Berkas #02: Undangan 98, sebARSIP
Comments 4

Undangan 98 — Mengalami Sentuhan dan Romantisisme Arsip Pilihan

sebARSIP – Berkas #02: “Undangan 98”

Undangan 98 — Mengalami Sentuhan dan Romantisisme Arsip Pilihan

KESADARAN PENGARSIPAN JARANG menjadi perbincangan dalam kerja operasional karena seolah jauh dari hal-hal yang berbau “kerumah-tanggaan”. Sebaliknya, titik awal keberangkatan saya pada proses pengarsipan di Cemeti tahun ini justru hadir melalui kesadaran akan pemanfaatan ruang sebagai infrastruktur yang berperan dalam keberlangsungan program. Kesadaran akan ruang kemudian mengarah pada lapis selanjutnya, mengenai kesadaran pengarsipan.

Bagi saya, kali pertama menyelami arsip-arsip fisik memunculkan banyak perdebatan psikologis secara personal dalam proses efektivitas ritme kerja pengarsipan, terutama saat menangkap kesan pada teks dan visual arsip, kemudian mempertimbangkan nilai-nilai sejarah dan peristiwa, dan menerjemahkan itu semua ke dalam bahasa klasifikasi digital, apalagi ketiganya harus dilakukan beriringan. Menjaga ritme kerja pengarsipan menjadi begitu menantang saat dipertemukan dengan romantisisme terhadap—salah satunya—lembaran-lembaran arsip undangan pameran yang masuk ke Cemeti.

Sebagai bagian dari proses menulis pengantar ini, saya melakukan seleksi sekilas pada undangan-undangan pameran atau peristiwa kesenian yang saya temukan. Seleksi, dalam hal ini, saya maknai sebagai peristiwa eksperimen atas diri sendiri untuk menangkap kesan pertama terhadap bentuk dan visual undangan secara fisik. Artinya, seleksi ini tidak berdasarkan oleh siapa dan kapan undangan-undangan tersebut dibuat, namun lebih mengarah pada satu pencarian atas unsur-unsur visual dan bentuk yang tidak lagi saya temukan pada undangan yang bersifat digital.

Di luar unsur kesengajaan, justru saya menemukan satu pola bahwa hampir semua undangan yang saya pilih dibuat dan dipublikasikan pada tahun 1998. Apa yang menjadi pembentuk pola ini, saya hadirkan dalam spekulasi atas pertimbangan-pertimbangan ingatan mengenai peristiwa dan pengalaman saya sebagai individu. Poros pencarian atas unsur visual dan bentuk yang seolah ‘hilang’ pada undangan digital, ternyata, menjadi mesin kurasi tersendiri. Secara tidak langsung, undangan yang saya pilih memiliki spektrum eksplorasi yang cukup luas dalam hal medium bahan dan cara penyajian atau desain, yang tidak ada pada pembuatan undangan digital. Barangkali, hal itu tak lepas dari situasi krisis 1998. ‘Keterbatasan’ yang muncul sebagai dampak dari peristiwa sosiopolitik yang dialami oleh tiap individu—ataupun konteks zaman tatkala teknologi hari ini yang belum hadir—di lingkungan berkesenian pada masa tersebut, agaknya, memiliki pengaruh pada bentuk eksplorasi seniman (atau pelaku seni lainnya) dalam hal konstruksi, komposisi, dan modus tanggapan terhadap bahan-bahan undangan pameran. Tentu, pola-pola ini tidak hanya berlangsung sekali dalam proses adaptasi kita terhadap peristiwa sosial yang dialami bersama.

Pengalaman menyentuh dan membaca arsip undangan fisik—dengan perbedaan tekstur pada bahan, eksplorasi sajian, ukuran, dan usaha mencetak yang beragam—terasa sangat berbeda dengan pengalaman menyentuh layar smartphone dan mengakses undangan-undangan pameran masa kini di era yang serba daring.

Di mata saya, dalam kasus arsip-arsip fisik ini, intensitas gagasan persuasif antara “mengajak” dan “diajak” justru terasa terwakilkan dari usaha-usaha eksplorasi desain dan bahan yang dilakukan masing-masing lembaga dan kolektif yang memproduksinya.

