Faktanya, tidak semua pekerja kreatif mengalami kejenuhan dengan pembatasan sosial. Misalnya, mereka yang akrab bekerja di ranah media daring dan memiliki profesi yang tidak mengharuskan dirinya masuk kantor. Bagi mereka, bekerja online adalah hal yang biasa dan tidak melelahkan. Yang justru melelahkan, kalaupun memang ada, adalah kemonotonan informasi dan komunikasi. Demikianlah pendapat Prima Sulistya, pemimpin redaksi di media Mojok.co.
Prima Sulistya adalah salah satu dari narasumber dalam Diskusi Kelompok Terarah (DKT) Sesi 4 yang diadakan oleh Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat pada hari Sabtu, 6 Juni 2020, pukul 14:00 WIB, dalam rangka Proyek Mustahil. Ada lima orang narasumber yang diundang. Selain Prima, empat narasumber lainnya adalah Ratu Saraswati (seniman), Mahardika Yudha (seniman, sutradara, dan arsiparis), Rebecca Kezia (kurator; juru program Pendidikan dan Wacana, Salihara), dan Irwan Ahmett (seniman).
DKT Proyek Mustahil – Sesi 04 ini, sebagaimana tiga DKT sebelumnya, masih membicarakan topik tentang “kemustahilan” sebagai tanggapan terhadap situasi aktual yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Tatkala pandemi COVID-19 menerpa, nyaris semua lini kehidupan mesti mencari alur baru untuk bisa terus berjalan. Tidak terkecuali bidang-bidang kreatif di ranah sosial dan budaya, termasuk kesenian.
Jika memang kita membutuhkan pertemuan fisik, adalah hal yang mutlak untuk lebih mengutamakan keselamatan manusia sehingga protokol kesehatan tidak bisa disepelekan. Hal itu justru semakin menegaskan bahwa seni, bagaimanapun, tidak bisa melepas keberadaannya dari hal-hal etik demi kepentingan estetik semata. Selain itu, jika pun memang kita menyambut era daring sebagai jalan keluar, maka daring yang bagaimana dan seperti apa adalah hal lain yang juga tak kalah penting untuk perlu kita pikirkan bersama-sama.
Perbincangan mengenai “kemustahilan” dalam DKT Sesi 04 ini secara perlahan bermuara ke persoalan tentang ketidakidealan sistem lembaga-lembaga sosial. Dalam kasus para pegiat arsip, contohnya, selama PSBB, pembatasan-pembatasan yang terjadi di ranah-ranah fisik, yang kemudian kerap diperbandingkan dengan “kemudahan alternatif” yang ditawarkan teknologi daring, pada akhirnya justru menguatkan bukti betapa lembaga-lembaga arsip publik belum punya kesiapan yang cukup untuk berjalan di era daring. Dari situ, pertanyaan pun muncul, terutama kaitannya dengan upaya mengakselerasi peran masing-masing sehingga dapat sama-sama aktual dengan kondisi masyarakat saat ini: sebagaimana yang juga diharapkan pada bidang-bidang yang lain, ialah bagaimana kita mengusahakan seni menjadi relevan bagi generasi sekarang dan mendatang, bagi generasi pandemi maupun pascapandemi? Meskipun tidak ada uraian pasti sebagai jawabannya, para narsumber dalam DKT ini berbagi pantikan reflektif untuk, setidaknya, memancing kita agar bersama-sama memikirkan, pelan-pelan, jawaban atas pertanyaan tersebut.