"Diskusi", Ingatan Bergegas Pulang

Diskusi Panel “Ingatan Bergegas Pulang”

English | Indonesia

Bagaimana kita mesti melihat kesenian hari ini? Bagaimana seniman muda, khususnya di Indonesia, memaknai dua terma yang sering digunakan secara bergantian—dan bahkan kerap pula dipertentangkan dengan keliru konteks—yaitu “seni modern” dan “seni kontemporer”? Mungkinkah kita melihat keduanya sebagai kerangka berpikir yang dapat saling melebur, daripada sekadar soal metode, medium, dan pendekatan yang berbeda, sebagai usaha untuk melebarkan jangkauan seni dalam membingkai beragam persoalan sosial yang ada?

Mengambil format simposium berisi dua pidato kunci dan tiga panel; menghadirkan sejumlah pembicara yang dianggap penting dalam skena seni rupa dan ilmu-ilmu sosial, acara ini merupakan bagian dari proyek Ingatan Bergegas Pulang dalam rangka meluaskan pembicaraan kita mengenai praktik kesenian para seniman muda hari ini. Berangkat dari karya-karya Suvi Wahyudianto yang dipamerkan dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Ingatan Bergegas Pulang itu, simposium ini mencoba memetakan preferensi, wawasan, fokus-fokus isu, ragam ekspresi, orientasi, kecenderungan gaya ungkap, dan model-model dari upaya penemuan estetika baru oleh perupa kontemporer. Dengan melibatkan para pembicara dari berbagai bidang, antara lain seniman, kurator, dan peneliti sosial, simposium ini juga bertujuan untuk meninjau cara pandang baru terhadap praktik “seni modern” (khususnya, lukis) dan berbagai kemungkinan yang mengiringinya hingga tetap relevan dengan perkembangan mutakhir, baik dalam lingkup disiplin seni rupa sendiri maupun dari disiplin-disiplin lain di luarnya. Selain itu, simposium ini juga akan meninjau kembali rumusan tentang istilah dan praktik dari “seni berbasis riset” yang agaknya sudah cenderung menyita perhatian para pegiat seni sekarang dalam mengimajinasikan perluasan cakupan seni sebagai hal yang—diharapkan harus—memiliki dampak nyata terhadap kehidupan sosial kita.


RANGKAIAN SIMPOSIUM

– Rabu, 15 Januari 2020 |14:30 – 17:30 WIB

Tema 1
Konteks Seni Rupa di Ranah Lainnya: Seni sebagai Media Autoetnografi dan Rekonsiliasi

  • Pembacaan Puisi: Suvi Wahyudianto
  • Pidato Kunci: Stanislaus Sunardi (Ilmuwan, Akademisi IRB Universitas Sanata Dharma)

ST Sunardi diharapkan dapat berbicara autoetnografi sebagai strategi penciptaan. Kemungkinan pertama membaca karya-karya Suvi dalam kerangka autoetnografi, kemungkinan kedua membicarakan autoetnografi sebagai perangkat dalam penciptaan. Keduanya bisa dengan memberikan contoh-contoh yang sudah ada, serta kemungkinan-kemungkinan perluasan atas kerja autoetnografi dalam kesenian. Uraian ini juga diharapkan dapat dielaborasi dengan mengaitkan pandangan teoretik mengenai psikoanalisis, sebagai upaya untuk menganalisa lebih jauh relasi antara penjelajahan diri (fisik dan psikologis) dan pengalaman “kehilangan”, “kekerasan”, trauma, serta narasi-narasi konflik yang menentukan persepsi dan perilaku sosial yang dialami tubuh, yang mana keterkaitan antara keduanya dapat merefleksikan pengalaman-pengalaman yang terfragmentasi yang sesungguhnya juga terhubung dengan peran-peran individu (atau kelompok) yang dikondisikan secara sosial.

  • Panel 1: “Seni Rupa, Autoentografi, dan Rekonsiliasi”

Pembicara:

Anne Shakka (Penulis, Peneliti PUSdEP-IRB, Universitas Sanata Dharma)
Diah Kusumaningrum (Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada)

Moderator:

Muhammad Abe (Penulis, Peneliti, Sejarahwan, Aktor)

Deskripsi Panel:
(Deskripsi ini ditulis oleh moderator diskusi, Muhammad Abe)

Suvi Wahyudianto pada tahun 2019 berkesempatan mengunjungi Kalimantan Barat sebagai bagian dari program Residensi Rimpang X Kelana yang diinisiasi oleh Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dan Biennale Jogja. Dalam kesempatan residensi di Pontianak, Suvi yang lahir dan besar di Madura, berbekal dengan beberapa kliping berita berkaitan dengan konflik etnis yang terjadi Kalimantan Barat pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an, berusaha mengunjungi lokasi-lokasi konflik yang tercatat dalam arsip berita yang sempat ia kumpulkan.