Berbicara tentang giat mengundang, di dalamnya selalu ada tarik-menarik antara yang mengundang dan yang diundang. Dari segi artistik, daya tarik-menarik yang tercipta antara yang fisik dan digital, tentunya, berbeda. Daya tarik visual secara fisik pada arsip undangan yang saya temui memiliki lebih banyak kemungkinan untuk di-re-eksplorasi melalui sentuhan, misalnya merasakan dimensi ruang ketebalan materialnya, mendekatkan (dan menjauhkan) pandangan pada objek, bahkan mengalihbentukkan fisik dari arsip-arsip itu sendiri.

Meski tak lepas dari problematika kompetisi yang wajar antarlembaga—dalam mengekpresikan eksistensi dan kekuatan relasi lewat desain—dan realitas ingatan yang bisa jadi beragam berdasarkan praktik masing-masing pihak yang diundang, tetap pengalaman-pengalaman “kearsipan” semacam itu tidak saya dapatkan saat melihat atau menyimak undangan-undangan digital yang menjadi serba-serbi dalam sebagian besar kegiatan di dunia kesenian saat ini.

Mengalami realitas keduanya, antara fisik dan digital, dalam perspektif membaca arsip undangan pameran, membuat saya melakukan komparasi. Undangan digital kemudian terasa monoton—mengandung selera yang umumnya sama rata—dengan batas ruang dimensi dan skala yang diciptakan oleh smartphone. Pemaknaan soal daya tarik-menarik antara yang mengundang dan yang diundang pun, saya sadari, justru muncul bukan dari bentuk dan visual undangan digitalnya, melainkan dari relasi sosial yang telah ada sebelumnya, baik secara gagasan, pertemanan, atau kelembagaan.

Melalui pengantar kuratorial sebARSIP Berkas #02 ini, saya mencoba menghadirkan beberapa sorotan mengenai gestur responsif dan interpretasi personal saya dalam mengalami arsip-arsip undangan fisik yang saya temui ketika mengelola lemari arsip Cemeti. Bentuknya dapat beragam, mulai dari usaha pengamatan mendalam berlandaskan romantisisme pengarsipan, mentolerir makna kepentingan dalam melihat nilai sejarah dari peristiwa dalam undangan, ataupun memaknai detail teks, visual, dan bentuk fisik yang terdesain atau tidak.

Arsip pertama yang saya pilih adalah undangan Pameran Seni Grafis Mutakhir di Galeri Soemardja, 10-18 Desember 1998. Di luar konteks ruang fisik atau tempat terjadinya pameran, saya memaknai undangan ini dengan perspektif cetak-mencetak. Berbicara tentang undangan dan budaya mencetak yang kerap kali dikaitkan satu sama lain, arsip ini cukup komprehensif untuk dijadikan fondasi pertama membicarakan usaha dan simbol perwakilan eksistensi secara praktik medium berkesenian si seniman dan korelasinya pada ide penyajian teks undangan. Undangan ini dicetak pada satu bidang karton dengan dimensi 15 x 15 cm. Saat berinteraksi dengan undangan ini, saya ‘tertangkap’ pada daya tarik-menarik dalam abstraksi di kepala saya, seolah-olah ada hasrat untuk menunjukkan praktik medium si seniman, dalam hal ini sebagai pegrafis, lewat usaha mereka mencetak undangan pada masa itu. Bagaimana praktik cetak-mencetak ini dilakukan apabila tatanan eksistensi realitas fisik pada medium berkesenian telah dilampaui oleh eksistensi realitas media dan super-power teknologi? Meski hasrat yang muncul juga tidak lepas dari konteks zaman atau perubahan diskursus dalam transisi seni modern dan posmodern, arsip undangan fisik ini dapat dialih-perankan menjadi pancingan reflektif kita pada identifikasi ulang nilai-nilai ‘keterbatasan’ dan ‘kemungkinan’ yang sedang kita alami saat ini.

