
Tentang Meta-Dramatik
Argumentasi Artistik atas Skema Montase dari Pameran Ghost Light
BAYANGKAN kita sedang melakukan penelitian panjang! Bekerja dengan ratusan dokumen (tulisan; gambar), rekaman (visual; suara), dan objek (temuan; buatan) lainnya, serta tuturan lisan berdasarkan pengalaman dan ingatan tertentu. Bayangkan juga jika penelitian itu masih berlangsung sampai sekarang! Pada satu momen, kita ingin—kalau bukan harus—berhenti sejenak dalam prosesnya, mengesampingkan semua tumpukan arsip dan artefak itu, lantas beralih untuk berkutat dengan citra mental kita sendiri, demi menangkap suatu skema, guna membingkai sejumlah proposisi. Kadang, hasilnya diwujudkan kembali menjadi kata-kata, teks, bebunyian, dan visual yang baru, atau hanya diwakili oleh beberapa materi sebelumnya yang telah diseleksi, untuk disajikan baik sebagai deskripsi, teka-teki, prosa, ataupun puisi.
“Momen jeda dari proses panjang penelitian.” Saya akan berangkat dari sini untuk memaparkan beberapa hal yang melandasi proses penciptaan pameran tunggal Timoteus Anggawan Kusno (Angga), berjudul Ghost Light, di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat.
Terkait momen jeda itu, dalam kasus berkesenian Angga, yang ia kesampingkan sejenak ialah keberkutatannya dengan ratusan teks; ia beralih untuk sementara waktu dari kebiasaan lamanya itu—yang dari sana kita (atau setidaknya, saya) akrab mengenal Angga—yang umum ia terapkan dalam beberapa proyek fiksi yang menguak kerja sistem penciptaan sejarah, salah satunya ialah “institusi fiksi” bernama Centre for Tanah Runcuk Studies (CTRS). Menurut pengakuannya kepada saya, Angga bukan meninggalkan metode-metode berbasis teks, tapi mau menjejaki jalur paralel yang barangkali bisa memantulkan hal-hal yang selama ini belum terlihat—atau teralami—dalam dunia “keterbacaan” (terutama dalam ranah kegiatan artistik yang mengkonstruksi, mendekonstruksi, dan mengintervensi arsip-arsip berupa tulisan).
Namun, beriringan dengan kebutuhan itu, perhatiannya terhadap potensi fiksi—sebagai aparatus untuk memahami batas-batas antara kenyataan dan fantasi (fakta vis a vis rekaan, dan ingatan vis a vis imajinasi), juga antara yang resmi dan tak resmi (sejarah vis a vis mitos/spekulasi, dan dokumen resmi vis a vis rumor)—tidak surut sama sekali.
Upaya untuk merayakan momen jeda itu sebenarnya telah ia lakukan, misalnya, pada karya berjudul Shades of the Unseen (2021), sebuah instalasi berupa patung burung-burung gagak dan macan berselimut kain putih (berbahan resin), serta lampion-lampion (berbahan kertas sintetis); sebuah commissioned work Gwangju Biennale ke-13, Korea Selatan, dan sekaligus dipresentasikan juga pada penyelenggaraan acara tersebut. Di mata saya pribadi, komparasi antara CTRS dan Shades of the Unseen itu layaknya menghadap-hadapkan prosa dan puisi. Bukan berniat melebih-lebihkan, menurut saya, lompatan paralel ini seperti hentakan tegas untuk “membiarkan terbuka” halaman-halaman roman ala Pram demi sembari mendeklamasikan puisi ala Chairil Anwar.
Angga memang tidak akan menutup atau menghentikan “roman” miliknya sementara gaya ungkapnya kini beralih sejenak kepada kemungkinan dari puisi. Karya roman mengandalkan aski membaca, di mana kehadiran teks memiliki kedudukan signifikan. Sedangkan puisi—meskipun kerap ditulis—justru memungkinkan ujaran yang mengandalkan ingatan sehingga “wujud teks (tulisan)” dapat bersembunyi di dalam dunia citra mental si penggubah dan si pendengar. Jika penyajian puisi, seperti yang umum kita pahami di dunia sastra, berporos pada material bunyi (suara—karena dideklamasikan), nilai puitik karya Angga, contohnya pada Shades of the Unseen itu, justru diwujudkan melalui benda-benda.
