
CERPEN BERJUDUL “BAU Busuk” karya Eka Kurniawan menawarkan pengalaman penubuhan yang menarik karena cerpen sepanjang dua ribuan kata itu ditulis hanya dengan satu titik di bagian akhir tulisan, memaksa kita untuk membacanya tanpa henti, yang jeda singkatnya hanya ditawarkan banyak koma di sepanjang tulisan dan karena tak bertitik maka ia juga tak berparagraf, oleh karena itu saat membaca, kita akan tersengal-sengal, mencari cara menarik nafas di sela rangkaian kalimat tak berujung yang menceritakan bau busuk di seantero penjuru kota, bernama Halimunda yang penduduknya tidak lagi dibuat terkejut oleh bau busuk itu, meskipun Halimunda dipenuhi bau karena ia adalah sebuah tempat yang dipenuhi mayat separuh orang-orang komunis di sana, yang katanya mereka mati ketika sedang mengerjakan hal-hal konyol mulai dari berjalan tidur, mengajari anak main sepeda, melumasi kemaluannya dengan sabun, duduk di kursi tukang cukur dan semacamnya, dan hal-hal konyol yang remeh ini mungkin tidak akan mudah terpahami oleh kita sebagai pembaca karena kita cenderung bergegas mencari dimana tanda titik di akhir kalimat, dan tepat di sinilah menariknya karena kita sudah mengacuhkan hal-hal konyol seperti itu sehingga mereka terlewat begitu saja hanya karena kita mulai kehabisan nafas mencari cara berhenti membaca yang biasanya difasilitasi oleh tanda titik, yang tentu pengalaman itu berpotensi mengingatkan siapapun yang membaca pada perjumpaan dengan bau busuk yang pernah mereka alami baik itu mungkin bau busuk dari medan peperangan, pembongkaran kuburan, anyir sungai dan bengawan tempat membuang mayat orang komunis seperti Halimunda atau sekedar busuk sampah di bawah tempat cucian piring yang abai dibuang atau tikus mati terjepit rangka baja di atas rumah kita, dan ketika nafas itu tak juga bisa dicarikan tempat untuk menariknya, saya mulai berpikir bagaimana pengalaman penubuhan dan ingatan akan perjumpaan dengan busuk seperti isi dan bentuk cerpen itu bisa ditransfer ke dalam pertunjukan atau performance, yang seharusnya relatif lebih mudah karena memang pertunjukan memanfaatkan pengalaman multisensor sehingga pengalaman mencium bau termasuk bau busuk bisa dialamai, namun perkara menjadi pelik karena pertunjukan yang biasanya kita lihat langsung atau live akan kita lihat lewat layar tebal yang keras, kebas, kebal, dan dingin yang menahan bau yang disodorkan pertunjukan itu untuk sampai ke hidung kita, dan kepelikan itulah yang menjadi tugas saya di sini untuk merefleksikannya dengan mempertanyakan bagaimana kita bisa mencium bau busuk dalam layar itu, dan pertanyaan semakin rumit ketika kita tahu bahwa dalam proyek Rotten TV itu sendiri ada sub-tema yang dikerjakan senimannya di Situs #1 yakni Land atau Lahan, dan kerumitan ini tak hanya berhenti di sini karena seniman yang juga menarik perhatian saya di sini yakni Jessica Ayudya Lesmana memperuncing tema Lahan dengan proyeknya sendiri tentang hak untuk mati bagi para transpuan yang tadinya saya pikir akan jadi tema proyek Rotten TV Situs #1 yang lebih spesifik sampai akhirnya saya menemukan bahwa Jessica mengerjakannya sendirian sementara kolaboratornya dari Performance 69 yakni Prashasti Wilujeng Putri atau Asti dan Dini Adanurani atau Dini juga mempunyai perspektif sendiri terkait subtema Lahan, dan ini membuat Rotten TV Situs #1 mempunyai empat lapis bagi saya yakni lapisan tema Rotten atau busuk, lapisan tema Lahan, lapisan tema hak untuk mati dari Jessica dan lapisan interpretasi yang dipertunjukkan secara kolektif oleh Jessica, Asti dan Dini sebagai tiga karya berdampingan, yang mungkin membuat kita bertanya kenapa harus dilapis-lapisankan begitu, bukankah pada akhirnya tema menggelinding jadi satu, ya benar, tapi jangan lupa kalau tema itu juga tidak datang dalam satu gelombang tapi bertahap dalam intepretasi seperti yang saya urutkan tadi, untuk itu saya juga berusaha untuk tidak terus-menerus melihatnya sebagai hasil gelondongan akhir tapi juga bertahap, dan hal lain yang ingin saya tegaskan adalah sekalipun saya melihat karya ketiga seniman itu lewat layar komputer, saya mencoba mengabaikan kenyataan media itu dan berusaha membayangkan