
Pengantar
BULAN JULI 2021 aura kematian menyebar ke seluruh penjuru kota. Belum lama kampung-kampung membuka portal yang dibuat di mulut-mulut gang ketika pandemi baru saja merebak, justru kini banyak orang menemui ajalnya. Suasana tintrim kembali mencekam menyergap di seluruh penjuru kota hingga pedesaan. Setiap saat mobil ambulan berlalu-lalang tancap gas dengan sirene yang meraung-raung meminta jalan dibuka untuk dilaluinya. Entah sedang menuju rumah sakit atau sedang menuju pemakaman. Kejadian itu berlangsung setiap hari hampir tanpa jeda dari pagi hingga larut malam, bahkan dini hari. Di sebuah rumah sakit, jenazah berderet di kamar mayat menunggu dirukti dan dibawa ke pemakaman hampir setiap hari bulan itu. Peti mati yang diperlukan untuk disposisi jenazah sesuai protokol kesehatan menjadi langka. Beberapa orang dan lembaga berinisiatif membuat dan menyumbangkan cuma-cuma untuk mengatasinya.
Di kampung-kampung, pengeras suara masjid silih berganti terdengar menyampaikan kabar duka. Tidak seperti biasanya kabar yang membersitkan harapan agar orang melayat atau melakukan takziah, suara dari masjid tersebut kini hanya memberitahukan bahwa ada warga kampung yang telah meninggal dan dikuburkan. Hanya orang-orang terdekat seperti anggota keluarga dan saudara kandung yang boleh datang dalam pemakaman. Itu pun mereka harus mengambil jarak dan hanya diizinkan mendekat setelah jenazah dikuburkan. Pandemi COVID-19 membuat hubungan yang intim dan hangat secara sosial antara orang yang meninggal dengan sanak kerabat dan handai taulan ditiadakan. Tidak ada ruang untuk meluapkan tangis atau ratapan di hadapan orang yang meninggal meski sesungguhnya dalam tradisi setempat kesedihan itu tidak boleh ditunjukkan berlama-lama.
Ketika salah seorang warga di kampung saya meninggal dan dimakamkan di kuburan kampung, ketua RT mengumumkan melalui grup WhatsApp dan pengeras suara bahwa tidak boleh seorang pun warga keluar rumah saat jenazah melintas di jalanan. Hanya iring-iringan Satgas COVID-19 desa yang mencari jalan sambil menyemprotkan disinfektan sepanjang jalan diikuti ambulan pembawa jenazah. Semua pintu ditutup rapat. Tidak ada lantunan doa, taburan bunga dan sholawat yang mengiringi prosesi jenazah ke kuburan seperti yang lazim dilakukan. Pemakaman korban pandemi ini telah menerabas tradisi dan kebiasaan yang telah lama dilakukan oleh warga masyarakat. Kematian telah menjadi sangat pribadi dan tubuh semata-mata dipandang sebagai tubuh biologis yang rapuh, mudah hancur dan membawa ancaman mengkontaminasi orang-orang yang masih hidup.
Prosedur dan ritual kematian semasa pandemi maupun ketika bencana lainnya terjadi jauh berbeda dengan kebiasaan dan tradisi yang lazimnya berjalan di masyarakat. Bahkan ketika ada kematian orang yang tidak terjangkit COVID-19 di masa pandemi, ritual kematian dibuat sesederhana dan secepat mungkin tanpa kerumunan dengan protokol kesehatan. Sebelum pandemi, umumnya, orang yang dinyatakan mati segera disucikan dengan dimandikan air bunga disertai doa oleh kaum yang berada di kampung bersangkutan. Jenazah dibersihkan dari segala noda, kemudian dikenakan dan dibalut kain serta kapas yang menutup seluruh lubang tubuh. Bagi orang yang beragama Kristen, jenazah dirias dengan baju terbaiknya seperti layaknya orang akan menghadiri pesta perjamuan. Kemudian jenazah ditempatkan di ruang tengah rumah untuk memperoleh penghormatan terakhir dari keluarga, sanak saudara dan kenalan sebelum dibawa ke prosesi menuju pemakaman atau krematorium. Dalam situasi ini, orang boleh bersedih, meratap tetapi tidak diizinkan berlama-lama. Tidak sampai di situ, ritual yang mengiringi kematian diselenggarakan berturut-turut 7 hari, 40 hari, 100 hari hingga 1000 hari setelah kematian. Oleh karenanya, perubahan yang terjadi selama pandemi ini mengejutkan dan menjadi perhatian kami.