Kita tentu saja bisa berargumen bahwa, terutama menurut tradisi pascastruktural, benda dapat mempunyai kedudukan sebagai “Teks”. Akan tetapi, yang menjadi jelas sebagai subject matter di sini—dan saya kira ini yang merupakan pokok kegelisahan Angga—ialah perluasan bentuk dari “Teks” itu sendiri sekaligus makna atasnya. Sementara aksara (teks dalam wujud tulisan—tipografis) umumnya membuka satu celah pemaknaan[1], yaitu “keterbacaan dalam hal kodifikasi berdasarkan urutan simbol-simbol”, Angga justru berhasrat untuk keluar dari lingkup sesempit itu, mencoba mencari celah yang lain, dengan menjelajahi kemungkinan “teks fiksi” sebagai perihal eksperensial (yang mengandalkan multi-indra, seperti memandang, menyentuh/meraba, dan mendengar sekaligus, serta menyediakan ruang lebih luas bagi gerak tubuh) daripada sekadar berbasis serebral (yang mengandalkan kerja analitik otak—membaca, yang umumnya justru cenderung meminimalisir gerak bagian tubuh yang lain).
Dalam kaitannya dengan perbandingan antara “membaca” dan “melihat”[2], karya instalasi semacam Shades of the Unseen menuntut proses pemaknaan atas dirinya bukan hanya lewat kegiatan “memandang”, tetapi juga bagaimana tubuh yang menopang indra penglihatan si pemandang itu bergerak mengitari si benda guna menangkap sudut pandang lain daripada sekadar apa yang tampak pada satu sisi saja.
Dan teruntuk pameran tunggalnya kali ini, ia ingin membicarakan sekaligus berbicara melalui hal itu. Nyatanya, karya-karya yang disajikan dalam pameran Ghost Light, ialah sama halnya dengan modus-modus presentasi karya-karya berbasis objek bergaya ungkap instalatif lainnya. Namun, latar belakang gagasan Angga, seperti yang saya coba paparkan di atas, menarik untuk diketahui guna memahami eksperimentasi macam apa yang kemudian menjadi konsekuensi dari inisiatifnya menjedakan pergulatannya dengan teks.
Menganggap penting inisiatif Angga, kuratorial pameran ini (dalam proses persiapannya) punya motif untuk menawarkan tantangan: bagaimana mengungkai hal-ihwal artistik secara “non-naratif” (dengan harapan dapat menguatkan intensi puitik sembari memecahkan batas-batas ruang lingkup yang sempit dari sajian simbol-simbol) dan—mengingat Angga juga kerap menciptakan karya video ataupun film—menawarkan persepsi filmis yang menubuh dan lepas dari jerat garis tepi layar.
Merunut proses produksi yang ia lakukan, saya menyadari bahwa Angga tidak serta-merta menumpahkan gagasan “non-naratif” itu dengan harfiah, apalagi dengan cara yang “berisik” (mencomot materi dari sana-sini lalu menumpuknya begitu saja menjadi onggokan tanda-tanda yang mengabaikan alur). Alih-alih, ia justru cenderung “menarasikan” secara baru proses “penciptaan narasi” yang sedari awal ingin ia tunjukan, meski tanpa kelindan teks.
Angga mengelaborasi usahanya dalam membingkai unsur dramatik dari proses “bernarasi” itu dengan pendekatan dramaturgis untuk mengurai kemungkinan-kemungkinan pengalaman filmis dari kumpulan babak (yaitu, gagasan-gagasan dalam wujud visualnya masing-masing) yang dihadirkan secara dialektis satu sama lain. Dialektis, dalam arti bahwa, kutipan (lewat benda) dari ruang yang nyata (yaitu pagar, seng, dan kerangka pedestal) dibenturkan dengan ungkapan (juga lewat benda) yang merujuk fantasi dan mitos (yaitu tombak, kulit macan, patung macan, patung gagak, dan lampion); sedangkan objek ghost light[3] mengemban kedua karakter itu, baik sebagai “kutipan dari yang nyata” maupun “ungkapan merujuk fantasi/mitos”. Ide mengenai benturan tak tampak antara “yang fantasi” dan “yang nyata” itu pun dipersoalkan sebagai fabula yang memandu eksperimen montase, pada satu sisi, dan koreografi subjek, di sisi yang lain, untuk merangkai struktur karya video, juga pameran ini secara keseluruhan.