Selama sebulan di Pontianak, Suvi berhadapan dengan situasi-situasi yang menjadi turunan dari konflik etnis Madura, Melayu, dan Dayak yang masih memengaruhi kehidupan di Kalimantan Barat. Suvi mencontohkan, ada beberapa wilayah yang masih terlarang bagi orang-orang Madura—salah satunya adalah Sampang, salah satu titik konflik terpanas. Suvi dapat masuk ke wilayah-wilayah yang terlarang tersebut dengan menyamarkan identitasnya sebagai orang Madura, serta dengan perlindungan orang-orang Melayu dan Dayak yang bersedia membantu risetnya.

Karya-karya pameran tunggal Suvi Wahyudianti di galeri Cemeti bersumber pada pengalamannya selama residensi yang ia tautkan dengan pertumbuhannya sebagai lelaki Madura yang lekat dengan simbol-simbol budaya Madura yang patriarkal. Suvi melihat, dalam narasi-narasi konflik etnis yang ia temukan, ada semacam glorifikasi pada budaya patriarkal tersebut. Pameran tunggal Suvi kali ini menjadi refleksi atas narasi-narasi tentang “kehilangan” dan “pulang”. Bagi Suvi, semua pihak adalah korban atas konflik etnis yang berkepanjangan.

Dalam berkarya, Suvi menggunakan dua lapis pembacaan dari data-data yang ia kumpulkan. Lapis pertama, metode pembacaan yang ia gunakan adalah autoetnografi, yang ia gunakan untuk merefleksikan bagaimana konflik Madura pada akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an itu berpengaruh pada pertumbuhan dirinya, misalnya pada tahun 1999 di Madura terjadi mati lampu tiga bulan bersamaan dengan salah satu momen puncak konflik etnis di Kalimantan. Lapis pembacaan kedua—yaitu tawaran yang saya ajukan sebagai salah satu peneliti yang mendampingi proses Suvi dalam persiapan pameran—adalah “performance studies” yang secara serampangan dapat diartikan dengan melihat budaya sebagai perwujudan simbol-simbol yang dipertunjukkan. “Performance studies” ini memberikan pilihan bagi Suvi untuk “mempretheli” konstruksi satu simbol budaya, sehingga ia punya keleluasan untuk menempatkan suatu simbol dalam konteks yang berbeda, semacam strateginya untuk menghadirkan dirinya dan pendapatnya.

Suvi tidak menggunakan “autoetnografi” maupun “performance studies” sebagai sesuatu yang terpisah. Bagi Suvi, pameran ini menjadi sarana baginya untuk mengulik perasaan “kehilangan” yang ada di dalam semua orang, ia berusaha melampaui batasan-batasan simbol budaya etnik yang ada untuk menyampaikan hal tersebut. Diskusi panel yang mengiringi pameran Suvi Wahyudianto kali ini bertujuan untuk menjadi refleksi atas pameran tunggal Suvi Wahyudianto yang tidak secara langsung berangkat dari karya-karya yang dihadirkan dalam pameran, namun melalui tatapan yang lain atas metode penciptaan yang digunakan Suvi.

Anne Shakka: “Metode Autoetnografi dalam Penciptaan”

Anne diharapkan dapat memberikan tatapan bagaimana autoetnografi digunakan dalam penelitian-penelitian budaya. Terutama, bagaimana autoetnografi bisa menjadi strategi untuk menyuarakan narasi-narasi alternatif yang barangkali bisa menghadirkan persepsi yang berbeda dari persepsi umum yang beredar.

Diah Kusumaningrum: “Performance dan Performativity dalam Perdamaian di Ambon”

Diah diharapkan dapat memberikan tatapan tentang bagaimana melihat proses perdamaian yang diusahakan pemerintah dan proses perdamaian yang secara organik terjadi di masyarakat; keduanya terjadi di Ambon dalam kurun waktu yang kurang lebih sama dengan terjadinya konflik etnis di Kalimantan. Memberikan gambaran tentang performance dan performativity pada tingkat kehidupan sehari-hari; bagaimana metodologi performance studies dapat digunakan dengan nalar kritis untuk membongkar konstruksi simbol-simbol budaya.

