"Pameran", Residensi 2018 #1

Pameran dan Presentasi Seniman Residensi Periode #1 2018

Daftar Isi

English | Indonesia

DAFTAR ISI
Teks Pengantar | Foto Karya | Dokumentasi Pembukaan | Biografi Seniman

Teks Pengantar

Pameran & Presentasi

Seniman Residensi Periode #1 2018

Ardi Gunawan
Bridget Reweti
Coco Duivenvoorde

23 – 31 Mei 2018
Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat melanjutkan sambil meninjau ulang program residensi yang telah dirintis sejak tahun 2006 dengan mengembangkan gagasan pokok dalam menciptakan keterhubungan antara seni dan masyarakat. Program residensi Cemeti mendorong sebuah proses terbuka bagi seniman residensi untuk mengelola dan mengembangkan gagasan karya, melakukan penelitian artistik dan pertukaran pengetahuan, serta menghubungkan seniman dengan berbagai jejaring lokal yang mendukung kerja-kerja kolaboratif. Selama tiga bulan, seniman residensi merasakan nuansa ruang interaksi baru dan penjelajahan medan sosial bersama tim kerja Cemeti.

Mulai bulan Maret hingga Mei 2018, Cemeti mendampingi tiga seniman dari Indonesia, Belanda, dan New Zealand. Program residensi ini diselenggarakan oleh Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dan didukung oleh Mondriaan Fund, Asia New Zealand, dan Unisadhuguna International College, Jakarta.

“Berapa luas tanah yang bisa diperoleh dengan uang sebesar Rp 11.500.000? Di mana lokasinya dan bagaimana bentuknya?”

Pertanyaan ini menjadi premis dasar dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardi Gunawan selama masa residensinya di Cemeti. Berangkat dari perhatiannya pada isu gentrifikasi yang menggejala di kota-kota seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana paradigma lokasi strategis telah mengubah ekonomi wilayah dan produksi ruang hidup makin sempit dan padat, Ardi mengamati berbagai bentuk arsitektur modern/kontemporer kawasan hunian yang diciptakan oleh para perusahaan pengembang perumahan. Di tengah perjalanannya dalam mencari keterhubungan antara gagasan sosial dari arsitektur modernisme dengan spekulasi finansial ala perusahaan pengembang, Ardi menemukan komik ciptaan Heath Robinson dan Browne. Komik terbitan tahun 1937 ini berjudul “How to live in a flat” dan merupakan respon satir mereka terhadap perubahan tren domestik pada periode tersebut; kehadiran Modernisme Eropa di tengah perkembangan kelas menengah di Inggris yang stabil secara finansial. Terinspirasi oleh sketsa-sketsa humor dan satir dalam komik ini, Ardi mencoba mengkontekstualisasikannya ke dalam karyanya dengan cara mengembangkan rancangan komedi rumah huniannya sendiri untuk dibangun di atas tanah yang akan diperoleh dari uang sejumlah Rp 11.500.000 tersebut.

Selama masa residensinya, Bridget Reweti memusatkan perhatiannya dalam mencari keterhubungan antara konteksnya sendiri dan Jogja, yaitu dengan membuat teman baru dan dengan melakukan dua latihan artistik. Pertama dengan menyelami sebuah karakter yang berpengaruh dari dulu (dan sekarang) Maori menjadi kenangan, dan kedua dengan memperkenalkan dua gunung yang kuat kepada satu sama lain yang mungkin atau tidak pernah bertemu sebelumnya. Latihan pertama berkisar pada Tupaia (1725-1770), seorang pemimpin tertinggi aori yang berasal dari Tahiti. Ia adalah seorang ahli navigasi yang terampil dan diplomat, serta pandai berbicara dalam bahasa Maori. Dengan kecakapannya, Tupaia bergabung dengan kapten Cook yang berlayar melintasi Pasifik. Diingat dengan cara yang berbeda di banyak komunitas Pasifik, posisi Tupaia dianggap berpengaruh dalam sejarah ini. Tupaia meninggal di Batavia, kota yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan dimakamkan di sebuah kuburan tak bernama di Pulau Damar Besar yang terletak di lepas pantai Jawa. Sebagai cara untuk mengakui kematian Tupaia, Bridget memutuskan untuk berenang mengelilingi pulau itu, meletakkan tubuhnya di air yang mengalir di antara tanah pekuburan Tupaia yang juga merupakan tanah yang menghubungkan Tupaia dan Bridget, Indonesia dan Aotearoa, dulu dan sekarang.

