Daftar Isi
Pengantar Kuratorial | Deskripsi Karya dan Biografi Seniman | Dokumentasi

Pameran & Diskusi Publik
BODY JOURNEY
Presentasi lokakarya Body Journey – 100 Tahun Joseph Beuys bersama 11 partisipan lintas disiplin.
- Pembukaan: Minggu, 5 Desember 2021 | 19.00 WIB
- Pameran: 7-11 Desember 2021 | 10.00 – 17.00 WIB
- Diskusi presentasi akhir: 11 Desember 2021 | 15.00 – 17.00 WIB bersama Arahmaiani, Mella Jaarsma, und Wimo Ambala Bayang
- Partisipan:
- Kurator Pameran: Iwan Wijono
Pengantar Kuratorial
‘New normal’ atau protokol kesehatan selama pandemi mengandung pesan semesta kepada manusia untuk ‘berkesadaran lebih’ dalam memahami konteks diri sebagai bagian masyarakat maupun alam. Hal ini termasuk pembersihan rohani, pemahaman kehidupan yang terjadi di luar, dan dapat diartikan sebagai dunia baru setelah pandemi. Mayoritas masyarakat ingin segera kembali kepada kondisi ‘normal’ seperti sebelum pandemi. Sementara itu, kehidupan dijalankan dengan sistem mekanisme pasar eksploitatif, hubungan transaksional antar manusia yang destruktif terhadap alam, dan disharmoni dengan semesta.
Joseph Beuys menyatakan bahwa semua orang adalah seniman. Sementara dalam masyarakat Nusantara klasik, seni adalah ritual dari masyarakat budaya spiritual. Mekanisme seni Beuys dapat diartikan sebagai bagian kehidupan sosial politik masyarakat dan lingkungannya, bahkan dalam artian supranatural. Dalam proses berkesenian pasca pandemi, diperlukan kesadaran baru melampaui tubuh fisik, untuk melihat gejala kehidupan lebih murni dalam menciptakan ide-ide kreatif kontekstual (antroposofi Beuys terhubung budaya kuno Asia lewat tokoh Rudolf Steiner).
Lokakarya Body Journey diikuti 11 peserta dengan beragam profesi dan latar belakang; desain grafis, video/film, tari, digital, antropologi, aktor, kurator, performer, tata kelola seni, hingga lintas disiplin. Keindahan bukanlah tentang kebendaan fisik saja, namun bagaimana ia bisa kontekstual dengan kejelasan makna dan peristiwa. Sebagai Social Sculpture, keindahan mempertemukan ingatan (data) publik akan ruang dan waktu di mana seni dipresentasikan secara daring dan luring. Tubuh seniman adalah kreator dan media; hidup sebagai ruang tampil dan ruang pamer. Sementara itu media teknis bukan menjadi tujuan artistik, ia dihadirkan sebagai tambahan perpanjangan tubuh, dan sebagai bahasa penyampaian.
Iwan Wijono
Kurator
*Pameran ini adalah bagian dari perayaan 100 Tahun Joseph Beuys. Body Journey diinisiasi Goethe-Institut Indonesien dan dikelola bersama dengan Cemeti – Institute for Art and Society.

Karya dan Seniman

it’s not over till it’s over
Candrani Yulis
2021
Instalasi; masker, tanah, dan tanaman
Pemerintah menganjurkan kita memakai masker medis sekali pakai sebagai alat lindung Covid-19 karena memiliki penyaring bakteri dan memiliki kemampuan meloloskan udara yang lebih baik. Saya pun mengikuti anjuran tersebut dengan pertimbangan saya harus menyelamatkan diri saya sendiri. Di sisi lain, muncul dilema ketika membayangkan masker berbahan polipropilen ini tidak bisa terurai ratusan tahun. Saya merasa menjadi salah satu pelaku perusak lingkungan melalui masker yang saya kenakan. Dilema ini menggerakkan saya untuk melakukan observasi terkait pengolahan limbah masker ke salah satu laboratorium kampus negeri di Yogyakarta. Saya jadi tahu jika proses insinerasi masker medis tidaklah mudah. Alat-alat yang pelebur masker cukup mahal serta penanganan yang selama ini dilakukan masih belum terlalu efektif karena masih menghasilkan polusi dan sulit untuk dijangkau oleh masyarakat luas. Sedikit sekali yang berfokus pada aturan limbah masker sekali pakai ini. Hanya segelintir orang yang tahu bahwa masker medis bisa dikategorikan sebagai limbah domestik karena dipakai oleh orang sehat, bukan pasien Fasyankes, bukan pula termasuk tenaga medis yang melakukan pelayanan kesehatan. Artinya secara pemberlakuan pengolahan limbah ini sama dengan limbah domestik.
Pengalaman-pengalaman ini memunculkan embrio gagasan untuk meretas akses, dan mengunduh pengetahuan terkait pengelolaan limbah masker yang selama ini hanya dimiliki oleh pihak-pihak otoritas tertentu. Upcycle masker merupakan langkah uji aplikasi pengetahuan yang diunduh dan dihimpun untuk mengatasi persoalan limbah masker secara mandiri di skala domestik. Mengubah bentuk masker menjadi kantong bibit adalah upaya memberikan kehidupan baru, sebagaimana masker melindungi kita untuk tetap hidup. Selain itu, hal yang diuji melalui proyek ini adalah seberapa jauh gerakan individu atau sekelompok orang dapat bernegosiasi untuk mendapatkan hak atas pengetahuan.


