Arsip Proyek Pilihan #005: Drama Daster, sebARSIP
Leave a Comment

Clothing as A State of Power: Daster

sebARSIP – Arsip Proyek Pilihan #005: “Drama Daster

Catatan Pengalaman Melihat Karya dengan Tema Daster; Karya Lashita Situmorang

Clothing as A State of Power: Daster

Esai refleksi ditulis oleh Jessica Ayudya Lesmana

Setelah berkali-kali mencoba pakaian yang akan kugunakan untuk melihat pameran di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, akhirnya aku memutuskan untuk memakai gaun bermotif binatang macan tutul. Aku tidak ingat kenapa memilihnya, hanya saja aku mengingat bagaimana pandangan pengunjung kepadaku ketika aku memakai gaun bermotif binatang ini. Kurasakan pandangan mata orang-orang tertuju pada pilihan gaun seksiku. Itu tidak menjadi persoalan, aku tetap menikmati melihat pameran yang bertema pakaian.

Sebelum aku memilih pakaian untuk melihat pameran dengan tema pakaian itu, aku banyak membongkar kembali isi lemari pakaianku. Aku teliti lagi satu persatu apakah pakaian yang akan kukenakan layak atau tidak jika mengunjungi pameran. Aku termasuk perempuan yang berpikir liberal jika memakai pakaian. Aku memakai pakaian apapun yang aku mau jika itu cocok, dan pas pada bagian pinggulku yang ramping dan badanku yang tinggi.

Sebelum aku memoles make up, aku memakai pakaian yang nyaman dipakai yaitu daster keseharian yang biasa aku pakai untuk tidur, hingga baunya khas bau iler. Namun, aku menyukai daster untuk dipakai hingga keaslian warnanya sudah mulai pudar. Ada semacam perasaan tenang ketika memakai daster sebagai penutup tubuh.

Sampai di pameran yang berjudul Clothing as A State of Power, aku terpukau dengan penataan artistik tim Cemeti dan seniman yang menatanya sedemikian rupa. Aku berputar ke sudut bagian kiri ruangan untuk melihat cadar-cadar yang digantung sebagai bagian dari karya Candrani Yulis berjudul Hijrah. Lalu aku juga melihat bermacam masker karya Eldhi Hendrawan yang dibuat berdasarkan berbagai model pakaian prajurit keraton Yogyakarta. Bentuk masker tersebut juga disesuaikan dengan wilayah asal prajurit. Bergeser ke arah paling depan, kulihat karya Karina Roosvita yang berbicara mengenai sarung. Kain sarung dan bagaimana maknanya tak luput dari perhatianku. Karina Roosvita menjelaskan bahwa sarung adalah bentuk kain feminin yang bisa dikenakan oleh lelaki juga.

Namun, dari semua karya yang ada di dalam ruang galeri Cemeti, yang paling menarik bagiku adalah daster dan polanya. Tampilan visual dan narasi tentang seluk beluk di balik daster dari karya Lashita Situmorang ini membuatku menjelajah ke dalam imajinasi dan pengalaman pilihan baju daster sebagai baju keseharian untuk menemani tidur dan bersantai. Lashita menjelaskan bahwa di awal observasinya ia berpikir tentang pakaian apa kiranya yang merepresentasikan relasi kuasa, dan kemudian ia memilih daster. Lashita mengamati ibu-ibu di lingkungan sekitar rumahnya yang mengenakan daster, dan menanyakan kenapa memilih pakaian itu sebagai pakaian keseharian. Ibu-ibu itu menjawab karena nyaman dan enak dipakai. Pengamatan Lashita berkembang lagi menggali sejarah awal model daster. Ia menjelaskan bahwa daster awalnya adalah jubah yang dikenakan sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari, kemudian jubah tersebut beralih menjadi daster. Ia menambahkan, di dalam perkembangannya ada model daster yang di dalamnya berbentuk lingerie. Lashita juga meneliti kaitan daster dengan sisi keibuan perempuan, semua itu ia ringkas dalam bentuk infografis. Daster memang baju yang sederhana, namun daster memiliki fungsi yang kuat dalam kehidupan perempuan. Menurutku motif-motif daster itu dibuat beraneka ragam dengan model-model yang enak dipandang dan feminin.

Daster menurut pandanganku, juga memiliki fungsi sebagai pelindung tubuh dari panasnya udara, karena biasanya kain daster terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Namun, ada cerita yang kudapat ketika aku menggali ingatan tentang pakaian ini. Yang pertama adalah daster dengan ibu kandungku. Ibuku tak pernah mau memakai pakaian yang bermodel kaos atau celana. Daster yang menjadi pakaian favorit ibuku dipakainya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan memasak. Alasannya sederhana, yaitu karena memakai daster itu ringkas dan tidak panas. Ia menambahkan memakai daster juga membebaskannya bergerak ke sana kemari ketika ada pekerjaan rumah tangga yang perlu ia kerjakan secara bersamaan. Melihat karya Lashita membuatku mengingat daster yang mengikat ibuku dengan perasaan nyaman.

