
ADA dua hal yang mengesankan bagi saya di momen-momen pertama mengenal Gegerboyo. Pertama, karya bertajuk “Goro-goro Gegerboyo” yang mereka buat untuk proyek “Normal Baru” (acara yang diselenggarakan oleh Jogja Biennale tahun 2020). Dalam proyek itu, Gegerboyo dengan jitu menemukan relevansi gambar dan teknologi digital untuk menerjemahkan kembali visual dan tradisi pewayangan. Mengadopsi format GIF, dikemas dalam bentuk video pendek dengan dialog-dialog humor, seri “wayang GIF” Goro-goro Gegerboyo membingkai isu pandemi menggunakan pendekatan yang “sangat warga”. Saya sebut “sangat warga” karena produksi audiovisual mereka—yang dapat dipahami bertumpu pada tradisi dokumenter—menyertakan suara-suara (“kebisingan”) jalanan dan obrolan orang-orang di angkringan ke dalam dialog-dialog yang mereka susun. Dengan metode ini, bolehlah kita menyatakan bahwa Gegerboyo melestarikan budaya lisan sebagai sumber naratif.
Kedua, jawaban Gegerboyo (diutarakan oleh Ipeh Nur) untuk pertanyaan yang saya lemparkan ketika mereka menggarap proyek yang dipamerkan di Art Jakarta 2020—pengembangan dari seri “Goro-goro Gegerboyo”. Pertanyaannya soal metode produksi gambar. Saat itu, Ipeh menerangkan bahwa mereka bekerja layaknya para pemeran tonil—atau, pertunjukan “teater rakyat”: tidak ada naskah panjang yang ketat dan mengikat; tidak ada patokan yang rinci. Dialog antar-pemeran di dalam pertunjukkan teater rakyat mengalir dengan sangat cair. “Mereka (para pemeran teater itu) saling melakukan kontak mata,” begitulah, kira-kira, penjelasan Ipeh. Itu berguna untuk mengetahui apa yang akan diucapkan rekannya dan bagaimana menanggapi ucapan tersebut sehingga dialog yang terjadi murni improvisasi.
Dalam menggambar, Gegerboyo menerapkan metode yang sama. Sebab, kesalingpahaman dan kesamaan frekuensi mengenai gagasan gambar telah menubuh di antara mereka. “Kontak mata” (dalam hal ini, saya sebut juga “kontak gambar”) memainkan peran penting. Dengan cara itu, visual yang diciptakan bisa jadi merupakan hasil improvisasi. Bagi Gegerboyo, gambar menjadi medium komunikasi di antara mereka satu sama lain. Anggota yang satu menyambung gambar dengan cara menanggapi gambar yang telah dibuat oleh anggota lainnya. Penciptaan gambar adalah soal aksi-rekasi; soal saling berbagi tanggapan.
***
MENILAI hasil final dari karya-karya visual Gegerboyo, menurut saya, memiliki dua konsekuensi. Pertama, tentu saja, kita akan berada di tengah-tengah medan visual yang sangat luas dan kaya akan peluang interpretasi. Untuk menafsir gambar di pameran Gapura Buwana, misalnya, satu fragmen visual punya potensi untuk ditarik ke berbagai konteks, dan konteks yang kita tarik itu juga akan menjadi lebih kaya saat kita—jikalau mau—mengaitkannya dengan fragmen-fragmen lain yang ada pada sisi berbeda dari dinding.
Konsekuensi kedua, ialah seperti komentar Agung Kurniawan (salah satu pembicara yang mengisi diskusi publik “Gapura Buwana” tanggal 20 April 2021): “Kita bisa saja tersesat dan kelimpungan memilih-pilah, mengurai, dan menerjemahkan kode-kode visual mereka.” Apalagi jika menuntut keberadaan narasi, kita bisa jadi akan kebingungan menangkap cerita atau maksud dari gambar-gambar Gegerboyo yang tampak tersusun secara acak tersebut.