Dengan alasan kuratorial, saya ingin menyatakan bahwa, karya video yang dibuat Angga untuk pameran tunggalnya, adalah film. Pada konteks ini, alasan medium dari karya tersebut dikesampingkan—karenanya saya tak akan lagi menyebutnya “karya video”. Sebab, fokus pembacaan yang ingin saya kedepankan, khususnya terkait karya itu, ialah bahasa visual berdasarkan montase (“montase film”) untuk membongkar kinerja montase itu sendiri.
Apa yang kita tonton (lihat dan tangkap) sebagai “naratif” pada karya film Angga di pameran ini, sebenarnya, merupakan uraian tentang bagaimana hal yang awalnya diniatkan oleh si seniman sebagai “narasi fiksi” film itu dibangun. Elemen-elemen “naratif” yang kita tangkap tersebut “berkorespondensi” dengan benda-benda dan keadaan yang menyebar di luar layar, mengisi ruang pameran, termasuk aspek “lingkungan gelap” yang menyelimuti narasi fiksi di dalam film—dinding ruang pameran dibuat hitam untuk mencapai efek dari blackbox, atau “ruang sinema”, atau “nuansa panggung”. Kita yang berada di zona aktual (ruang pameran) secara filmis (dan psikologis) dilibatkan untuk “berada” dalam sebuah arena—atau “bekas” arena—tempat berlangsungnya pertarungan antara “si macan” dan “si gagak” (keduanya diperankan secara bergantian oleh Ari Dwianto dan Jamaluddin Latif). Baik kita, film, maupun objek-objek lainnya dalam pameran, dibingkai oleh Angga sebagai elemen dramatik bagi panggung dari suasana filmis yang ia atur: Ghost Light.
***
DENGAN mengambil metafora “panggung teater” untuk mengusut visual dari tatak letak pameran ini, lebih dulu saya ingin menyampaikan interpretasi liar saya terhadap visual-visual representatif dari bentuk-bentuk karya yang dipamerkan. Masing-masing karya bisa dilihat sebagai sebuah babak—atau stanza (jikalau ada di antara kita yang ingin menganggapnya lebih sebagai gagasan perpuisian daripada sekadar persandiwaraan)—tersendiri: pagar yang bengkok, tombak yang menembus seng dan di ujungnya tergantung sisa sobekan kulit macan, pedestal yang kerangkanya dipreteli lalu digantung melayang, tiang dan lampu ghost light yang berada di atasnya, patung burung-burung gagak yang membawa lampion-lampion, serta patung macan berselimut kain putih di bawahnya, dan film yang diproyeksikan pada dua layar di dekatnya.
Masing-masing objek yang dirangkai secara instalatif itu, terkecuali film, menyiratkan kejadian yang telah lalu, tapi juga seakan hadir sebagai panduan untuk hal mendatang yang, bisa jadi, belum tampak dan terpikirkan, bahkan di dalam ranah citra mental kita.