Proyek bersama ini, kami mulai dengan mendiskusikan pengalaman dan pandangan orang di sekitar fenomena kematian. Kami berangkat dengan mendengarkan pengalaman Dwi Oblo Prasetyo yang memotret ritual kematian pasien COVID-19. Dia bergabung dengan Satgas COVID-19 yang setiap saat siaga menguburkan jenazah. Tanpa mengenal waktu, anggota Satgas membungkus jenazah segera setelah pasien meninggal, memasukkan ke peti dan menguburkannya. Di tengah malam hari pun manakala orang sudah terlelap, para relawan Satgas biasa membawa jenazah ke makam dan menguburkannya dengan baju alat pelindung diri (APD) berbahan hazardous materials yang sekali pakai. Selama beberapa jam tubuh mereka harus kepanasan karena bahan tersebut kedap udara dan tidak bisa diterobos virus. Setelah penguburan selesai mereka juga harus berkali-kali disterilisasi dengan disemprot disinfektan. Para relawan itu juga tidak pernah mengharapkan upah atau honor untuk penguburan. Dwi Oblo terkesima dan memotret peristiwa ketika para relawan yang agamanya berbeda mendoakan jenazah pasien COVID-19 dengan cara mereka masing-masing. Sementara dalam pemakaman keluarga maupun orang dekat tidak diperkenankan mendekat karena bahaya kontaminasi virus tersebut. Untuk memahami pergeseran yang terjadi, Oblo juga kembali membuka dokumentasi foto-foto sewaktu erupsi Merapi 2010 serta foto-foto lain yang berhubungan dengan ritual kematian. Sementara untuk mengetahui perangkat ritual seperti berbagai bunga dan bau-bauan yang sering digunakan dalam ritual tersebut, dia eksplorasi dari warung “Makanan Roh Halus.” Warung ini biasa melayani kebutuhan masyarakat mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan dalam ritual kematian.
Pengalaman Oblo menyentuh rasa penasaran Enka Komariah. Dia terkesan dengan foto Dwi Oblo tentang ritual pemakaman jenazah COVID-19 yang sedang didoakan di luar mobil ambulans dan ketika dibawa ke liang kubur di malam hari. Rasa penasaran itu kemudian dituangkan ke dalam sketsa yang pernah dipamerkan dalam UOB Painting Award 2020. Dalam proyek ini, Enka kembali menggali makna kematian selain dengan memeriksa foto-foto Dwi Oblo, dia juga mencari sumber bacaan misalnya dari Serat Centhini mengenai ritual yang dilakukan setelah orang menjemput ajalnya. Bahkan Enka juga mengunjungi beberapa makam untuk merasakan suasana keheningan, magis dan mistis di tengahnya.
Pengalaman dan pemaknaan Enka dituangkan dalam karya berupa baju mirip alat pelindung diri (APD) yang dilukis fragmen dari foto-foto kematian Dwi Oblo. Lukisan di baju berbahan kanvas itu berwarna hitam putih. Baju diberi penopang besi di belakangnya untuk menjadi tumpuan beberapa ikon kematian yang diimajinasikannya. Paling atas adalah payung yang sering dibawa untuk memayungi keranda atau peti dalam prosesi pemakaman. Dibawahnya digantung lampu yang memberi cahaya sabagai padanan teplok atau lampu minyak yang sering dinyalakan di dekat persemayaman jenazah. Lampu itu juga menerangi Yamadipati yang dikenal sebagai dewa pencabut nyawa dalam pewayangan. Baju dan ikon yang lain tidak hanya dipajang, tetapi dikenakan dan dibawa ke beberapa tempat dengan mengendarai sepeda motor. Proses tersebut disajikan dalam format video.
Beberapa pertanyaan yang muncul dalam proses yang kami lalui di antaranya adalah bagaimana orang memaknai kematian saat ini? Terutama dalam situasi pandemi yang menerabas kebiasaan dan tradisi yang dihidupi oleh masyarakat. Secara khusus, kami juga memikirkan apakah perubahan yang terjadi dalam ritus kematian mengubah cara pandang orang mengenai kematian? Bagaimana pandangan orang tentang tubuh dan jenazah? Bagaimana orang memandang perubahan-perubahan yang terjadi dalam kematian setelah pandemi? Kolaborasi Oblo dan Enka berusaha mempertontonkan kematian melalui serpihan-serpihan yang tertangkap dalam kamera dan ingatan-ingatan yang kembali dihadirkan dari pengalaman mereka yang traumatis dan magis.
Tulisan ini menyajikan deskripsi dan analisa dari proses produksi karya yang diberi judul “Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati.” Bagian pertama, kami menyoroti soal tubuh dari fenomena kematian. Pandangan medis memperlihatkan kedudukannya yang berbeda dengan pandangan budaya tentang tubuh. Tubuh medis adalah tubuh biologis yang secara alamiah bisa tumbuh dan membusuk. Tubuh kultural adalah tubuh yang dimuliakan karena terbentuk dari unsur-unsur kosmologi masyarakat. Bagian kedua, kami mendeskripsikan ritus kematian dan perubahannya di masyarakat. Dalam hal ini, kami menyajikan ritual kematian di kalangan orang Jawa yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kami.
Tubuh Medis dan Tubuh Kultural
Dalam perspektif medis atau kedokteran, tubuh manusia semata-mata dipandang sebagai tubuh biologis yang sejajar dengan mahluk hidup lainnya. Tubuh terbangun dari jaringan-jaringan sel dan organ yang tidak bisa terpisahkan fungsinya satu sama lain. Tubuh biologis mengalami perkembangan dari janin hingga menjadi manusia dewasa dan mengalami titik balik pertumbuhan ketika manusia semakin tua. Tubuh kemudian mengalami kemunduran fungsi organ serta jaringan pembentuknya hingga mati. Dalam perspektif biologis, tubuh manusia itu rentan dan rapuh. Tubuh bisa mati atau mengalami kerusakan karena kecelakaan atau diserbu oleh bakteri serta virus penyakit. Seperti halnya makhluk hidup lainnya, kematian tidak terelakkan dalam kehidupan manusia secara biologis. Teknologi medis hanya bisa menunda atau mencegah kematian tetapi tidak bisa membuatnya menjadi abadi. Kematian merupakan keniscayaan dan tidak seorang pun bisa menyangkalnya.
