"Pameran", Residensi 2019 #2

Pameran Seniman Residensi Periode #2 2019

Daftar Isi

English | Indonesia

DAFTAR ISI
Teks Pengantar | Foto Karya | Dokumentasi Pembukaan | Biografi Seniman

Teks Pengantar

Pameran & Presentasi

Seniman Residensi Periode #2 2019

Chu Hao Pei, Dhanny Sanjaya, Sophie Innmann

22 – 30 November 2019
Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta

Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat melanjutkan sambil meninjau ulang program residensi yang telah dirintis sejak tahun 2006 dengan mengembangkan gagasan pokok dalam menciptakan keterhubungan antara seni dan masyarakat. Program residensi Cemeti mendorong sebuah proses terbuka bagi seniman residensi untuk mengelola dan mengembangkan gagasan karya, melakukan penelitian artistik dan pertukaran pengetahuan, serta menghubungkan seniman dengan berbagai jejaring lokal yang mendukung kerja-kerja kolaboratif. Selama tiga bulan, seniman residensi merasakan nuansa ruang interaksi baru dan penjelajahan medan sosial bersama tim kerja Cemeti. 

Mulai bulan September hingga November 2019, Cemeti mendampingi tiga seniman residensi, yaitu Chu Hao Pei (Singapura), Dhanny Sanjaya (Indonesia), dan Sophie Innmann (Jerman). Program Residensi Seniman Cemeti, periode #2 2019 ini diselenggarakan oleh Cemeti bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesia dan National Art Council Singapura. 

Melanjutkan rangkaian risetnya yang berawal dari koneksi antara agama/kepercayaan dan lingkungan, pada risetnya kali ini Chu Hao Pei mengeksplorasi hubungan antara agama dan pertanian di bawah konteks sistem kepercayaan Jawa – Kejawen. Namun, selama proses penelitian, ia menemukan banyak ritual tradisional dan pemujaan terhadap Dewi Padi (Dewi Sri) semakin berkurang atau mulai dikenalkan kembali. Putusnya tradisi ini, kemungkinan besar, disebabkan oleh pergeseran kebijakan negara Indonesia menuju pertanian dan distribusi terpusat, yang kebetulan dimulai, dengan kebangkitan Revolusi Hijau selama era 60-an hingga 80-an, dengan diperkenalkannya benih padi yang dimodifikasi secara genetis di Indonesia. Bersama dengan dinamika keagamaan dan pengenalan teknologi modern dalam masyarakat Indonesia saat ini, hubungan antara petani lokal dan sistem kepercayaan masyarakat adat, yang dulunya melekat erat dalam gaya hidup pertanian mereka, kini semakin jauh terpisah.

Berangkat dari ketertarikan pada tema kekosongan laut di masa depan, Dhanny ‘Danot’ Sanjaya mencari kemungkinan baru dengan melihat persoalan ini dalam kerangka situasi lokal di Yogyakarta. Isu-isu tentang perikanan baik di laut dan budidaya diikutinya, hingga ia bertemu dengan Irwanjasmoro, seorang aktivis sungai independen yang membawanya pada beberapa eksplorasi sungai untuk melihat realita yang lain. Danot melihat permasalahan lain tentang ikan lokal yang juga terkait erat dengan berbagai praktik tidak sehat yang dilakukan di sungai, seperti teknik pemancingan dengan racun dan listrik, serta pencemaran dari limbah dan sampah yang dapat menghancurkan ekosistem sungai. Satu hal yang menarik untuknya secara pribadi adalah adanya persaingan antar spesies ikan di dalam satu ekosistem sungai. Berbagai cerita dan data yang Danot temukan, ia pergunakan sebagai landasan dalam membangun narasi karya, di mana ia menarik isu kekosongan ikan di laut ke cerita tentang sungai dan pola konsumsi masyarakat lokal. Dua lanskap persoalan ini kemudian ia jahit ke dalam sebuah fiksi penemuan teknologi pangan terbaru bernama ‘cultured meat’, menawarkan potongan daging yang ditumbuhkan dari sel-sel hewani di laboratorium, tanpa perlu menyembelih.

