
Namanya Pak Quraisy, seorang pande lopi (‘tukang perahu’) juga sando lopi (‘dukun perahu’). Yang membedakan perahu di sini, di Mandar, dengan yang lain adalah perlakuannya. Perahu bukan sekadar benda mati, tapi juga memiliki ruh/ jiwa.
Dari awal pembuatan hingga jadinya perahu, ada ritualnya mengandung ussul (penyimbolan berupa benda atau praktik kebiasaan untuk mendapat kebaikan).


Perahu diibaratkan seperti tubuh manusia. Bagian gading atau tajoq seperti tulang rusuk, dan kalandaqdaq seperti tulang dada. Perahu juga punya posiq atau pusar. Saat pemberian posiq-nya pun, ada ritualnya (disebut mapposiq), yaitu pemberian jiwa/ruh. Pusar atau posiq itu seperti sumber kehidupan, seperti halnya pusar yang yang tersambung ke plasenta janin menjadi organ penting untuk pertumbuhan janin. Seperti relasi ibu dan anak.
Untuk beberapa perahu/kapal yang memiliki lunas seperti ba’gae, juga ada ritualnya, yaitu memasukkan “sperma” (berupa kapas yang diisi lumut dari sumur, sedikit beras, serpihan kayu sotil, juga emas: termasuk ussul) dimasukkan saat penyambungan kayu lunas, seperti peristiwa pembuahan. Lahirnya perahu seperti lahirnya seorang bayi.
Kata Pak Quraisy, semua pakai ritual, karena laut bukan kekuasaan kita, banyak bahaya, banyak makhluk gaib, sehingga [kita harus] minta keselamatan kepada Yang Di Atas, minta yang baik-baik.


Pak Quraisy juga membeberkan rahasia lain, sambil digambarkan (gambarnya di kertas lain, tapi tak conto, tak gambar lagi). Bentuk perahu seperti tulisan Allah (Arab): “Alif” (kemudi) “Lam” (layar) “Ha” (kepala/depan kapal). Artinya, berkeyakinan berdirinya perahu atas kuasa Allah. Ini pengetahuan orang dulu. “Ini yang dirahasiakan oleh orang tua saya,” terangnya. Katanya, ini kunci pondasi mendirikan perahu.