Secara klinis, kematian terjadi ketika tubuh sudah tidak bisa melakukan aktivitas kehidupan lagi. Semua fungsi jaringan dan organ tubuh berhenti dan tidak bisa kembali lagi. Batasan kematian saat ini ditandai dengan berhenti bekerjanya otak (cortex). Sebelumnya, kematian ditentukan oleh jantung yang berhenti berdenyut. Kematian membuat jasad kaku dan berangsur-angsur mengalami proses pembusukan. Dalam praktiknya, tanda-tanda kematian ditentukan dari aspek biologis seperti tidak bernafas, jantung berhenti berdenyut dan hilangnya kesadaran total (Hockey, 1993; Indriati, 2003: 232).
Batasan tersebut kontras dengan pandangan dan pengetahuan orang Jawa tentang kematian. Dalam pandangan orang Jawa, kematian diyakini terpisahnya nyawa dari tubuh. Nyawa meninggalkan tubuh dan mengawali perjalanan menuju alam keabadian. Kematian bukan dipandang kebinasaan, melainkan kembali pulang ke asal mula kehidupan. Tubuh akan kembali ke unsur-unsur pembentuknya yang terdiri dari tanah, air, api dan angin (Soepomo, 1990: 96-97; Ciptoprawiro, 1992:46). Dalam hal ini, tubuh yang membusuk dan hancur bukan menuju kepunahan, tetapi kembali ke asal usulnya. Oleh karenanya, kematian bukan lah terjadi secara spontan atau mendadak, tetapi diiringi oleh tanda-tanda seperti firasat serta gejala-gejala alam yang mengiringinya. Firasat itu dirasakan oleh orang-orang dekat orang yang meninggal seperti gigi tanggal; orang yang sakit tiba-tiba sehat seperti sedia kala dan perilaku lainnya yang sering disebut nganeh-anehi. Sementara tanda-tanda alam sering muncul yang diasosiasikan dengan burung kedasih yang bersiul di malam hari; burung gagak yang terbang mengitari rumah duka. Sedangkan gejala-gejala tubuh orang yang kan meninggal ditandai dengan telinga yang mengatup; jantung berhenti berdetak; mengeluarkan tai kalong (tinja hitam), dan suhu dingin dari kaki merambat ke atas hingga hilangnya kesadaran. Orang Jawa meyakini bahwa kematian terjadi manakala nyawa meninggalkan tubuhnya (Subagya, 2005).
Kedokteran hanya bisa menunda atau mencegah kematian, memperpanjang usia tetapi bukan meniadakannya. Usaha-usaha yang bisa dilakukan di antaranya dengan penanganan dan pengobatan atas penyakit baik akibat dari kecelakaan, bakteri atau pun virus yang merusak tubuh manusia. COVID-19 yang merupakan virus baru dan belum ada obat atau model penyembuhan sebelumnya sehingga bisa dicegah agar tidak menular melalui isolasi kepada pasien. Isolasi terutama dibuat agar virus terkurung dan tidak mengkontaminasi orang-orang yang masih sehat. Sementara itu, orang-orang diharuskan melakukan sterilisasi dengan mengikuti protokol kesehatan, di antaranya dengan menggunakan masker, menghindari kontak fisik, mencuci tangan dan menyemprotkan disinfektan ke barang-barang di ruang publik yang mudah terpapar oleh virus tersebut.
Ketika kematian terjadi pada pasien COVID-19, maka isolasi kepada tubuh pasien dilakukan dengan sangat rapat tanpa celah udara yang bisa keluar. Dalam pemulasaran jenazah, tubuh secepat mungkin dibungkus kafan, dibalut dengan plastik kedap udara, kemudian dimasukkan ke kantung jenazah sebelum ditutup rapat-rapat di dalam peti. Para petugas penguburan yang umumnya adalah relawan harus menggunakan pakaian sebagai alat pelindung diri ketika membawa dan memakamkannya.[1] Baju-baju mereka dibuat dengan bahan yang kuat, tidak tembus cairan dan bahkan udara. Baju tersebut terbuat dari hazmat (hazardous material) yang digunakan sekali pakai. Tidak bisa dilukiskan bagaimana dalam beberapa jam para relawan pemulasaran dan pemakaman jenazah dibalut dalam pakaian yang sangat panas tersebut. Setelah pemakaman, mereka juga harus membersihkan diri dengan disemprot ke sekujur tubuh dengan cairan disinfektan sebelum mandi dan berganti pakaian sehari-hari.
