Lokasi: Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat
Tanggal: 17 – 31 Oktober 2019
Jam: 19:00 – 17:00
Daftar Isi RN X RK
DAFTAR ISI
Teks Pengantar | Foto Karya | Dokumentasi Pembukaan | Biografi Seniman

Teks Pengantar
Presentasi Proyek Seni
Rimpang Nusantara X Residensi Kelana
Seniman
Arif Setiawan (Pontianak)
Cut Putri Ayasofia (Aceh)
Ferial Afiff (Yogyakarta)
Ipeh Nur (Yogyakarta)
Rahmadiyah Tria Gayathri (Palu)
Syamsul Arifin (Madura)
Suvi Wahyudianto (Madura/Yogyakarta)
Tajriani Thalib (Mandar, Sulawesi Barat)
Pembukaan Pameran
Kamis, 17 Oktober 2019, 19.00 WIB
Diisi dengan Pertunjukan “Museum Kapal” oleh Syamsul Arifin (Madura)
Pertunjukan
Senin, 21 Oktober 2019, jam 19.30 WIB
– “Air Mata Kaki” oleh Arif Setiawan (Pontianak)
– Lab-Aransemen “Pekerti Padi” oleh Tajriani Thalib (Mandar, Sulawesi Barat), berkolaborasi dengan Purwanto dan Silir Pujiwati
Seniman Wicara
Selasa, 29 Oktober 2019, jam 19.00 WIB
Program Rimpang Nusantara dan Residensi Kelana menjadi titik temu dari gagasan dua lembaga Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, dan Yayasan Biennale Yogyakarta untuk melihat Indonesia tidak dalam kerangka kota-Kota pusat seni, melainkan bergerak dan menyingkap narasi-narasi di titik-titik lain, terutama yang terhubung dengan khatulistiwa. Program ini merupakan upaya untuk saling memandang dan mengalami konteks-konteks budaya dan cara hidup yang berbeda, yang diharapkan dapat menghadapkan seniman pada titik balik diskursus kreatif yang berbeda dari proses kerja sebelumnya, selain juga menjadi bagian untuk bekerja dengan isu-isu yang berada di luar arus Utama.
Sepanjang 2019, Lima seniman dari lima daerah yaitu Aceh, Pontianak, Palu, Mandar dan Madura saling berjumpa dan berbagi ruang pemikiran bersama melalui serangkaian lokakarya, residensi dan program-program lain. Para seniman ini bertemu dengan seniman lain dari Yogyakarta dan negara-negara lain di Asia Tenggara, untuk bersama-sama melintasi dan menyelidiki ulang pengetahuan-pengetahuan Yang telah terberi tentang khatulistiwa. Mereka tinggal bersama komunitas setempat, berpindah dari satu kota ke kota lain, dari rumah satu ke rumah lain, dan menggali narasi yang menarik bagi Praktik mereka. Menjadi pejalan selama sebulan, para seniman menemukan beragam cara untuk membuka kompleksitas narasi sejarah, serta membongkar konsep-konsep yang mapan tentang dunia modern.
Dalam konteks ini, pengalaman menjadi sebuah cara memproduksi pengetahuan, perjalanan dan perjumpaan menjadi metodologi kerja artistik. Dalam presentasi kali ini para seniman memaparkan berbagai narasi: politik tanah, sejarah tersembunyi, politik identitas, konflik-konflik sosial, relasi bentang alam dan pola hidup. Beberapa seniman menemukan bahwa spiritualisme dan mitologi menjadi benang merah yang menarik dalam melihat filsafat hidup dan pengetahuan lokal. Ketimbang menunjukkan presentasi ini sebagai pameran karya seni, para seniman lebih berorientasi membagi amatan bersama, untuk ditempatkan dalam konteks kolektif. Gagasan-gagasan yang kita temui menjadi sebuah kerangka awal untuk proyek jangka panjang atas konsep Rimpang Nusantara yang akan berlangsung tiga tahun mendatang.
Foto Karya
Foto Karya
Arif Setiawan



“Air Mata Kaki” / “Tears of Feet”
2019
Cut Putri Ayasofia








“Ku Kira Kau Rumah” / “I thought you were a house”
2019
Ferial Affif













“PU/S/T/A/T/K/R/A/2”
2019
Ipeh Nur









“Pusar” / “Navel”
2019
Rahmadiyah Tria Gayatri







“Siasat Bermukim” / “Settlement Strategy”
2019
Suvi Wahyudianto


“Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah, Hayya ‘Alal Falah”
2019
Syamsul Arifin