Selama tinggal di Jogja, Sophie Innmann mengembangkan intervensi partisipatif di mana ia menampilkan dirinya di beberapa lokasi yang sering dikunjungi orang di dalam dan sekitar kota Jogja. Di lokasi-lokasi tersebut ia menantang orang-orang untuk menonton aksinya, di mana sebaliknya ia sendiri juga menonton orang-orang yang menonton aksinya. Gagasan ini diberangkatkan dari pengalaman pribadinya ketika bergerak di ruang publik, tentang keaktifan dan kepasifan, lebih tepatnya, gagasan tentang pengamatan. Selanjutnya, Sophie menciptakan beberapa gagasan dan workshop untuk anak SMA yang diberangkatkan dari pembacaan atas ketergantungan pada telepon pintar dan internet di dalam kehidupan sehari-hari; ke arah fokus mengenai berbagai aspek terkait dengan jumlah energi internet yang dikonsumsi saat ini, penggalian data dan penyalahgunaan data; hilangnya kemampuan pribadi dan sosial serta eksploitasi tenaga kerja. Dia juga melanjutkan proses kerja sebelumnya untuk mengeksplorasi berbagai metode menciptakan lukisan-otomatis dari penggunaan berbagai kondisi yang berbeda yang mempengaruhi hasil lukisan dengan membuat perangkat lukisan durational di atap, menggunakan paparan sinar matahari langsung sebagai alat untuk memproses pewarnaan terbalik.

Kembali ke Daftar Isi


Foto Karya

Foto Karya

“Mbok Sri Mulih
Chu Hao Pei

Tanaman padi dalam gelas plastik bekas, kandang bambu, tali, potongan kertas, pasrean, struktur bambu, sabit, jerami kepang, video pada kain

“Petrifish 2019”
Dhanny Sanjaya

Instalasi media campuran

“action recorded”
Sophie Innmann

Kertas, debu, foto

“automatic painting”
Sophie Innmann

Kain, ban bekas, batu bata, paparan sinar matahari selama 36 hari

“GoArtist”
Sophie Innmann

ponsel, sepeda motor, helm, jaket, lencana, meja pendaftaran, poster, foto, peta, kartu nama, stiker, unggahan di Instagram

Penantian telah berakhir! Saksikan peluncuran GoArt di dunia, layanan Gojek baru! Saya akan datang ke tempat Anda dan membuat karya seni untuk Anda. Layanan saya mencakup berbagai media, dan karya seni akan disesuaikan untuk tempat Anda serta keinginan pribadi Anda. Tak ada lagi pembukaan di galeri yang penuh sesak, tak ada lelang seni yang menegangkan, pesan saja pada seniman secara pribadi! Mendapatkan karya seni baru tak pernah semudah itu…

“groundhog day”
Sophie Innmann

Dinding, meja, kursi, noda, kain lap, foto

“kepala kelapa coconut head”
Sophie Innmann

Rantai besi, pelepah bambu, kode Wifi bermerek, kelapa, lilin, performance, helm sepeda motor

Internet memakan jiwa kita. Internet membakar hutan kita. Internet membuat kita aman dari tumbuh dewasa. Internet membuat kita bahagia. Internet adalah hal terbaik di dunia.

Semangat kita meningkar dari kelapa-kelapa ke heterotopia Internet, seorang teman pembohong yang membuat kita percaya bahwa dia ada semata-mata untuk keuntungan kita, untuk hiburan kita, untuk godaan kita, yang terbaik untuk kita. Kita memberinya makan dan sebagai gantinya kita disalahgunakan. Kita tidak mengkonsumsi Internet, Internet mengkonsumsi kita. Algoritma memanipulasi perilaku kita, memilih untuk kita apa yang akan kita lihat atau tidak lihat. Apakah peran Anda masih ditentukan dari motivasi dalam diti atau apakah itu ditanam oleh mesin, algoritma atau perusahaan di baliknya?
Aoakah Anda menguasai diri sendiri?

