
TAHUN 1999, 20 tahun lalu, Madura mengalami mati lampu total selama tiga bulan. Ketika itu Suvi masih berusia belia, masih duduk di bangku sekolah dasar. Suvi masih ingat bagaimana “kegelapan” menaungi seluruh Madura. Ia dan keluarganya harus mengungsi dari rumahnya ke Balai Desa di Bangkalan, di sana ia tinggal bersama keluarga-keluarga lain, sementara para lelaki dewasa harus berjaga di desa masing-masing, menjaga desanya dari ancaman “ninja” yang menyasar para tokoh agama di Madura. Di saat yang sama dengan peristiwa mati lampu tiga bulan di Madura, di Kalimantan konflik antar etnis yang melibatkan para migran dari Madura mulai berkobar.
Pada saat di bangku sekolah dasar, Suvi mulai bertemu dengan anak-anak penyintas konflik yang diungsikan pulang ke Madura, Suvi berada di kelas yang sama dengan seorang anak dari Kalimantan yang punya bekas luka di tubuhnya. Saat Suvi duduk di bangku sekolah menengah pertama, informasi mengenai konflik di Kalimantan bertambah melalui pengalamannya menonton rekaman kejadian-kejadian konflik lewat media VCD player yang ia tonton bersama rekan-rekannya di ruang keluarga. Bagi Suvi konflik etnis di Kalimantan diketahui dalam potongan-potongan informasi yang tidak lengkap. Tahun 2019 ini, Ia punya kesempatan untuk mengunjungi Pontianak, dengan berbekal sepotong berita Tempo dari beberapa belas tahun lalu. Di Pontianak ia bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, mengunjungi tempat penampungan orang-orang Madura yang terusir dari Sambas, berinteraksi dengan seniman dari berbagai latar belakang etnik. Suvi kemudian sempat diantar oleh orang-orang Dayak ketika melakukan kunjungan singkat ke Sambas, tempat yang hingga kini masih “terlarang” bagi orang-orang Madura.
Pengalaman Suvi berada di dalam “ketegangan” baik secara langsung ia alami sendiri, maupun yang ia alami lewat media lain, adalah pemicu bagi Suvi untuk berkarya. Strategi berkarya Suvi adalah merekam “ketegangan” tersebut dalam bentuk puisi, yang ia kerjakan seperti seseorang membuat catatan harian. Puisi-puisi Suvi berangkat dari menjadi semacam perantara yang menghubungkan antara data, peristiwa di luar dirinya dengan ingatan-ingatan yang berada di dalam dirinya.
Karya-karya Suvi membicarakan banalnya peristiwa kekerasan dalam sudut pandang yang puitis. Pada proses kali ini Suvi mencoba melengkapi pengetahuannya tentang konflik etnik di Kalimantan dengan berbagai macam literatur, yang berujung pada ketidaklengkapan pengetahuan tentang apa yang menjadi akar konflik, atau apa yang sesungguhnya terjadi dalam konflik tersebut. Ketika ia mengunjungi situs-situs konflik, yang ia temukan adalah luka dan kehilangan yang berkepanjangan.
Untuk memahami apa yang terjadi pada konflik etnik di Kalimantan, Suvi memilih untuk menziarahi ingatan-ingatannya, peristiwa-peristiwa personal yang ia alami sebagai jalan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan untuk mendedahkan narasi baru tentang konflik tersebut.
Bahasa visual Suvi yang padat dan tajam membantunya untuk dapat berbicara banyak dengan visualisasi yang hemat. Karya- karya Suvi dengan latar belakang lanskap yang luas tidak menghadirkan ornamen-ornamen penghias, Suvi cukup menempatkan satu-dua obyek di tengah lanskap tersebut sebagai fokus yang tajam. Hal ini barangkali berakar pada kebiasaannya untuk merekam peristiwa sebagai puisi, yang membuatnya terbiasa memilih metafora-metafora yang tajam dan kuat untuk mewakili “ketegangan” yang ia alami. Kekuatan visual Suvi membuat karyanya yang meskipun bentuknya barangkali sederhana, tapi bisa “luber” dalam pembacaannya, seekor bangkai sapi yang membusuk dalam karya Suvi dapat berbicara banyak sekali hal, yang ulang-alik antara konflik etnik di Kalimantan, pengalaman personal Suvi, atau budaya maskulin Madura.
Karya menjahit kertas, yang secara visual sangat hemat, namun sangat efektif dalam menyampaikan banyak hal yang berkelindan di baliknya, merupakan cara Suvi untuk menceritakan dirinya dan “ketegangan-ketegangan” mengenai luka dan kehilangan yang ia alami di luar dirinya. Dua karya tersebut bisa menjadi contoh bagaimana Suvi bicara secara subtil melalui idiom-idiom yang ia pilih sebagai metafor, yang halus namun menukik dalam pada elemen-elemen yang ia temukan sebagai simpul yang menautkan dirinya dan konflik etnik Madura sehingga dapat membuka pembicaraan tentang kemanusiaan yang lebih luas.
Melalui pameran tunggalnya, Suvi berkesempatan untuk “pulang” pada ingatan-ingatan dari masa lalunya. Ingatan-ingatan yang selama ini “menghantui,” seakan ada hal-hal yang belum pernah selesai dibicarakan. Jika seni rupa hari ini berusaha memenuhi kanvas dengan warna-warni nilai-nilai estetis, maka Suvi memilih untuk bercerita dengan cara yang paling sederhana, melalui gambar yang menjadi ekstensi dari pengalaman tubuhnya. Dalam gambar yang sederhana tersebut, karya Suvi justru dapat “luber” berbicara bukan hanya tentang dirinya atau etnisitasnya, tapi lebih jauh lagi berbicara pada tentang soal-soal kemanusiaan yang universal.