Tentang Candrayani Yulis:


Candrayani Yulis lulus dari jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia aktif terlibat dalam berbagai perhelatan seni rupa, antara lain program residensi Seniman Terampil di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, dan pernah menjadi finalis Kompetisi Nasional Seni Lukis Remaja yang diselenggarakan oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) di tahun 2012 dan 2013. Beberapa pameran terakhir yang pernah ia ikuti antara lain “Nandur Srawung, Peer to Peer”, Taman Budaya Yogyakarta (2019) , “Sumonar Fest – Monument of Hope” Yogyakarta (2020), “Clothing As A Stage Of Power”, Inkubator Inisiatif – Cemeti Institute (2020), “Mantra”, Asana Bina Seni – Pra Biennale Jogja XVI Equator #6 (2021).
⇪

Tanda Peristiwa
Dapeng Gembiras
2021
Performans dengan arsip, objek, instalasi, dan mural
Perjalanan bolak-balik dari Malang-Yogyakarta yang saya lakukan setiap akhir pekan selama satu bulan terakhir di tengah pandemi, membuat Dapeng merasa jarak interaksi dengan orang lain terasa lebih jauh dari jarak antar kota yang ia tempuh. Dapeng pun memilih titik singgah istirahat yang jauh dari keramaian. Di dalam keberjarakan dengan orang-orang, ia merasa sensitivitas inderanya bekerja lebih tebal dalam melihat lokasi, ruang, maupun objek di sekelilingnya. Di setiap titik singgah, tutup drainase kerap mencuri perhatiannya. Ia pun mengambil foto motif timbul tutup drainase yang ia jumpai di sepanjang perjalanannya. Tidak cukup hanya di situ, ia menempelkan bentuk visual tutup drainase tersebut di kaos dengan teknik cetak tinggi seperti sedang menandai ingatan-ingatan perjalanan yang melekat, terlukis dan membekas. Di dalam karya ini, keputusan memilih medium performans sebagai metode ungkap tidak lepas dari pengalaman empiris seniman yang melibatkan tubuh, beserta ingatannya dalam perjalanan setiap akhir pekan selama hampir satu bulan.



Tentang Dapeng Gembiras:


Dapeng Gembiras adalah seorang seniman performans yang telah aktif berkarya sejak tahun 2004. Selain praktiknya sebagai seniman, Dapeng pernah mengelola Idea Circuit Alternative Art Space serta mengorganisasi acara seni seperti Kandang Kebo Art Festival Urban Boulevard, Romantisme Goodbye, dan Tatto Lakon. Sejak 2010, Dapeng terlibat dalam penyelenggaraan acara tahunan Malang Performance Art Festival (PAMAFEST), dan saat ini aktif berkegiatan di Sanggar Kolektif Gusar Daun yang memiliki fokus ketertarikan di ruang urban perkotaan.
⇪

