Sando atau ‘dukun’ di sini lebih seperti orang pintar, orang yang punya pengetahuan/ahli di bidangnya, juga ahli mantra-mantra, berlaku untuk ritual-ritual juga.


Hari ini, [saya] bertemu dengan Bu Rahiya (+/- 80 tahun). Beliau seorang Sando Pianaq atau ‘dukun beranak’. Dari lima dukun beranak resmi, tinggal Bu Rahiya yang masih hidup, jelas anaknya. Meski ada dukun beranak lainnya, namun tak berijazah. Beliau menunjukkan ijazah dari puskesmas tahun 1985 setelah lulus ujian wawancara. Katanya, gak cuma orang setempat yang minta bantu lahiran. Orang Palu, orang Arab, datang ke sini (ke Mandar). Ditunjukkannya juga ‘pusaka’ kotak berisi alat-alat, seperti wadah-wadah stainless, wadah ari-ari, darah, pemutus plasenta, ‘hadiah’ sepaket dengan ijazah terangnya.


Diceritakannya juga kisah-kisah mistis, seperti bayi kembar dengan buaya, ular, dan ibu kerasukan kuntilanak saat mau melahirkan. Meski sekarang sudah jarang menerima pasien bersalin karena sudah ada puskesmas dan rumah sakit, tapi jasa beliau masih tetap dicari. Biasanya, untuk doa-doa dan memandikan bayi.
Selain itu, masyarakat di sini masih mempercayakan jasanya untuk urut kandungan, biasanya saat usia kandungan enam bulan dan delapan bulan, dengan serangkaian ritual. Juga, setelah bayi lahir, ada serangkaian ritual, salah satunya mappadaiq toyang atau ‘menaikkan bayi ke ayunan’. Di bawah ayunan, dikasih dupa, dan [si bayi] ‘dibaca-bacakan’ untuk keselamatan dan mengusir yang buruk-buruk.

Bu Rahiya juga menyunat bayi. Di sini bayi perempuan (usia enam bulan) harus disunat. Bu Rahiya juga menceritakan masa kecilnya saat zaman Belanda dan Jepang di Mandar. Dan [dia] menyanyikan satu lagu yang liriknya mengejek kompeni yang lewat. Katanya, dulu anak-anak di sini pemberani.