“Museum Kapal”/ “Museum of Ship”
2019
Tajriani Thalib




Lab- Aransemen “Pekerti Padi” / Arrangement Lab of “Rice Manner”
2019
Exhibition View









Dokumentasi Pembukaan
Dokumentasi Pembukaan










Dokumentasi foto Pembukaan Presentasi Proyek Seni Rimpang Nusantara X Residensi Kelana, 17 Oktober 2019, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat. (Foto: Muhammad Dzulqornain & Ika Nurcahyani)
Profil Seniman
Profil Seniman

ARIF SETIAWAN adalah sutradara, penulis naskah dan juga aktor yang tinggal di Pontianak ini biasa dipanggil ‘Aib’. Dia aktif dalam skena perteateran di Pontianak dan mengajar di Sanggar Teater Linka SMAN 1 Pontianak dan menjadi pengurus di Grup Teater Jaya Abadi Makmur Bersama. Ia terlibat dalam Parade Teater 2010, juga pernah aktif dalam Forum Masyarakat teater Kalimantan barat. Naskah terakhir yang dikerjakannya Spesies terakhir di Muka Bumi menghilangkan batas antara panggung-penonton-aktor menjadi sebuah pementasan interaktif yang menarik. Pementasan ini mengajak kita berpikir tentang gravitasi dan ukuran dari “dosa”, menempatkan kita pada situasi-situasi dilematis dimana kesadaran-nurani dan kenyataan-pragmatis berada di persimpangan jalan.
Pada penyelenggaraan Program Rimpang Nusantara 2019, yang berkolaborasi dengan Biennale Equator, Aib adalah peserta Residensi Kelana Laut, di mana ia menghabiskan waktu 1 bulan di perkampungan nelayan Desa Pambusuang, di Poliwali-Mandar Sulawesi Barat. Selama residensi ia sangat tertarik perilah praktek Passauq Wai ataupun Penimba Air. Praktek ini adalah praktek temurun yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Mereka mengambil air di bantaran pasir Sungai Mandar, memasukkannya ke dalam puluhan jerigen air dan berenang menarik jerigen-jerigen itu untuk dijual atau dipakai sendiri. Passauq Wai sampai sekarang masih menjadi tulang punggung penyediaan air di beberapa daerah di Mandar karena belum dibangunnya prasarana air bersih yang memadai. Untuk Biennale Jogja, Aib akan menampilkan instalasi dan performance yang akan menggambarkan praktek Passauq Wai oleh para perempuan Mandar ini.

CUT PUTRI AYASOFIA adalah seorang komikus (genre manga) yang tinggal dan bergiat di Aceh. Dalam program Residensi Rimpang X Kelana, yang diselenggarakan atas kerja sama antara Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dan Biennale Jogja 2019 Equator XV, Cut mengembangkan karyanya terkait dengan isu pola asuh dan pendidikan anak, dan mengkritisi model pendidikan formal yang juga menunjukkan kapitalisme pendidikan. Selama proses residensi di Jogja pada bulan Juli 2019, Cut Putri mengunjungi beberapa sekolah alternatif lalu memilih Sekolah Akar Rumput, Yogyakarta sebagai mitra kolaborasi.

FERIAL AFFIF adalah seniman fleksibel yang telah aktif berkarya lebih dari 10 tahun. Saat ini ia berdomisili di Yogyakarta. Pola karyanya tak punya batasan maupun gaya tertentu, secara artistik dia kerap beralih-peran sebagai fasilitator/kurator/penulis/peneliti/produser/dsb. Dia senantiasa penasaran. berhubungan dengan orang lain serta kondisi kehidupan yang menyertainya, terutama tema lingkungan/gender/sejarah. Karyanya sempat hadir di berbagai kota di Indonesia dan negara lain seperti: Singapura,Myanmar, Jepang, Korea Selatan, India, Sri Lanka, Madagaskar, Switzerland, dan sebagainya, Ferial sejak 2012 menjadi anggota Lifepatch, sebuah inisiasi warga dalam seni-sains-teknologi. Sejak 2018 bersama Putri Wartawati, Ridwan Rau Rau, dan Yayasan Lingkar Semanggi (Tangerang) menginisiasi Expedition Camp sebuah forum temu dan berbagi per dua tahunan bagi para praktisi performans se-Asia.
Selama menelusuri Sumatera Timur dalam Program residensi Kelana dan Rimpang Nusantara, Ferial tertarik untuk menginvestigasi narasi tentang pahlawan atau tokoh-tokoh perempuan yang tidak dikenal, di luar narasi utama dalam sejarah. Penelusuran terhadap sejarah mereka dilakukannya dengan mengunjungi situs, menggali arsip, bertemu narasumber dan menggali cerita yang seperti membaurkan mitos dan sejarah. Ferial kemudian bekerja sama dengan seniman-seniman perempuan dari generasi yang lebih muda untuk menggambarkan citra wajah perempuan ini melalui cerita-cerita yang ia hadirkan. Penjelajahan personalnya kemudian berkembang menjadi sebuah upaya kolektif untuk membangkitkan sejarah yang dilupakan.