Tidak mengherankan status pasien COVID-19 menjadi stigma di masyarakat. Stigma ini menakutkan karena setiap orang yang terkena stigma tersebut kemudian diperlakukan secara khusus, dibatasi ruang geraknya dan diisolasi. Stigma itu juga membawa ancaman kontaminasi atau menularkan virus baik sengaja atau tidak disengaja. Stigma adalah tanda tanpa marka (empty signifier) yang bisa melekat pada siapa saja. Pada awal pandemi, stigma sosial terhadap pasien COVID-19 sangat kuat. Pasien dan keluarganya cenderung dikucilkan karena orang takut tertular. Stigma itu membuat banyak penolakan pemakaman jenazah di kuburan kampung untuk pasien COVID-19 meski ahli kubur dan warisnya berasal dari desa yang bersangkutan. Bahkan, ketakutan terhadap stigma tersebut membuat banyak orang juga menolak status pasien COVID-19 bagi anggota keluarganya. Di beberapa daerah, berita-berita media massa mengabarkan terjadinya pengambilan paksa jenazah dari rumah sakit. Besar kemungkinan, ahli waris dan sanak saudara pasien yang meninggal tidak bisa menerima perlakuan khusus yang diberikan kepada pasien COVID-19. Boleh jadi mereka juga ingin menghindari stigma yang dibayangkan memiliki efek menakutkan. Namun demikian, stigma ini berangsur-angsur berubah dengan gencarnya gerakan solidaritas yang membantu mereka yang mengalami beban penderitaan sakit sekaligus pengucilan. Tergerusnya stigma ini juga terjadi karena merebaknya pasien yang terinfeksi tanpa pandang bulu dan terduga di samping rasa kemanusiaan bercampur ketakutan bahwa virus itu bisa menulari siapa saja.
Di desa-desa dan kampung-kampung di wilayah Yogyakarta, orang-orang secara swadaya menutup semua akses masuk dengan menyisakan satu jalan dengan memasang portal pemeriksaan (check point). Semua orang yang melewati jalan masuk tersebut disemprot disinfektan. Bagi orang dari luar daerah, mereka akan diperiksa kartu identitas mereka (KTP). Apabila tanpa surat keterangan atau bebas COVID-19, mereka tidak diperbolehkan tinggal berlama-lama atau menginap di wilayah tersebut. Bahkan warga desa yang bepergian ke daerah zona merah (yang secara statistik penderitanya tinggi) diminta karantina di rumah mereka setelah pulang. Orang menjaga portal desa sepanjang hari bergiliran. Lebih dari jadwal ronda yang hanya dijaga malam hari. Mereka siaga dari ancaman COVID-19 ini ke kampung seperti mewaspadai kejahatan yang bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa tahu siapa pelakunya.
Ketakutan itu mencekam karena perubahan yang tidak pernah terbayangkan terutama menyangkut perbedaan pandangan mengenai tubuh. Lain dengan pandangan medis yang melihat tubuh dalam perspektif biologis, orang-orang kampung memandang tubuh secara kultural. Tubuh yang mati akan kembali ke unsur pembentuknya sementara nyawa akan memulai perjalanan kembali ke asal-usulnya. Secara kultural, tubuh tanpa nyawa akan segera membusuk dan kembali menjadi debu, tetapi untuk mencapai kesempurnaan proses kembalinya itu diiringi dengan ritual yang melibatkan mereka.
Oleh karenanya, segera setelah orang dinyatakan mati, tubuhnya akan disucikan dengan cara dimandikan dengan air bunga dan daun-daunan serta cairan pembersih lainnya seperti sabun dan shampoo. Dalam penyucian ini, tubuh dimandikan secara telanjang dan dilakukan secara tertutup oleh kaum yang ditemani sanak keluarga dekat almarhum. Setelah dimandikan, bagi orang yang beragama Islam, jenazah diberi pakaian berupa kain kafan yang dililitkan ke tubuh sementara sembilan lubang tubuh ditutup kapas. Selanjutnya tubuh dibungkus kain dalam bentuk pocong yang talinya akan dikendorkan ketika sudah berada di liang kubur. Bagi orang Kristen, jenazah dirias dan dikenakan baju terbaik selayaknya akan menghadiri perjamuan. Orang-orang yang memiliki agama dan keyakinan lain memperlakukannya sesuai pandangan mereka tentang keselamatan hidup setelah mati. Jenazah yang sudah disucikan ditempatkan di ruang utama rumah yang tempatnya longgar agar sanak keluarga, handai taulan dan kenalan bisa mendoakan dan memberi penghormatan. Melalui ritual pemulasaran jenazah ini, orang memuliakan tubuh yang telah terpisah dari nyawa yang memulai perjalanan ke alam keabadiannya.