dulu bagaimana kalau saya melihat pertunjukan itu secara langsung, dan kenapa langsung, ya bukan karena saya anti mediasi dan menolak layar tapi karena tema payung proyek ini yakni Rotten sendiri atau bau busuk hanya bisa dikenali lewat pertunjukan langsung dan bukan lewat layar, dan saya juga perlu menggarisbawahi di sini itulah ironi yang dimunculkan Rotten TV sejak awal karena kata TV di belakang Rotten hanya menjanjikan pengalaman audio dan visual tapi bukan penciuman, sementara pertemuan kita dengan rotten atau busuk selalu diawali dan didominasi dengan pengalaman penciuman, dan sesuatu yang hanya kita lihat busuk atau kita dengar busuk akan sulit disebut busuk jika ia tidak berbau dan kadang ia hanya disebut hancur atau rusak, dengan begitu gagasan busuk melampui kemampuan kita dalam melihat atau mendengar yang ditawarkan oleh TV, dan alasan kedua kenapa saya membayangkan karya itu perlu dilihat dan dibayangkan secara langsung karena pada konteks Jessica sebagai transpuan modalitas mengakes pertunjukan ini secara langsung penting mengingat perjumpaan dengan transpuan yang termediasi dan tak termediasi akan sangat berpengaruh pada pengalaman itu sendiri, misalnya saja satu orang bisa tertawa-tawa terhibur melihat transpuan yang melucu dan bermain komedi dalam TV seperti yang sering ditawarkan media kita, tapi apakah ia juga akan bahagia jika harus duduk bersebelahan dengan transpuan di transportasi umum, atau bisa jadi bersebelahan duduk dalam kereta malam Jogja- Jakarta, dan dua modalitas perjumpaan yang berbeda ini, langsung atau termediasi, akan semakin berbeda kalau si orang itu homophobik atau lebih lagi transphobik, di sini kita lihat pengalaman perjumpaan termediasi berbeda dengan perjumpaan langsung, dan contoh ini adalah contoh yang umum menjelaskan kenapa diskusi tentang performativitas penting dalam queer performance karena ia sedang tidak hanya menunjuk performance atau pertunjukan itu tapi juga performativitas dalam pengertian gagasan-gagasan identitas siapa dan bagaimana transpuan menjadi transpuan, dan hal ini Anda boleh percaya atau tidak, tidak akan berlaku sekompleks itu pada konteks Asti dan Dini, dan ini bukan berarti saya mengatakan menjadi perempuan adalah juga aman, tapi setidaknya heteronormativitas merestui kehadiran mereka di dunia ini, dan kalau ditarik lebih jauh sampai ke tema yang dibawa Jessica, dunia merestui dan mengijinkan mereka memakai nama Asti dan Dini dari lahir sampai mati, sementara tidak untuk Jessica, mengingat nama yang ia semangatkan akan mengundang perkara, dari pertama ia pakai, terbawa dalam kehidupan sehari-hari semisal dipanggil dengan nama laki-laki dan dipermalukan di sana saat antri di Tempat Pemungutan Suara atau TPS saat Pemilu dan jadi dagelan masyarakat yang mengantri, hingga ketika ia nanti mati dan sulit meminta nama barunya ikut ia bawa ke liang lahatnya, untuk itu terima kasih Jessica kamu sudah bangun dan meronta, untuk itu Jessica terima kasih karena kamu bangun pagi ini dan tetap meronta, untuk itu Jessica terima kasih kalau besok pagi kamu bangun dan masih meronta lagi, dan terima kasih Jessica sudah mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah gumuk pasir, ia ringsek masuk dan membenamkan kaki kita, mempesulit langkah kita karena ia tidak mengijinkan kita menginjaknya dengan sepatu perempuan, dan tepat di sinilah saya semakin membayangkan karya Roten TV perlu dilihat dan dibayangkan secara langsung karena seperti yang secara klasik diingatkan Peggy Phelan bahwa pertunjukan adalah representasi tanpa reproduksi, ia tidak dilihat dari kamera, direkam dan lalu disiarkan sehingga kita bisa merasakan dingin pasir yang diinjak Jessica yang menyimpan air laut, dan pengalaman langsung atau live ini pada konteks pertunjukan Dini jadi menegaskan ironi makanan dalam kulkas sementara kita bisa berdiri di bedeng sawah yang sama, dan mungkin tergigit oleh semut atau belalang yang sama, dan pada Asti bau hutan pinus bukan akan menyegarkan tapi memusingkan kepala karena pinus-pinus yang berderet kembar itu sedang dipertentangkan dengan imaji-imaji diri, patahan dan pantulan diri yang terpecah-pecah, terpantul