
Di Ensaid Panjang, ada 28 bilik yang berarti 28 pintu rumah. Para ibu menenun menjelang siang hingga sore hari. Kami tinggal di satu bilik khusus untuk tamu. Malam tiba dan kami semua berkumpul untuk mendengarkan bekana (‘dongeng’) dari salah seorang nenek yang juga dipercaya menjaga tangga perempuan dan bedudu (‘bertutur dengan lantunan’), seperti mattedze di Mandar. Bedudu dilakukan oleh seorang kakek yang biliknya dekat dari tangga laki-laki. Di rumah Betang Dayak, ada dua tangga utama. Di ujung kiri dan ujung kanan, tangga perempuan dan tangga laki-laki.


Setelah sarapan, kami ikut anak-anak masuk ke hutan, menyusuri jalan hingga satu jam lamanya, perlahan mendekati kaki gunung. Mereka ke air terjun, bermain; mereka juga memanjat susunan batu yang dialiri air terjun itu hingga tingkat ketiga, lincah dan berani. Sebentar lagi Gawai Padi, para lelaki membuat panggung dan mempersiapkan segala sesuatunya. Saat kami pamit pulang, beberapa orang berkumpul di depan salah satu bilik untuk berbagi ular hasil tangkapan.

Popon, Andin, Egi, Arbi, dan lainnya memandang kami saat naik ke mobil dari celah-celah dinding kayu rumah Betang. Saat kutanya, apakah mereka nanti ingin kuliah, mereka menjawab, “Iya”. Kutanya lagi, “Setelah kuliah mau tinggal di tempat lain atau kembali ke rumah Betang?” “Balik, lah, Kak, mana boleh tidak kembali…?!”



Saat berbicara pada kami, mereka berbahasa Melayu, tapi dengan sesamanya, dengan orang-orang di rumah Betang, berbahasa Dayak. Popon, kadang-kadang mencoba berkomunikasi dengan bahasa Inggris kepada rekan kami yang lain. Dia bilang ingin belajar serius, agar bisa berkomunikasi dengan tamu-tamu lain yang akan datang ke rumah Betang. Semoga mereka semua tumbuh dengan baik dan sehat.
