
23 JUNI 2021. Ruang pameran Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat tertutup backdrop hitam. Setelah sepatah dua patah kata dari Kurator Manshur Zikri dan Seniman Timoteus Anggawan Kusno, dua sosok berkemeja putih dan mengenakan celana jin berjalan membungkuk, layaknya gestur anak muda Jawa yang musti membungkukkan badannya ketika melewati orang yang dituakan. Dua sosok tersebut adalah Andreas Ari Dwianto, biasa saya panggil Mas Inyong, dan Jamaluddin Latif, biasa saya panggil Mas Jamal. Kedua nama ini tidak asing di skena seni pertunjukan Yogyakarta. Mereka cukup aktif berkarya pasca-Reformasi, baik sebagai aktor maupun sutradara seni pertunjukan. Mas Inyong merupakan pendiri Bengkel Mime Theatre, sedangkan Mas Jamal mendirikan MALMIME-JA. Keduanya adalah kelompok yang fokus pada pantomim.
Pengalaman saya berjumpa dengan karir keaktoran Mas Inyong dan Mas Jamal bermula sekitar satu dasawarsa yang lalu. Saya masih ingat bagaimana saya mendapati sebuah transisi tubuh aktor Inyong dalam pertunjukan Goyang Penasaran, karya Naomi Srikandi yang diadaptasi dari cerpen Intan Paramaditha pada bulan Desember tahun 2011 di Teater Garasi (waktu itu lokasinya masih di Bugisan). Tubuh sehari-hari Mas Inyong yang notabene maskulin bisa berubah menjadi feminin di atas panggung. Ia berperan sebagai penyanyi dangdut yang dipuja sekaligus dicaci masyarakat, kemudian ia datang sebagai hantu untuk membalas dendam. Karya kolaborasi ini cukup membekas di ingatan saya karena ia seperti hendak membuktikan teori tentang gender performativity tawaran Judith Butler.
Terbaru, adalah pertunjukan kolaboratif UR Fear: Huhu and the Multitude of Peer Gynts, yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin dengan dramaturg Ugoran Prasad. Dalam pertunjukan yang berlangsung secara daring pada bulan November 2020 ini, Mas Inyong membuat karya berjudul Monopoly: Asylum Edition, sebuah karya interaktif dengan durasi sekitar 50 menit. Pilihan penyajiannya, pertunjukan saya katakan, cukup jadul. Karya ini mengingatkan saya pada video klip Jennifer Lopez (JLO), If You Had My Love, saat si performer harus merespon permintaan seseorang yang memiliki kuasa dengan menunjukkan aksi sesuai permintaan tersebut di depan CCTV. Bedanya, JLO lebih merespon permintaan user yang macho, yang merepresentasikan dirinya dalam kamera yang male gaze. Sementara Inyong, yang berperan sebagai buruh migran, justru merespon permintaan dari beberapa orang yang bermain monopoli. Meskipun performance Inyong termediasi oleh layar, namun setiap lekukan, detak jantung, helaan napas, dan tetesan keringat yang tertangkap kamera CCTV tetap mampu menyampaikan perasaan terombang-ambing ketidakpastian dari permainan monopoli ini.
Sedangkan untuk Mas Jamal, saya pertama kali menonton aksinya sebagai aktor pada pertunjukan Medea Media, karya Naomi Srikandi, pada tahun 2010. Kiprahnya di dunia pertunjukan sebenarnya cukup senior dibanding Mas Inyong, dimulai sejak tahun 1991. Tak hanya teater dan mime, Mas Jamal juga menjadi aktor film di beberapa karya sutradara Yogyakarta. Misalnya saja, ia menjadi pemain utama dalam film Hujan Tak Jadi Datang (Yosep Anggi Noen, 2009), Mencari Hilal (Ismail Basbeth, 2015) dan terakhir adalah Tak Ada yang Gila di Kota Ini (Wregas Bhanuteja, 2019).
Mengapa saya memulai ulasan pameran Timoteus Anggawan Kusno dengan menjabarkan aspek karir Andreas Dwi Arianto dan Jamaluddin Latif? Mengapa saya tidak memulainya justru dari instalasi besi-besi atau lampion “instagrammable”?
Ketika memasuki ruang pamer yang ditutupi backdrop hitam, tubuh saya secara otomatis memberikan sinyal bahwa saya akan melihat karya gambar bergerak. Itulah yang membuat saya hanya melewati bagian awal dari beberapa karya instalasi seperti: pagar besi di lantai (menurut kuratorial dari Manshur Zikri, karya ini agaknya ingin memberikan pengalaman auditori), instalasi kepala harimau tertusuk tombak di bagian atas (saya menyadari karya ini saat hendak keluar ruang pameran), instalasi besi berbentuk pedestal, dan instalasi lampion serta burung gagak. Tubuh saya langsung menuju pada bagian ujung ruang pamer: dua layar yang dimainkan secara sinkron. Pada bagian pertama (kanan), berisi aktor Inyong dan aktor Jamal merespon lampion dan pedestal, dikelilingi lampu sorot. Bagian kedua (kiri), berisi pertunjukan kolaborasi seniman Takusno dan duo aktor Inyong-Jamal.
