"Esai", Gapura Buwana
Comments 2

Di mana Sketsa Visual Gegerboyo?

English | Indonesia

Proses pengerjaan karya pameran “Gapura Buwana”. (Foto: Muhammad Dzulqornain)

KARANGAN ini saya tulis ulang meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan bagian-bagian dari catatan-catatan saya yang telah lalu mengenai Gegerboyo. Setelah menyimak dua diskusi publik yang diadakan di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, yang menjadi bagian dari rangkaian acara Pameran Tunggal Gegerboyo: “Gapura Buwana” (9 April – 7 Mei 2021), saya merasa perlu untuk menyusun—secara baru—garis-garis besar pembacaan subjektif saya terhadap Gegerboyo. Catatan-catatan saya sebelumnya—yang dipersiapkan selama mengamati proses Gegerboyo ketika membuat karya visual Gapura Buwana di sepanjang bulan Maret—agaknya merupakan salah satu “gerbang” saja. Sementara itu, dunia visual Gegerboyo betapa luas, dan masih ada banyak “gerbang” yang perlu dikomentari.

***

UNTUK memulai uraian baru ini, saya kira yang patut diingat dan tidak boleh dilewatkan adalah, jawaban yang diutarakan kesemua anggota Gegerboyo sewaktu saya bertanya kepada mereka pada pertemuan kedua kami di kisaran penghujung bulan Januari. Pertemuan itu diadakan untuk mendiskusikan persiapan pameran tunggal mereka. Pertanyaan yang sama saya lemparkan lagi di beberapa kesempatan berikutnya meskipun tidak secara langsung. Jawaban mereka pun sama. Pola ini membuatnya menjadi soal yang penting.

Pertanyaannya adalah tentang sketsa. Ketika saya menanyakannya, jawaban mereka tidak tegas, cukup berbelit, dan ragu-ragu. Intinya: Gegerboyo tidak ada sketsa.

Bagi saya pribadi, jawaban itu lumayan mengganggu—dan bisa jadi merepotkan—karena tentunya sulit untuk meneliti dan memahami praktik kesenian dari seorang seniman yang tidak punya/membuat sketsa. Akan tetapi, saya tidak percaya, bahkan hingga detik ini, jika Gegerboyo tidak punya sketsa di dalam proses produksi dan penciptaan karya kolektifnya. Oleh karena itu, mungkin lebih tepat jika saya menuliskannya begini: Gegerboyo “tidak ada” sketsa.

Situasi itulah yang mendorong saya mengajukan ide untuk mengunjungi rumah atau studio masing-masing anggota Gegerboyo pada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, yang mana kunjungan ini menjadi agenda utama di dalam proses mempersiapkan pameran. Waktu itu, saya berpikir dan bertekad, “Saya ingin menemukan sendiri sketsa-sketsa Gegerboyo”. Sembari mengobservasi ruang kerja personal setiap anggota kolektif ini, kegiatan mengunjungi studio tersebut juga menjadi kesempatan untuk mengajak mereka berbincang secara lebih cair, untuk mengetahui bagaimana mereka menilai dan memahami karya-karya individu satu sama lain. Dan perlu diingat bahwa, apa yang akan saya sampaikan di sini mengacu pada komentar saya pribadi kala itu, serta (yang lebih utama) komentar mereka masing-masing ketika menilai karya dan praktik artistik individual.

Kunjungan ke studio/rumah yang kami lakukan, pada satu sisi, menegaskan jawaban Gegerboyo di awal terkait keberadaan sketsa itu. Bahwa, Gegerboyo memang kerap “tidak membuat” sketsa tatkala menggarap karya visual secara kolektif. Arsip dokumentasi dari karya-karya Gegerboyo terdahulu (yang saya harapkan bisa menjadi titik berangkat untuk menemukan sketsa itu), sebenarnya, masih tersimpan di hard disk drive (HDD) milik mereka, tapi itu pun tak sepenuhnya dapat saya akses karena persoalan teknis—saat itu kebetulan HDD mereka rusak. Namun, saya berkesempatan meninjau sejumlah karya, baik fisik maupun yang digital, yang pernah dibuat oleh masing-masing anggota Gegerboyo sebagai seniman individu. Karya-karya itu bukan atas nama Gegerboyo, tapi atas nama masing-masing anggota Gegerboyo pribadi. Menanggapi situasi tersebut, dalam proses observasi yang saya lakukan, saya pun mencoba untuk menempatkan karya-karya individual mereka sebagai “sketsa-sementara Gegerboyo lapis pertama”. Penempatan ini penting, paling tidak, untuk mengenali ciri khas mereka masing-masing dan bagaimanakah kiranya “bentuk kemungkinan” dari kekhasan tersebut bisa berinteraksi di dalam konteks kerja produksi kolektif Gegerboyo.