Terhadap penampakan pagar, misalnya, kita mungkin akan membayangkan ada suatu alat berat telah memporakporandakannya, tetapi ketika melangkah ke dalam memasuki ruang pameran, bunyi derit pagar yang terinjak merupakan kejadian yang langsung namun menjadi pendahulu bagi kemungkinan lain yang akan terjadi setelah kita melewatinya. Tombak yang menembus seng pun demikian, selain menandakan bekas dari peristiwa benturan dua benda, keduanya juga seolah merupakan penanda akan pernyataan misterius dan belum terpecahkan. Kerangka pedestal, bisa jadi, adalah bagian-bagian yang akan digabungkan atau justru telah sengaja dipecah sedemikian rupa. Sementara itu, tiang dan lampu ghost light menguatkan keambiguan suasana: apakah suasana teatrikal ini telah berlalu atau justru belum dan baru akan dimainkan? Sedangkan burung-burung gagak itu, apakah mereka merupakan sebuah babak tentang representasi dari kepergian untuk meninggalkan atau justru kedatangan untuk menuju suatu tempat? Macan berselimut, apakah ia tidur (dan akan bangun suatu saat nanti) ataukah mati—telah kehilangan nyawa—dan tak akan menyisakan apa pun setelah nanti semua bagian tubuhnya terurai bumi?
Interpretasi saya di atas tentu saja bukan makna final; saya tidak bermaksud membatasi interpretasi pembaca/pengunjung pameran mengenai narasi yang dimungkinkan oleh objek-objek tersebut. Tapi setidaknya, interpretasi seperti ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kita bisa menerka (atau mengenali skema dari) benang merah yang mengaitkan karakteristik setiap babak. Lagipula, sebagai sebuah gugus, patut diduga bahwa intensi kehadiran objek-objek selain film itu ialah untuk mengindikasikan keterhubungan mereka dengan film-dua-layar yang dapat kita tonton di ujung galeri. Mereka agaknya berkedudukan layaknya “material produksi” bagi suatu “adegan drama/teater” yang ditransformasi menjadi film sehingga bisa mengandung dua makna yang saling bertentangan.
Pertama, mereka, bisa jadi, adalah “bekas” (sesuatu yang bersifat “pasca-” atau merupakan sisa kejadian yang telah berlalu) dari sejumlah adegan, yang mana adegan itu sengaja “dibongkar” dengan menghadirkan elemen-elemennya, untuk sedikit-banyak memandu pemahaman kita tentang bagaimana Angga “memfilmkan” drama/teater—bagaimana ia memperlakukan material-material itu bagi produksi filmnya.
Kedua, mereka, bisa jadi juga, adalah “sugesti” (sesuatu yang bersifat “pra-”, atau isyarat pendahulu bagi hal yang akan menyusul kemudian) dalam “narasi pameran Ghost Light” secara keseluruhan, yang dengan sadar disusun berdasarkan irama tertentu, membentuk untaian liris yang menyesuaikan “ruang galeri” sebagai “panggung” sehingga, bersama-sama dengan keberadaan film dan para pengunjung pameran nantinya, akan merangsang efek filmis yang menubuh.
Formasi benda-benda ini kiranya menyiratkan suatu koreografi bagi pengunjung pameran yang akan mengamati karya sehingga apa yang kita pahami sebagai montase bekerja secara spasial. Pengalaman sinematis lantas tak lagi hanya menjadi sesuatu yang dipicu oleh karya film yang terproyeksi di atas layar semata, tetapi justru melalui kaitan satu sama lain antara setiap karya objek/instalasi, karya film, dan subjek-subjek pengunjung pameran.
Saya lantas mengajukan “meta-fiksi” sebagai premis pertama untuk menginterpretasi kumpulan babak/stanza Ghost Light karena Angga menjadikan pameran ini (dan juga proses produksinya) sebagai laboratorium untuk mempertanyakan kembali skema lazim dari apa yang fiksi dan bukan fiksi. Sebagian besar karya-karya di dalam pameran, meskipun hadir sebagai fiksi, berlandaskan motif untuk menguak struktur fiksi itu sendiri dalam rangka menawarkan pantulan untuk melihat kerja suatu diskursus. Pameran ruang gelap berisi karya-karya ini pun memanfaatkan modus fiksi, tetapi dengan sendirinya menguak struktur dari keberadaan setiap karya sebagai unsur-unsur fiksional pameran, karena hubungan setiap karya, baik secara jukstaposisional maupun resonansial, saling menjadi referensi satu sama lain yang menginformasikan alasan kehadiran mereka di ruang gelap.