Impulsif Metafora
Deden Ardiansyah
2021
Seni video dan patung (berbahan rotan)
Barangkali kita pernah melihat berita fenomena “panic buying”, atau bahkan mengalaminya sendiri sebelum atau selama pandemi. Pada umumnya “panic buying” terjadi karena diskon besar-besaran suatu produk, sementara yang kerap terjadi di masa pandemi orang-orang berebut produk yang dipercaya dapat mengatasi virus COVID-19. Informasi yang dihadirkan oleh media mengenai berita seputar COVID-19 kadang justru menimbulkan kepanikan, hingga menggerakkan orang-orang mengambil jalan pintas untuk mengatasinya, termasuk mempercayai informasi khasiat produk tertentu yang belum jelas kebenarannya. Mengamati fenomena ini dengan latar konteks peristiwa yang berbeda, saya melihat ada pola yang pada dasarnya sama, yakni aksi transaksi kompulsif. Barang yang pada dasarnya telah menjadi komoditas, nilai harga dan mitos yang menyelimutinya menjadi berlipat ganda. Kenikmatan “panic buyer” muncul dari dorongan untuk memburu dan kepuasan timbul ketika mendapatkan, seolah ada imaji keindahan saat melihat dan menyentuh komoditas tersebut. Saya menandai “panic buying” yang terjadi berulang di berbagai konteks lokasi dan peristiwa, digerakkan oleh ragam emosi yang berbeda, beberapa tampak sebagai usaha melipat gandakan kebanggaan misalnya untuk barang-barang prestise seperti karya seni, ada pula dorongan dari ketakutan seperti produk-produk yang dianggap dapat memberikan rasa aman dari COVID-19.
Di dalam karya ini, saya menggunakan pendekatan parodi satir dengan memainkan bentuk visual produk-produk yang pernah menjadi sasaran para “panic buyer” dan karakter visual karya-karya seni rupa yang saya nilai memiliki nilai komoditas. Mengambil strategi penyajian dalam bentuk kolase foto video dengan teknis penayangan satu jalur, saya hendak mempertukarkan karakter visual, mencairkan sekat kategori komoditas, dan membingkainya di dalam satu layar yang dikonsumsi oleh penonton.



Tentang Deden Ardiansyah:


Deden Ardiansyah adalah seorang motion graphic artist dan seniman video yang lulus dari Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
⇪

rekalindung
Eka Wahyuni
2021
Seni performans
“rekalindung” ingin melihat bagaimana beragam aturan dan informasi diterima, diinternalisasi, dan ditubuhkan oleh penerima pesan. Tanpa mengabaikan prinsip keselamatan bersama, saya menggali modalitas koreografis protokol kesehatan dalam mengatur tubuh, dan mengintervensinya dengan beragam informasi tentang rujukan keselamatan yang saya kumpulkan selama pandemi. Reka baru koreografi informasi yang diwujudkan dalam bentuk partitur protokol kesehatan ini menawarkan pengalaman untuk meninjau ulang bagaimana beragam aturan dan informasi tengah memperebutkan dan mengkoreografi tubuh kita.



Tentang Eka Wahyuni:


Eka Wahyuni adalah seorang koreografer yang karyanya berfokus pada arsip ingatan dan fenomena. Ia pernah mengikuti residensi di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, IKKON Tanjungpinang, Flores Writers Festival dan Asian Performing Arts Camp, serta mengikuti Indonesian Dance Festival (Kampana 2020 dan Koreografer Muda Potensial 2019) dan Helatari Salihara 2021 yang mempresentasikan proyek karya yang telah dimulai di tahun 2016, “The Enchantment of Tari Gong”. Selain berkarya, Ia terlibat di LINGKARAN | koreografi, Paradance, Jejak Tabi Exchange dan dokumenTARI dalam hal manajemen seni. Ia juga menginisiasi dua pergerakan kecil, Portaleka (Yogyakarta) dan Tepian Kolektif (Berau) dengan fokus kegiatan pada seni pertunjukan dan pengarsipan.
⇪

What Should We Do, Then?
Faida Rachma
2021
Instalasi pakaian dengan pin dan barcode
Fenomena khas selama pandemi COVID-19, yang tidak terjadi pada pandemi-pandemi sebelumnya adalah produksi sekaligus konsumsi informasi yang berlangsung dalam hitungan detik. Baik itu berupa anjuran pencegahan, ragam rupa cara pengobatan, update fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya.
Informasi-informasi yang masyarakat akses ini, kemudian dirakit sedemikian rupa menjadi sebentuk perlindungan yang dipercaya dapat melindungi manusia dari virus tersebut. Tarik menarik antara nasib dan kepercayaan yang terjadi pada tubuh dihadirkan melalui karya “What Should We Do, Then?”


