
sebARSIP – Arsip Proyek Pilihan #004: “Loneliness in the Boundaries“
Loneliness in the Boundaries, pameran tunggal Melati Suryodarmo, 2006
Rumah Bagi yang Ingin Melampaui Perbatasan
Esai refleksi ditulis oleh Melati Suryodarmo
Lima belas tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2005, seperti seorang yang kehilangan jejak, saya, sebagai seorang yang telah lama meninggalkan tanah airnya merasa seperti turis asing yang mencari tempat-tempat istimewa di Yogyakarta. Seperti mencari deJavu yang tidak pernah jelas kapan dan di mana kenangan itu bisa dikejar, saya ingin menemukan jejak kenangan yang tidak pernah terlupakan. Lalu saya menelusuri jalan-jalan di kota itu, bertanya kepada orang-orang yang saya temui, serta mencari nama-nama dan alamat sebuah galeri yang saya pernah kunjungi pada awal tahun 1993, Galeri Cemeti. Bersama Andar Manik, Marintan Sirait dan adik-adiknya, saya datang ke Yogyakarta untuk melihat pembukaan pameran tunggal Andar, seorang seniman keramik, fotografer handal, aktivis dan tetanggaku terdekat di Bandung. Sebenarnya saya lebih merasa sangat dekat dengan istrinya, Marintan, seniman perempuan idola saya, yang telah banyak menemaniku, menasehati, dan memicu keingintahuanku tentang tubuh, kebudayaan, Joseph Beuys, Jerman, performance art dan eksplorasi. Ingatan atas peristiwa pada pembukaan pameran itu sangat kuat, terutama karena Marintan melakukan performans di dalam instalasi Andar yang bertajuk “Sound of Body“, sebuah instalasi yang menggunakan banyak koran bekas dan api yang membakar batangan terracotta yang tersusun melingkar. Tubuh Marintan berlumuran tanah liat dan bergerak perlahan, seperti bergerak dalam energi butoh. Pada dinding dan lantai, sosoknya memunculkan bayangan yang digerakkan oleh sinar api yang menyala. Bayang-bayang tubuh yang bergerak perlahan itu, melekat pada ingatan saya, dan selalu mengingatkan pada banyak peristiwa di tanah air saat itu, saat menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Namun bayang-bayang dalam keredupan cahaya itu juga mengingatkan saya pada kelembutan seorang perempuan dalam kesehariannya, suasana yang hening, berisi, namun juga tegang. Marintan menyatu bersama bayangannya. Hari-hari pembukaan pameran Andar di Yogyakarta itu, adalah hari-hari bahagia yang memberi saya peluang untuk sedikit bermimpi dan mengandai-andai, jika saya menjadi seorang seniman, mungkin pameran seperti ini yang akan saya buat.
Waktu itu saya masih kuliah di Bandung di tahun terakhir dan sedang dalam proses menyelesaikan skripsi di jurusan Hubungan Internasional. Hidup saya terasa berada sangat jauh dari dunia seni rupa. Lalu mimpi-mimpi itu perlahan berguguran. Pada tahun 2005 itu, saya ingin mengejar memori atas suasana bayangan di Yogyakarta itu, dan berkeinginan sedikit menemukan kembali kondisi batin saya seperti pada lima belas tahun sebelumnya. Kebetulan saya sedang ada pekerjaan menjadi manajer produksi dan tour dari sebuah kelompok seni pertunjukan dari Amerika Serikat yang berpartisipasi di Yogyakarta Gamelan Festival di Taman Budaya Yogyakarta.
Akhirnya saya menemukan alamat Galeri Cemeti, yang pada tahun itu telah berpindah alamat, tidak lagi di sebuah kampung sepi di Yogyakarta namun di pinggir jalan besar yang sangat mudah untuk ditemukan. Sejenak saya seperti hilang rasa, karena suasana sudah sangat berbeda dibandingkan enam belas tahun sebelumnya, walaupun dari gaya bangunannya, masih tetap terjaga, sederhana dan ada suasana rumah. Sebenarnya saya sering mendengarkan cerita tentang Galeri Cemeti, Mella dan Nindityo dari ayah saya. Beliau selalu menceritakan bahwa Mella dan Nindityo adalah orang-orang luar biasa yang membangun ruang secara mandiri sebagai tempat berbagi bersama komunitas seni rupa di Yogyakarta dengan cara mereka sendiri. Beliau jugalah yang menyarankan saya untuk bertemu dengan Mella dan Nindityo.
Pertemuan kami sangat singkat, hanya bertukar kabar dan bercerita tentang kekaryaan. Kami melanjutkan komunikasi dengan saling bertukar kabar melalui surel, dan Mella mulai mengatakan niatnya untuk mengundang pameran tunggal di Cemeti. Undangan saya terima dengan bahagia, karena pameran itu akan menjadi pameran tunggal saya yang pertama sepanjang perjalanan saya berkarya.
Persiapan pameran berlangsung sekitar hampir setengah tahun. Saya mempersiapkan katalog yang saya desain sendiri dan mencari penulis untuk mengkontribusikan catatan mereka tentang kekaryaan saya. Dalam proses persiapan pameran ini, Alia Swastika, yang pada waktu itu bekerja sebagai manajer artistik Galeri Cemeti banyak membantu saya dari Yogyakarta. Alia banyak sekali membantu mengkoordinasi semua kebutuhan pameran. Dari proses persiapan, pameran inilah awal mula pertemanan saya dengan Alia yang masih berlangsung hingga saat ini. Saya banyak belajar tentang bagaimana persiapan sebuah pameran di Indonesia, karena walaupun sudah ada beberapa pengalaman kerja di dunia seni rupa di Eropa, saya merasa masih belum tahu banyak bagaimana mempersiapkan pameran tunggal dan bagaimana cara kerja di galeri di Indonesia. Walaupun saya sering sedikit bingung, namun proses persiapan pameran ini sangat menantang dan membuat saya juga bekerja keras bersama tim Galeri Cemeti. Untung Mella dan Alia banyak menemani saya dengan tekun dan sabar, juga Sari dan Oki.