“Mata² Alun²”
Sophie Innmann

Kursi plastik, payung tenda, kartu pos, T-shirt, unggahan di Instagram

Siapa memperhatikan siapa?
Lokasi 1 : Alun-alun
Lokasi 2 : 0km
Lokasi 3 : Alun-alun
Lokasi 4 : Pasty
Lokasi 5 : Sambisari
Lokasi 6 : Prambanan

“sama-sama”
Sophie Innmann

Video, kipas angin, daun pisang, kayu, batang logam, pita plastik

“tie-dye reloaded”
Sophie Innmann

Kain, tali, tali rafia, paparan sinar matahari selama 16 hari

“why so serious”
Sophie Innmann

Tanah liat dilemparkan ke dinding, video

Exhibition View

Kembali ke Daftar Isi


Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi foto Pembukaan Pameran & Presentasi Seniman Residensi Periode #2 2019, 22 November 2019, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat. (Foto: Muhammad Dzulqornain & Ika Nurcahyani)

Kembali ke Daftar Isi


Biografi Seniman

Biografi Seniman (dalam urutan abjad)

Chu Hao Pei (Singapura)

Chu Hao Pei memulai praktiknya dengan menekuni secara formal Media Interaktif di School of Art, Design & Media (ADM) in Nanyang Technological University, Singapura. Praktik seninya menunjukkan lanskap ekologis, sosial, dan perkotaan yang terus berubah. Dengan menjalin dokumentasi dan intervensi sebagai strategi, ia mengeksplorasi konflik dan ketegangan yang timbul dari intervensi negara terhadap alam dan budaya. Baru-baru ini, ia mengembangkan proyek atas minatnya mengenai hubungan sifat manusia dalam konteks agama dan efek sosial dalam komunitas lokal. Memperluas penelitiannya tentang hubungan praktik keagamaan dalam konservasi alam, dalam residensi ini, ia akan melihat peran kepercayaan asli Jawa, Kejawen, dan relasinya dengan kemunculan praktik pertanian perkotaan baru-baru ini.

Dhanny Sanjaya (Indonesia)

Dhanny ‘Danot’ Sanjaya menyelesaikan studi Desain Komunikasi Visual di Universitas Pelita Harapan, Tangerang Indonesia. Ketertarikannya pada isu masa depan bumi, baik pemanasan global, kenaikan permukaan laut, sampai pada ancaman hilangnya jutaan spesies di masa depan, membuat Danot menciptakan  Ichthyhumanology Institute; sebuah lembaga fiksi yang menyajikan studi tentang hubungan alami antara manusia, ikan dan laut. Danot menawarkan metode penelitian sebagai media untuk melihat ulang bagaimana kita memposisikan diri dengan lingkungan dan organisme lain. Dalam residensi ini, Danot tertarik untuk memperluas risetnya, melihat kemungkinan baru yang dapat terjadi dengan adanya kekosongan stok ikan di masa depan, membayangkan dunia tanpa stok ikan yang memadai, serta bagaimana rupa kehidupan di bumi saat hari itu datang.

Sophie Innmann (Jerman)

Sophie Innmann meraih gelar dalam bidang Seni Rupa dari Staatliche Akademie der Bildenden Künste Karlsruhe pada 2014, sebagai Meisterschülerin dari Prof. Leni Hoffmann. Praktik seninya ditandai oleh instalasi khusus dan intervensi yang didasarkan pada pengamatan ruang dan tindakan manusia yang menciptakan pengalaman kita sehari-hari, dan yang dia transfer sebagai konsep yang mendasari pengaturan eksperimental partisipatoris dengan hasil yang terbuka. Residensinya kali ini  bertujuan untuk menguraikan kemungkinan cara membuat imaji berdasarkan pada aktivitas manusia. Karyanya telah ditampilkan secara internasional dalam beberapa pameran tunggal dan kelompok dan dia telah dianugerahi beberapa residensi dan beasiswa.

Kembali ke Daftar Isi

This entry was posted in: "Pameran", Residensi 2019 #2

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.