"Esai", Gagasan Estafet Mustahil, Proyek Mustahil
Comments 2

Dari Peristiwa Gagasan Estafet ke Kritisisme Media (Bag. 1)

Artwork image: courtesy of Wimo Ambala Bayang

Menjenguk Ranah Rabaan dan Persepsi yang Diaktivasi Indra

Peristiwa bergulirnya buku catatan gagasan estafet mustahil (GEM) adalah sebuah tawaran untuk berpikir kritis secara kolektif dalam membaca nilai-nilai keterbatasan terkait eksplorasi medium artistik dan metode penyajiannya selama masa physical distancing akibat pandemi COVID-19. Proyek ini mengkritisi modus penyajian artistik yang umumnya didorong dan diarahkan hanya fokus pada segi ‘praktis’ penyajian secara daring (digitalisasi). Nyatanya, menurut saya, sesuatu yang terlihat ‘praktis’ itu justru menawarkan kompleksitas dari tautan berbagai komponen dan nilai keterbatasan yang baru, khususnya dalam instrumen perwujudannya yang teknologis.

Alih-alih berniat menolak segala bentuk dan modus artistik dalam media digital, ataupun mengesampingkan protokol kesehatan, GEM hadir untuk memeriksa kemungkinan eksperimen modus ungkapan, metode intervensi dan interaksi, dan strategi penyajian karya, yang menempati dua tatanan realitas sekaligus—daring dan luring—sembari tetap berupaya menyadari dinamika ruang publik di dalam kedua realitas itu. Momentum ini membuka kesempatan bagi kita untuk bersama-sama merenungkan peran dari presentasi artistik dan kerja-kerja kultural, ketika itu semua memasuki dan menempatkan diri di ranah realitas media, yang kini sudah berada di fase yang cukup ekstrem dalam hal bagaimana mereka mewujud dan memengaruhi pengalaman fisik juga psikologis kita selama pandemi.

110 lembar kertas dalam buku GEM yang sampai ke tangan para kontributor, dalam konteks peristiwanya sebagai performativitas kolektif, memberikan akses untuk stimulan rabaan dan kebebasan modus interaksi, reaksi, intervensi, dan tanggapan mereka terhadap ‘yang mustahil’ atau ‘kemustahilan’ yang menjadi topik utama (subject matter) dalam Proyek Mustahil.

Aksi meraba, menulis, menggores, melipat, mencetak, memotong, menempelkan objek, dan gestur interaktif lainnya yang dilakukan oleh para kontributor dalam rangka menumpahkan gagasan mereka, merupakan bagian dari serangkaian peristiwa performatif dalam proyek ini. Gagasan mustahil pertama, yang adalah buku catatan GEM itu sendiri, dapat ditempatkan sebagai fondasi awal untuk membayangkan apabila aksi-aksi performatif tersebut digantikan dengan model tampilan dalam jaringan yang serba simulatif, misalnya media sosial.

Saya pun jadi berpikir-pikir, pada upaya penyajian artistik terkini secara daring, agaknya beragam spektrum pengalaman indrawi yang berperan penting dalam pembentukan persepsi telah dikesampingkan dari poin-poin yang melahirkan interpretasi publik. Fungsi dari modus stimulasi fisik melalui indra, yang bersumbangsih dalam wilayah ungkapan artistik secara sensoris, sepertinya tengah dilupakan, yaitu fungsinya untuk menghadirkan keluwesan pengalaman estetis dan melebarkan jangkauan interpretasi publik yang lebih efektif. Namun, “nilai-nilai yang membatasi” yang ada pada realitas media (yang mengada karena ketetapan dominan dalam industri teknologi dan platform media populer—misalnya ukuran standar layar smartphone dan monitor, aspect ratio dari feed Instagram, resolusi video YouTube, dan ketetapan ukuran lainnya yang konstan)—juga belum banyak menjadi pertimbangan dalam praktik penyajian artistik yang menempati ranah daring hari ini. Menurut saya, berbagai aspek instrumental tersebut masih sering luput dibicarakan sebagai penanda dalam proses pembentukan makna dan jejaring kognisi di ranah kesenian. Selain itu, modus persepsi dalam praktik performans—yang melibatkan tubuh dalam gaya ungkapnya—pun belum dilihat sebagai peluang untuk eksperimen artistik dalam realitas media. Padahal, proses menafsir ungkapan secara sensoris yang melibatkan tubuh itu punya kemungkinan untuk mengingatkan kita akan keberadaan “ritme lambat” yang berlangsung dalam aktivitas sehari-hari; ritme ini kontradiktif dengan percepatan yang terjadi pada sirkulasi aktivitas masyarakat kota sebagai buntut dari kerangka sistem industrial dan media populer.

GEM, terkait hal di atas, dihadirkan bukan dalam rangka mengelak dari popularitas medium artistik digital dan/atau ruang simulatif berbasis media, tetapi untuk mendorong investigasi lanjutan sehubungan dengan potensi munculnya modal dan modus ungkapan—yang sepertinya memang belum teridentifikasi—yang memperhitungkan interpretasi publik daring, tanpa mengesampingkan pengalaman estetis luring.

Bersambung ke Bagian 2

This entry was posted in: "Esai", Gagasan Estafet Mustahil, Proyek Mustahil

by

Ika Nurcahyani (b. 1993) graduated from Film and Television Program, Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta. She is a filmmaker and art organizer; once worked as freelancer for video and film production at several companies during 2017 to 2018, one of them is Indonesian Visual Art Archive. In 2017, she created her first documentary film, ARTISAN, which was officially selected for Bioskop FKY (2018).

2 Comments

  1. Pingback: Dari Peristiwa Estafet Gagasan ke Kritisisme Media (Bag. 2) | CEMETI

  2. Pingback: Dari Peristiwa Gagasan Estafet ke Kritisisme Media (Bag. 3) | CEMETI

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.