Sering kali memang, terhadap karya seni, kita selalu berekspektasi pada hasil finalnya, pada apa yang kita lihat di ruang sajian, dan karenanya kita tak jarang terjebak pada pertanyaan, “Apa maksud dari karya ini?”. Sementara itu, jika kita bersedia menilai karya seni dari sisi bagaimana ia dibuat, kita sesungguhnya punya kesempatan untuk mendapatkan hal yang melampaui apa yang semata tampak. Mungkin penilaian tersebut tidak akan menjawab rasa penasaran kita tentang “maksud karya”, tetapi jika kita menelaah bagaimana “sesuatu yang tak diketahui maksudnya” itu diciptakan, barangkali kita bisa menangkap sekumpulan pola yang akan mengarahkan kita pada hal-hal yang tengah menjadi perhatian seniman yang menciptakannya.
Hasrat untuk mengenali sesuatu yang tidak tampak di hasil final itulah yang membuat upaya peninjauan terhadap “proses produksi” menjadi penting.
Dengan kata lain, dua konsekuensi yang saya sebut tadi bukanlah hal yang mesti disesali dan digerutui. Kita bisa meyakini dan menerimanya sebagai bagian dari “pengalaman estetis” yang kiranya memang akan selalu melekat pada karya-karya Gegerboyo. Dan hal itu, bagi saya pribadi, menyenangkan!
Tapi, dengan tetap mempertimbangkan dua konsekuensi tersebut, di bagian ini saya merasa perlu menyinggung lantas mengelaborasi pernyataan Syafiatudina (salah satu pembicara yang mengisi diskusi publik “Gapura Buwana” tanggal 22 April 2021) tentang praktik kekaryaan Gegerboyo dalam konteks pameran Gapura Buwana, yaitu “menggambar adalah praktik sosial”. Dua kesan yang saya paparkan di awal tulisan, sebenarnya, secara tidak langsung berhubungan dengan topik ini.
Pertama, terkait “wayang GIF” itu. Di salah satu video “wayang GIF” Goro-goro Gegerboyo, selain dialog yang diperankan oleh anggota Gegerboyo, kita juga mendengar suara hiruk-pikuk lainnya yang berlangsung di sekitaran angkringan dan jalanan. Isi percakapan tokoh wayang ciptaan Gegerboyo ini adalah tentang dampak pagebluk. Namun, bukan pesan moral tentang pagebluk itu yang menarik, melainkan kebisingan yang mengiringinya. Mendengar adegan yang diwayangkan itu, kita merasakan suatu sensasi dari kekerabatan yang terjadi di dalam peristiwa sosial warga biasa. Terkait hal ini, dalam proses perekaman dialog, Gegerboyo menyertakan suara-suara lingkungan sekitar (bahkan, mereka juga mengakui, untuk beberapa video mereka sengaja membiarkan “suara-suara bocor” masuk ke dalam rekaman percakapan). Peristiwa riil, di luar apa yang diadegankan, disertakan sebagai elemen artistik. Inilah yang saya maksud di awal tulisan sebagai “karya yang bertumpu pada tradisi dokumenter”.
Selain, secara bentuk, memang untuk menyajikan apa yang benar-benar riil dari kehidupan kita, “aksi dokumenter” pada dasarnya merupakan usaha untuk membelah realitas demi mengungkap “kebenaran yang tidak terlihat/terdengar” dari apa yang tampak secara kasatmata dan terdengar oleh telinga. Mendengar dialog-dialog “wayang GIF” karya Gegerboyo, kita diajak untuk memahami sejauh apa isu pandemi menjadi persoalan di kehidupan warga sekitar, dan bagaimana hal itu menjadi keseharian yang baru pada masa kenormalan baru. Keberadaan unsur dokumenter ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa kegiatan produksi gambar (gambar bergerak) dari proyek “Goro-goro Gegerboyo” adalah bagian dari peristiwa sosial yang memang begitu adanya: mereka di lokasi, menangkap apa yang benar-benar dialami warga, dengan menjadi warga itu sendiri.