Hasil dari proses observasi ini pun, di sisi yang lain, membenarkan keteguhan saya, bahwa, sebagai seniman individu, anggota Gegerboyo terbilang disiplin menyiapkan sketsa di dalam proses penciptaan karya; sketsa yang saya maksud di sini merupakan sketsa karya individu, dan tidak terbatas pada coretan-coretan di atas kertas. Mengingat bahwa hanya kondisi seperti itu yang tersisa, sketsa-sketsa individu tersebut lantas saya tempatkan pula sebagai “sketsa-sementara Gegerboyo lapis kedua”.

***

HASIL dua bulan (Januari – Februari) menimbang-nimbang hanya sejumlah kecil dari seluruh karya individual mereka, tentu saja, tidak bisa menjadi patokan untuk menyimpulkan karakteristik dari kekaryaan individual masing-masing anggota Gegerboyo. Tapi temuan kecil itu bukannya tak berarti. Pemetaan yang kami lakukan cukup memicu diskusi yang dinamis dan produktif, dan signifikansinya buat saya pribadi: gagasan-gagasan yang terujar dalam obrolan-obrolan mereka justru meruntuhkan dugaan saya sebelumnya tentang gambar-gambar Gegerboyo.

Di awal mula perkenalan, saya menduga kalau gambar-gambar Gegerboyo selalu mengacu pada semata narasi terkait situs tertentu. Ternyata, persoalan situs malah identik pada dua-tiga orang anggota saja, dan itu pun tidak selalu, karena nyatanya hanya terjadi pada satu-dua karya seri. Sejauh temuan dalam observasi saya, “narasi situs” ada pada satu atau dua karya individual milik Enka Komariah dan Prihatmoko Moki. Di karya mereka yang saya maksud, “narasi lokasi” agaknya mendasari struktur visual yang menyiratkan konsep “peralihan”.

Enka Komariah, “Juxtapose #2” (2018). (Sumber: Arsip Enka Komariah)

Dalam seri Juxtapose (2018) dan Fort Istiqlal (2019) karya Enka, misalnya, “peralihan bentuk ruang” merupakan gaya ungkap yang juga menyiratkan pergerakan atau peralihan waktu. Enka mengimajinasikan—lewat visual—bagaimana sebuah lokasi telah beralih bentuk dan fungsinya, seiring tuntutan zaman, sehingga memenggal nilai-nilai historis terpenting dari lokasi tersebut. Gambar-gambar Enka dalam seri ini seakan menjadikan “proses” sebagai “konten”, dan secara bersamaan menghadirkan suatu “latar berganda”.

Salah satu bagian dari seri “Fort Istiqlal” (2019) karya Enka Komariah. (Sumber: Arsip Enka Komariah)

Sementara itu, dalam seri Colony Post Colony (2019) karya Moki, yang mengganggu mata kita adalah justru “peralihan narasi”-nya sendiri: tragedi yang berupa fakta, dialihrupakan menjadi kritik yang berupa fiksi. Moki memiuh kenyataan dengan mengubah rupa dari subjek-subjek riil menjadi figur-figur simbolik dalam rangka mengurai diskursus kekuasaan yang, bisa diduga, merupakan penyebab peristiwa tragedi yang ia rujuk.

Salah satu gambar dalam seri “Colony Post Colony” (2019) karya Prihatmoko Moki. (Sumber: Instagram @prihatmokomoki)

Jika mengamati fisiognomi dari tiga karya yang saya ambil sebagai contoh di atas, kita dapat merasakan adanya suatu undangan kepada para pelihat karya untuk “mengitari” adegan yang diilustrasikan. Pada ketiga seri gambar tersebut, si senimannya mengandaikan “ruang” atau “latar” yang ditempati figur-figur yang mereka gambar sebagai zona yang bisa “dijelajahi” jika kita “masuk” ke dalam adegan yang mereka bingkai.