Masih dekat dengan budaya cetak, saya hadirkan pula arsip undangan Pameran “Bersama” Yayasan Ruang Rupa di Cemara 6 Galeri, 30 Maret – 8 April tahun 2000. Meskipun memang bukan salah satu undangan yang dipublikasikan tahun 1998, tetapi saya ingin fokus pada pola revisi yang masih menjadi praktik wajar sampai sekarang dalam pembuatan undangan fisik: usaha memperbaiki kesalahan pada teks undangan dengan cara menempelkan kertas label yang dicetak ulang. Pada pengamatan arsip fisik, nilai sejarah dari sebuah kesalahan masih terlacak dan justru memunculkan nilai baru yang berlapis melalui medium kertas yang memiliki ketebalan dan bisa diakses dengan rabaan jari tangan, atau sentuhan. Pada giat mengundang dalam dunia digital, sejarah kesalahan hanya bisa dilacak melalui histori akun kita sendiri, kita memiliki kuasa untuk menghapus kesalahan secara bersih, paling tidak menurut kita sendiri. Lantas, saya membayangkan, bagaimana kiranya kerja pengarsipan beberapa tahun kedepan saat semua arsip berbentuk digital? Sedangkan saat ini, kita sudah mulai mengamini bahwa praktik pengarsipan bisa juga dilakukan dengan mempublikasikannya lewat media sosial.

Arsip dari undangan Studio Bosan, Pembukaan Pameran Seni Grafis, Aris Prabawa, 5 Juli 1998, menarik saya ke dalam pertanyaan dan dugaan terkait jejak lipatan pada kertas, dan desain penempatan teks manual untuk subjek ‘yang diundang’. Arsip fisik dengan jejak akses yang tidak terduga menjadi seru dan memunculkan spekulasi-spekulasi yang beragam. Menebak-nebak lipatan asli yang terdesain dan tidak, juga menjadi daya tarik-menarik pada penerjemahan realitas fisik arsip. Begitu juga dengan cara pembuat undangan yang tanpa sadar memberi batas ruang teks lewat penempatan garis dan kotak. Ide meletakkan garis pada undangan ini bisa saja datang dari respon kognitif atas pengaruh visual kertas ujian masa sekolah, atau justru hanya keisengan saja atas spekulasi jumlah huruf pada nama lembaga dan nama orang secara umum.

Merayakan romantisisme pengarsipan yang saya alami, saya ingin membagi pengalaman mengamati arsip fisik dari undangan galeripadi anniversary exhibition, tanto dan kipli, 1 Agustus 1998. Label yang difungsikan sebagai perekat lipatan antar halaman, saya maknai sebagai segel yang belum terbuka. Keperawanan arsip yang belum terjamah, membuai saya dan membuat saya tidak tega untuk membuka segel tersebut, meski saya butuh untuk mengetahui teks di dalamnya. Gestur responsif yang saya lakukan, adalah membuka lipatan tersebut dari bagian atas untuk mengintip teks dalam undangan. Gestur ini pula yang tampaknya tidak saya dapatkan saat melihat arsip undangan digital. Bentuk fisik arsip itu sendiri memberi peluang-peluang hadirnya relasi rasa dan pengalaman menyentuh yang eksploratif.

Berikutnya, membicarakan teks-teks yang ditulis dengan pena pada foto arsip di atas, memberi ‘kemungkinan’ adanya ‘intervensi’ terhadap arsip dalam bentuk gesekan jari-jari kita dengan goresan asli yang sudah tertera. Pada undangan Pameran Seni Grafis & Lukis, “Tri Arya”, teks subjek ‘yang diundang’ ditulis menggunakan pena. Gesekan-gesekan yang sering ditemukan pada arsip fisik ini menurut saya juga menjadi bagian dari nilai sejarahnya. Dari kejauhan, arsip undangan ini menampakan warna merah membias di sisi kiri halaman teks undangan, bias warna tersebut menyebar di beberapa titik. Tekstur kertas yang bergaris justru semakin kentara dengan adanya intervensi warna. Arsip ini saya pilih atas pertimbangan nilai dari gesekan dan sentuhan yang membekas dan membubuhkan warna dan kesan yang berbeda dari visual aslinya yang “terdesain”. Pada undangan digital yang saya akses melalui smartphone, tentu saja pengalaman menyentuh memiliki batas ruang yang dibentuk oleh ‘layar anti gores’. Undangan-undangan digital itu terlindungi dari intervensi publik. Berlindung di bawah naungan perkembangan teknologi yang meminimalisir interaksi sentuhan.