  • Pembacaan Puisi Suvi Wahyudianto: Muhammad Abe dan Eka Nusapartiwi

– Kamis, 16 Januari 2020 l 14:30 – 17:30 WIB

Tema 2
Praktik Seni sebagai Praktik Pemberdayaan Diri dan Masyarakat

  • Pidato Kunci: Alia Swastika (Kurator, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta)

Alia Swastika diharapkan dapat memberikan pandangan-pandangan visioner tentang praktik artistik/kesenian—terlepas dari batasan-batasan yang ada—sebagai salah satu cara untuk merealisasikan aksi pemberdayaan, baik dalam konteks pemberdayaan diri (individu) maupun masyarakat secara umum. Di sisi yang lain, juga tentang bagaimana “pemberdayaan seni” dibingkai sebagai suatu kerangka berpikir, pendekatan, dan metodologi sambung hati antarsubjek di dalam masyarakat; sebagai suatu modus dan motif yang mampu menghilangkan jarak, ketimpangan sosial, serta indiskriminasi. Melalui kerangka ini, seni sebagai metode pemberdayaan menjadi suatu titik berangkat untuk mengimajinasikan temuan-temuan baru di dalam konteks bahasa artistik, estetika, dan model komunikasi yang relevan bagi masyarakat itu sendiri.

  • Panel 1: “Melihat Arah Praktik Berkesenian Perupa Muda Hari Ini

Pembicara:

Sigit Pius (Seniman)
Suvi Wahyudianto (Seniman)

Moderator:

Umi Lestari (Kritikus, Akademisi Universitas Multimedia Nusantara)

Deskripsi Panel:

Dalam bentuk diskusi santai, bercakap-cakap antar pembicara yang merupakan seniman dari dua generasi berbeda, panel ini mencoba membongkar arah praktik—termasuk di dalamnya landasan ideologis, pilihan medium dan gaya ungkap, serta pendekatan dan metode bingkaian artistik—seniman hari ini. Dengan mengesampingkan perbedaan usia dan kekhasan generasi masing-masing, Suvi Wahyudianto akan diajak berbincang dan bertukar pikiran oleh Umi Lestari (moderator), mengenai praktik kesenian yang selama ini ia lakukan dan kembangkan. Sementara itu, Sigit Pius, dengan tetap dipandu oleh moderator, akan berperan sebagai penanggap atas perbincangan tersebut.

Diskusi saling berbagi pengalaman dan sudut pandang dalam melihat praktik produksi karya, serta usaha-usaha pengembangan dan penemuan estetika seni rupa ini, diharapkan dapat menawarkan topik pembicaraan dan kerangka berpikir yang segar, sekaligus memicu inspirasi baru dalam menyikapi progresivitas seni di masyarakat, baik dalam kaitannya dengan bagaimana kita semestinya mengembangkan wacana seni kontemporer maupun dalam konteks bagaimana kita menguatkan kepekaan terhadap sejarah perkembangan seni rupa itu sendiri sebagai panduan bagi penciptaan capaian-capaian mutakhir di hari ini dan masa depan.

  • Panel 2: “Seni Berbasis Riset” Penelitian Artistik dan Praktik Seni Lukis di Mata Perupa Muda

Pembicara:

Ayos Purwoaji (Kurator)
Arham Rahman (Kurator)

Moderator:

Manshur Zikri (Kurator, Manajer Artistik Cemeti)

Deskripsi Panel:
(Deskripsi ini ditulis oleh moderator diskusi, Manshur Zikri)

Memprovokasi pengertian—atau cara baru dalam memahami—keterkaitan antara seni dan penelitian, panel ini akan mengulas kemungkinan-kemungkinan paling jauh—sejauh yang bisa diimajinasikan para pembicara—dari praktik-praktik “penelitian artistik” yang kerap kali menjadi dasar bagi pengemasan suatu rangkaian kerja/produksi karya seni, peristiwa seni, dan keluaran-keluaran tekstual/nontekstual yang mengiringinya. Para pembicara diharapkan dapat berbagi pandangan personal mereka berdasarkan fokus bidang kurasi/penelitian dan gaya kerja mereka masing-masing, dalam rangka meninjau kembali pemahaman yang telah cukup lama melekat pada model-model praktik yang selama ini acap dikategorikan sebagai “seni berbasis riset”. Secara khusus, panel ini juga akan membahas relevansi seni lukis—suatu kategori praktik artistik yang tampaknya kian tak populer di mata kawula muda—dalam perkembangan aktual seni di Indonesia sekarang. Dapatkah kita merumuskan progresivitas tertentu dari bidang itu dan menemukan signifikansi—atau menempatkannya secara tepat hingga menjadi signifikan—di dalam dinamika kebudayaan generasi millennial dan seterusnya?