dalam potongan cermin, memunculkan pengalaman keruangan yang tidak hanya alami namun juga terintervensi, dan pengalaman-pengalaman merasakan lahan dan ruang itulah yang muncul kalau kita melihat karya Jessica, Asti dan Dini secara langsung tanpa lewat layar, agar kita tidak hanya mengenali bau busuk yang sedang mereka renungi tapi juga sensasi keruangan dan ketubuhan dalam lahan-lahan yang berbeda, yang basah dan berangin pada pantai pasir hitam, yang subur dan menguning pada sawah dekat perumahan, yang hijau, vertikal dan seragam pada hutan pinus, tapi ya itu semua tidak terjadi karena kita melihat pengalaman bau dan berada pada satu lahan lewat layar, dan marilah kita sekarang masuk ke sana, melihat apa yang terjadi ketika modalitas melihat karya mereka berubah menjadi media yang terekam, bisa diperlambat, dipercepat dan diputar ulang karena sudah tidak lagi ephemeral, bagaimanakah kita bisa mengenali bau busuk yang mereka tawarkan dalam layar, yang pada titik ini saya perlu mengambil contoh yang lebih kongkrit lewat ketubuhan dan otobiografi Jessica sebagai transpuan, dan sebelumnya kita bisa sedikit menggambarkan karya Jessica, dan perlu dicatat pertama bahwa karya berjudul Another Land to The Utmost Happiness ini dimulai dengan Jessica yang mengenakan gaun putih, selop hak sedang berwarna merah dan menggunakan riasan yang seperti siap mengantarnya ke sebuah pesta, dan di sini Jessica bangun di tengah tumpukan sampah, menyuguhkan tidak hanya kontradiksi gaun putih dan jijik busuk bukit sampah, namun juga menawarkan pertanyaan apakah gaun putih adalah cara masuk kematian, yang sekalipun kamu terbangun dengan cantik gaunnya, kamu sudah membusuk seperti sampah, atau kamu adalah sampah yang cantik entahlah, saya sendiri tidak ingin menyodorkan coding di sini tapi proses dan pengalaman emosional ketubuhan atau affect, dan setelah bangun Jessica melangkah perlahan menyebarkan selebaran putih, duduk di bawah menara bambu yang sama sekali tak kokoh, sebelum kemudian ia berjalan menuju gundukan pasir yang ditancapi berbagai papan transparan kecil yang bertuliskan berbagai kata seperti waria, banci, stigma, diskriminasi, dan gundukan pasir itu sepintas nampak seperti kuburan baru yang mayatnya mungkin baru ditimbun sore yang lalu, dan Jessica duduk di atasnya, setelah sebelumnya menanggalkan gaun putihnya dan hanya mengenakan satu bawahan pendek dan sepotong kutang, menggelar tubuhnya yang selama ini jadi sumber konflik, karena tubuh itu menyimpan petaka begitu kata system heteronormative, karena yang Jessica lahirkan secara baru dalam hidupnya dianggap tidak sama dengan apa yang diberikan kepadanya saat lahir, karena dengan demikian pertunjukannya menunjuk dan merujuk pada apa yang tidak sedang ia tunjukkan, yakni lapisan identitas yang kompleks yang bertarung dengan sistem sosial, dan singkat kata performance-nya menyiratkan performativitas, dan performativitas yang saya tunjuk di sini tidak hanya mengarah pada aspek-aspek teknis dan estetis dalam performance itu sendiri seperti dimana dan bagaimana ia bergerak, sepatu dan gaun apa yang ia pakai, cara ia berdandan, tapi performativitas yang menawarkan pembongkaran gagasan atas aku ini siapa, dan bagaimana aku akan disebut aku, siapa yang selama ini memberi validasi siapa aku, dan kita menyebutnya sebagai pembongkaran gagasan perihal identitas, dan dengan demikian tubuh Jessica yang hanya bercelana pendek dan berkutang menegaskan dua hal sekaligus, yakni tubuh transpuan yang sedang berada di atas gundukan pasir itu dan tubuh-tubuh transpuan yang pernah mati atau kelak mati dan terkubur dalam gundukan tanah, membusuk setelah mengalami diskriminasi selama hidupnya dan harus mengalaminya lagi sekalipun tubuhnya sudah mati dan mau membusuk tanpa boleh dan berhak memakai nama transpuan mereka, karena konon system heteronormative hanya mengenal laki-laki dan perempuan, dan bukan transpuan, dan kalau namamu dulu laki-laki ya bawalah itu sampai mati, sistem itu tak memberi transpuan hak untuk membawa nama transpuannya sampai mati, dan pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita menggunakan performativitas dan aspek