16 Maret 2020, 15:00 WIB
Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat
Pembicara:
- Prashasti W. Putri, Seniman, anggota MILISIFILEM Collective
- Anggraeni Widhiasih, Seniman, anggota MILISIFILEM Collective
- Gatari Surya Kusuma, Peneliti Budaya, anggota KUNCI Study Forum & Collective
- Helly Minarti, Peneliti Budaya, Kurator, pendiri LINGKARAN | koreografi
Moderator:
Manshur Zikri, Manajer Artistik Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat
Pengantar
Ide proyek Ambangan berangkat dari spekulasi mengenai pengetahuan-pengetahuan ataupun metode-metode organik di luar radar pengetahuan Modernisme, yang berkembang dan bermutasi di masyarakat sejak dahulu. Keberadaan pengetahuan-pengetahuan itu kerap kali sulit dirumuskan jika menggunakan rasionalitas modern, dan hal itu membuatnya tak tepat pula untuk diletakkan pada salah satu zona yang sering dipertentangkan, entah pusat ataupun pinggiran. Karenanya, barangkali, mereka memang sesuatu yang ada pada zona antara, zona ambang. Mereka seperti ambang pintu, yang jika dilalui akan membawa suatu transformasi.
Dalam proyek ini, baik hal-hal yang berada di zona ambang tersebut maupun zona ambang itu sendiri, disebut “ambangan”. Dan sebagai suatu ambang bagi transformasi cara berpikir, diskusi ini pun hendak merefleksikan sejumlah pertanyaan untuk dielaborasi oleh para pembicara, antara lain:
Jika memang pengetahuan semacam itu ada, bagaimana cara kita memahaminya di hari ini? Dapatkah hal-hal yang biasanya dianggap “tidak rasional” itu dilihat atau dipahami sebagai suatu “bentuk rasionalitas yang lain” yang berada di luar bingkaian pengetahuan modern, dan bagaimana keberadaan hal-hal itu bisa berkontribusi dalam menanggapi krisis global di segala ranah saat ini? Bagaimana kemudian prinsip-prinsip tentang “komunalisme”, “kolektivisme”, atau gotong-royong, yang menjadi basis-basis gerakan kebudayaan di negeri kita — di mana sesama pegiat dapat saling meletakkan rasa percaya tanpa terjebak mekanisme struktural — dimaknai ulang sebagai bagian dari pengetahuan atau metode transformatif pada masa sekarang? Sebagai suatu ambang batas yang menentukan emansipasi manusia individual di tengah-tengah kepentingan bersama, apakah “kolektivisme” atau metode kerja berkolektif punya signifikansi bagi prakarsa estetika di dalam kesenian?
Pemateri Diskusi

ANGGRAENI WIDHIASIH dan PRASHASTI W. PUTRI
Berperan sebagai kurator untuk Proyek Seni Ambangan dari MILISIFILEM Collective, Prashasti W. Putri dan Anggraeni Widhiasih diharapkan dapat memaparkan latar belakang bingkaian proyek Ambangan, serta spekulasi yang coba dibicarakan lewat karya mereka yang menggunakan medium seni performans dan gambar (charcoal dan tinta di atas kertas dengan berbagai dimensi). Selain itu, kedua kurator juga diharapkan dapat berbagi pandangan ataupun pengalaman sebagai pegiat di platform MILISIFILEM Collective, terutama metode-metode kerja kolektif yang dikembangkan oleh platform tersebut dalam menyiasati kendala-kendala produksi dan distribusi pengetahuan secara merata. Bagaimana kemudian pengembangan-pengembangan tersebut disikapi sebagai suatu tanggapan mengenai ide “ambangan” itu sendiri, serta relevansinya dalam perdebatan mengenai wacana tanding terhadap rezim pengetahuan mapan (modern)?

