"Kabar Teman Rimpang", Polewali Mandar, RIMPANG NUSANTARA
Leave a Comment

Melihat Lanskap Sebuah Garis Pantai di Mandar

English | Indonesia

Foto: Arif Setiawan

Lanskap garis pantai sebuah kampung dengan sejarah peradaban yang luar biasa, rumah bagi para tukik, tempat istirahat para perahu, yang pasti pertemuan antara daratan dan lautan. Ruang hidup para makhluk yang hakikatnya lingkaran saling menyayangi. Namun, gerusan peradaban berkata lain lewat sisa-sisa konsumsi kehidupan. Sesuatu yang tak asing bernama ‘sampah’. Ya, entah itu sampah plastik atau bukan, entah itu yg sengaja dibuang atau tidak. Secara ruang, keberadaan mereka salah, entah itu sampahnya ataupun pelakunya.

Foto: Arif Setiawan

Terbilang unik, sebuah wilayah yang besar dengan kebanggaan lautnya dan peradaban masa lampau yang dikatakan mumpuni. Keramah-tamahan penduduk berbanding terbalik dengan kondisi garis pantainya. Sampah dan pantai berdampingan dengan “baik” dan “indah”, tampak tak terjadi apa-apa. Apakah mereka lelah lalu acuh tak acuh atau mereka masih berharap dengan birokrasi tuk menyelesaikan masalah ini?! Dengan aroma dinasti yang telah menancapkan sedotannya. Keduanya, mungkin saja, dan salah satu sudah pasti.

Foto: Arif Setiawan

Belum lagi pembangunan tanggul laut yang sesungguhnya membunuh identitas laut mereka sendiri. Kapal kesulitan mendapatkan ruang bersandar dan harus selalu mengambang hingga memendekkan umurnya, jalan para penyu tuk ke pantai persalinan pun terhalang. Opsi yang lain banyak, tiadakah orang di lingkaran plat merah itu yang lihai dalam memetakan keadaan dan kebijakan? Apakah kebudayaan dan tradisi hanya jadi pakaian untuk dipamerkan, dan sisi humanis ditinggalkan dalam meja kantor…?! Oh, mungkin permainan angka di atas kertas atas nama kemaslahatan umat…?! Saya tidak tahu, karena saya bukan pegawai kantoran. Hihihihi!

Foto: Arif Setiawan
Foto: Arif Setiawan
Foto: Arif Setiawan
Foto: Arif Setiawan
Foto: Arif Setiawan
Foto: Arif Setiawan

Sungguh sayang dan disayang, wilayah laut yang tak menyayangi garis pantainya dan pemerintahan yang sudah lima belas tahun berdiri, namun hanya terfokus di satu area. Mentalitas individualistis yang berbaur dalam kelompok tentu sukar tuk digembosi, entah itu kelas sosial atas maupun menengah dan juga bawah. Ironis??? Sungguh tidak. Ini lucu. Sisi-sisi satir kehidupan dan gimik-gimik dunia Internasional. Tak perlu event tuk berbuat baik.

Mungkin butuh ‘Akar Rumput’ tuk ditanam.

Foto: Arif Setiawan

by

ARIF SETIAWAN adalah sutradara, penulis naskah dan juga aktor yang tinggal di Pontianak ini biasa dipanggil ‘Aib’. Dia aktif dalam skena perteateran di Pontianak dan mengajar di Sanggar Teater Linka SMAN 1 Pontianak dan menjadi pengurus di Grup Teater Jaya Abadi Makmur Bersama. Ia terlibat dalam Parade Teater 2010, juga pernah aktif dalam Forum Masyarakat teater Kalimantan barat. Naskah terakhir yang dikerjakannya Spesies terakhir di Muka Bumi menghilangkan batas antara panggung-penonton-aktor menjadi sebuah pementasan interaktif yang menarik. Pementasan ini mengajak kita berpikir tentang gravitasi dan ukuran dari “dosa”, menempatkan kita pada situasi-situasi dilematis dimana kesadaran-nurani dan kenyataan-pragmatis berada di persimpangan jalan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.