ruang dan waktu secara langsung atau liveness seperti itu untuk mencium bau busuk dari layar, kalau kita kembali ke pemahaman awal bahwa pertunjukan adalah representasi tanpa reproduksi seperti yang sampaikan Peggy Phelan, kita paham bahwa pemahaman itu bisa jadi problematik karena ia seperti menyiratkan bahwa pertunjukan harus langsung, live, mempunyai kesamaan ruang dan waktu dengan penonton, dan dengan demikian yang terekam tidak bisa disebut live, namun kita juga bisa memikirkan pendapat yang lebih baru bahwa liveness atau aspek yang menunjukkan kesamaan ruang dan waktu antara penampil dan penonton ini selalu dan melulu dirumuskan dari perspektif penampil semata, tidak dari perspektif penonton, dan ini jadi penting karena pemahaman ini mengenali resepsi yang berbeda dari penonton ketika menyaksikan satu rekaman yang sama baik itu foto ataupun video, semisal kita tetap merasa dekat dan kehilangan ayah kita yang sudah meninggal sekalipun hanya melihat foto atau video ulang tahunnya, dan itu berarti ada perasaan dan pengalaman yang selalu baru yang dialami penonton, dan untuk itulah berkembang gagasan-gagasan baru yang juga menggarisbawahi pentingnya melihat aspek liveness dari penonton, dan pada kasus karya Jessica kita bisa menggunakan pemahaman baru ini untuk melihat bagaimana peran kita sebagai penonton dalam merumuskan liveness ini dapat membantu kita mencium bau busuk Rotten TV secara umum dan terkhusus bau busuk Situs #1 atau karya Jessica, yakni dengan cara mengaktifkan agency kita dalam mengalami liveness lewat perspektif kita sendiri sebagai penonton, lewat pengalaman kita sendiri tidak hanya dengan performance Jessica dalam layar, tapi juga mengenali performativitas yang sedang ia tembakkan ke luar layar, ke luar dinding galeri, ke luar praktik artistik dan bertemu dengan praktik-praktik lain dalam kenyataan sosial, dan kita bisa melakukannya hanya jika kita mengenali dan memahami apa yang terjadi pada transpuan di luar sana, yang dibakar hidup-hidup, yang mati kelaparan selama pandemi, yang mungkin sulit jadi pegawai negeri, yang selalu dijadikan komedi di televisi dan seterusnya, dan seterusnya dan dengan memperluas pemahaman kita pada liveness, dimana penonton punya andil besar untuk menghidupkan kembali apa yang terekam, dan juga melihat performance dengan mempertimbangkan performativitas dalam perkara identitas, saya meyakini bahwa keberhasilan untuk mengenali dan mencium bau busuk dalam Situs #1 tidak hanya menjadi tanggung jawab senimannya, tapi juga tanggung jawab kita sebagai penontonnya, dan keberhasilan mencium bau busuk dalam Situs #1 hanya berhasil jika penonton mengenali bau busuknya dalam kenyataan sosial, dengan begitu perlu dipertanyakan jika kita gagal mencium bau busuk dalam layar Situs #1, berhasilkah kita juga dalam mencium busuk kenyataan sosial, mencium busuk diskriminasi pada transpuan, dan buat saya kalau kita gagal mencium bau busuk yang ditampikan Rotten TV Situs #1 Lahan dalam layar, hal itu bukan melulu karena bau itu tertahan layar atau tidak tapi karena kita juga tidak berhasil mencium bau busuk dalam kenyataan sosial, kita melihat yang diskriminatif menjadi kenormalan, membiarkannya berjalan karena sekalipun menghakimi dan menyakiti tubuh-tubuh tertindas seperti transpuan, diskriminasi itu sudah terjadi sehari-hari dengan normalnya dan dengan begitu jangan salahkan layar kalau kita gagal mencium busuknya karena kita sendiri sudah kebas dan lupa apa itu busuk dalam kenyataan sosial, dan sampai di sini sudah bukan hanya tanggung jawab si performer lagi untuk memastikan kita mencium bau busuk tersebut tapi itu juga tanggung jawab kita yang menyaksikannya, apakah hidung masih terlatih mencium busuk, karena kalau tidak, kita jadi seperti penduduk Halimunda yang terbiasa dengan bau busuk itu sekalipun baunya menyeruak dari jalan-jalan dan lorong-lorong dan ladang-ladang dan baunya mengambang ke dapur-dapur, ruang-ruang kelas tempat anak-anak bersekolah, dan ya jangan-jangan kita sudah tidak dibuat terkejut dengan bau busuk itu karena kita adalah orang-orang Halimunda seperti yang diceritakan cerpen “Bau Busuk” karya Eka Kurniawan.