Kedua, terkait interaksi antar-anggota Gegerboyo yang mendasari metode atau pola penciptaan gambar (sebagaimana yang diutarakan Ipeh). Poin kedua ini akan saya uraikan di bawah, sedikit agak lebih panjang, dengan langsung merujuk proyek pameran Gapura Buwana.
***
DI SEPANJANG bulan Maret, Gegerboyo sering kali datang ke Cemeti sekitar pukul tiga sore untuk menyelesaikan gambar di dinding galeri yang luasnya lebih/kurang 160 m2. Bekerja pada hari Selasa sampai Jumat (terkadang sampai Sabtu), mereka mengangsur pembuatan gambar dari sore hingga malam hari (hingga sekitar pukul sembilan). Luas bidang gambar dan rutinitas kerja seperti itu, perlu dicatat, adalah indikator yang bisa kita gunakan untuk memahami kedalaman karya yang, bukan sekadar berada pada tingkatan isi, tetapi yang muncul karena adanya “intensitas” dan “daya tahan” yang tinggi dari para senimannya dalam bergulat dengan medium. Apa yang membuat kita takjub pada akhirnya, bukanlah cerita yang mungkin mereka ilustrasikan, melainkan aura, secara visual.
Namun, signifikansi dari proses produksi kolektif Gegerboyo bukan terletak pada aspek itu saja. Mereka menggarap Gapura Buwana dengan ceria, sering kali mereka menggambar sambil diiringi lagu yang disetel dari smartphone (beberapa lagu berbahasa Jawa, lainnya ada juga lagu Barat, berbagai genre). Kerap pula, mereka saling nyeletuk, mengomentari ujaran atau tingkah laku satu sama lain. Tak jarang ada anggota yang hanya bersantai-santai (menunda pekerjaannya) sambil mengamati rekannya yang lain menggambar. Pernah juga, satu kali, mereka semua sengaja berhenti menggambar sejenak dan memilih untuk pergi ke suatu tempat, bersama-sama, entah untuk apa (tapi yang saya tahu, itu berkaitan dengan proses produksi Gapura Buwana).
Sehubungan dengan tindak-tanduk anggota Gegerboyo selama memproduksi karya, saya tertarik untuk mengingat pula salah satu pertanyaan Syafiatudina. “Saya penasaran,” katanya. “Apa yang diobrolkan Gegerboyo ketika menggambar ini [Gapura Buwana]?”
Komunikasi antar-anggota Gegerboyo merupakan keseharian yang menaungi penciptaan karya. Mengamini “diktum” bapak seni modern Indonesia tentang “jiwa tampak”, secara teoretik, kita bisa saja menyatakan bahwa apa yang tergambar pada dinding galeri di pameran Gapura Buwana akan dengan sendirinya merepresentasikan obrolan-obrolan, referensi-referensi, atau kegiatan-kegiatan Gegerboyo sehari-hari. (Nah, apakah sekarang Anda mulai berpikir bahwa lagu-lagu yang didengar anggota Gegerboyo, jangan-jangan, terilustrasikan di dalam gambar-gambar pada pameran Gapura Buwana? Di bagian manakah itu…?)
Ini jebakan! Pasalnya, jika kita kembali kepada persoalan representasi, lagi-lagi kita bisa terjebak pada upaya untuk menduga-duga, apakah isu tertentu (yang misalnya, secara kebetulan terilustrasikan di dalam gambar Gegerboyo) adalah memang persoalan yang sering mereka perbincangkan sehari-hari? Atau sebaliknya, apakah topik tertentu yang kerap dibicarakan dalam lingkungan internal Gegerboyo sehari hari (seandainya Anda, secara kebetulan, pernah mendengar apa yang mereka gosipkan) memang ada di dalam gambar-gambar mereka, atau tidak?
Pernyataan Syafiatudina (tentang “gambar sebagai praktik sosial”) merupakan sebuah antisipasi terhadap keterjebakan semacam itu. Alih-alih merepotkan diri untuk menerjemahkan ilustrasi visual Gegerboyo, kita justru diajak untuk mengalami jejak-jejak peristiwa (dari produksi gambar) yang sudah dialami oleh kelompok seniman ini.