Ketika melihat film Luka dan Bisa Kubawa Berlari, judul karya kanal ganda tersebut, saya teringat pengalaman beberapa tahun lalu saat melihat film bisu beserta pertunjukan orkestranya. Saya lupa judul film dan kapan tepatnya, tetapi tempatnya saya masih ingat. Pertama, di Gedung Societet, Yogyakarta. Kedua, di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pengalaman melihat film bisu yang diiringi dengan orkestra secara langsung itu cukup membantu saya untuk memahami pengalaman macam apa yang hendak disajikan oleh film Luka dan Bisa Kubawa Berlari. Pilihan warna hitam-putih, eksplorasi chiaroscuro, dan penekanan pada aspek ekspresif dari aktor, mengingatkan saya pada film bisu. Layar pertama ini memberikan stimulus pada saya untuk merangkai kejadian, mengikuti gestur aktor Inyong-Jamal yang secara bergantian menjadi harimau-gagak. Kemudian pada layar kedua, orkestrasi yang dilakukan Takusno, Inyong, dan Jamal, seperti memberikan penekanan—mendramatisasi layar pertama yang telah dramatis. Meskipun image bagian orkestra barang bekas ini sesekali mendisrupsi tatapan, tetapi keberadaannya justru menekankan cerita dari film ini.

Dalam sejarah film dunia, relasi antara pantomime dan film bisu cukup dekat. Nama-nama terkenal di era film bisu seperti Charlie Chaplin ataupun Buster Keaton justru mengembangkan kemampuan beraktingnya dari pantomime. Sebagai medium yang cukup baru pada awal Abad 20, film sangat bergantung pada kemampuan ekspresif aktor. Hal ini berlanjut bahkan hingga gaya film Ekspresionisme Jerman. Dalam artikel berjudul Pantomime and Modernism Silent Film, Karl Toepfer menjabarkan sebuah kode yang ada dalam seni pantomime, histrionic. Kode histrionik merujuk pada sistem gesture, konvensi gerakan, dan ekspresi fisik yang mampu membuat penonton mendapatkan kenikmatan saat menonton performer.[1] Mudahnya, kode histrionik ini seperti kamus gestur yang dimiliki aktor. Ketika aktor harus memerankan patung atau hewan; kekecewaaan atau terkejut; orang kelas atas atau seorang buruh…, maka ia tinggal memanggil gestur yang telah ia rekam dalam tubuhnya.
Latar belakang Mas Inyong dan Mas Jamal selaku pemain pantomime tentulah menjadi poin tambahan dalam film ini. Takusno selaku seniman, penggagas cerita, serta ada pula kameramen yang berusaha menangkap gerak, memang memiliki andil dalam pembuatan film tersebut. Mereka mungkin memasukkan sense seni rupa, seperti pilihan chiaroscuro supaya film lebih Rembrandt-esque, atau memberikan sense keruangan dalam gambar. Namun, saya melihat tindakan semacam ini sebagai upaya untuk framing tubuh yang telah “jadi” — tubuh yang di dalamnya berisi lema gestur hasil tempaan selama lebih dari dua puluh tahun. Tentunya, pernyataan dari Shohifur Ridho’i dalam buklet (exhibition guide) pameran, tentang upaya mengkoreografi aktor (hal. 26), bisa saya pertanyakan ulang. Jangan-jangan, justru aktor Inyong-Jamal–lah yang mengkoreografi gerakan kamera untuk bisa mengikuti laku tubuh mereka. Jangan-jangan, ekspresi aktor Inyong-Jamal–lah yang mendorong tim untuk bisa fokus ke ekspresi aktor, selayaknya adegan close-up saat aktor Inyong tampak kalut.

Tanpa mendiskreditkan peran Timoteus Anggawan Kusno sebagai seniman dan juga dramaturg dalam pameran Ghost Light, artikel ini sendiri berusaha untuk membuka pertanyaan baru dalam pencarian tentang pembacaan lain akan adanya kerja kolaboratif dari karya lintas disiplin ini. Saya menambahkan penekanan pada keaktoran Inyong-Jamal di sini, supaya kita jangan terburu-buru untuk melakukan apresiasi—menunjukkan pujian kita—hanya pada sosok pencipta tunggal yang kadang dimitoskan dalam karya yang basisnya adalah kerja kolaboratif. Misalnya saja, kita bisa berandai-andai, bagaimana bila Takusno tidak berkolaborasi dengan aktor Inyong-Jamal? Bagaimana bila Takusno justru berkolaborasi dengan aktor non-profesional? Akankah karya Luka dan Bisa Kubawa Berlari menciptakan sinergi harimau-gagak selayaknya sinergi antara aktor Inyong-Jamal? Apakah film ini akan dramatis? Apakah film ini akan membius, meminta penonton secara tak sadar bergerak ke arahnya—layaknya sebuah ritual ketika manusia bertemu layar? *
Endnotes:
[1] Karl Toepfer, 29 Juni 2019, “Pantomime and Modernism: Silent Film Pantomime“, diakses dari situs web Karl Toepfer tanggal 5 Juli 2021, pukul 19.47