Pola ini, saya rasa, tidak terdapat pada gambar-gambar yang pernah dibuat oleh tiga anggota lainnya, yaitu Ipeh Nur, Dian Suci Rahmawati, dan Vendy Methodos.

***

Salah satu gambar Ipeh Nur, 2019, tentang ritual pembuatan perahu di Tanah Beru. (Sumber: Instagram @ipehnurberesyit)

BEBERAPA karya seri Ipeh Nur juga menunjukkan perhatian pada narasi situs, yaitu narasi lokal yang ada di Polewali Mandar dan Tanah Beru. Sebelum mengurai hal ini, saya ingin menjelaskan juga bahwa gambar Ipeh sekilas tampak mempunyai kemiripan gaya dengan gambar Enka, dalam hal bagaimana figur-figur yang mereka buat saling menumpuk memadati bidang datar. Namun, jika Enka cenderung mendominasi gambarnya dengan figur-figur yang membentuk suatu formasi (semisal, formasi ritual berdoa), figur-figur yang digambar Ipeh lebih menyebar dan menginterupsi formasi utama narasinya. Terdapat banyak figur-figur kecil yang seakan hadir menjadi semacam “catatan kaki/pinggir” atau “komentar kecil dan personal” si seniman, dan keberadaannya sekonyong-konyong menyela isu sentral.

Enka Komariah, “1900 #4” (2020). (Sumber: Instagram @enkankomariah)

Gambar-gambar Enka, bisa dibilang, terkonstruksi sebagai suatu diorama sehingga ruang-ruang yang berada di belakang figur-figur yang ia gambar seakan menyediakan celah untuk dapat kita setapaki. Kita bisa merasakan suatu sensasi yang identik dengan sifat diorama itu sendiri: meskipun adegan yang diperagakan oleh boneka-boneka berada di dalam kotak kaca yang terbatas (dan karenanya latar yang diadegankan pun juga terbatas), diorama menekankan ketrimatraan ruang, mengandaikan “kehadiran” penonton pada area di balik figur-figur yang ada di dalam adegan. Begitulah pola gambar Enka di mata saya.

Sementara itu, dalam kasus karya visual Ipeh, konstruksi gambar-gambarnya lebih berupa panggung. Dalam arti, betapa pun luas, kompleks, dan berlapis-lapisnya latar yang dihadirkan oleh Ipeh, kita (si pelihat/penonton karya) hanya ditempatkan di depan. Ruang-ruang yang ada di belakang figur-figur hanyalah milik figur-figur itu sendiri—yaitu figur-figur yang menjadi aktor peristiwa di dalam gambar—dan ruang-ruang itu “ditakdirkan” hanya akan berada di belakang aktor-aktor ini tanpa ada celah bagi kita untuk menapakinya.

Ipeh Nur, “Penaklukan Tanah Banda 1621” (2017). (Sumber: Instagram @ipehnurberesyit)
Salah satu gambar Ipeh Nur (2019) yang menerapkan “fisiognomi panggung”. (Sumber: Instagram @ipehnurberesyit)

Menegaskan modus visual di atas, dalam menggambar peristiwa, Ipeh tak jarang menghadirkan semacam ambang panggung. Hal itu dapat diidentifikasi dengan menyadari adanya suatu bentuk berupa batas di sisi kiri dan kanan pada bidang datar yang ia gambar, yaitu batas yang membingkai peristiwa. Tidak sedikit pula dari ambang panggung ini merupakan gambar tirai, sebagaimana tirai yang kita lihat ada pada panggung teater/pertunjukan. “Fisiognomi panggung” yang menjadi ciri khas Ipeh ini beriringan dengan kecenderungannya untuk setia menghadirkan “konstruksi palang-palang (entah kayu, besi, batu, dlsb.)” yang kompleks, rumit, saling menyilang dan menghimpit, dan secara jelas menentukan titik-titik sudut hilang (perspektif terjauh) pandangan kita. Umumnya, titik itu memusat di tengah bidang gambar.