***
SEHUBUNGAN dengan hal di atas, kita bisa menelaah modus baru Angga (pada proyek pameran ini) yang diyakini berkedudukan paralel dengan modus lamanya (tatkala ia berkutat dengan teks pada proyek-proyek sebelumnya). Yaitu, jika “teks fiksi terkait sejarah” atau “teks sejarah dalam kebutuhannya sebagai elemen fiksi” dirangkai sebagai modus untuk menawarkan pandangan alternatif terhadap diskursus yang diciptakan oleh lembaga-lembaga sosial, dramatika—saya menggunakan istilah ini dengan sense sebagaimana ketika kita menggunakan istilah gramatika—dalam pameran Ghost Light, disusun lewat pendekatan yang sama. Akan tetapi, saya ingin menggarisbawahi: Ghost Light lebih merupakan “meta-dramatik” dari uraian tentang “meta-fiksi” itu.
Saya menawarkan “meta-dramatik” sebagai premis kedua bagi kumpulan babak/stanza yang disajikan, karena pameran ini membicarakan kemungkinan tentang bagaimana unsur-unsur dramatik, yang sudah lebih dulu terkandung dalam setiap karya, dapat saling bertaut dan mencapai suatu derajat yang lain. Atau, untuk menunjukkan derajat mereka dalam kedudukan awalnya, dan bagaimana mereka beroperasi dalam derajat itu untuk bisa menghasilkan sesuatu yang, barangkali, melampaui kedudukan awal. Demi melihat itu, kuratorial pameran Ghost Light merefleksikan perlakuan si seniman terhadap unsur-unsur dramatik yang ia petakan.
Gagasan ini, khususnya, berkaitan dengan proses produksi pameran. Pendekatan teater yang dipilih Angga, misalnya, memungkinkan para kolaborator (terutama aktor yang muncul di dalam film) melakukan respon artistik terhadap karya-karya objek yang telah dibuat Angga, sedangkan hasil dari respon tersebut menjadi bahan utama Angga untuk meramu karya filmnya. Jika karya-karya objek/instalasi itu berdiri sendiri, yang bekerja memengaruhi impresi penonton barangkali hanyalah unsur dramatik yang dikandungnya secara intrinsik. Akan tetapi, dalam ruang gelap Ghost Light, kesemua karya tidak lagi berdiri individual, tapi menjadi bagian (layaknya shot di dalam scene dan sequence dalam film; atau bagaikan properti, blocking, dan babak dalam drama) yang membangun narasi besar pameran, di mana pameran ini sendiri juga memiliki unsur dramatiknya yang khas, yaitu benturan dari setiap unsur dramatik yang berasal dari setiap karya.
Dalam konteks tersebut, “narasi dari Ghost Light” tidak lagi semata bertumpu hanya pada keterkaitan naratif dari “cerita yang dibawa/dimiliki masing-masing karya”, melainkan juga pada sintesa dari pertemuan setiap unsur-unsur dramatik mereka.
Dramatik dari bunyi pagar yang terinjak, misalnya, adalah milik pagar itu sendiri. Tapi, spekulasinya adalah, bagaimana jika unsur dramatik ini berresonansi (baik secara visual maupun audial) dengan unsur dramatik dari kelap-kelip ghost light yang berdiri di atas pedestal, di mana jarak pandang si penginjak disela oleh tekstur visual seng dan ketegasan garis tombak (yang juga merupakan unsur dramatik tersendiri)? Sementara itu, bunyi yang sama (gemerincing atau derit pagar) juga akan muncul di dalam film, tatkala Jamal mendistrosi makna dari langkah “si tentara” melalui bunyi hentakan kakinya pada besi yang dapat diduga berbahan sama dengan—atau potongan dari—pagar. Begitu pula halnya ghost light, yang hadir di dalam film sebagai properti yang melengkapi cerita fiksi, sedangkan suara kelap-kelipnya, yang mulanya hadir sebagai citra mental di kepala pengunjung pameran saat melihat objeknya di ruang galeri, dikonkretkan kehadirannya di dalam adegan foley—kelap-kelip yang bertalu-talu dan khidmat. Bagaimana semua hal ini bekerja?