GATARI SURYA KUSUMA
Gatari merupakan salah seorang pegiat yang aktif di KUNCI, sebuah lembaga yang kerap bereksperimen dengan metode produksi dan berbagi pengetahuan melalui aktivitas belajar bersama-sama yang dibentuk oleh persilangan antara kerja-kerja afektif, manual, dan intelektual. Bersama Bakudapan—kelompok belajar yang fokus pada isu makanan—Gatari juga kerap melakukan riset-riset mengenai pengetahuan-pengetahuan lokal dan narasi-narasi kecil yang mengiringi isu seputar makanan. Isu dielaborasi dengan pendekatan dua arah dan sama rata antaranggota kelompok. Selain itu, sebagai anggota KUNCI, Gatari tentunya juga bersinggungan dengan platform Sekolah Salah Didik (diinsiasi oleh KUNCI) yang memiliki perhatian untuk mempertanyakan ulang makna “ruang kelas” (ruang belajar) dan berupaya memeriksa ulang makna
otoritas dalam rezim pengetahuan yang sudah ada. Ia juga pernah melakukan riset independen mengenai salah satu platform di Forum Lenteng, yaitu 69 Performance Club, yang menerapkan metode yang sama dengan MILISIFILEM Collective dalam hal manajemen belajar-mengajar.
Dengan latar belakang tersebut, Gatari Surya Kusuma diharapkan dapat memaparkan pandangan kritis mengenai gagasan “belajar berbasis pengalaman bersama”, serta elaborasinya mengenai ide “ambangan” yang dibingkai oleh dua kurator dari MILISIFILEM Collective tersebut.

HELLY MINARTI
Jika memang eksistensi “pengetahuan di luar” Modernitas dapat saling berdampingan dengan “pengetahuan Modern” sehingga keduanya menciptakan suatu modifikasi atau mutasi gagasan dan praktik yang bisa diadaptasi, agaknya di dalam hubungan kedua pengetahuan itu juga terdapat suatu area “antara” yang perlu mendapat perhatian kita. Demikianlan, dalam kerangka ide Proyek Seni Ambangan ini, hal-hal yang berada di zona antara itu memiliki suatu kemungkinan atau potensi untuk menanggapi situasi aktual dari medan kesenian hari ini. Spekulasi itu direalisasikan oleh MILISIFILEM Collective dalam bentuk seni performans berdurasi 72 jam, berupa aktivitas produksi gambar besertaan dengan aksi men-display gambar-gambar itu di ruang galeri, sebagai penampilan utama pada karta seni performans mereka. Sebagai salah seorang
pakar yang menggeluti perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni tari di Asia, dan juga banyak terlibat dalam proyek-proyek kolaboratif dalam kerangka kerja kuratorial dan studi dramaturgi, Helly Minarti diharapkan dapat memperkaya khasanah dan mengelaborasi aspek-aspek polemis dari gagasan yang ditawarkan dalam Proyek Seni “Ambangan” ini, yang direalisasikan dalam bentuk seni performans (performance art). Diskusi ini, tentunya, akan menjadi menarik karena karya seni performans akan dielaborasi lewat kerangka kerja riset kolektif dan sudut pandang seni pertunjukan secara umum. Terutama kaitannya dengan isu tentang perdebatan mengenai potensi “pengetahuan-pengetahuan timur” yang tak sedikit dianggap dapat menjadi jawaban bagi krisis global yang terjadi sekarang ini, tatkala segala hal yang berbau Modernisme mulai dianggap “gagal” (sehingga berbuntut pada munculnya wacana Posmodernisme—yang belakangan pun “diragukan” juga).
Mengingat penelitian doktoral-nya mengenai wacana seni tari modern dan kontemprer di Asia, yang menggunakan konsep “Modernisme Alternatif” sebagai pisau analitik, dalam rangka memetakan “Asia” sebagai kerangka berpikir terhadap kerja-kerja kuratorial dan pewacanaan, forum diskusi ini mengharapkan Helly juga akan memaparkan poin-poin kunci dalam mamahami imajinasi atau spekulasi tentang “wacana tandingan” terhadap rezim pengetahuan mapan (bagaimana kita merumuskan pengetahuan selain bergantung pada wacana Modernisme?); dan tentang potensi-potensi pengetahuan lokal; serta juga membentangkan sedikit hasil pemetaan tentang gejala-gejala umum/global yang terjadi sehubungan dengan perkembangan gagasan-gagasan semacam itu di ranah gerakan kebudayaan lainnya di luar Yogyakarta ataupun Indonesia.








Dokumentasi foto Diskusi Tertutup Presentasi Proyek Seni Ambangan, 17 Maret 2020, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat. (Foto: Muhammad Dzulqornain)