Gagasan tersebut, agaknya, dapat menjadi sebuah notabene mengenai di mana dan bagaimana sketsa Gegerboyo berada, mengada, dan beroperasi. Bahwa, komunikasi yang berlangsung antar-anggota Gegerboyo, yang terjadi di kala mereka menggambar, bisa kita sebut “sketsa fundamental” kelompok ini (terlepas dari jenis-jenis sketsa lainnya yang sudah saya spekulasikan di tulisan sebelumnya, berjudul “Di mana Sketsa Visual Gegerboyo?”[1]). Tapi bukan berarti sketsa itu serta-merta tampak (atau mewujud) sebagai gambar “yang bercerita”. Perihalnya, jika kita menyetujui bahwa Gapura Buwana adalah jejak praxis Gegerboyo dalam mengomentari isu-isu sosial, yang menjadi penting di sini bukan lagi isu sosialnya, tetapi justru “peristiwa mengomentari” itu, yang bekasnya dapat kita lihat dan sentuh langsung di dalam pameran, yaitu yang hadir dalam bentuk gambar-gambar (terlepas apakah ada artinya atau tidak). Bisa dibilang bahwa, “memori fisikal” dari “proses produksi”-lah yang tengah dikedepankan dan menjadi tujuan Gegerboyo daripada sekadar arti tekstual yang—sebagaimana biasanya kita harapkan akan—dinarasikan dalam gambar-gambar tersebut. Dengan kata lain, gambar-gambar Gegerboyo bukan sedang “menarasikan hal”, melainkan “mensituasikan kita”.
Memaknai aktivitas menggambar sebagai praktik sosial, maka persoalannya bukanlah apa isu sosial yang dikandung oleh gambar-gambar Gegerboyo, tetapi bagaimana gambar-gambar mereka dipahami sebagai hasil dari suatu peristiwa sosial, yaitu (dalam konteks kerja kolektif Gegerboyo) hasil dari suatu guyub dan gotong-royong. Adakah yang lebih puncak daripada topik ini tatkala kita berupaya mengimajinasikan suatu “kekerabatan sosial” dalam kehidupan rakyat? Bukannya menggurui secara moralistik, gambar-gambar Gegerboyo adalah apa yang bisa kita sebut sebagai “berbagi pengalaman”. Dan jika kita bertanya, “Dimanakah kiranya ideologi Gegerboyo?”, secara taktis kita bisa memaparkan jawabannya: ideologi itu tidak hadir sebagai sesuatu yang dinarasikan lewat (atau dikandung dalam) gambar. Ideologi itu, “ideologi kekerabatan”, terpatri sebagai jejak di dinding—gambar itu sendiri.
***
MEMINJAM prinsip Produktivisme Soviet, “situasi” (dan juga “fakta”) dipahami sebagai outcome dari proses produksi. Melalui perspektif ini, seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, kita bisa saja memposisikan Gapura Buwana sebagai “sebuah situasi”. Tapi, situasi apa? Dan situasi yang bagaimana?
Syafiatudina, lebih luas lagi, mengartikan “praktik Gegerboyo” sebagai “penciptaan ruang bersama”. Menjadikan pernyataan ini sebagai dasar, maka kita bisa berargumen bahwa Gapura Buwana adalah “situasi [dari] ruang bersama” itu. Pada satu sisi, ialah ruang bersama bagi sesama anggota Gegerboyo yang membuat karya. Di sisi yang lain, ialah ruang bersama bagi Gegerboyo dan publik yang melihat karya mereka. Dalam konteks ini, jelas bahwa karya seni ditempatkan sebagai entitas yang bukan didaktis-monologis; bukan sebagai ruang informasi satu arah yang menerangkan sejelas-jelasnya apa yang dipertanyakan orang-orang, yang pada akhirnya membuat ruang itu mempunyai peran yang pendek dan tertutup—setelah pertanyaan atau rasa penasaran publik terjawab, selesailah sudah hubungan antara karya dan audiensnya. Sebaliknya, argumentasi ini menggarisbawahi karya seni sebagai entitas yang interaktif-dialogis; sebagai ruang komunikasi dua arah yang di dalamnya proses penciptaan pengetahuan bergantung pada keaktifan kedua belah pihak yang berkomunikasi. Sementara kita menuntut arti kepada gambar, gambar itu pun menuntut balik kita untuk berpikir.