Tentang Faida Rachma:

Faida Rachma adalah desainer grafis yang memiliki ketertarikan pada praktik konsumsi konten dalam internet dan pengarsipan jejak digital. Saat ini, Faida tengah mengerjakan proyek pribadi berjudul Day to Day Codegram, di mana ia mengkurasi dan mengarsipkan konten digital yang dikonsumsi setiap harinya. Praktik ini berkaitan dengan gagasan mengenai datakrasi sebagai kemungkinan tata kelola sosial-politik di masa depan.
⇪

Mahmud
Ignatius Suluh
2021
Seni performans dengan game
Bagaimana ketika kebiasaan yang berlangsung di ruang sehari-hari dipindah ke dalam ruang presentasi (misalnya galeri)? Di dalam karya ini saya akan melakukan performans bermain game selama pameran berlangsung untuk menelaah pengalaman yang muncul ketika kebiasaan di ruang sehari-hari berpindah ke dalam galeri. Melalui perpindahan ini, saya juga ingin menguji bagaimana respon tubuh terhadap hal-hal di luar kendali, seperti internet yang tidak stabil, kondisi ruang baru, negosiasi dengan orang lain yang berbagi ruang, atau hal-hal lain yang mengejutkan di sepanjang performans berlangsung. Ekspresi atau mimik muka pemain game yang jarang menjadi tontonan, kini dihadirkan khusus melalui layar monitor untuk menjadi tontonan utama.


Tentang Ignatius Suluh:


Ignatius Suluh adalah seorang pelaku seni yang memiliki ketertarikan pada seni rupa kontemporer dan kerja-kerja kuratorial. Saat ini, ia sedang melanjutkan proyek zine dan bekerja lepas sebagai desainer grafis. Sebelumnya, Ignatius juga pernah mengkurasi pameran tunggal Bram Christian “Grayscale Volume 1: These Kinds of Local Bands that I be Very Fond of” di C2O Library and Collabtive, Surabaya (2017), mengikuti studi kolektif Gudskul, Jakarta (2018), terlibat sebagai sukarelawan di Biennale Jogja 15 (2019), dan bersama Indisczinepartij terlibat di kegiatan “Asana Bina Seni: Your Connection was Interrupted”, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2020). Ignatius tergabung dalam kolektif Indisczinepartij dan kelompok performans EDISI.
⇪

Suatu Hari di Kaki Merapi
Lutfi Retno Wahyudyanti
2021
Mural dan arisp fotografi
Sejak tahun lalu, saya tinggal di Argomulyo desa yang letaknya 12 kilo dari puncak Merapi. Saya kerap membagikan gambar pemandangan sawah, gunung, dan sungai di sekeliling saya dalam postingan Instagram dan Whatsapps stories. Postingan tersebut kerap mengundang beragam komentar dari rekan-rekan yang terpaksa tinggal di kota untuk mencari nafkah di sana. Maraknya pemberitaan di media dan medsos mengenai romantisme tinggal di desa membuat penduduk kota kerap berasumsi tinggal di desa damai, dekat dengan alam, dan menyenangkan.
Tinggal di desa sebagai pendatang, membuat saya menjadi bagian dari desa sekaligus membuat jarak antara saya dengan penduduk asli. Jarak desa dengan Jakarta—tempat saya sebelumnya tinggal–juga membuat saya mendapatkan hal baru sekaligus kehilangan banyak fasilitas dan peluang. Di desa, saya melihat penduduknya tidak akan kelaparan karena mereka saling berbagi dan menjaga satu sama lain. Di sisi lain, perputaran uang di tempat ini sangat terbatas. Orang harus bekerja keras untuk mendapat sejumlah kecil uang. Bagi penduduk desa yang kebanyakan petani, kerja keras merupakan nasib yang harus mereka jalani. Di sisi lain, mereka sadar jika tagihan listrik, kredit motor, membangun rumah, dan banyak hal yang menawarkan kenyamanan harus dibayar dengan uang. Hal tersebut membuat mereka berusaha menyekolahkan anak-anaknya. Petani kerap meminjam uang di bank dengan jaminan surat berharga seperti sertifikat tanah atau bukti kepemilikan kendaraan. Mereka menyebut kegiatan tersebut dengan istilah “menyekolahkan” karena tak jarang surat-surat berharga tadi dititipkan untuk membayar biaya sekolah anak mereka. Dengan harapan, kelak si anak bisa bekerja di luar pertanian atau di kantor seperti orang-orang kota yang memandang desa sebagai impiannya.