Menurut amatan saya—yang dari sana gagasan kuratorial ini dirumuskan, unsur-unsur dramatik dari masing-masing karya, di antaranya telah saya petik sebagai contoh di atas, dalam kedudukan mereka baik sebagai “unsur di dalam karya” (kedudukan awal) maupun sebagai bagian dari “meta-dramatik” pameran (suatu derajat yang telah melampaui kedudukan awal), mendemonstrasikan kinerja mereka sendiri sebagai unsur dramatik, baik secara intrinsik di dalam karya asalnya maupun secara ekstrinsik ketika berhubungan dengan karya lain di dalam pameran.
***
LEBIH jauh, saya akan memperdalam bahasan tentang “meta-dramatik” itu dengan secara khusus mengulas karya film Angga yang berjudul Luka dan Bisa Kubawa Berlari (2021) pada pameran Ghost Light. Tanpa melepaskan hubungan resonansialnya (yang tentu saja juga dialekltis)[4] dengan karya-karya objek/instalasi yang juga dipamerkan, kita bisa menelaah morfologi “meta-dramatik” yang saya maksud dengan memahami montase visual dari film yang diproyeksikan ke kedua layar itu.
Layar kanan, adalah fiksi. Ceritanya, tentang pertarungan antara si gagak dan si macan, tentang penembakan, juga tentang penjatuhan dan pendirian monumen; adegan-adegan yang menggaungkan peristiwa-peristiwa sosial-politik global. Cerita ini, adalah hasil interpretasi para aktor terhadap karya objek/instalasi yang, seperti yang dapat kita saksikan, turut dipamerkan bersama film—di antaranya yang mencolok adalah objek berupa patung seekor gagak beserta lampion-lampion, tiang dan lampu ghost light, dan pedestal.
Shohifur Ridho’i, dalam artikelnya berjudul “Selagi Luka dan Bisa Kubawa Berlari”—ditulis sebagai salah satu pengiring wacana pameran ini, memaparkan bahwa pembuatan karya film didahului oleh pembuatan sebuah karya pertunjukan. Koreografi aktor ditentukan oleh objek-objek artistik (yang merupakan penggalan-penggalan dari karya instalasi/objek ciptaan Angga, yang, dalam konteks produksi film itu, menjadi properti drama). Kemudian, montase film untuk layar di sebelah kanan digubah berdasarkan cacahan-cacahan adegan dari karya pertunjukan itu—untuk disusun oleh Angga di meja editing menjadi karya film fiksi yang utuh. Dengan kata lain, montase film fiksi mengelaborasi logika drama.
Sementara, layar di sebelah kiri adalah “dokumenter”, karena merupakan rekaman dari peristiwa memproduksi suara (dengan teknik foley) untuk film fiksi—si sutradara dan kedua aktor bergerak memainkan instrumen sembari menonton film fiksi mereka yang sudah selesai dibuat. Di sini, kita memahami bahwa layar kiri adalah “tentang” layar kanan. Namun sebaliknya, “adegan foley” dengan sendirinya juga menjadi suatu “karya pertunjukan”, di mana koreografi tubuh ketiga pemain instrumen ditentukan oleh montase dari fiksi di layar kanan, dan menghasilkan irama gestural yang tak kalah kuatnya dari segi efek visual. Artinya, layar kanan (film “yang fiksi”) adalah “tentang” layar kiri (film “yang dokumenter”), dalam hal bagaimana koreografi dapat tercipta.
