“Sumutrah adalah kota besar dan indah, dikelilingi benteng dan menara-menara terbuat dari kayu” —Ibnu Bathuthah 14M, Maghrib (Maroko).
Kota yang dimaksud adalah kawasan inti Samudra Pasai, kini Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara.

Mungkin berusaha semegah masa lalu, terdapat dua bangunan di tengah padang rumput, yang ramai dikunjungi binatang ternak. Aksesnya melalui jalan berbatu tak beraspal, di sebelah rumah warga. Bangunan yang satu (Museum Samudra Pasai) sudah selesai dan dipagar. Yang satu, masjid yang dari kejauhan, punya menara menjulang, terlihat karena jauh melampaui perumahan warga. Setelah berada dekat, masjid ini ternyata dikelilingi semak belukar. Bangunan besar banget, tiga lantai ini di bawahnya terlihat belum selesai.

Beruntunglah saya mendapatkan kontak seseorang, yang kebetulan sedang bekerja di museum, katanya dia sedang turut membereskan berbagai hal untuk (akhirnya) museum, yang diresmikan 10 Juli 2019. Jadi, saya bisa masuk, sebagian area gelap, sebagian lagi kuncinya tidak ketemu. Tapi, menurut info di buklet museum, terdapat 340 koleksi Etnografika, Filologika, Numismatika, dan Historika. (Museum ini dibangun tahun 2011 dengan dana otonomi khusus Rp7,5 M, berita diresmikan sudah berkali-kali sejak 2017. Konon, terhambatnya karena butuh dana membangun jalan Rp8,6 M).

Terlepas dari drama bangunan baru, saya bertanya tentang peninggalan bangunan lama. Apakah ada benteng atau sisa-sisa peradaban nan megah itu yang sempat digali. Bapak yang membukakan saya pintu museum bilang: “Pernah, sewaktu warga mau bangun rumah, gali-gali, ngga sengaja nemu tembok dalam tanah, tapi kini sudah ditimbun lagi.”