Memaknai Peristiwa dan Ritus Kematian:
Kolaborasi Dwi Oblo dan Enka Komariah
Seperti yang sudah disinggung di atas, kolaborasi karya ini berangkat dari foto Dwi Oblo Prasetyo yang menangkap momen pemakaman jenazah pasien COVID-19. Momen itu memperlihatkan fenomena baru dalam ritual kematian yaitu pemakaman jenazah pasien COVID-19 oleh sekitar 6 relawan yang tergabung dalam Satgas COVID-19. Tidak seperti biasanya, momen itu biasanya dihadiri sanak keluarga, handai taulan dan kenalan almarhum. Saat itu, hanya beberapa anggota keluarga almarhum menyaksikan di kejauhan dan mendekat setelah peti jenazah ditimbun tanah. Tidak ada ratap tangis dan aura dukacita. Suasana begitu datar, hening dan sunyi diterangi sorot lampu mengarah ke Satgas pembawa peti dan liang pemakaman. Momen ini menarik karena memberi suasana sangat pribadi dan duka yang tertahan tidak terlepaskan. Dwi Oblo menangkap suasana pemakaman itu: doa pada jenazah dari Satgas COVID-19 yang berbeda agama dari luar mobil ambulans, peti yang dibawa oleh Satgas yang berpakaian APD hingga diturunkan ke liang kubur dalam hening dan sorotan cahaya lampu di kegelapan malam.
Dalam proses diskusi, Dwi Oblo juga memperlihatkan koleksi foto-foto korban bencana alam dan pemakaman mereka ketika gempa bumi melanda Yogyakarta di tahun 2006 serta erupsi Gunung Merapi 2010. Koleksi ini menjadi foto pembanding dengan situasi pandemi COVID-19. Dari foto-foto bencana gempa bumi terlihat banyak orang mengalami luka benturan sementara dari bencana erupsi tampak menonjol luka dari awan panas. Sebagian besar dari jenazah baik dari gempa bumi maupun erupsi Merapi dikuburkan di pemakaman massal, yaitu pemakaman yang dilakukan di suatu tempat secara bersama-sama. Di pemakaman tersebut ada yang memiliki identitas dan tidak sedikit di antaranya tidak teridentifikasi. Dibandingkan dengan foto bencana, foto korban COVID-19 memperoleh perlakuan khusus dalam prosedur pemakaman meski sebagian dari mereka juga dikubur di pemakaman massal juga. Namun demikian dibandingkan korban bencana alam, korban COVID-19 cenderung teridentifikasi.
Dwi Oblo berusaha memaknai kematian dari momen yang dia saksikan. Dalam konsep Roland Barthes (1981), dia menampilkan studium yang muncul dari spektrum yang dihasilkan kameranya. Studium itu bercerita tentang fragmen budaya seperti gerak-gerik, gesture, ekspresi yang diperlihatkan orang-orang dalam kehidupan mereka. Dwi Oblo berusaha mencari makna-makna dalam ritual kematian yang dipraktikkan orang dalam kehidupan sehari-hari. Dia berusaha mengingat, berdiskusi dan meneliti perangkat simbolik, dan ikon-ikon dalam ritual kematian. Selain bertanya, Dwi Oblo juga mengunjungi warung yang biasa menjadi langganan orang ketika menghadapi kematian. Warung itu memasang papan di atas pintunya berbunyi “Jual makanan roh halus”. Di situ Oblo menemukan perangkat yang berupa rangkaian bunga, bunga tabur, dan peralatan dari memandikan jenazah segera setelah orang dinyatakan mati sampai yang diperlukan dalam prosesi pemakaman.
Foto-foto perangkat ritual kematian yang ditampilkan Dwi Oblo bisa dikategorisasikan dalam beberapa segmen. Segmen pertama adalah ikon ketika orang dinyatakan meninggal dan dimandikan. Foto itu terdiri dari bunga telon (bunga tiga jenis: mawar merah putih, kantil dan kenanga) serta sirih pinang yang ditaruh dalam besek (keranjang anyaman bambu). Bunga ini disajikan ketika orang baru saja meninggal dan diletakkan di salah satu ruang di rumahnya. Kemudian bunga setaman yang diletakkan di tempat memandikan jenazah bersama alat pembersih berupa kunyit, merang, sabun, shampoo, sisir, dan kaca. Diperlihatkan pula potongan pelepah daun pisang (gedebok) yang biasanya dipakai sebagai alas memandikan jenazah. Segmen kedua adalah perangkat ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan biasanya diletakkan di ruang tengah rumah untuk didoakan dan memperoleh penghormatan terakhir. Di situ disediakan bunga yang sudah diuntai (bunga ronce), buket serta bunga yang dicampurkan ke dalam air yang ditaruh dalam bejana. Sesaji berupa pisang raja dengan bunga serta sirih pinang, bubur merah dan putih bersama lampu (teplok) dan anglo pembakar kemenyan diletakkan di dekat jenazah. Pada segmen ini orang tua sering membagi-bagikan singgul kepada anak-anak untuk dioleskan di jidat dan kuku. Singgul dibuat dari kunyit (Curcuma Domestica), dlingo (Acorus Calamus) dan bengle (Zingiber Cassumunar) yang ditumbuk dan dicampurkan. Singgul baunya menyengat yang membekas dalam ingatan. Penanda ini diyakini menjadi penangkal sawan (penyakit atau mara bahaya yang dibawa kematian). Selain itu perangkat berupa payung, bunga tabur, kendi, dan uang yang dicampur beras kuning dipersiapkan untuk prosesi membawa jenazah dari rumah menuju pemakaman.[2]
Kendati demikian perangkat ini umumnya disajikan untuk ritual kematian di luar situasi darurat seperti bencana maupun pasien dari pandemi COVID-19 ini. Rupa-rupanya orang bisa memberi pemakluman untuk kondisi tersebut karena seperti yang disaksikan Dwi Oblo pada orang yang meninggal bukan karena COVID-19 diritualkan kembali seperti yang lazim dilakukan. Memang untuk penganut agama dan keyakinan tertentu banyak aspek ritual tersebut ditiadakan karena bertubrukan dengan ajaran keyakinan mereka. Saiful Hakam (2021) mengamati bahwa Yayasan Bunga Selasih yang memberi pelayanan bagi umat muslim dalam urusan kematian tidak menjalankan tradisi seperti yang dilakukan di kalangan orang Jawa. Meskipun begitu beberapa praktik ritual meski tidak penuh sering diberi toleransi untuk dilakukan. Dengan demikian, ritual-ritual itu berjalan dinamis sesuai kebutuhan pendukungnya. Perubahan-perubahan dalam ritual niscaya terjadi di kalangan masyarakat yang terus berubah.