Salah satu gambar Ipeh Nur, 2019, tentang ritual pembuatan perahu di Tanah Beru. (Sumber: Instagram @ipehnurberesyit)
Salah satu gambar Ipeh Nur, 2020, tentang perjumpaan pelaut/pedagang Makassar dengan suku Yolngu (suku Aborigin) di Australia. (Sumber: Instagram @ipehnurberesyit)

Gambar-gambar Ipeh, dalam fungsi praktisnya sebagai bingkaian dari lokalitas Mandar dan Tanah Beru, merupakan suatu rekaman etnografis yang mengamini eksperimen bentuk daripada sekadar menghadirkan realitas yang mentah. Pada seri gambarnya yang merupakan hasil riset dari perjalanannya ke Tanah Beru (setelah melakukan residensi di Polewali Mandar) pada tahun 2019, contohnya, peristiwa ritual pembuatan kapal/perahu dibingkai sebagai adegan yang “dipanggungkan” di atas kapal/perahu itu sendiri. Begitu pula dengan karya serinya yang tentang ritual di Mandar (pernah dipamerkan di Jogja Biennale 2019), berjudul Pusar. Interior kapal/perahu, sebagaimana dapat dilihat, memungkinkan eksperimentasi terhadap struktur panggung dalam rangka menarik konteks sosiokultural masyarakat lokal, di mana kapal/perahu dimaknai sebagai bagian dari simbologi dunia dan kehidupan warga lokal di sana. “Kapal/perahu sebagai dunia” beresonansi dengan “panggung sebagai dunia”. Maka, “kapal/perahu sebagai panggung” adalah langgam yang tepat untuk membangun fantasi mitologis mengenai Mandar dan Tanah Beru itu sendiri.

***

VENDY Methodos sama dengan Enka dan Moki dalam hal kecenderungannya membingkai ruang nondomestik. Namun, gambar-gambar Methodos, yang kerap dilengkapi dengan teks-teks berisikan kritik sosial-politik, bersifat lebih lugas meskipun figur-figur yang ia gambar merupakan wujud-wujud yang nonmanusiawi. Unsur “protes” dan struktur kombinasi visual-teks Methodos bisa dibilang selalu dominan sehingga “adegan berlatar” bukan lagi penekanan kontennya. Hal ini tentu saja terlepas dari kenyataan bahwa banyak dari gambar-gambarnya tersebut memang diperuntukkan (dan sangat mungkin akan digambar lagi) pada bidang-bidang datar di ruang publik. Jika gambar-gambar Enka dan Moki “membangun adegan”, gambar-gambar Methodos lebih “memprovokasi situasi” (di dalam benak pelihat karya).

Akan tetapi, di ruang lingkup waktu observasi yang saya lakukan, ada hal baru yang terjadi dalam proses kekaryaan Methodos. Situasi pandemi menyebabkannya lebih sering berada di rumah, dan kebiasaan baru ini mendorongnya untuk—menurut pengakuannya—membaca lebih banyak buku dan mengamati objek-objek rumah tangga. Situasi yang dijalani hampir setahunan (selama 2020) itu memengaruhi preferensinya dalam berkarya; Methodos akhirnya melakukan studi visual terhadap sesuatu yang baru sama sekali baginya. Ia mengulik kain serbet. Beberapa karya gambar dan lukisan terbarunya menyertakan objek ini sebagai idiom visual.

Salah satu karya yang menunjukkan adanya visual kain serbet, karya Vendy Methodos. (Sumber: Instagram @vendy_methodos)

Yang paling menarik dari modus penciptaan gambar Methodos adalah metodenya yang bersifat modular. Dalam arti, ia telah mempersediakan begitu banyak unit atau satuan figur yang siap pakai. Methodos, kalau boleh saya katakan, mempunyai sebuah “kamus karakter/tokoh” yang keberadaan dan kehadirannya dapat dibongkar pasang pada beragam situasi, narasi, dan ujaran visual, sesuai dengan konteks kebutuhan si seniman pada kesempatan yang berbeda-beda.

Maka jangan heran jika sebuah figur yang sudah pernah digambar Methodos pada salah satu karya visualnya, akan muncul kembali pada karya visualnya yang lain yang lebih baru. Kehadiran figur-figur tersebut bahkan bisa jadi sama persis, baik dari segi mimik maupun gestur. Yang membuat konteks kehadirannya berbeda pada setiap karya visual adalah struktur “bahasa protes” yang diujarkan Methodos, juga lokasi dan waktu penempatan sajian karya, serta isu yang dirujuknya.