IPEH NUR menetap dan bekerja di Yogyakarta. Dia lulus dari Jurusan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia. Kebanyakan karyanya merupakan ilustrasi hitam putih di atas kertas. Ipeh juga berkarya dengan menggunakan teknik dan media lain, macam sablon, etsa, mural, dan patung dari resin. Ipeh mengikuti berbagai pameran kelompok, antara lain 80 nan Ampuh, Bentara Budaya Yogyakarta (2019), Waktu dan Ingatan Tak Pernah Diam, IVAA, Yogyakarta, Pressing Matters, Framer Framed, Amsterdam (2018), Beyond Masculinity, Ark Galerie, Yogyakarta (2017), dan The 1st Jogja Miniprint Biennale, Museum Bank Indonesia Yogyakarta dan Mien Gallery, Yogyakarta (2014). Di tahun 2018, Ipeh mengadakan dua kali pameran tunggal masing-masing berjudul Salimah di REDBASE dan Banda di Kedai Kebun Forum.
Dalam program Rimpang Nusantara 2019 (yang bekerja sama dengan Biennale Equator), Ipeh berkesempatan untuk mengikuti program Residensi Kelana Laut di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali-Mandar, Sulawesi Barat. Selama proses residensinya, Ipeh mengulik tradisi atau ritus masyarakat yang terkait dengan laut. Kepercayaan akan hal gaib/mistik, istana laut, hantu-hantu laut, Nabi Khidir sebagai penguasa laut, dan pemali menjadi salah satu bentuk penghormatan sekaligus upaya untuk menjaga laut yang menjadi sumber penghidupan. Berbagai jenis ritus dan tradisi diwariskan secara turun-temurun, termasuk ritus dalam memperlakukan produk atau teknologi yang mereka ciptakan, dalam hal ini rumah dan perahu. Rumah dan perahu diyakini mempunyai roh atau jiwa yang disimbolkan dengan posiq (pusar). Dalam pembuatan perahu, misalnya, seorang dukun perahu akan diundang untuk melakukan ritual mapposiq (pemberian pusar). Pusar pada perahu mengandaikan sebuah pengharapan akan keselamatan dan limpahan rejeki saat melaut. Demikian halnya pusar rumah (posiq bola), yang menjadi tempat ritual untuk meminta keselamatan dan keberkahan bagi kerabat mereka yang tengah melaut. Temuan-temuan selama proses residensi itu diolah ulang oleh Ipeh dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru dari apa yang dia pelajari di Pambusuang.

RAHMADIYAH TRIA GAYATHRI lahir di Kota Palu pada 11 Juni 1992. Bekerja sebagai seniman lintas media, aktivis, pegiat literasi kebencanaan. Pendiri Kolektif Forum Sudut Pandang yang berbasis di Palu. Terlibat aktif sebagai inisiator dalam kerja-kerja kolektif komunitas film, musik, seni dan media di Kota Palu. Ama, begitu dia akrab disapa, juga banyak melakukan proyek-proyek seni kolaboratif baik dengan rekan-rekannya dari Forum Sudut Pandang maupun dengan kolektif lainnya. Selain itu, Ama juga banyak terlibat dalam kerja produksi film di Palu, khususnya sebagai produser. Salah satu film yang diproduserinya adalah Mountain Song produksi Four Colours Films yang baru-baru ini mendapat penghargaan di Asia New Talent Award, Shanghai International Film Festival 2019.