Gambar-gambar Gegerboyo, sebagaimana komentar sebagian orang yang sempat saya dengar, adalah gambar yang memicu dan menyisakan tanya, memancing “kebingungan”; kondisi ini seakan mengikat publik dalam suatu proses komunikasi yang tak berkesudahan dengan gambar-gambar tersebut. Memang benar, jika ada yang berpendapat, kita tenggelam di dalam tsunami visual Gapura Buwana, tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan. Nyatanya, inilah situasi yang justru membuat kita aktif alih-alih pasif.
***
MUNGKIN ada sebagian dari Anda yang lantas merenungkan situasi yang “didemonstrasikan” Gegerboyo melalui tsunami visual Gapura Buwana tersebut seperti halnya komentar Maryanto (salah satu hadirin dalam diskusi publik “Gapura Buwana” tanggal 20 April 2021). Yaitu, gambar-gambar Gegerboyo dalam pameran Gapura Buwana—[lagi-lagi kita harus menggunakan istilah ini]—merepresentasikan situasi kehidupan bermedia kontemporer, situasi di zaman media sosial yang mempunyai gejala “tsunami informasi”. Kita diterpa oleh begitu banyak citra. Bisa jadi, citra-citra itu malah disinformatif, dan kita seakan dituntut untuk tanpa henti berpindah-pindah dari satu citra/informasi ke citra/informasi yang lain, dengan cepat, tak berujung. Padahal, informasi-informasi itu mungkin tidak berkaitan satu sama lain, tapi entah mengapa situasi ini menggiring kita untuk terus berpindah-pindah; situasi ini mengombang-ambingkan kita di dalam lautan informasi digital. Dan, faktanya, tidak sedikit dari kita yang menikmatinya.
Interpretasi semacam itu, tentunya, menarik, dan lumayan masuk akal. Situasi dalam Gapura Buwana cukup memadai penerjemahan ke arah itu. Tapi, saya pribadi berupaya untuk menghindarinya, mengingat paradoks dari kenyataan media sosial hari ini. Kemudahan teknologi dan kelimpahan informasi, dalam derajat tertentu, tidak membuat manusia menjadi lebih aktif. Kemudahan yang tersedia bisa jadi malah menciptakan suatu kondisi pasif yang membius; kita berada dalam fase disfungsional sebagai entitas yang semestinya aktif memproduksi pengetahuan. Saya tidak ingin menikmati gambar-gambar Gegerboyo dengan cara demikian.

Mengantisipasi hal tersebut, menarik (dan lebih menantang) kiranya jika kita memahami “situasi” yang dihadirkan Gapura Buwana ini dari sudut pandang konstruktivis.[2] Dalam arti, melihat gambar-gambar Gegerboyo sebagai “faktura” (dalam pengertian Aleksei Gan, yaitu: “keseluruhan proses dari penggarapan material”[3]). Material dipahami dalam keadaan mentah-nya (dengan kata lain, gambar sebagai gambar itu sendiri) yang sengaja dipilih dan digunakan (oleh para seniman) tanpa membatasi/menutup inteligensi dari aktivitas eksperimental dan praktikal. Gagasan tentang faktura, menurut Buchloh[4], bisa jadi mereduksi kemungkinan gambar dalam merepresentasikan sesuatu, mengubahnya menjadi tanda-tanda indeksikal murni. Gambar, sebagai faktura, merepresentasikan dirinya sendiri tanpa mediasi apa pun. Tapi keadaan ini memungkinkan suatu perubahan yang bersifat kritis di diri audiens yang melihatnya.