Karya-karya yang dipilih untuk pameran merupakan pilihan saya dan Mella. Sebenarnya saya diberi keleluasaan juga untuk memilih dan mendiskusikan kemungkinan adanya karya baru. Ada seri foto-foto performans “Loneliness in the Boundaries“, ada karya instalasi obyek “Contamination” dan tiga performans : “Boundaries that Lie” (2004), “The Promise” (2003) dan satu karya baru “Kleidungsaffe” (2006). Akhirnya kami sepakat untuk menampilkan tiga karya performans, beberapa foto dan karya instalasi.
Selain mengundang saya untuk berpameran di Galeri Cemeti, Mella mengusulkan, Dr. Marla Stukenberg, Direktur Program Kebudayaan dari Goethe Institut Jakarta untuk mengundang saya melakukan performans saya yang bertajuk “Exergie-butter dance”, di Goethe House Jakarta. Saya beruntung diundang oleh Goethe Institut Jakarta karena biaya perjalanan dari Jerman ke Jakarta ditanggung oleh mereka.
Pada tanggal 6 Maret 2006, untuk pertama kalinya juga saya melakukan performans di Indonesia. Saya gemetar sebelum masuk ke ruang panggung auditorium yang dipenuhi oleh penonton itu. Malam itu malam yang sangat kikuk dan menegangkan bagi saya.
Setelah Jakarta, saya menuju ke Solo untuk mengunjungi bapak saya. Saya memutuskan untuk tidak menginap dan memilih untuk pulang pergi Yogyakarta – Solo, karena pada waktu itu saya jarang pulang ke tanah air, paling banyak setahun sekali. Melanjutkan proses persiapan pameran di Cemeti yang sudah kami rintis selama setengah tahun itu, setiap beberapa hari sekali saya pergi pagi dan pulang malam ke Solo. Seminggu sebelum pameran dibuka, saya bersama tim kerja Galeri Cemeti mulai memasang karya-karya yang sudah siap pasang. Selain memasang karya, saya dan Alia juga sibuk mengurus cetak katalog yang harus sudah jadi ketika pameran dibuka. Desain katalog dan isinya sudah saya persiapkan sejak sebelum berangkat ke Indonesia. Karena dana yang sangat terbatas, layout katalog saya desain sendiri secara sederhana. Saya ingat sekali, Alia mengurus ISBN di Jakarta naik bis dan sehari jadi. Kalau tidak salah waktu itu biaya ISBN masih tujuh puluh lima ribu rupiah. Di percetakan Cahaya Timur, saya hampir kerja lembur untuk menata file yang akan digunakan untuk penyinaran film untuk proses cetak. Karena hanya ada satu komputer mereka yang ada program InDesign dan hanya satu pegawai yang bisa mengoperasikannya, maka saya boleh menggunakan komputer mereka. Saya dan Alia menghabiskan waktu di percetakan selama dua hari untuk proses penyinaran hingga cetak proof.
Pameran tunggal ini akhirnya dibuka dengan tiga karya performans saya: “The Promise” yang berdurasi tiga jam, “Kleidungsaffe”, yang secara paralel saya delegasikan kepada Uji Hahan untuk melakukan performans di karya itu, dan “Boundaries that Lie” yang dilakukan oleh Fitri Setyaningsih. Cuaca cerah, malam yang indah, dan rasanya kerja keras kami memberi kebahagiaan.Terutama bagi saya, yang kemudian merasa “pulang” dengan kerja seni dan mendapat semangat baru untuk kembali ke tanah air.
Dari pengalaman tersebut, saya banyak terinspirasi oleh kerja Cemeti, terutama kerja mereka yang sangat terstruktur dalam perencanaan dan pelaksanaannya.Tahun 2007, saya memulai membuat program tahunan untuk seni performans, sebuah laboratorium untuk seni performans (PALA Project) di Tejakula, Bali dan Undisclosed Territory, di Solo sebuah program seni performans sederhana yang masih berlangsung rutin hingga sekarang. Cemeti juga menginspirasi saya untuk berbagi ruang, dengan mendirikan Studio Plesungan pada tahun 2012 di Karanganyar. Studio Plesungan merupakan artist’s run space yang dibuka untuk kegiatan-kegiatan laboratorium seni performans, seni pertunjukan dan seni rupa.
Seperti yang telah diberikan kepada saya, Cemeti juga telah banyak memberi kesempatan bagi banyak seniman, yang kerja seninya berestetika pinggiran, alternatif, eksperimental dan tidak bersinggungan dengan pasar seni kebanyakan. Demikianlah hubungan baik kami yang tetap berlanjut hingga sekarang, melalui silaturahmi dan program-program lainnya. Hubungan kami ini saya anggap sebagai hubungan pertemanan berbasis kepercayaan atas semangat membangun masa depan bersama dengan cara kita masing-masing. Bagi saya, nilai kebersamaan dalam semangat seperti ini adalah sesuatu yang membahagiakan. Rumah Seni Cemeti di mata saya, adalah sebuah ruang yang menjadi jembatan bagi banyak pelaku seni dan rumah bagi siapa saja yang ingin melampaui perbatasan.
Karanganyar, 20 April 2021
Berkas Arsip Loneliness in the Boundaries
Berkas Arsip Loneliness in the Boundaries
(Klik gambar untuk melihat lebih banyak materi arsip!)