Salah satu gambar karya Vendy Methodos, 2020. (Sumber: Instagram @vendy_methodos)
Figur yang dibuat oleh Methodos muncul di dalam Gapura Buwana (2021) karya Gegerboyo. (Foto: Manshur Zikri)

Bisa dibilang, satuan-satuan figur yang telah terdaftar di dalam “kamus karakter” miliknya inilah yang merupakan “sketsa unik” milik Methodos. Modularitas ini, bukannya membatasi kemungkinan untuk menjelajahi konstruksi rupa, tetapi justru merupakan mekanisme yang melenturkan aktivitas menggambar Methodos. Setiap unit berpeluang untuk menemukan konteks yang baru, ketika digambar, lagi dan lagi.

Studi Methodos terhadap objek kain serbet. (Sumber: Instagram @vendy_methodos)

Kain serbet, ketika saya berkunjung ke rumah Methodos, masih berada di dalam fase pemantapan untuk “dikamuskan”. Pola garis kotak-kotak (fisiognomi kain serbet) yang diulik Methodos semasa pandemi ini masih merupakan “proto-unit”, dan “kain serbet yang masih dalam proses pematangan/pendewasaan” itu bisa kita sebut sebagai sebuah “peralihan” pula. Kain serbet, dalam konteks praktik kesenian Methodos, saat ini merupakan sebuah tapal yang menandakan area penjelajahan barunya atas sebuah bentuk (objek) visual. Bagaimana visual “kain serbet” tersebut akan menjadi suatu majas pars pro toto (dalam konteks visual) yang mencerminkan kritisisme Methodos terhadap—tidak lagi hanya ruang publik tetapi juga—ruang domestik, serta bagaimana refleksi atas objek dari ruang domestik itu, nantinya, dibawa kembali ke konteks publik? Menurut saya, modularitas dari metode menggambar Methodos, yang saya singgung di atas, masih akan memainkan peran penting dalam perkembangan praktik kekaryaannya.

***

MENGAMATI apa yang Dian Suci Rahmawati lakukan di sela-sela obrolan-obrolan yang berlangsung pada beberapa pertemuan saya dengan Gegerboyo, adalah yang membuat saya yakin bahwa tidak benar jika kelompok seniman ini tidak hidup dengan sketsa dalam proses kekaryaan mereka. Hampir selalu, Dian menggambar sesuatu di buku catatan hariannya, terutama ketika sedang mendengarkan teman-temannya yang lain berbincang mendiskusikan karya. Sayangnya, hanya Dian yang menunjukkan kebiasaan ini di setiap pertemuan kami, sadar tidak sadar.

Karya-karya visual Dian barangkali terinspirasi seniman Jepang, Tetsuya Ishida, atau seniman Korea, Jinju Lee, jika kita mengamati lukisan-lukisannya. Terlepas dari bagaimana sumber inspirasi yang diduga ini memengaruhi caranya berkarya, kita bisa menyebut bahwa isu domestik dan perempuan sangat mencolok di dalam beberapa karya Dian. Yang menarik, persoalan tentang domestikasi ini bukan hanya terkait representasi ruang (rumah), tetapi juga tubuh—tentang tarik-menarik antara kedua ranah itu. Tapi, struktur yang umum adalah tubuh-tubuh yang ditempatkan secara singular di dalam ruang dengan batas-batas yang saru. Nada warna kerap menjadi elemen penting untuk menentukan batas ruang—ini terkait dengan bagaimana dinding dihadirkan; nada warna tersebut sekaligus membangun kejanggalannya. Sementara itu, gestur performatif tubuh (atau penggalan tubuh) merupakan pokok “dramaturgi” untuk mengekskalasikan kualitas isu perempuan. Dan dalam hal kehadiran objek (sesuatu yang bukan figur/tubuh), Dian kerap kali bermain-main dengan kain dan lipatan, serta mengilustrasikan penyimpangan bagian dan fungsi dari sejumlah objek-objek domestik.