Persoalannya adalah, penggarapan material sudah barang tentu mentransformasi material tersebut ke dalam satu bentuk dan ke bentuk lainnya. Misalnya, elemen-elemen rupa bertransformasi membentuk gambar, dan kumpulan gambar membentuk suatu rangkaian visual tertentu. Faktura, dalam pengertian Gan, ialah bagaimana transformasi material ini bisa terus mengingatkan kita pada bentuk primernya tapi secara bersamaan juga menyampaikan kepada kita kemungkinan-kemungkinan transformasi lanjutannya. Dengan kata lain, visual semestinya tidak menjadi semata “hasil setelah penggarapan (produksi) material selesai”, tidak menjadi output yang diam, tetapi dia mesti hadir sebagai entitas yang aktif bergerak dan menggerakkan. “Produksi gambar”, atau “penggarapan material”, belum selesai dan masih akan terus berlangsung bahkan ketika disajikan ke hadapan publik. Berhubungan dengan hal ini, konstruktivisme memposisikan karya seni sebagai suatu “konstruksi” daripada sekadar “komposisi”, yang mempertimbangkan bagaimana sebuah karya diletakkan dan [akan] berinteraksi dengan penikmat karya; yang juga menekankan suatu persentuhan/kontak (“kontiguitas”) spasial dan perseptual, serta—yang paling penting—memastikan kontiguitas itu terkandung ke dalam sebuah “potensi kinetik” yang dimiliki karya tersebut.[5]
Jika “komposisi” merupakan “pendekatan kontemplatif” seniman di dalam karyanya, Gegerboyo bisa dikatakan sudah meninggalkan fase ini karena, sebagaimana yang dapat kita lihat, mereka justru menabrak dan memporak-porandakan batas-batas dan ketentuan komposisional. Hadir sebagai sebuah “konstruksi”, Gapura Buwana-nya Gegerboyo merupakan suatu organisasi dari “kemungkinan kinetis” objek dan material: merealisasikan potensialitas gambar (yang diam di bidang datar itu) sebagai hal yang bisa membuat pergerakan baru [pada tubuh subjek yang melihat karya]. Proses produksi, secara konseptual dan praktikal, lantas dikedepankan dan tidak lagi menjadi peristiwa di balik karya. Produksi bukan lagi milik masa lalu karya, tetapi sesuatu yang terus berlangsung sebagai “situasi kesekarangan” karya.
Dalam konteks pemikiran seperti yang saya sebut di atas, kita bisa merasakan signifikansi kain-kain transparan yang memuat cetakan gambar gerbang, yang digantung dalam jarak tertentu dari dinding, pada pameran Gapura Buwana. Relasi antara gambar pada dinding dan gambar pada kain tersebut merupakan sebuah konstruksi eksperimental yang mempunyai konsekuensi berupa pemicuan gerak. Gambar yang tersebar di sana-sini di semua bagian dinding, bertumpuk dengan gambar di kain yang melayang-layang dan berkibar-kibar karena aliran udara (atau bahkan karena tersenggol oleh badan orang yang mengamati karya). Konstruksi ini dengan sendirinya akan menggerakkan para pemirsa galeri ke dalam kondisi dan sudut pandang yang kerap berubah, berbeda-beda, terus-menerus.
Gerak audiens karya bukan lagi karena “membaca” arti gambar secara runut, melainkan karena ikut serta dalam perubahan persepsi atas gambar yang mereka lihat dan alami. Itu semua hadir secara nyata, bukan sebagai representasi yang dinarasikan belaka. Peristiwa “audiens yang bergerak”, karena menyadari adanya persepsi yang berubah-ubah dari karya gambar, itulah sajian utamanya.
