Catatan “Bermukim” Rimpang Nusantara dari Krueng Raya, Aceh.
Benteng Inong Balee, titik pertahanan strategis, karena bisa memandang luas ke arah Teluk Krueng Raya dan gerbang menuju Selat Malaka. Sementara, yang dari bawah/laut tak bisa melihat posisi benteng ini, karena nyempil di antara jajaran tebing menjulang. Benteng ini juga konon pusat dukungan logistik laut Kesultanan Aceh.


Inong, ‘perempuan’ dan Balee, ‘janda’. Awal saya dengar keperkasaan pasukan ini ialah sewaktu perjalanan bareng Lifepatch (2017) menelusuri SSMXII, yang mempertemukan saya dengan anak perempuannya: Lopian Sinambela. Dia punya pasukan inong-inong yang terhubung dengan pasukan Inong Balee.


Saya sempat bertanya ke beberapa orang: apakah hanya balee (‘janda’) yang bisa tergabung dalam pasukan Inong Balee? Mengingat Boru Lopian bukan janda, dan saat gugur (bersama SSMXII), usianya pun masih belia.
Jawaban beberapa orang tidak literal, tapi tetap ‘janda’. Karena, dalam kondisi konflik, para lelaki mencari ke sana-ke mari, hingga di pemukiman hanya ada perempuan, entah anak, adik, ataupun para istri tadi.
Jawaban yang = kepepet. Seolah, “Ah, ga ada laki, nih! Kepaksa, tempur, yuk, kita, Sis!”


Laksamana Keumalahayati (pendiri pasukan Inong Balee), konon, sudah berprestasi di akademi militer kerajaan jauh sebelum menikah. Jadi, masa, iya, ibu ini semata-mata marah karena penjajah membunuh suaminya dan membuat pasukan perang yang berjumlah ribuan perempuan, adalah kisah kesuksesan balas dendam massal para janda…?! Lantas, kalau membabi buta dan tidak punya strategi perang yang canggih, pasukannya tidak punya keahlian tempur, manalah mungkin ibu satu ini, beserta pasukannya, disegani banyak pihak…?
Kecuali kalau dia punya tiga dragon.
Pingback: Inong Balee Fortress | CEMETI