SUVI WAHYUDIANTO adalah seniman muda asal Madura yang kini tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Setelah meraih gelarS1 dari Juruan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2017, Suvi kemudian mendapatkan penghargaan UOB Painting of The Year 2018 ditingkat nasional (Indonesia) dan internasional (Asia Tenggara) untuk karyanya yang berjudul Angs’t, sebuah karya mixed media yang secara abstrak mengartikulasikan konsep empati dalam rangka menanggapi pengalaman personal dan ingatan kolektif tentang konflik sosial.
Praktik artistik Suvi mencakup upaya penjelajahan bahasa visual melalui pendekatan puitik untuk meluaskan kemungkinan interpretasi atas peristiwa-peristiwa tragis yang berkaitan dengan ketegangan sosial-budaya pada masa lalu dan hari ini, juga mengurai isu-isu terkait politik identitas. Melalui kajian tekstual dan studi sejarah bersifat partisipatoris, serta elaborasi pendekatan autoetnografi ke dalam ranah seni rupa, Suvi focus menciptakan karya yang berusaha mengungkai narasi baru sebagai tandingan terhadap narasi-narasi arus utama, dalam upayanya mendekonstruksi wacana konflik kekerasan yang selama ini bergulir di masyarakat, serta mendorong gagasan rekonsiliasi dan peningkatan kesadaran empatik pasca konflik. Penjelajahan puitik tersebut kerap ia terjemahkan ke dalam berbagai teknik penciptaan dan pengolahan medium, dengan beragam hasil mulai dari lukisan, instalasi objek, hingga karya-karya berbasis teks. Salah satu karya terbarunya, Catatan Hari Berkabung, dan Satu Mata Sapi yang Menyedihkan (2019), dibuat berdasarkan hasil penelitiannya saat menjalani program residensi Rimpang X Kelana di Kalimantan Barat. Dipresentasikan di Jogja National Museum untuk acara Biennale Jogja XV– Equator #5, 2019, karya tersebut membingkai sejumlah narasi yang ia kumpulkan selama berinteraksi dengan warga di Pontianak, Singkawang, Sintang, dan Sambas; karya ini menyajikan suatu pembacaan kritis terhadap peta memori kolektif yang masih hidup antar generasi, sehubungan dengan pengalaman kekerasan yang pernah terjadi di kota-kota tersebut.

SYAMSUL ARIFIN berasal dari Sampang, Madura, adalah seorang penampil yang bergerak dalam panggung pertunjukan. Sejak tahun 2016 Syamsul telah aktif membuat karya-karya pertunjukan di berbagai daerah; Jakarta, Jombang, Yogyakarta, Surabaya, dan lainnya. Salah satu karya pertunjukannya berjudul Sapamêngkang yang pernah dipentaskan di Studio Teater Garasi, Yogyakarta.

TAJRIANI THALIB mendapatkan gelar sarjananya dari Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar. Tajriani tinggal dan bekerja di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia aktif sebagai penampil, khususnya dalam pertunjukkan-pertunjukkan seni tradisi. Tajriani tampil, antara lain, dalam Wonderful Indonesia Festival, Bangkok, Thailand (2017) dan The 3rd Erau International Folks Arts Festival (EIFAF), Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (2013). Dia juga banyak terlibat dalam proyek-proyek sosial, misalnya bersama Komunitas Sipatokkong yang fokus melakukan pendampingan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus serta bersama Armada Pustaka Mandar, komunitas pustaka bergerak yang menghadirkan bacaan ke berbagai daerah di Sulawesi Barat.
Tajriani adalah satu dari tiga seniman yang mengikuti program Residensi Kelana Sungai dan Rimpang Nusantara di Kalimantan Barat. Selama proses residensinya, Tajriani melakukan penelitian mengenai kisah dewi padi di dalam sistem kepercayaan masyarakat Dayak. Kisah serupa dapat kita temukan di berbagai tempat di nusantara, termasuk di wilayah Mandar, dan setiap wilayah mempunyai jenis cerita atau langgam tuturan yang berbeda-beda. Tajriani mengisahkan ulang cerita tentang dewi padi dalam bentuk nyanyian, mengkombinasikannya dengan langgam tuturan ala Mandar: toloq. Toloq, di dalam masyarakat Mandar, adalah seni tutur untuk menceritakan sebuah kisah. Prinsip dari toloq Mandar kemudian dia gunakan untuk menceritakan kembali kisah asal-muasal padi menurut masyarakat Dayak.