
Sebagaimana kita ketahui, munculnya Covid-19 telah menghantam sendi-sendi kehidupan manusia. Mulai dari teror psikologis hingga perekonomian. Tentu masih banyak hal lainnya yang terdampak wabah Covid-19. Di antaranya, ruang-ruang belajar harus ditutup, berbagai kegiatan kesenian harus ditunda. Semua itu salah satu upaya dan/atau kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran wabah Covid-19. Anjuran pemerintah mulai dari ‘social distancing’ dan ‘di rumah aja’ lalu ‘bekerja dari rumah’, gaungnya kami dengar. Kemudian, setelah wabah semakin menggila dan bersamaan dengan tiga poin perihal aktivitas domestik (rumah) itu, muncul masalah: krisis ekonomi semakin menjadi. Lantaran itulah pemerintah menawarkan ‘New Normal’ sebagai upaya untuk menangani masalah masyarakat. Harapannya, masyarakat bisa beraktivitas dan bekerja atau berdagang kembali.
Pada bulan Ramadhan, selama Covid-19 yang sudah beberapa bulan ini, saya secara pribadi menyibukkan diri dengan menulis. Apa pun saya tulis meski demikian beberapa nomor tulisan saya tidak kelar-kelar, karena “apa pun ditulis”. Salah satu yang menjadi ide saya menulis adalah melihat kembali kampung saya dan hubungannya dengan fenomena Covid-19.
Di kampung saya, efek yang paling gamblang saya jumpai dari wabah Covid-19 ini adalah nilai jual. Harga ikan turun drastis sekitar sampai tiga seperempat. Karena itu, sebagian besar nelayan di kampung saya memutuskan untuk tidak bekerja atau melaut. Saya juga tertarik mencari tahu problem di daerah pesisir lainnya; apakah komunitas pesisir lainnya (di luar Pulau Madura) juga mengalami harga ikan yang anjlok dan memutuskan untuk tidak atau berhenti melaut karena problem tersebut? Saat itu, saya melacaknya lewat Google (aplikasi ini buat saya menjadi sangat solutif untuk melacak atau menggali informasi di daerah luar tempat tinggal saya). Di beberapa daerah pesisir lainnya di luar Madura, seperti di Pasuruan, Lamongan, dan Muncar, aktivitas melaut mereka juga (terpaksa) harus berhenti secara mandiri atau oleh komunitas nelayan itu sendiri. Meski demikian, ada beberapa nelayan yang masih atau terpaksa terus bekerja atau melaut. Pasalnya, mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain lagi selain melaut.
Secara teritorial, kampung pesisir ini terletak di pinggir(an) selatan dari posisi pusat Kota Kabupaten Sampang. Kampung ini dikenal dengan nama kampung, Ju’lanteng, Kelurahan Banyuanyar. Berdekatan dengan Pelabuhan Tanglok yang merupakan tempat pembongkaran ikan bagi nelayan setempat dan menjadi ruang transit bagi penduduk Pulau Mandangin.
Sekitar 4 bulan lalu, gudang ikan ini dihidupkan kembali oleh H. Holiq. H. Holiq adalah putra ketiga dari keluarga menengah ke atas, yaitu H. Nurhasan. Dulu, gudang itu milik kakak H. Holiq, Kusnadi. Kini ia sudah pindah dengan membangun gudang di dekat pinggir sungai kampung pesisir, Ju’lanteng ini, di mana para kapal nelayan bersandar untuk membongkar hasil dagangnya dari tengah laut. Tentang aktivitas melaut seluruh kapal besar nelayan dari kampung pesisir ini tidak menangkap ikan sendiri melainkan transaksi di tengah laut. Sedang yang menangkap ikannya adalah orang-orang nelayan dari pulau Mandangin, Camplong, dan Tanjung.
Saat ini, gudang itu menjadi tempat menjual ikan yang didatangkan dari luar Madura seperti Muncar, Puger, dan Berondong. Sebagian besar pembelinya perempuan-perempuan kampung ini. Mereka menjual kembali ke beberapa pasar-pasar di Sampang maupun Bangkalan dalam keadaan ikan sudah matang dengan cara dipindang atau dikukus.