Adegan “yang dokumenter” menguak aspek produksi “yang fiksi” sehingga film-dua-layar tersebut secara utuh dapat dilihat sebagai film dokumenter. Namun, karena gerak gestural pemain instrumen terjadi secara natural sebagai reaksi mereka mengikuti irama visual dari “yang fiksi”, maka adegan “yang dokumenter” itu pun punya kedudukan sebagai “fiksi yang lain”—karena berresonansi dengan peristiwa di dalam bingkai di sebelahnya. Berdasarkan konteks inilah film-dua-layar tersebut pun merupakan “meta-fiksi”, yaitu, bukan dalam pengertian sesederhana “fiksi tentang fiksi”, tapi karya fiksi “yang mengungkapkan lantas mengutarakan bagaimana keberadaannya sendiri menjadi suatu fiksi”. Elemen visual dari masing-masing layar, secara tegas terpisah oleh garis tepi bingkai, tidak semata-mata “bersanding” (berdekatan bersebelah-sebelahan). Keterpisahan (atau kedudukan terpisah) dari elemen-elemen visual itu merupakan hal penting, karena garis imajiner yang mengantarai kedua layar merupakan suatu pernyataan artistik yang kuat. Oleh sebab itu, keterhubungan elemen-elemen visual justru dalam logika resonansi: bergema melalui selaan-selaan, signifikan karena sifat mereka yang “terseparasi”.
Logika resonansial semacam itulah, yang saya kira, juga bekerja dengan prinsip yang sama di dalam hubungan antara film-dua-layar tersebut dan karya-karya objek/instalasi lain yang menemani kehadirannya di dalam pameran. Mereka saling membongkar satu sama lain, tetapi makna naratifnya juga saling menentukan satu sama lain sebagai sebuah gugus, berupa isian-isian yang terpisah tapi juga “tak terpisah” sekaligus.
Lantas, di manakah letak morfologi “meta-dramatik” dari film-dua-layar itu? Tentu saja, pada sintesa dari pertemuan dialektis antara unsur-unsur dramatik dari masing-masing layar. Pada satu sisi, pertemuan unsur-unsur dramatik ini membangun logika naratif mengenai bagaimana film itu dibuat (hingga mencapai bentuk “meta-fiksi”). Tapi pada sisi yang lain, jukstaposisi kedua layar secara dramatik juga menunjukkan bagaimana unsur-unsur dramatik pada masing-masing layar mempunyai hubungan resonansial, memengaruhi aspek emosional penonton, terlepas dari bagaimana alur ceritanya berjalan. Teriakan Ari yang keluar-masuk frame kamera, contohnya, bersifat dramatik dalam fungsinya yang bekerja sebagai “ungkapan figuratif” (metaforik). Sementara itu, di layar sebelah kirinya, konsentrasi ketiga pemain instrumen bebunyian yang menyimak monitor (yang berposisi bagaikan konduktor artifisial yang memimpin orkes) mempunyai ketegangan tersendiri pula, tapi bukan bersifat visual-metaforis, melainkan aktual, musikal, dan performatif. Gabungan kedua adegan terpisah ini—terutama karena terpisah ke dalam layar yang berbeda—sebagai bagian dari karya utuh “film-dua-layar”, juga dramatik dengan sendirinya karena memunculkan efek ritmis yang mengikat perhatian penonton: mata penonton berpindah-pindah antara layar kanan dan kiri. Kita bukan lagi diaduk-aduk oleh alur cerita, tetapi oleh suatu irama; intensitas yang terjadi bukan lagi hanya menyasar penalaran (otak), tapi juga sensibilitas dan perasaan penonton.
Lebih dari itu, secara bersamaan, resonansi dari kedua adegan merupakan “meta-dramatik” karena menunjukkan secara gamblang bagaimana mereka dapat terhubung, tapi sekaligus (sebenarnya) juga tetap terpisah. Aspek “dramatik” pada tahap ini adalah sesuatu yang muncul dari atau karena gaya ungkap demonstratif yang menunjukkan mekanisme kerja dari “sebuah unsur” ataupun “sekelompok unsur” dramatik (baik yang terpancar dari satu elemen, sekumpulan elemen, maupun keseluruhan elemen visual dalam adegan). Dari sini, kita pun dapat merumuskannya sebagai berikut: bukan lagi tentang apa, melainkan bagaimana segala hal (termasuk unsur dramatik itu sendiri) bekerja dengan berbagai kemungkinan:
Bagaimana unsur dramatik bekerja;
bagaimana dramatik bisa menjadi dramatik; dan…
bagaimana proses menjadi dramatik itu sendiri, pada akhirnya, juga dramatik…?
