
sebARSIP – Arsip Residensi Pilihan #003: “Katharina Duve dan Sakinah Alatas”
Program Residensi Seniman 2018: “Katharina Duve dan Sakinah Alatas”
Memahami Praktik Kerja Asisten Program Residensi
Esai refleksi ditulis oleh Nikita Ariestyanti
Paruh kedua tahun 2018, saya semacam menantang diri untuk belajar di luar kebiasaan dengan bekerja sebagai Asisten Program Seniman Residensi di Cemeti. Bisa dibilang ini merupakan langkah yang acak. Bagaimana tidak? Residensi merupakan terma yang cukup jauh dan asing dari keseharian. Selama ini topik terkait residensi hanya saya dapatkan sekilas ketika berbincang dengan teman atau di dalam forum tertentu. Definisi residensi yang saya pahami pun sebatas mengenai seniman yang tinggal di suatu tempat dalam durasi waktu tertentu untuk membuat karya. Tentu kesempatan ini jadi pengalaman yang benar-benar baru bagi saya.
Saya terlibat sebagai Asisten Program Seniman Residensi Cemeti 2018 Periode #2 yang berlangsung selama bulan September-November 2018. Seniman residensi Cemeti pada periode tersebut adalah Katharina Duve dan Sakinah. Katharina Duve, yang akrab dipanggil Kati, merupakan seniman asal Jerman yang berkarya dengan praktik videografi, kolase dan performing art. Sedangkan Sakinah merupakan seniman asal Jakarta yang berkarya dengan praktik performing art, kolase dan menjahit.
Setelah berjarak lebih dari dua tahun, program residensi cemeti periode itu tidak hanya menjadi inkubator bagi seniman yang terlibat. Sebagai asisten program, bagi saya program ini merupakan ruang untuk mengalami secara langsung perihal seluk beluk di balik penyelenggaraan sebuah residensi beserta praktik-praktik yang menyertainya. Bisa dibilang catatan ini berpijak dari refleksi personal mengenai bagaimana saya mengalami ruang tersebut dan memaknai praktik kerja yang dilakukan beserta kendala yang sempat saya hadapi.
Selama proses residensi berlangsung, saya mencoba berpijak pada penjelasan Theodora Agni, manajer residensi periode itu, mengenai deskripsi pekerjaan asisten program residensi di Cemeti, seperti: membantu proses riset untuk pengkaryaan, menjadi teman diskusi bagi seniman, membantu menerjemahkan baik secara bahasa maupun kultural dan membantu membuka jaringan selama proses residensi berlangsung. Dari penjelasan Agni saya mencoba menerjemahkan bahwa asisten program residensi bisa dibilang seperti penghubung dan perpanjangan tangan Cemeti untuk melihat, membantu dan memfasilitasi proses residensi seniman. Tentu pemahaman awal saya akan deskripsi kerja asisten program residensi masih sangat abstrak dan luas.
Memahami praktik kerja seorang asisten program residensi merupakan hal yang gampang-gampang-susah, menurut saya. Saya mengalami masa penyesuaian diri yang cukup panjang dengan pekerjaan ini. Ini kali pertama saya bekerja sebagai asisten program residensi dan juga kali pertama saya bekerja di wilayah kesenian. Kebingungan untuk menentukan langkah dan strategi serupa makanan sehari-hari. Pertanyaan mengenai: Hal apa yang sebaiknya harus dikerjakan terlebih dahulu? Atau inisiatif macam apa yang harus dilakukan untuk ‘membantu’ seniman dan Cemeti dalam program ini? berulang kali muncul dalam benak.
Posisi asisten dalam program ini pun menarik buat saya. Ia berada di antara relasi seniman dan Cemeti, di antara relasi seniman dan seniman, serta memiliki relasi tersendiri dengan seniman residensi maupun Cemeti. Ketiga posisi ini menciptakan relasi kerja dengan intensitas dan keintiman yang berbeda satu sama lain. Di sisi lain relasi yang muncul antara asisten program dengan seniman residensi pun tidak hanya berupa relasi pekerjaan. Intensitas bertemu, nongkrong di sela pekerjaan dan curhat untuk membicarakan persoalan keseharian membuat relasi pertemanan tak terelakan muncul.