Dian Suci Rahmawati, “Apakah Tubuh. Tak Punya Dinding dan Tak Punya Runtuh” (2020). (Sumber: Arsip Dian Suci Rahmawati)

Pendapat saya di atas merujuk pada dua karya Dian. Pertama, yang berjudul Apakah Tubuh: Tak Punya Dinding dan Tak Punya Runtuh (2020): kasur yang biasanya diokupasi tubuh justru dihadirkan sebagai dinding—sebagai bagian dari tubuh rumah/ruang—yang ditembus cerat pancuran dan selang air, dua objek yang seakan merepresentasikan lingga. Sedangkan dinding bata (perwakilan dari dinding rumah yang sebenarnya) hadir di tengah, diperantarai sekaligus membatasi tubuh yang melayang rendah di lantai dengan kepala yang tertindih kaki sebuah bangku; selang air melewati bagian atas dinding, dan bagian ujungnya melilit pada ranting tanaman mati yang masih tertancap pada pot yang berdiri miring (bersandar ke dinding bata di sebelah kanan) karena bagian bawahnya diganjal sesuatu di atas piring. Di ranting itu, juga tergantung sebuah gantungan baju yang menggantungkan pakain dalam perempuan. Menyimak struktur ini, kita juga melihat bantal, kabel dan steker, dan kunci (yang tersangkut di selang air). Salah satu ranting pohon itu menembus dinding bata, dan di ranting itu tertancap seonggok objek menyerupai daging.

Dian Suci Rahmawati, “Perjamuan Tanpa Akhir. Jika Kau Senang, Ambilah. Jika Tidak, Ambilah” (2020). (Sumber: Arsip Dian Suci Rahmawati)

Karya yang kedua, adalah yang berjudul Perjamuan Tanpa Akhir: Jika Kau Senang, Ambilah. Jika Tidak, Ambilah (2020): sebuah tubuh tertelungkup dihidangkan di atas meja panjang bertaplak hijau, bangku-bangku tersebar di sekitarnya (beberapa saling terkait benang), dan di ujung ruang terdapat sebuah kursi yang di atasnya menggantung tulang kaki sapi. Dilukis pada bidang yang panjang, visual-visual ini seakan bergaung layaknya kumpulan kata yang runut membentuk puisi.

Dian Suci Rahmawati, “Leave All the Rest to Me” (2019). (Sumber: Arsip Dian Suci Rahmawati)

Saya tambahkan lagi, karya ketiga, Leave the Rest to Me (2019): kain seprai dan tumpukan bantal menjadi beban yang ditahan tubuh, sedangkan sebuah kerangka kursi (dengan lilitan benang-benang) berperan sebagai kerangkeng kecil yang menjerat salah satu kaki dari tubuh itu. Tablo ini terjadi di atas kasur tanpa seprai, pada suatu ruang dengan dinding tanpa sudut.

Ketiga karya tersebut agaknya mewakili perhatian Dian dalam menjelajahi konsep dinding dan selaput, dua kata kunci yang menurutnya penting untuk membicarakan isu perempuan dan domestikasi. Pada derajat tertentu, ketiganya bisa dimaknai sebagai karya potret. Namun, yang lebih menarik daripada hal itu, ialah apa yang menjadi sketsa dari karya ini—saya ketahui berdasarkan obrolan saya dengan si seniman—yaitu, justru bukan hanya goresan-goresan manual dengan tangan di atas kertas, tetapi juga sejumlah foto pose yang dikumpulkan oleh Dian sendiri. Dalam prosesnya, ia sengaja melakukan beberapa pose dan meminta orang lain untuk mendokumentasikannya. Foto-foto pose itulah yang kemudian menjadi rujukan untuk mengembangkan bentuk ke dalam gambar ataupun lukisan.

***

DENGAN menempatkan sejumlah karya yang pernah dibuat oleh masing-masing anggota Gegerboyo sebagai “sketsa lapis pertama”, sebagaimana yang telah saya singgung di atas, kita bisa menarik sejumlah poin.

Pertama, eksplorasi Enka terhadap “peralihan situs” menggaungkan eksperimen tentang realitas berganda, sedangkan eksplorasi “peralihan narasi” Moki menyiratkan eksperimen tentang kelindan fiksi dan fakta. Kedua, gaya dioramik Enka dan fisiognomi panggung Ipeh menunjukkan eksperimen yang memainkan persepsi visual para penikmat karya. Struktur visual pada gambar mereka, dengan kata lain, mempunyai “gestus” tersendiri yang dapat menentukan sikap penonton dalam menyelami dunia gambar. Ketiga, pendekatan modular dalam mekanisme penciptaan gambar Methodos mendemonstrasikan sebuah kemungkinan tentang bisa atau tidaknya suatu konstruksi adaptif diterapkan dalam situasi, narasi, dan ujaran visual yang berbeda-beda. Terakhir, gambar-gambar Dian menggarisbawahi performativitas tubuh, ruang, dan objek sebagai dasar untuk meramu ungkapan visual yang janggal sebagai modus naratif.