Karya fotografi Dwi Oblo membersitkan rasa penasarannya terhadap makna simbolis kematian dan perubahan-perubahan dalam ritualnya yang menerabas tradisi dan kebiasaan dalam masyarakat Jawa di Yogyakarta. Karya-karya ini memberi kesan yang mendalam di benak Enka Komariah. Dia memindahkan studium dalam foto itu ke dalam lukisan hitam putih. Lukisan tersebut disusun dalam bentuk kolase dan dibuat di atas kain kanvas yang kemudian dijahit menyerupai APD yang dipakai oleh Satgas COVID-19. Enka kemudian menempatkan sebuah kerangka besi di belakangnya sebagai penopang Yamadipati (dewa pencabut nyawa) di atasnya. Berikut lampu diletakkan lebih tinggi dan payung yang menaungi tiga elemen sebagai ikon kematian. Enka menafsirkan kematian sebagai keniscayaan yang ditandai oleh kehadiran dewa pencabut nyawa Yamadipati yang siap mengambil nyawa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Alih-alih dipandang sebagai kegelapan, kematian diterangi oleh cahaya keabadian dan dinaungi keteduhan.
Enka Komariah berusaha berbagi cerita dari punctum yang ditangkapnya setelah melihat foto-foto Dwi Oblo. Roland Barthes (1981:43) melukiskan punctum sebagai sesuatu yang menusuk dari spektrum foto seperti anak panah yang melesat keluar. Punctum muncul dari detail yang tidak disengaja atau tidak terkendali oleh fotografer. Punctum menorehkan kesan yang dalam diingatan ketika orang melihat foto dan memejamkan matanya. Punctum menunjuk ke detail foto yang menyampaikan makna tanpa merujuk pada sistem simbolik yang bisa dikenali. Makna ini subyektif sifatnya – tergantung pada respons individu yang melihat foto. Dalam pengertian ini, bisa dipahami bahwa Enka tidak hanya berhenti menghasilkan karya instalasi seperti yang diuraikan di atas, tetapi juga membawa instalasi tersebut ke situs-situs yang dia pandang menjadi sumber bencana. Dia mencoba menyingkap makna kematian dengan berusaha merasakan auranya sekaligus mengajak penonton karyanya ikut mengalami melalui aksinya (laku). Perjalanan dan aksinya tersebut didokumentasikan dalam karya video yang diputar sebagai bagian pameran.
Situs-situs yang dikunjungi Enka dengan karya instalasinya adalah Tempuran Kali Opak dan Kali Oya – pertemuan Sungai Opak dan Sungai Oya di Bantul. Situs kedua adalah Kepuharjo dan yang ketiga adalah makam Sasonoloyo di kerkop Yogyakarta. Tempuran Opak dan Oya ditengarai sebagai episentrum gempa Yogyakarta 6 Mei 2006 dini hari. Gempa itu merenggut setidaknya 6.000 korban jiwa dan ribuan orang lainnya yang luka-luka. Kepuharjo merupakan jalur yang dilalui awan panas erupsi Merapi 2010. Ratusan korban jiwa yang berjatuhan di wilayah itu tersapu awan panas, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Sementara di Sasonoloyo, kerkop THR, Enka mengunjungi makam-makam pasien yang meninggal karena COVID-19. Situs-situs ini berada di wilayah-wilayah marjinal, jarang atau hampir tidak dikunjungi orang tanpa intensi tertentu seperti yang dilakukan Enka Komariah. Bukan pula berada di pusat aktivitas maupun interaksi sosial atau hiruk pikuk aktivitas sehari-hari. Di wilayah tersebut batas antara hidup dan mati, yang ada dan tiada, yang nyata dan maya begitu tipis. Beberapa peneliti mengkategorikan situs semacam itu sakral (Durkheim, 1965; Eilade, 1959) atau liminal (Turner and Abrahams, 2017). Dengan demikian, proses perjalanan dan aksi ini lebih merupakan peziarahan mengingat lokasi yang dikunjungi berada dalam status sakral atau keramat.