Kugali lagi pengalaman penglihatanku ketika aku membeli baju di pasar. Banyak sekali perempuan-perempuan yang ke pasar mengenakan pakaian model daster. Dari cara mereka membawakan diri, mereka terlihat nyaman untuk bertransaksi dengan para pedagang. Pedagang di pasar pun ada beberapa yang memakai daster. Mereka terlihat ramah dan sopan dengan pakaian bercorak lembut ini. Perempuan yang memakai daster juga terlihat aman ketika mengenakannya.

Lalu beberapa pengalaman itu kugali dengan sebutan-sebutan untuk perempuan yang cenderung mendiskreditkan daster; seperti misal “emak emak dasteran bau dapur”, atau kata-kata “makanya dandan dong pakai gaun jangan dasteran aja”. Perkataan bully-an semacam itu seolah-olah memposisikan perempuan dengan pakaian daster yang dikenakannya itu buruk. Cerita perempuan yang memakai daster identik dengan urusan dapur, sumur, dan kasur masih ada hingga sekarang.

Daster membentangkan beragam asosiasi yang bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya ibu-ibu yang memakai daster tanpa riasan sering sekali dituduh tidak menarik, dan ditakut-takuti oleh anggapan bahwa nanti suaminya akan mencari perempuan lain yang memakai gaun cantik dengan polesan make up. Anggapan ini tentu saja memecah belah pemikiran perempuan. Bagi perempuan yang percaya diri, ia akan santai saja dengan daster yang dikenakannya. Tapi bagi perempuan yang mendengarkan anggapan miring itu, ia akan mengenakan pakaian lain sebagai pengganti daster, dengan tujuan selain untuk keharmonisan rumah tangga, juga ingin dianggap lebih modern.

Anggapan tentang daster juga tak jauh dari pekerjaan perempuan yang berhubungan dengan rumah. Daster dianggap sebagai atribut pakaian yang secara tidak langsung juga memposisikan perempuan sebagai subordinat di rumahnya. Bila dibandingkan dengan model kemeja perempuan, kaos biasa, atau gaun; daster dianggap berbeda karena memegang simbol nyaman, dapur, dan rumah, yang artinya pakaian ini cocok dikenakan ketika perempuan melakukan aktivasi di dalam rumahnya masing-masing.

Jika aku melihat budaya kehidupan keseharian, pada umumnya, istri yang baru memiliki seorang suami akan mengenakan daster untuk mengelola rumah tangganya. Daster yang digunakan menjadi semacam identitas perempuan yang bertanggung jawab pada rumah tangganya. Daster juga memiliki keterikatan perasaan nyaman pada perempuan yang mengenakannya. Tak jarang perempuan yang mengenakan daster tak malu untuk pergi ke minimarket sendirian dengan dasternya. Pakaian daster juga dapat mengakrabkan hubungan perempuan-perempuan yang ada di rukun tetangga, semisal jika mereka membeli bumbu dapur atau bahan makanan di bakul belanjaan. Daster yang mereka kenakan akan membawa mereka pada kenyamanan percakapan antara satu perempuan dengan perempuan lainnya.

Di era milenial sekarang, macam-macam daster dibuat semakin trendy. Hal ini dilakukan selain untuk memajukan kapital itu sendiri, juga sebagai pilihan yang beragam bagi perempuan untuk mengenakan busananya. Banyak produsen daster yang memodifikasi daster untuk bisa dipakai bepergian ke luar rumah. Beberapa model daster dibuat menyerupai gaun pesta agar terlihat modis dan modern.

Setelah melihat pameran Clothing as A State of Power aku semakin sadar atas tubuhku. Aku memiliki kuasa mau berpakaian seperti apa asal nyaman dan aman kukenakan. Pameran ini juga menyadarkanku betapa sejarah pakaian bisa membingkai cerita khususnya untuk perempuan. Kerentanan perempuan dengan pakaiannya akibat penilaian subjektif, juga didiskusikan di pameran ini. Pengetahuan adalah kekuatan, bahkan karya Lashita Situmorang tentang daster ini saja bisa menjadikanku nyaman mengenakan daster di mana saja tanpa harus terbelenggu pada citraan-citraan miring tentangnya.

Berkas Arsip Drama Daster

Berkas Arsip Drama Daster

(Klik gambar untuk melihat lebih banyak materi arsip!)

Tagged with:

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.