Tentang Lutfi Retno Wahyudyanti:

Lutfi Retno Wahyudyanti adalah lulusan Magister Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang berprofesi sebagai penulis dan pembuat video dengan fokus ketertarikan pada isu lingkungan, budaya, dan pendidikan. Sebelum pandemi, ia kerap bepergian ke berbagai wilayah di Indonesia untuk menulis artikel, buku, dan membuat berbagai produk audio visual di mana salah satunya adalah menyutradarai film dokumenter untuk program siaran salah satu stasiun televisi swasta tahun 2017-2019. Saat ini, Lutfi Retno tinggal di Kaki Merapi untuk memelihara belasan ekor kelinci.
⇪

Marhobas
Maria C. Silalahi
2021
Seni performans dengan peralatan rumah tangga
Benda-benda domestik menceritakan kisah-kisah yang dekat dengan kehidupan sehari-hari rumah tangga. Dalam masyarakat tertentu yang sangat patriarkal, cerita-cerita ini lebih melekat pada perempuan dalam hal menonjolkan ketidakadilan rumah tangga. Dalam upaya bermain komposisi dari benda-benda domestik dengan dinding putih Galeri Cemeti, saya mencoba mendekonstruksi makna, mengubah bentuk cerita, sekaligus merusak persepsi publik terhadap objek objek tersebut. Saya mengusulkan untuk membangun narasi baru tentang peralatan rumah dengan mengkomunikasikan tubuh, pemikiran, dan refleksi saya ke peralatan, sambil mengambil konteks masyarakat adat Batak dalam hal jamuan makan dengan mengucapkan ucapan deklaratif.



Tentang Maria C. Silalahi:


Maria Silalahi adalah seorang seniman dan pembuat film berbasis di Yogyakarta yang memiliki fokus praktik pada upaya-upaya dekonstrutif terhadap kemapanan sistem dan nilai-nilai yang bekerja pada lingkup sosial dan budaya manusia sehari-hari, dengan menekankan kritisisme terhadap pranata sosial, narasi lokal (serta korelasinya dengan ambivalensi antara isu domestik dan publik), sejarah-sejarah kecil yang terfragmentasi, dan deformasi tubuh, lewat untaian-untaian liris dan skeptis. Dalam mengembangkan proses kekaryaan, Maria umumnya terlibat dalam beberapa proyek pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan media alternatif. Situs web pribadinya: http://www.milisimaria.wordpress.com
⇪

Manusia Silver; Sebuah Pengantar
Nisa Ramadani
2021
Seni peristiwa
Karya ini berangkat dari amatan terhadap meningkatnya fenomena manusia silver di berbagai kota di Indonesia antara lain Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta pada masa pandemi COVID-19. Kehadiran manusia silver dapat dilihat sebagai siasat bertahan hidup yang dilematis, berada di ranah abu-abu, pro dan kontra. Membicarakan isu manusia silver juga tak bisa lepas dari kompleksitas aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kesehatan yang melingkupinya. Dengan memposisikan manusia silver sebagai seniman yang menyadari tubuhnya sebagai ruang tampil dan ruang pamer, karya ini mencoba membentang dialog yang lebih luas untuk menemukan amatan yang lebih tajam melalui ruang temu terbuka, di mana manusia silver bersuara atas dirinya sendiri. Seniman dan publik dapat turut berpartisipasi dalam percakapan dan saling respons untuk bersama-sama memetakan pembacaan bersama atas fenomena manusia silver.


Tentang Nisa Ramadani:


Nisa Ramadani adalah seorang aktor, penari, performer, dan penulis yang menyelesaikan studi Psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Beberapa pementasan di mana Nisa terlibat sebagai aktor, di antaranya “Kekwa! Alami Mimpimu” (2015), “What Makes You Who You Are?” oleh Caglar Kimyoncu (British Council & Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, 2017), “Mautopia” (Indonesia Dramatic Reading Festival, 2019), “Jalan Keluar” (Potluck Teater, 2020), dan performer pada karya milik Eka Wahyuni untuk Asian Performing Arts Farm (2021) serta “Sakuntala” oleh Gunawan Maryanto (Teater Garasi, 2018). Selain itu, beberapa tulisannya dimuat dalam buku antologi esai terbitan Radio Buku dan Indonesian Visual Art Archive.
⇪

