bibir bukit sebelah selatan. Sebagian besar masyarakat setempat mulai dari yang muda sampai yang tua memiliki kesadaran kritis akan hal itu dan upaya penolakan juga sempat dilakukan dengan cara bijaksana nan arif: musyawarah warga. Musyawarah warga tersebut hanya antara pemilik proyek dengan masyarakat sekitar yang mengharapkan proyek tersebut dihentikan. Rapat warga atau musyawarah ini dilakukan dalam upaya memberi sebuah penjelasan terkait lingkungan, yang bermaksud untuk mempertimbangkan ekosistem tetap terjaga dan tidak memicu masalah ekologi. Lebih lagi, tepat di atas bukit tersebut, terdapat makam tua yang oleh masyarakat setempat telah lama dianggap sebagai leluhur mereka dan perlu di hormati, dijaga, dan dirawat. Jangan malah justru membuatnya terancam.
Tetapi Musyawarah itu gagal memutuskan solusi bagi masalah yang terjadi. Pengerukan terlanjur berjalan beberapa hari. Rumput dan tanaman sebagian sudah direnggut hidupnya. Separuh wajah bukit Pregih sudah terlihat pucat. Sama seperti seseorang yang sedang sekarat lalu mati. Bukit kecil itu telah dilukai menggunakan dua alat berat eskavator secara ugal-ugalan Bunyi yang kedua mesin itu hasilkan saat memecah batu gunung di bukit Pregih membuat telinga saya seakan bengkak. Tidur tidak pernah nyenyak. Muntah acap kali muncul dalam diri saya juga teman saya saat waktu istirahat. Kemudian, karena hal itu, kelelahan tampak mustahil reda.
Dalam konteks Pameran, suara gugatan itu muncul dari Anak-Anak SD N 3 Gadu Barat, melalui karya gambar mereka. Anak-Anak Pregih ini rupanya cukup menyadari sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jika boleh dikembangkan, mereka tampak cukup terganggu dengan kehadiran dua alat berat yang mengeruk bukit Pregih yang mulai tak elok lagi dipandang bagi mata anak-anak kecil yang polos dan jujur. Dalam karya tersebut, mereka memilih fokus tatapannya pada traktor atau eskafator.
Melalui visual yang dimunculkan di atas selembar kertas buku tulis mereka, eskavator itu hadir seperti raksasa yang hendak meratakan bukit Pregih, dan mengubah wajahnya dari hijau ke warna kuning kecoklatan. Pucat. Saya membayangkan jika proyek itu terus berjalan maka sepertinya tidak ada lagi kehidupan, tidak ada lagi ekosistem. Yang ada hanya kecemasan, atas suatu yang telah/sedang/akan terjadi pada bukit Pregih; kerusakan alam (lingkungan sekitar), jika bukan sebuah kematian semesta (kosmik/ekosistem).
Saya sebagai seseorang yang bekerja di ranah produksi pameran, saat melihat gambar mereka, saat itu saya cukup tergelitik. Di pikiran sempat terlintas, bagaimana bisa seorang anak kecil yang bisa dibilang belum banyak mengerti masalah dan ilmu pengetahuan tentang lingkungan, tiba-tiba memunculkan kritik tajamnya?! Kita sebut saja itu sebagai ketidaksepakatannya atas hal yang terjadi di lingkungan sekitar tempat mereka hidup dan menggugatnya lewat gambar. Menariknya, saat melihat gambar dari karya Anak-anak Pregih ini, sebuah impresi justru “membengkak” di kepala saya. Sekali lagi, karya ini seperti (suara) gugatan mereka yang dibunyikan melalui gambar. Hal inilah yang membuat saya kemudian tertarik untuk sedikit berbagi refleksi dan pengalaman soal keterlibatan saya dalam Babat Lembana sebagaimana yang telah Anda lalui dalam tulisan saya ini, entah sebagai orang luar (penonton) atau sebagai bagian dari penyelenggara program Babat Lembana. Begitulah Babat Lembana dengan peristiwa pertemuannya. Dan seperti itulah keadaan saat ini di desa Pregih, Gadu Barat: seperti yang digambarkan oleh anak-anak kecil di sana meski mungkin saja masih banyak hal yang tak tertuliskan di sini.
Sampang, 2021