Menurut saya, kombinasi dari keempat poin tersebut agaknya berlaku, diterapkan secara sadar atau tidak, di dalam produksi visual mereka secara kolektif sebagai Gegerboyo: “realitas berganda-ganda”, “narasi yang beralih-ubah”, “gangguan perseptual dan spasial”, “kehadiran fleksibel dari satuan-satuan figur”, dan “performativitas tubuh, ruang, dan objek”.

Sampai di sini, saya selanjutnya akan mencoba beranjak ke persoalan tentang “sketsa lapis kedua” Gegerboyo, yaitu: sketsa-sketsa berbasis media (digital).

***

Salah satu gambar yang dibuat oleh Prihatmoko Moki terkait Pemilu Presiden 2019. (Sumber: Instagram @prihatmokomoki)

PADA seri Colony Post Colony, Moki bereksperimen dengan teknik tracing untuk menyalin visual, tetapi apa yang disalin lantas dikembangkan menjadi narasi baru. Teknik ini juga ia gunakan pada seri gambar yang mengomentari isu politik terkait pemilu Presiden tahun 2019, yang mana seri gambar tersebut sudah ia publikasikan di akun Instagram pribadinya. Jika seri gambar terkait pemilu Presiden ini merujuk pada foto-foto tokoh di media massa atau media sosial, yang unik dari Colony Post Colony adalah, Moki men-tracing visual yang berasal dari rekaman video warga (yang juga tersebar di internet), berisi rekaman peristiwa penggusuran lahan warga di Kulon Progo.

Still image dari video warga yang merekam penggusuran lahan di Kulon Progo; sumber audiovisual yang menjadi referensi Prihatmoko Moki untuk membuat seri “Colony Post Colony”. Original dari video ini berwarna, tetapi still image ini dihitam-putihkan oleh si seniman. (Sumber: Instagram @prihatmokomoki)

Pada karya yang berjudul Doa Kami (2020), Enka menjadikan karya fotografi Dwi Oblo yang merekam suasana pemakaman korban Covid-19 sebagai referensi. Pernah pula ia membuat seri gambar poster yang berangkat dari sejumlah film horor Indonesia.

Enka Komarian, “Doa Kami” (2020). (Sumber: Arsip Enka Komariah)

Sementara itu, kembali kita menyinggung praktik kekaryaan Dian, telah kita ketahui bahwa dokumentasi fotografi dari ragam pose yang ia lakukan merupakan bahan utama Dian untuk meracik sejumlah karya gambar dan lukisannya, terutama tiga karya yang sudah saya sebut tadi.

Beberapa latar belakang penciptaan karya yang saya singgung di atas mencontohkan bagaimana ketiga seniman (Moki, Enka, dan Dian), alih-alih menggambar realitas yang ditatap atau dialami langsung, justru menggambar konten media (digial). Praktik semacam ini mengingatkan saya pada seri lukisan Marlene Dumas yang merupakan potret-potret wajah dan tubuh, yang dibuat dengan mengacu pada gambar-gambar yang ada di media massa. Salah satu pernyataan Dumas terkait modus penciptaan karya visualnya ini: “Ada yang namanya image (sumber fotografi) sebagai titik berangkat dan ada yang namanya image (yang dilukis) yang Anda hasilkan, dan keduanya tidak sama.”[1] Dumas mengaku bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan perhatian kita tentang apa yang lukisan dapat lakukan pada image, bukan hanya sebaliknya. Menggambar image berarti memberikan nilai baru pada image tersebut di dalam dunia gambar (dunia subjektif) si seniman.