Kendala yang sempat muncul saat itu perihal wilayah kerja asisten program yang cukup luas dan posisinya yang cair ternyata bisa menimbulkan kegagapan dalam memaknai praktik kerja asisten program, baik dari si asisten itu sendiri, seniman yang terlibat, maupun penyelenggara. Secara personal saya sendiri sempat gagap dalam memaknai praktik kerja yang saya lakukan juga merasakan kebingungan dalam membaca posisi saya. Munculnya load kerja yang dilimpahkan ke asisten program di luar dari deskripsi kerja yang disepakati di awal sering kali membuat saya bingung untuk meresponnya. Posisi asisten yang cukup ‘abu-abu’ dan banyak berada ‘di antara’ ini membuat saya kerepotan untuk mengkomunikasikan hal-hal tersebut secara lugas.
Adanya kegagapan memaknai praktik kerja ini kerap kali memunculkan perasaan tidak nyaman di antara satu sama lain. Terlebih jika hal tersebut tidak dikomunikasikan dengan jelas dan tegas. Seringkali seniman residensi kurang menyadari sejauh mana wilayah kerja asisten program ini. Selain itu terma ‘asisten program’ ini kerap kali dimaknai sebagai ‘asisten seniman’ sehingga mereka merasa bahwa perihal ‘bantu-membantu’ wajar saja jika dibebankan.
Penggunaan terma ‘asisten’ pun sedikit banyak mempengaruhi adanya relasi kuasa di dalam program ini. Cukup susah membayangkan relasi yang ideal dan setara mengenai posisi ‘asisten’ ini. Kata ‘asisten’ yang secara harafiah memiliki arti ‘orang yang bertugas membantu’ menjadi bias jika tidak diberi garis batas yang jelas. Seakan-akan berbagai macam hal yang membutuhkan bantuan di dalam proses residensi walaupun itu di luar konteks kerja dapat dibebankan ke asisten. Karena toh dapat disimpulkan secara praktis bahwa posisi ini dihadirkan memang untuk ‘membantu’.
Sebagai asisten program, saya memahami bahwa tidak semua hal bisa dibebankan. Contohnya hal-hal teknis seperti membeli , menyewa dan mengambil material. Hal-hal ini memang terkesan remeh, namun jika dibiarkan begitu saja tanpa komunikasi yang jelas dan tanpa pemahaman masing-masing pihak bisa memicu terjadinya konflik, menimbulkan tegangan-tegangan yang tidak perlu dan malah menganggu alur program residensi itu sendiri. Apalagi ketika program residensi semakin intens dan menuju klimaks. Tanpa penyelesaian yang berarti, hal ini bisa jadi malah semakin kusut.
Hal yang melegakan saat itu adalah keterlibatan manajer dalam memberikan ruang aman untuk membicarakan perasaan dan emosi yang muncul selama proses residensi. Agni yang berperan sebagai manajer saat itu membantu saya untuk membaca dan memaknai ulang posisi asisten dalam program residensi ini. Kami mendiskusikan kendala-kendala ini dan kemungkinan negosiasi yang bisa diusahakan untuk menyelesaikannya.
Penting bagi seorang asisten program residensi untuk memberi makna akan praktik kerjanya agar dapat menegosiasikan posisinya dengan rekan kerja.[1] Tidak ada salahnya Cemeti, sebagai penyelenggara, dan seniman residensi juga memaknai kembali dan membaca ulang praktik kerja asisten program di dalam residensi. Bisa jadi asisten program memang dihadirkan untuk ‘memudahkan’ berjalannya program residensi juga mempermudah kerja penyelenggara agar tetap bisa intens mengikuti perkembangan residensi. Adanya ruang untuk menjadi asisten program residensi juga menjadi hal yang menarik karena bisa memberikan pengalaman dan pengetahuan baru mengenai praktik-praktik kerja yang terjadi di dalam residensi. Namun, pemberian batas yang jelas mengenai wilayah kerja beserta posisi mereka menjadi wujud akan kesadaran hak dan tanggung jawab kerja masing-masing.
[1] Khairunnisa, Asisten Program Residensi: Agen Penerjemahan Nilai. dimuat di https://workgalore.wordpress.com/2019/05/13/asisten-program-residensi-agen-penerjemahan-nilai/, 2019.
Berkas Arsip Residensi Katharina Duve dan Sakinah Alatas
Berkas Arsip Residensi Katharina Duve dan Sakinah Alatas
(Klik gambar untuk melihat lebih banyak materi arsip!)