Lantas, apa pentingnya semua “peristiwa kinetis” yang disajikan Gegerboyo dalam Gapura Buwana ini? Kita bisa menjawabnya dengan memetik cita-cita Produktivisme—atau prinsip hidup turba-nya Lekra (dalam konteks di Indonesia). Pada satu sisi, sebagai upaya penerjemahan baru mengenai peristiwa seni, Gegerboyo menggiring “produksi gambar” sebagai wacana sentral. Pameran gambar bukanlah sajian gambar yang sudah selesai diproduksi, tetapi menjadi bagian dari proses produksi gambar itu sendiri. Seniman memproduksi situasi. Memparafrasekan kalimat Buchloh, saya ingin menyatakan bahwa eksperimentasi ini menjadi semacam goyangan, gugahan, yang mengandaikan suatu revolusi aparatus perseptual terhadap institusi sosial seni yang enggan beranjak dari kemapanannya untuk “membenarkan perilaku kontemplatif dan kesucian karya seni yang mengakar secara historis.”[6]
Pada sisi yang lain, dalam konteks kehidupan sosial yang lebih luas—di paragraf ini saya menyimpulkan dengan mengadopsi dan memparafrasekan pemikiran Walter Benjamin[7] (sesuai kebutuan kerangka esai): agaknya kita perlu mengamini penolakan terhadap kontemplasi karena keberadaannya telah kian menjadi perilaku asosial seiring merosotnya kualitas kehidupan kelas borjuasi (menengah ke atas), dan untuk mengkritisi keadaan itu, suatu “gangguan” perlu dihadirkan sebagai variasi dari tingkah laku sosial. Eksperimentasi formal Gegerboyo melalui Gapura Buwana berada di jalur tersebut: menggerakkan publik seni dengan memainkan modus persepsi lewat karya, “mengkondisikan” audiens dalam “kebingungan” dan “menenggelamkan” mereka ke dalam samudera pertanyaan, mengganggu mereka hingga “marah”.
Ini semata-mata untuk merangsang terciptanya audiens yang baru. Sejalan dengan cita-cita “gambar yang diperluas” (expanded picture), seni visual (atau, seni gambar) juga mendorong “audiens yang bersedia memperluas” mekanisme berpikirnya, audiens yang aktif, bukan yang manja dan pasif. Untuk kebutuhan itulah, gambar harus menginterupsi keadaan awal orang-orang yang melihatnya. Dan saya menilai, hal itulah yang Gegerboyo berusaha capai. Oleh karenanya, gambar-gambar mereka, bagi saya, adalah “gambar epik”.[8] ***
[1] Lihat Manshur Zikri, 27 April 2021, “Di mana Sketsa Visual Gegerboyo?”, diakses dari situs web Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat: https://cemeti.art/2021/04/27/di-mana-sketsa-visual-gegerboyo/.
[2] Meskipun, sebenarnya, perlu kita akui bahwa, dari segi bentuk visual, gambar-gambar Gegerboyo sangat jauh dari gaya ungkap khas gerakan konstruktivisme itu sendiri.
[3] Aleksei Gan, Konstruktivizm, dalam Kristin Romberg, Disertasi: Aleksei Gan’s Constructivism, 1917-1928 (New York: Columbia University, 2010), hal. 136.
[4] Benjamin H. D. Buchloh, “From Faktura to Factography”, October, Vol. 30 (1984), hal. 90.
[5] Lihat Buchloh, ibid.
[6] Lihat Buchloh, ibid., hal. 93
[7] Lihat Walter Benjamin, “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproduction” (Versi Ketiga), dalam W. Benjamin, & H. E. Michael W. Jennings (Ed.), Walter Benjamin: Selected Writings (Vol. III, 1935-1938), Harvard University Press, 2002, hal. 119. (Buchloh, dalam “From Faktura to Factography”, juga mengutip paragraf yang sama dari esai Walter Benjamin tersebut, tetapi versi terjemahan Harry Zohon yang termuat dalam Illuminations, suntingan Hannah Arendt, 1968).
[8] Seturut dengan gema dari ide “Teater Epik”-nya Brecht.
Pingback: Di mana Anti-narasi Visual Gegerboyo? | CEMETI
Pingback: Where is Gegerboyo’s Anti-Narrative? | CEMETI
Pingback: Where is Gegerboyo’s Visual Production? | CEMETI