Terlepas ada atau tidaknya kesamaan visi artistik antara Moki, Enka, dan Dian dengan Dumas, saya menangkap bahwa gelagat ini mewakili gejala zaman di masa ketika kehidupan sosial tak bisa dilepaskan dari pengaruh media massa, terutama hari ini, yang umumnya berbentuk media digital. Ipeh pun mengakui bahwa salah satu metode yang ia gunakan ketika melakukan riset untuk karya ialah dengan menelusuri sejumlah referensi visual di internet. Kita pun bisa memasukkan seri gambarnya tentang erupsi Merapi, sebagai contoh tambahan, karena gambar itu dibuat dengan mengacu pantauan siaran langsung kondisi Merapi. Temuan-temuan visual di internet, oleh Ipeh, diinterpretasi menjadi bentuk baru sesuai dengan kekhasan faktura di dalam gambar-gambarnya pribadi.

Sayangnya, ketika mengobservasi praktik individual anggota Gegerboyo, tindak-tanduk seperti itu—menggambar dengan mengacu pada image fotografi atau video; image digital—tidak saya temukan pada Methodos. Namun, selama proses pembuatan karya visual Gapura Buwana di dalam galeri Cemeti, saya menyaksikan bahwa anggota-anggota Gegerboyo kerap merujuk sejumlah image yang sudah tersimpan di dalam gawai mereka, entah itu ponsel pintar ataupun laptop. Termasuk Methodos, meskipun mungkin saja ia sebenarnya sedang mengacu gambar versi digital dari figur-figur yang sudah ia ciptakan sendiri.

Tentu saja, untuk Gapura Buwana, tidak semua gambar diciptakan dengan cara demikian. Sejumlah bagian dari gambar dinding Gapura Buwana di galeri Cemeti memang dibuat oleh anggota Gegerboyo secara langsung, tanpa melihat referensi gambar dari mana pun dan hanya bertumpu pada kepekaan subjektif dan intuisi mereka dalam merespon gambar yang sudah lebih dulu tertera di dinding. Namun, fakta bahwa citra-citra digital telah menjadi rujukan untuk menuangkan gagasan ke dalam gambar (manual dengan tangan), merupakan gejala yang terbilang penting di dalam proses penciptaan karya kolektif ini.

Pada konteks tersebut, kita pun kini tak bisa lagi membatasi sketsa gambar hanya pada coretan-coretan manual dengan tangan di atas kertas saja. Image-image dari media (digital), nyatanya, telah mengambil peran sebagai “medium sketsa”. Terlebih lagi, semisal pada kasus Dian, foto-foto pose yang dikumpulkannya terbilang tidak sedikit. Jumlahnya puluhan. Dalam mengimajinasikan figur performatif, foto pose merupakan teknik pengumpulan (dan pengadaan) sketsa yang efektif untuk menemukan konstruksi visual yang dirasa tepat dan potensial untuk ditafsir secara lebih dinamis di dalam medium gambar atau lukisan. Begitu pula halnya dengan riset visual yang dilakukan oleh Ipeh, Enka, dan Moki melalui internet, serta “kamus karakter/tokoh” yang dikumpulkan Methodos (yang sebagian besarnya, tentu saja, tersimpan dalam bentuk digital). Dengan kata lain, upaya untuk mengumpulkan referensi visual sekaligus mengutipnya dari image-image digital telah menjadi praktik “pengadaan” sketsa itu sendiri.

Jadi, Gegerboyo mungkin memang “tidak ada” sketsa, dalam pengertian konvensionalnya. Keberadaan sketsa, bagi Gegerboyo, telah beralih bentuk ke sarana yang lain yang lebih luas daripada ruang lingkup coretan manual di atas kertas. Perlu diketahui bahwa praktik ini sebenarnya tidak baru—sejumlah seniman besar telah menerapkannya sebagai metode. Dan yang jelas, perluasan sumber sketsa seperti ini, bisa kita nyatakan untuk konteks zaman sekarang, adalah kekuatan utama di dalam praktik menggambar kontemporer, karena kegiatan itu justru dapat menjadi sebuah tanggapan kultural terhadap dunia kita hari ini yang serba digital. *


[1] Lihat pernyataan Marlene Dumas di dalam “Marlene Dumas: The Image as Burden: Room guide” (tidak bertanggal), di situs web Tate.org: https://www.tate.org.uk/whats-on/tate-modern/exhibition/marlene-dumas-image-burden/marlene-dumas-image-burden-room-guide, diakses tanggal 27 April 2020, pukul 11:51 WIB.

2 Comments

  1. Pingback: Di mana Produksi Visual Gegerboyo? | CEMETI

  2. Pingback: Where are Gegerboyo’s Visual Sketches? | CEMETI

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.