
“Bahtera Nuh” di Tanabira (Bira, Sulawesi Selatan). Sebuah warisan nenek moyang. Pembangunan kapal tanpa cetak biru dan peralatan super canggih. Seluruh memori dan pengetahuan membangun kapal kecil, pinisi, padewakang—bahkan kapal besar yang saya tidak tahu namanya—bersemayam dalam tubuh dan pikiran para pembuat kapal. Ekosistem kehidupan pelaut; pelaut harus bisa membangun kapalnya sendiri.

Berbaris panjang di garis pantai bengkel-bengkel pembuatan kapal. Di tempat lain memang ada. Namun, untuk sebuah ruang hidup dan kebanggaan sebagai seorang ship builder tradisional, di sini tempatnya. Para pembuat kapal meminimalisir penggunaan paku baja di tubuh kapal dengan alasan tersendiri, mereka masih memilih pasak kayu sebagai penyambung bagian kapal. Ritual keselamatan dan ritual pembangunan kapal juga masih terpelihara dengan baik tanpa adanya bahasa ‘kopar-kapir’. Dan yang paling indah, perlakuan terhadap kapal, selayaknya ia adalah makhluk hidup.

Saat ini, proses pembuatan kapal berjalan apabila ada orderan dari korporasi besar ataupun miliarder. Sedikit baik apabila datang pesanan dari antropolog yang terkadang melakukan napak tilas lautan ataupun museum bahari. Miris? Iya, tentu saja. Orderan lokal hanya berada di kisaran resort–resort lokal. Itu pun untuk kebutuhan-kebutuhan turisme saja.

Kebanggaan sebagai pelaut masih melekat saat ini. Namun, bagaimana dengan tiga atau empat generasi mendatang? Mungkin saja hilang. Tak ‘kan ada lagi pelaut ulung, hanya tersisa pembuat kapal ulung, dan mungkin saja keduanya hilang. Mungkin. Semoga saja tidak!!!
Dan sampah yang menghiasi pantai…??? Ya, begitulah…