Dari serangkaian arsip yang terpilih, ditemukan beberapa pola lipatan yang seragam pada undangan-undangan yang dicetak dan dipublikasikan tahun 1998, yaitu pola lipatan tiga sisi. Gagasan metaforik tentang logika jendela yang tidak secara langsung menyajikan “isi” di dalam satu rumah. Proses membuka arsip undangan dengan pola lipatan ini satu per satu, dan menemukan beberapa undangan yang dikunci dengan lelehan lilin, menggugah asumsi saya tentang kecenderungan pertahanan atau usaha untuk melindungi “isi”. Proses ini membentuk keterhubungan antara saya ‘yang mengalami arsip’ dengan ‘realitas fisik arsip’. Berbagai abstraksi yang muncul di kepala saya saat mengaksesnya lewat sentuhan, memunculkan daya tarik-menarik yang membentuk relasi saya dengan arsip yang saya pegang. Fisik dari “arsip terdesain” terkadang juga berhasil mengintervensi kuasa saya sebagai ‘yang mengalami arsip’. Intervensi semacam ini tidak mudah saya dapatkan saat mengakses undangan digital; justru saya merasa menjadi pemain besar dengan kuasa penuh untuk melewatkan undangan yang tidak mencolok mata saya secara visual melalui aktivitas scrolling layar smartphone. Beragam ungkapan di atas saya dapatkan dengan “mengalami” arsip undangan secara fisik. Tak lepas dari pengalaman tersebut, banyak esensi yang belum bisa tersajikan lewat tulisan dan foto arsip. Memaknai ulang arsip sebagai tindakan reflektif sepertinya menjadi peluang besar dalam ‘keterbatasan’, juga memperluas perspektif dalam mencari ‘kemungkinan’ berada di antara. *

Berkas “Undangan-undangan 98”

Berkas “Undangan 98”

Dokumentasi “Mengalami Arsip” — melihat lebih dekat

Khazanah Pendukung

Khazanah Pendukung

Tesis (PhD) oleh Nayia Yiakoumaki
Jurnal Ilmiah oleh Anjas Alifah Bakry
Esai Ilmiah oleh Kathryn Harvey [Konten berbayar]

Tips: Silakan gunakan platform peretas semacam sci-hub untuk mengakses konten jurnal ilmiah berbayar! Gunakanah dengan bijak, dalam rangka mendukung kepentingan distribusi pengetahuan secara terbuka, pendidikan dengan akses yang bebas, dan bukan untuk kepentingan komersial.

4 Comments

  1. Nindityo Adipurnomo says

    … aah mbak IIkss, … terimakasih. Menarik sekali sajian pengalaman romantismu bergulat dengan sempitnya ruang-ruang di cemeti yang mulai didesak oleh ‘arsip-arsip harafiah lahiriah’ yang ternyata banyak mengundang cara mengusik rasa romantisme sebagai generasi yang bukan lagi ‘digital migran’, ya?
    Ada seniman segenarsi saya yang pasti masih tergolong sebagai (pinjam istilah dari Linda): digital migrant; namanya mas Nasirun, pelukis kondang di Jawa. Beliau punya cara sendiri dalam menegaskan respon romantiknya atas undangan-undangan acara kesenian yang diterimanya setiap. Jadi tidak ditata, ditumpuk dan apalagi didigitalkan secara latah, … tapi digambari dan dilukisi jadi sesuatu. Memang kemudian orisinalitas arsipnya menguap, atau teralihwahanakan menjadi dialog tersendiri. Lalu pasar seni rupa menjulukinya sebagai karya seni di atas post-card dan undangan. Saya pernah menerima satu dua biji dari beliau sebagai bingkisan. Dan beberapa waktu ini, semua koleksinya dipamerkan di galeri Salihara Jakarta.

    Liked by 1 person

  2. Pingback: Bergiat dengan Arsip di saat Pandemi | CEMETI

  3. Pingback: Stay Productive with Archive in Pandemic Situation | CEMETI

  4. Pingback: Mengalami Sentuhan dan Romantisisme Arsip Pilihan; Undangan ’98 – PILAU SARAYU

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.