Proyek Kemitraan antara: Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat & Biennale Equator
Lokasi: PI Home Co-Working Space
Tanggal: 29 – 31 Januari 2019
Jam: 09:30 – 17:00

Di dalam proses persiapan Biennale Equator #5, 2019 dan Rimpang Nusantara/ Rhizomatic Archipelago 2019 – 2021, program terbaru Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, kami bertemu di satu titik gagasan untuk membicarakan narasi “pinggiran”. Kami pun bersepakat merancang rangkaian proyek bersama yang berisi seri diskusi (tertutup & terbuka), penelitian, publikasi, dan presentasi dalam berbagai ragam format di sepanjang tahun 2019.
Kerangka awal yang kami elaborasi bersama ialah menempatkan “pinggiran” dan “pelosok” sebagai dua hal yang berbeda, meski acap kali digunakan secara bergantian. Pelosok, secara kebahasaan, merujuk pada lokasi-lokasi yang jauh dari pusat (kota, pemerintahan) atau kawasan rural dan secara geografis seringkali sulit untuk diakses. Adapun pinggiran, lebih dimaknai sebagai “daerah yang berada di pinggir, tepi atau perbatasan”. Pinggiran tidak selalu berarti secara geografis berada di kawasan rural atau menjadi kawasan satelit bagi pusat. Yang pinggiran, secara teritorial, boleh jadi berada di kawasan urban dan secara antagonistik menjadi antinomi bagi “yang pusat”. Pemaknaan ini setidaknya akan membantu kami untuk tidak (sekadar) melihat pinggiran sebagai lokasi geografis, tetapi juga melihat narasi jenis apa yang berupaya ditawarkan oleh sesuatu yang ditandai atau menandai dirinya sebagai “pinggiran”. Dalam konteks Indonesia yang spesifik, kita juga mempunyai sejarah panjang berkaitan dengan Jawa dan Non-Jawa berkaitan dengan gagasan pusat-pinggiran. Apa yang datang dari pusat sering kali dituding sebagai upaya ‘Jawanisasi’ sehingga selalu menggelar arena bagi perdebatan tentang identitas yang problematis.
Terminologi pinggiran memang agak sulit dipisahkan dengan lokasi tertentu, yang secara sosial, ekonomi-politik, dan geografis berada di luar dari struktur kekuasaan yang hegemonik. Hanya saja, kita perlu menempatkannya secara tepat, menghindari kesan umum tentang wilayah tertentu dari sudut pandang pusat yang tengah melihat atau membaca Liyan. Pinggiran muncul, tetapi yang memunculkan kekuatan hegemonik global. Dalam hal ini, pinggiran sekadar diposisikan sebagai objek. Sudut pandang semacam itu, male-gaze perspective, seringkali gagal dalam menempatkan kondisi atau praktik hidup pinggiran. Kami meyakini, ada lapis-lapis lain yang berlangsung di sana. Lalu, bagaimana agar lapis-lapis lain itu hadir? Bentuk praktik pinggiran seperti apa yang telah dan akan kita sasar?
Menjelajahi “narasi pinggiran”, kami merasa penting membuka dialog dengan individu/komunitas/organisasi yang telah atau sedang bekerja membangun relasi dan kerjasama di seputar wilayah atau wacana “pinggiran”. Oleh karena itulah, kami merancang forum diskusi tertutup, mengundang kawan-kawan untuk saling berbagi pengalaman dan praktik. Lebih jauh lagi secara bersama-sama kita akan mengelaborasi pandangan dan gagasan mengenai hubungan antara seni dan masyarakat dalam dalam konteks praktik kerja di kawasan “pinggiran”.








Peserta: Aquino Hayunta (aktivis – Jakarta), A.M. Ichdar (Sanggar Seni Budaya Al Farabi- Bulukumba, Sulawesi Selatan), Mahardika Yudha (Forum Lenteng – Jakarta), Moh. Syafari Firdaus (SKP HAM – Palu), Gunawan Maryanto & Venti Wijayanti (Teater Garasi – Yogyakarta), Muh. Fadhol (The Volcanic Wind Project – Yogyakarta), Faiz Ahsoul (Penggiat literasi – Yogyakarta), Tamara Pertamina (Seniman – Yogyakarta), Moelyono (Seniman/aktivis – Tulungagung).