
Hari #1
20 November 2021
Lokakarya hari pertama dimulai pada pukul sebelas siang, didahului dengan kegiatan SWAB antigen dan orientasi ruang terkait infrastruktur yang disediakan untuk lokakarya dan protokol kesehatan. Makan siang bersama menjadi ajang ramah-tamah dan perkenalan awal. Lokakarya dibuka dengan sambutan Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesia Dr. Ingo Schöningh yang memberikan pengantar tentang Beuys. Schöningh mengatakan bahwa momen ini juga digunakan untuk mencari korelasi praktik seni Beuys dengan seniman di Indonesia. Beliau menilai bahwa praktik seni dan aktivisme Iwan Wijono berresonansi dengan Beuys. Di dalam lokakarya ini, Iwan membagikan gagasannya tentang Seni Kontekstual Nusantara yang ia rumuskan melalui proses 30 tahun menyelami dunia seni performans.

Praktik Beuys kembali diperkenalkan kepada partisipan melalui pemutaran dan diskusi film I Love America, America Loves Me – tentang performans Joseph Beuys di ruang pameran Galeri Rene Block, Manhattan, Amerika Serikat. Setelahnya, Iwan Wijono memberikan pengantar tentang Seni Kontekstual Nusantara, yang menekankan pentingnya kesadaran aksi, konteks ruang dan waktu, serta pertimbangan atas sejauh mana aksi dapat ditangkap oleh publik. Bagi Iwan, seniman harus membumi, rendah hati, dan menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat. Beriringan dengan materi ini, Iwan juga memberikan bahan bacaan tentang rekam jejak Beuys dan membuka dialog dengan partisipan untuk menandai bagian-bagian dari praktik Beuys yang berresonansi dengan minat dan praktik tiap-tiap partisipan.

Selanjutnya, Iwan memutar video dokumentasi dan mengupas dua karya performansnya untuk menunjukkan elaborasi elemen-elemen penting yang telah ia paparkan ke dalam karyanya. Berdaya Undur Undur Dance dilakukan pada 1 Juni 2018, mengambil lokasi di area Titik Nol Yogyakarta. Dalam karya itu, Iwan Wijono mengajak para penari untuk menyuarakan keresahan atas hoax yang beredar menjelang pemilu presiden 2019 dengan menggunakan ragam gerak tari klasik Yogyakarta, terutama beksan Bedhaya sebagai bahasa ungkap. Di dalam tarian itu, para penari putra dan putri berbaur di dalam barisan, bergerak mundur sembari menggigit keris sebagai bentuk introspeksi diri membangun mawas terhadap hoax.

Karya kedua yang ia tunjukkan adalah I’m Artist, Spiritualist, Farmer yang dilakukan di pameran Polyphony: Southeast Asia di Nanjing University, China pada 9 November – 20 Desember 2019. Di sana, Iwan menyiapkan lima lukisan berbahan kanvas, cat, dan alat-alat pertanian. Iwan mengundang partisipasi penonton untuk merespon dengan cara menambahkan goresan dan torehan cat pada lima lukisannya dengan menggunakan alat-alat pertanian yang telah disediakan.




Pada akhir sesi, Iwan memandu partisipan mempersiapkan tubuh untuk sesi pertemuan lokakarya di hari berikutnya dengan mengajak mereka berpuasa “membatasi makan” (hanya sayur, buah, dan air putih). Melalui metode ini, tampaknya Iwan mengajak partisipan untuk kembali meninjau “tubuh” bukan hanya sebagai wadak yang kerap diolah di dalam seni performans dan pertunjukan, tetapi juga sebagai “rumah” bagi jiwa, dan keberkahan bagi keberadaan kita yang mewujud. *