Nguping
Pinka Oktafia
2021
Performans video
Sebelum pandemi, mahasiswa merasakan secara langsung ruang kelas fisik beserta aturan tak tertulis yang mengkondisikan fokus pada aktivitas belajar. Kemudian pandemi mensituasikan mahasiswa harus beradaptasi dengan situasi baru ruang kelas virtual. Suasana di dalam ruang kelas virtual dirasa menjadi lebih longgar, dan memungkinkan mahasiswa melakukan aktivitas lain yang biasa dilakukan di kos atau kontrakan, misalnya makan, mengerjakan tugas lain, mendengarkan musik, atau bahkan menonton youtube. Turut mengalami peristiwa tersebut, saya merasa seolah ruang fisik dan ruang virtual yang ditempati tubuh di dalam satu waktu lebur tanpa sekat. Melalui karya video ini, saya ingin menandai pengalaman tubuh mahasiswa atas leburnya ruang fisik dan virtual dengan menghadirkan kelindan bebunyian dari benda-benda dan sumber-sumber suara yang lekat dengan kehidupan mahasiswa.



Tentang Pinka Oktavia:


Pinka Oktafia adalah seorang pekerja lepas yang terlibat dalam berbagai perhelatan seni di Yogyakarta hingga saat ini. Selain mengerjakan hal-hal manajerial, Ia memiliki ketertarikan pada kerja kuratorial, praktik berkarya seni dan berbagai bidang pengetahuan lainnya. Aktivitasnya saat ini adalah sebagai pekerja magang di studio FX Harsono sembari mengerjakan penelitian tugas akhirnya sebagai mahasiswa S1 Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta mengenai kuratorial dalam “Proyek Mustahil” Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat. Proyek terakhirnya adalah membuat showcase bersama Proyek EDISI di Cemeti Insitut untuk Seni dan Masyarakat.
⇪

Delirian
Wildan Iltizam
2021
Performans video; seni performans
Teknologi komunikasi digital yang berkembang pesat telah masuk ke dalam sendi kehidupan kita. Persepsi masyarakat tentang realitas, tentang apa yang penting dan tidak, kini sangat bergantung kepada apa yang ada atau ditampilkan di layar. Pengalaman media tersebut turut membentuk identitas, persepsi, selera, dan perilaku kita di dalam aktivitas sehari-hari bahkan seperti misalnya makan.
“Delirian?” adalah eksperimen mengukur kekuatan citra visual layar gawai digital dalam mempengaruhi persepsi kita terhadap objek. Hal tersebut diuji melalui performans memasak, dan menyajikan pisang goreng hangat kepada penonton yang disituasikan menikmatinya sembari menonton video berisi rangkaian seni performans dan kumpulan informasi yang didapat dari internet. Pisang goreng dipilih karena mudah didapat dan umum dinikmati sebagai camilan di keseharian. Sementara konten video yang disajikan sengaja dipilih gambar yang tidak umum dan mengganggu. Hal yang akan dipercakapkan di meja saji adalah sensasi yang muncul dari pengalaman dua indera yang secara simultan bekerja atas dua hal yang berbeda tersebut.



Tentang Wildan Iltizam:


Wildan Iltizam adalah seorang performer yang berdomisili di Yogyakarta sejak tahun 2011. Belajar seni secara otodidak, Wildan mengembangkan praktiknya melalui media lukis, seni performatif, dan partisipatif di mana ia mengeksplorasi isu-isu seputar lingkungan, hubungan antar manusia, kesetaraan gender, dan jalan hidup alternatif. Seni bagi Wildan adalah sebuah medium penghubung antara tubuhnya dengan tubuh-tubuh liyan, yang dapat mengembangkan khazanah ilmu kehidupannya dan membawanya untuk lebih mengenali tubuhnya sendiri. Pengalaman mengenali tubuh menjadi penting untuknya karena penyingkapan tabu atas tubuh manusia dipercayanya sebagai salah satu langkah awal untuk melakukan perlawanan atas hegemoni patriarkisme dan kapitalisme dalam rangka mencari sebuah jawaban atas tanya “Apa, di mana dan bagaimana tubuh-tubuh yang bebas itu?”.
⇪
Dokumentasi
Tampilan dalam Pameran










Suasana Pembukaan Pameran











Suasana Kunjungan Harian