New York City, 7 Februari 2022
Catatan untuk Rotten #1: Lahan
Joned Suryatmoko
Catatan tambahan
- Cerpen “Bau Busuk” bisa dibaca di Eka Kurniawan. “Bau Busuk”, dalam Cinta Tak Ada Mati oleh Eka Kurniawan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017),114-122.
- Untuk terjemahan Bahasa Inggris cerpen tersebut silahkan lihat Eka Kurniawan dan Annie Tucker. “Rotten Stench.” Columbia: A Journal of Literature and Art 55 (2017), 188-193.
- Transpuan yang dipanggil nama laki-laki di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan dipermalukan media bisa dibaca di “Waria Ngamuk ke Petugs TPS Gara-gara Dipanggil Nama Aslinya, Lucu Banget, Ini nama Aslinya” lewat https://wartakota.tribunnews.com/2019/04/17/waria-ngamuk-ke-petugas-tps-gara-gara-dipanggil-nama-aslinya-lucu-banget-ini-nama-aslinya diakses 7 Februari 2022.
- Tentang representasi tanpa reproduksi silahkan lihat Peggy Phelan. Unmarked, The Politics of Performance. (London dan New York: Routledge, 1993).
- Pentingnya memperhitungkan penonton dalam mengindentifikasi liveness silahkan lihat Amelia Jones dan Adrian Heathfield (eds). Perform, Repeat, Record, Live Art in History (Bristol dan Chicago: Intellect, 2012).
- Transpuan yang dibakar hidup-hidup dapat dibaca di “Mira, Transpuan Yang Dituduh Mencuri dan Meninggal Dibakar,” lewat https://www.kompas.id/baca/metro/2020/04/06/mira-transpuan-yang-dituduh-mencuri-dan-mati-dibakar, diakses 7 Februari 2022.
- Transpuan yang meninggal selama pandemi bisa dibaca di “Kisah Belasan Waria di Yogyakarta Meninggal Selama Pandemi Corona: Kekurangan Nutrisi hingga Depresi” lewat https://www.kompas.tv/article/193037/kisah-belasan-waria-di-yogyakarta-meninggal-selama-pandemi-corona-kekurangan-nutrisi-hingga-depresi, diakses 7 Februari 2022.
Terima kasih untuk Ridho Afwan Rahman dan juga Aik Vela yang sudah mewakili semua indra saya di setiap kesempatan proses, workshop dan pertunjukan di Situs 01.
Tentang Penulis

Joned Suryatmoko adalah seniman teater, peneliti, serta penulis yang tertarik pada batas dan hubungan teater, performance art, dan pertunjukan secara umum, terutama pada yang otobiografis dan fiktif. Ketertarikan praktik artistik dan risetnya kini berkisar pada isu kewarganegaraan dan queer performance/studies. Ia bekerja sebagai Direktur Konferensi Pertunjukan dan Teater Indonesia, sebuah konferensi yang dirancang untuk memproduksi dan menyebarkan pengetahuan pertunjukan dan teater dengan mempertemukan seniman, praktisi, dan juga akademisi. Sebagai penulis dan seniman, karyanya pernah dipertunjukkan di antaranya di PEN Festival New York City, Melbourne Fringe Festival, Asia Playwright Meeting (Tokyo dan Melbourne), serta Arts Summit 8.0. Joned adalah Kandidat PhD di Program Theatre and Performance, the Graduate Center, City University of New York (CUNY), serta Asian Cultural Council (ACC) Graduate Fellow.
Pingback: We fail to smell the rotten stench on the screen and can we smell it in social realities | CEMETI
Pingback: Situs Metaforis 01: “LAHAN” | CEMETI