Perjalanan ke situs tersebut dalam dokumentasi video diiringi syair tembang kematian dari Kembara Sunyi dan yang dilantunkan Ki Sudrun (https://youtu.be/YPEUkCU3W3U dan https://youtu.be/9nwMuSBYmis). Syair tembang tersebut berbahasa Jawa diikuti terjemahan Bahasa Indonesia. Versi terjemahan Bahasa Indonesia yang tersaji berikut kami modifikasi dari terjemahan dalam video berdasarkan arti yang kami tangkap. Syair itu berbunyi:
Kawruhana
Dununge wong urip pun iki
Lamun mbenjang yen wus palastra
Wong mati nyang endi parane
Upamakno peksi mabur mesak saking kurunganipun
Upamakno wong lungo sanja
Jang sinanjang wong lungo sanja, wajibe mulih
Mulih neng ngisor semboja
Ketahuilah
Sejatinya letak hidup ini
Besuk ketika tiba waktunya mati
Orang mati kemana mereka akan pergi
Ibarat burung yang terbang keluar dari sangkarnya
Ibarat orang yang pergi bercengkerama
Pastilah orang pergi bercengkerama, dia pasti kembali pulang
Pulang kembali di bawah pohon kamboja
Syair di atas menegaskan bahwa kematian adalah kodrat setiap manusia seperti halnya orang pergi pasti akan pulang. Kematian akan terjadi cepat atau lambat pada setiap insan manusia. Kematian diibaratkan pulang. Pulang di bawah pohon Kamboja (Plumeria) yang berkonotasi dengan makam karena pohon kamboja sering ditanam di makam.Di situs-situs yang dikunjunginya, Enka mengajak kita meresapi suasana hening (suwung), suasana yang terjadi persis manakala kematian terjadi. Saat orang kembali ke titik nol. Pulang… Di Tempuran Opak dan Oya, hening itu berada di antara suara gemericik air yang mengalir dan tiupan angin. Suasana itu kemudian ditempa oleh bunyi genta yang dipukul mengikuti irama titir “Rajapati” – irama yang dibuat dari ketukan-ketukan nada untuk mengabarkan kematian. Sebelum pengeras suara digunakan di masjid-masjid apalagi media sosial belum ditemukan, lazim orang menggunakan kentongan (kayu atau bambu yang dilobangi di bagian tengah) sebagai pembawa kabar bagi warga masyarakat dengan irama pukulan yang berbeda-beda untuk setiap kejadian. Enka mengabarkan Rajapati sambil menggendong instalasinya – baju APD dengan lukisan kematian dan Yamadipati yang diterangi cahaya dan dinaungi payung. Dia berjalan berputar-putar di tempat itu. Hal yang sama juga dilakukan di Kepuharjo – wilayah yang tersapu awan panas Merapi 2010. Di sini suara angin menonjol dalam keheningan. Sementara di Sasonoloyo, Enka berkunjung menabur bunga ke makam-makam korban COVID-19 dengan pola aktivitas yang sama. Di balik tindakan dia yang mencari makna kematian terbersit kehendak mengingatkan kita, penonton dan orang-orang yang masih hidup untuk mengalami mati (Mati Sajroning Urip). Kematian bukan lah kesia-siaan tetapi kewajaran. Ketika mati, kita kembali pada titik nol, suwung awang-uwung, akhir dan sekaligus awal dari kehidupan.
Penutup
Kematian adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Tidak ada seorang insan pun yang bisa mengingkarinya. Bahkan teknologi kedokteran pun hanya bisa menunda saatnya tiba. Secara medis, manusia dipandang tidak berbeda dengan makhluk hidup lain yang akan mengalami kematian. Hal ini berbeda dengan pandangan kultural orang kematian. Di Jawa yang kami amati, kematian dipandang terpisahnya nyawa/roh dari tubuh. Nyawa kembali pulang ke asal-usulnya sementara tubuh kembali akan terurai pada unsur-unsur pembentuknya yang terdiri dari air, api dan tanah. Oleh karenanya, ritual kematian memiliki arti penting diselenggarakan karena mengantarkan roh pada keabadian serta memuliakan tubuh pada unsur-unsurnya. Secara sosial, ritual kematian melalui perangkat dan tindakan simbolis membantu orang-orang yang ditinggalkan untuk mengatasi duka cita – secara ikhlas melepaskan seseorang yang pernah merajut kehidupan bersama.
