"Kabar Teman Rimpang", Kabupaten Bulukumba, RIMPANG NUSANTARA
Leave a Comment

Bahtera Nuh di Tanabira

English | Indonesia

Foto: Arif Setiawan

“Bahtera Nuh” di Tanabira (Bira, Sulawesi Selatan). Sebuah warisan nenek moyang. Pembangunan kapal tanpa cetak biru dan peralatan super canggih. Seluruh memori dan pengetahuan membangun kapal kecil, pinisi, padewakang—bahkan kapal besar yang saya tidak tahu namanya—bersemayam dalam tubuh dan pikiran para pembuat kapal. Ekosistem kehidupan pelaut; pelaut harus bisa membangun kapalnya sendiri.

Foto: Arif Setiawan

Berbaris panjang di garis pantai bengkel-bengkel pembuatan kapal. Di tempat lain memang ada. Namun, untuk sebuah ruang hidup dan kebanggaan sebagai seorang ship builder tradisional, di sini tempatnya. Para pembuat kapal meminimalisir penggunaan paku baja di tubuh kapal dengan alasan tersendiri, mereka masih memilih pasak kayu sebagai penyambung bagian kapal. Ritual keselamatan dan ritual pembangunan kapal juga masih terpelihara dengan baik tanpa adanya bahasa ‘kopar-kapir’. Dan yang paling indah, perlakuan terhadap kapal, selayaknya ia adalah makhluk hidup.

Foto: Arif Setiawan

Saat ini, proses pembuatan kapal berjalan apabila ada orderan dari korporasi besar ataupun miliarder. Sedikit baik apabila datang pesanan dari antropolog yang terkadang melakukan napak tilas lautan ataupun museum bahari. Miris? Iya, tentu saja. Orderan lokal hanya berada di kisaran resortresort lokal. Itu pun untuk kebutuhan-kebutuhan turisme saja.

Foto: Arif Setiawan

Kebanggaan sebagai pelaut masih melekat saat ini. Namun, bagaimana dengan tiga atau empat generasi mendatang? Mungkin saja hilang. Tak ‘kan ada lagi pelaut ulung, hanya tersisa pembuat kapal ulung, dan mungkin saja keduanya hilang. Mungkin. Semoga saja tidak!!!

Dan sampah yang menghiasi pantai…??? Ya, begitulah…

by

ARIF SETIAWAN adalah sutradara, penulis naskah dan juga aktor yang tinggal di Pontianak ini biasa dipanggil ‘Aib’. Dia aktif dalam skena perteateran di Pontianak dan mengajar di Sanggar Teater Linka SMAN 1 Pontianak dan menjadi pengurus di Grup Teater Jaya Abadi Makmur Bersama. Ia terlibat dalam Parade Teater 2010, juga pernah aktif dalam Forum Masyarakat teater Kalimantan barat. Naskah terakhir yang dikerjakannya Spesies terakhir di Muka Bumi menghilangkan batas antara panggung-penonton-aktor menjadi sebuah pementasan interaktif yang menarik. Pementasan ini mengajak kita berpikir tentang gravitasi dan ukuran dari “dosa”, menempatkan kita pada situasi-situasi dilematis dimana kesadaran-nurani dan kenyataan-pragmatis berada di persimpangan jalan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.