DKT PROYEK MUSTAHIL – Sesi 02 diadakan via Zoom oleh Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat pada pukul 14.00 WIB di hari yang sama dengan DKT Proyek Mustahil – Sesi 01 (Jumat, 5 Juni 2020). Membahas topik yang sama, yaitu tentang “Kemustahilan” (sebagai respon terhadap situasi aktual kita saat ini yang tengah menghadapi pandemi COVID-19), DKT kedua (dari total empat DKT yang diselenggarakan) ini dimoderasi oleh Manshur Zikri (kurator Cemeti). Narasumber pada DKT ini adalah Chandra Rosselinni (seniman; mahasiswa pascasarjana ISI), Gesyada Siregar (kurator; Gudskul), Herbert Hans (seniman; Tromarama), Natasha Gabriella Tontey (seniman), dan Yosep Anggi Noen (sutradara).
Setiap narasumber berbagi pandangan mereka, terutama mengenai sikap pribadi dalam menghadapi situasi PSBB yang “memustahilkan” pertemuan fisik untuk sementara waktu. Sebagian narasumber, seperti Yosep Anggi Noen dan Chandra Rosselinni, melihat bahwa peristiwa fisik memiliki nilai penting yang tak tergantikan oleh ke-online-an sehingga memilih bertahan untuk setidaknya melakukan hal-hal yang bisa dilakukan selama masa pembatasan sosial ini, tanpa perlu memaksakan kegiatan-kegiatan berbasis daring. Sementara Natasha Gabriella Tontey, melihat bahwa kecenderungan orang-orang untuk hadir secara daring sekarang ini seakan membuat pendekatan tersebut tidak lagi istimewa (meskipun masih banyak dari kita yang tergagap-gagap dengan teknologi online); dengan kata lain, kita perlu menerabas keterbatasan itu dan menemukan pendekatan-pendekatan lain yang relevan. Jangan-jangan, “…back to old normal…!“, begitu kalimat Natasha, adalah pilihan yang jauh lebih menarik.
Dari sudut pandang yang berbeda untuk menanggapi tema “Kemustahilan” ini, Herbert Hans berpendapat bahwa seni dan seniman pada dasarnya selalu berangkat dari utopia masing-masing—sesuatu yang mustahil. Situasi pandemi memang memengaruhi pilihan-pilihan kita, terutama dalam berinteraksi dengan layar. Akan tetapi, baginya, pameran (seni) hanyalah salah satu format presentasi saja. Yang paling utama justru aksi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan. Memilih untuk setia pada tujuan itu, Herbert Hans justru melihat usaha mencari utopia dalam “dunia daring” justru menjadi menarik dan upaya mengejar hal itu bukan berarti mengingkari esensi dari seni-seni berbasis non-online.
Gesyada pun berbagi pengalaman dengan menceritakan sejumlah proyek atau program yang ia dan teman-temannya lakukan di organisasi tempatnya beraktivitas. Hal utama yang ia garisbawahi ialah, jangan sampai situasi penuh kemustahilan ini membuat kita mustahil pula mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok rentan. Beberapa proyek yang ia lakukan mencoba menyiasati itu dan berupaya memastikan keseimbangan akses pada masyarakat.
Di akhir diskusi, muncul pertanyaan tentang “social currency baru” yang dapat diduga akan menjadi konsensus baru di masyarakat. Akankah ketika situasi kembali normal, social currency itu menjadi model berkehidupan baru yang akan terus berlanjut, atau justru kita kembali kepada currency yang sebelumnya? Meskipun tidak terulas lebih jauh karena keterbatasan waktu, setidaknya pertanyaan ini menjadi penutup yang baik untuk terus memikirkan betapa “kemustahilan” yang kita hadapi hari ini merupakan suatu perangsang untuk mendorong kita menemukan pendekatan-pendekatan seni yang relevan.
Video pada terbitan ini adalah hasil suntingan final dari materi rekaman layar pertemuan daring dari DKT Proyek Mustahil – Sesi 02. Disunting secara teknis oleh Muhammad Dzulqornain dan disupervisi oleh Manshur Zikri (selaku Manajer Artistik Cemeti) dan Dimaz Maulana (selaku Manajer Produksi Cemeti), beberapa bagian dari rekaman video ini sengaja dipotong untuk meminimalisir ketidaknyamanan penonton dalam menyimak alur diskusi yang kerap terganggu oleh ketidaklancaran jaringan internet.