Di masa pandemi COVID-19, ritual kematian itu berubah oleh kondisi darurat. Demi keselamatan bersama yaitu memutus mata rantai dan mencegah penularan penyakit, isolasi dan sterilisasi dilakukan dengan mencegah tubuh saling bersentuhan. Apalagi dengan pasien yang meninggal karena wabah itu. Ritual kematian menjadi sangat personal dan jauh dari luapan emosi orang-orang yang pernah membangun ikatan sosial bersama. Kesedihan dan duka-cita menggantung dan tidak terlepaskan. Namun demikian, orang tampak maklum dalam kondisi darurat ini karena ketika penyebaran wabah penyakit berkurang dan kematian tidak disebabkan oleh wabah itu, tradisi ritual kembali berjalan seperti sedia kala.Karya-karya yang disajikan Dwi Oblo melalui fotografinya memperlihatkan simbol-simbol ritual dan signifikansinya dalam kehidupan warga masyarakat. Makna bisa berubah sesuai konteksnya dan orang selalu memberi arti terhadap dinamika yang berlangsung secara fleksibel dan kreatif meski kadang melalui ketegangan. Karya Dwi Oblo menunjukkan bahwa hidup selalu diliputi oleh kematian (Mati Sajroning Urip). Sementara Enka Komariah lebih jauh mengajak kita menyelami dan mengalami kematian (Urip Sajroning Pati) melalui karya sebagai medianya. Kita diajak merenungkan dengan mencari dan kembali pada suasana hening dan titik nol – ketika kita tidak menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Endnotes
[1] Para petugas COVID-19 di Yogyakarta dan berbagai wilayah lain di Indonesia terdiri dari para relawan. Mereka disebut relawan karena tugas itu mereka kerjakan semata-mata membantu tanpa mengharap imbalan. Memang ada di beberapa daerah para relawan ini juga diberi honor atau insentif, tetapi dibandingkan dengan aktivitas mereka tanpa mengenal waktu dan mempertaruhkan keselamatan sebutan relawan ini lebih tepat. ⤴️
[2] Perangkat ritual ini bervariasi di berbagai tempat di Jawa dan berubah/berbeda sepanjang perjalanan waktu. Dalam komunitas Muhammadiyah atau Kristen misalnya, perangkat dan benda-benda yang dipakai dalam ritual cenderung tidak dipakai. Sebagai gantinya komunitas tersebut cenderung menggunakan perangkat modern yang lebih praktis. Misalnya untuk memandikan jenazah hanya diperlukan sabun mandi, shampoo dan pembersih seperti bayclin. Bunga-bunga dipakai sebatas untuk menghiasi rumah duka atau makam. Meskipun demikian, ada di antara mereka yang juga masih menggunakan meski tidak selengkap dalam tradisi di atas. ⤴️
Bibliografi
Barthes, R. (1981). Camera lucida: Reflections on photography. Macmillan (1964). The Rhetoric of the Image: Image, Music. Text [trans. S. Heath, 1977]. London: Fontana.
Ciptopawiro, A. (1992). Filsafat Jawa. Semarang: Balai Pustaka.
Durkheim, E. (1965). The elementary forms of the religious life [1912] (p. 414).
Eliade, M. (1959). The sacred and the profane: The nature of religion (Vol. 81). Houghton Mifflin Harcourt.
Hakam, S.(2021). Kota & kematian: Konteks historis dan sosial kemunculan Yayasan Bunga Selasih. Pustaka Aksara.
Hockey, J.(1993). Pengalaman-pengalaman menjelang ajal: Sebuah Catatan Antropologi. PT BPK Gunung Mulia.
Indriati, E. (2003). Mati: tinjauan klinis dan antropologi forensik. Berkala Ilmu Kedokteran, 35(2003).
Soepomo, P. et al (1980). Studi Kepustakaan tentang Menelusuri identitas Kepecayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Subagya, Y. T. (2005). Menemui ajal: etnografi Jawa tentang kematian. Kepel Press.
Turner, V.(2017). The ritual process: Structure and anti-structure. Routledge.
https://youtu.be/YPEUkCU3W3U diunduh 20 Februari 2022, 23.28
https://youtu.be/9nwMuSBYmis diunduh 20 Februari 2022, 23.30
Tentang Penulis

Yustinus Tri Subagya adalah dosen di Program Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma. Dia memperoleh gelar sarjana di Jurusan Antropologi, Universitas Gadjah Mada, tahun 1966. Ia kemudian melanjutkan dan menamatkan pendidikan Master di Sociology and Anthropology Department, Ateneo de Manila University, tahun 2001. Pendidikan doktoralnya diselesaikan di Radboud University Nijmegen, Belanda, 2010-2015. Sejak mahasiswa, Tri aktif meneliti dan bekerja di Konsorsium Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo), Yayasan Dian Desa, dan Oxfam (Inggris). Dia juga pernah menjadi peneliti di Pusat Studi Kebudayaan dan Pusat Studi Asia Pasifik, UGM. Dari tahun 2003 – 2009, dia menjadi pengelola program di Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP).Minat penelitiannya di beberapa bidang meliputi Hak Azasi Manusia, Resolusi Konflik, Ekologi, Soal Etnik dan Agama, Seni dan Budaya Pop. Beberapa buku dan artikel terbitannya yang ditulis sendiri maupun bersama tim, antara lain Perbincangan Umum tentang Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia; The Development Impact of Solar Home System in Indonesia; Menemui Ajal, Etnografi Jawa Tentang Kematian (Kepel Press, 2005); Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut (Galang Press, 2006), Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi: Kesehatan Reproduksi Masyarakat Poso Paska Konflik Bersenjata (2005); Women’s Agencies for Peace and Reconciliation: Voices from Poso, Sulawesi (2009); dan Support for Ethno-religious Violence in Indonesia (Universitas Sanata Dharma, 2015).
Pingback: DEATH IN LIFE, LIFE IN DEATH: THE BODY AND DEATH AMONG JAVANESE PEOPLE | CEMETI
Pingback: Situs Metaforis 02: “TUBUH” | CEMETI