Dengan kata lain, “meta-dramatik” adalah tentang mekanisme dramatik sebagai bahasa, yang bekerja untuk dan pada kita—penikmat karya—untuk memengaruhi keadaan, perasaan, dan situasi kita.
Logika resonansial yang sejenis, seperti yang tercipta dari hubungan setiap elemen dari kedua layar itu, saya kira, juga tercipta dan bekerja di dalam hubungan antara setiap karya objek/instalasi, juga antara mereka dan film-dua-layar. Dengan kata lain, lewat kerangka kuratorialnya, pameran Ghost Light berupaya menyajikan suatu demonstrasi tentang bahasa dramatik yang berdiri di atas bahasa dramatik.
Dari segi kuratorial, akhirnya, merumuskan pameran ini sebagai “meta-dramatik dari uraian tentang meta-fiksi”, menjadi pilihan yang cukup relevan sebagai proposisi, mengingat apa yang telah kita coba sepakati sebagai “meta-fiksi” pada pameran ini (sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas) pada dasarnya bukan merupakan sajian utama. Apalagi jika mempertimbangkan proses yang dilalui Angga dalam mengorganisir kerja kolaboratif penciptaan karya dan produksi pameran tunggalnya ini, saya pun berhenti sejenak pada kesimpulan bahwa Ghost Light mungkin memang membongkar fiksi dengan fiksi, tapi eksperimentasi yang disasar ialah bagaimana meramu penggalan-penggalan dari bongkaran itu menjadi suatu gaya ungkap liris yang dapat membicarakan aspek ontologis dari konsep dramatik dalam suatu tindakan dan sajian artistik. (*)
Endnotes:
[1] Tentu saja ini terlepas dari perkembangan-perkembangan dari pemikiran dan praktik-praktik terbaru di ranah kebudayaan, yaitu perkembangan yang telah sampai pada fase perluasan nilai-nilai fungsional, artistik dan estetik, serta filosofis dari “teks [berwujud] tulisan” itu, bahwa “tipografi” telah diperluas ke berbagai kemungkinan bentuk dan arti oleh banyak eksponen di dunia seni kontemporer.
[2] Terkait hal ini, baca juga spekulasi teoretik mengenai perluasan potensi “tipografi” dari Katherine McCoy dan David Frej, “Typography as Discourse”, 1988, dalam Helen Armstrong (Ed.), Graphic Design Theory: Reading from The Field (Ney York: Princeton Architectural Press, 2009).
[3] Menurut definisi sederhana yang dapat saya kutip dari Wikipedia (yang merujuk kepada buku Theater Backstage from A to Z karya Warren C. Lounsbury dan Norman Boulanger, 1989), “ghost light” adalah “lampu listrik yang dibiarkan menyala di panggung teater ketika teater tidak berpenghuni dan jika tidak, akan benar-benar gelap. Biasanya terdiri dari bola lampu pijar terbuka, lampu CFL, atau lampu LED yang dipasang di sangkar kawat pada dudukan lampu portabel.” (Lihat Wikipedia Bahasa Inggris, “Ghost light (theatre)”: https://en.wikipedia.org/wiki/Ghost_light_(theatre), diakses tanggal 9 Juni 2021, 23:29 WIB).
[4] Daniel Fairfax mengurai hubungan kedua istilah tersebut, “resonansi” dan “dialektika”, di sebuah pembahasan mengenai “bahasa visual film”, baik dalam perihal praktis (yang telah diterapkan oleh para sutradara di dalam karya) maupun teoretis (rumusan yang mendahului atau pembacaan berdasarkan karya, yang dilakukan teoretikus). Lihat Daniel Fairfax, “Montage as Resonance: Chris Marker and the Dialectical Image”, sensesofcinema, September, 2012, diakses dari https://www.sensesofcinema.com/2012/feature-articles/montage-as-resonance-chris-marker-and-the-dialectical-image/ pada tanggal 10 Juni 2021, 01:28 WIB.
Pingback: Histrionik, Pantomime, Serta Luka Dan Bisa Kubawa Berlari | CEMETI