Latihan kedua adalah berjalan kaki di Gunung Merapi, salah satu gunung berapi paling aktif di dunia yang letaknya satu jam perjalanan ke utara Yogyakarta. Kehadiran Merapi yang kuat, baik secara fisik melalui aktivitas seismiknya dan kesuburannya, serta dalam pikiran orang-orang sebagai sebuah entitas yang menyediakan mata pencaharian sekaligus yang mampu merenggutnya, menghubungkannya dengan Mauao, sebuah gunung yang terdapat di kota asal Bridget di Tauranga yang dianggap sebagai leluhur Maori. Untuk presentasi ini, seluruh latihan ini dan percakapan yang sedang berlangsung akan ditangguhkan sementara untuk khalayak di Jogja. Sementara waktu dan ruang terus runtuh ke dalam realitas kehidupan sehari-hari yang berkelindan dan campur aduk.

Coco Duivenvoorde memiliki minat yang berkelanjutan pada makanan dan memasak sebagai bahasa untuk mendiskusikan masalah sosial dalam berbagai konteks. Selama masa residensinya di Cemeti, Coco meneliti bahan-bahan, praktik, dan konteks sosial dari minuman tradisional Indonesia, Jamu. Jamu merupakan minuman herbal yang terbuat dari bahan alam yang digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit ringan yang berkisar dari kosmetik, performa seksual, hingga kondisi medis yang serius. Budaya minum Jamu merupakan suatu praktik keseharian yang dimaksudkan untuk menjaga kesehatan tubuh dan jiwa yang baik.

Coco memulai prosesnya dengan mempelajari cara membuat Jamu serta mengunjungi berbagai penjual Jamu di Jogja. Ia kemudian menghabiskan waktu dengan komunitas di sebuah desa yang memproduksi Jamu di Kiringan dan bertemu dengan akademisi yang khusus mempelajari aspek ekonomi, sosial, dan budaya dari Jamu. Untuk membangun penelitiannya, Coco akan menyelenggarakan rangkaian lokakarya yang menghubungkan berbagai individu dan komunitas yang ia temui. Melalui berbagai metode mendongeng, serta tindakan praktis, lokakarya ini akan mengumpulkan, menjaga dan mendistribusikan secara lebih lanjut pengetahuan (menubuh) dan mempertanyakan konteks infrastruktur sosial Jamu.

Kembali ke Daftar Isi


Foto Karya

Foto Karya

Ardi Gunawan

Bridget Reweti

Coco Duivenvoorde

Kembali ke Daftar Isi


Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi foto Pembukaan Pameran & Presentasi Seniman Residensi Periode #1 2018, 23 Mei 2018, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat. (Foto: Dimaz Maulana)

Kembali ke Daftar Isi


Biografi Seniman

Biografi Seniman (dalam urutan abjad)

Ardi Gunawan (Indonesia)

Ardi Gunawan adalah seniman multi-disiplin dan pengajar. Ia menempuh pendidikan di Monash University di Melbourne, Australia. Melalui praktiknya, ia mengembangkan proyek yang digerakkan oleh proses, bersifat performatif, dan menampilkan karya-karya patung dan arsitektur yang dieksplorasi melalui rangkaian latihan skor, tugas, dan daftar tindakan. Ia aktif terlibat dalam berbagai pameran, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ia tinggal dan bekerja di Jakarta. Saat ini, ia mengajar di jurusan Desain Komunikasi Visual dan Kajian Kontekstual di Unisadhuguna International College, Jakarta.

http://ardimakki.com

Bridget Reweti (New Zealand)

Bridget Reweti adalah seniman dari Ngāti Ranginui dan Ngāi Te Rangi di Aotearoa New Zealand. Praktiknya yang berbasis lensa mengeksplorasi sudut pandang lanskap dan realitas Indigenous kontemporer. Tinggal di Wellington, Reweti meraih gelar Master dalam Māori Visual Arts (First Class Honours) di Massey University, dan gelar PGDip dalam Museum and Heritage Studies di Victoria University. Ia juga seorang anggota aktif dari Kava Club, sebuah kolektif seniman Māori dan Pasifik yang berbasis di Wellington, dan Mata Aho Collective, sebuah kolaborasi antara empat seniman perempuan Māori yang membuat karya tekstil berskala besar.

http://www.bridgetreweti.com/

Coco Duivenvoorde (Belanda)

Coco Duivenvoorde adalah seniman asal Amsterdam, Belanda. Praktiknya yang seringkali bersifat kolaboratif, bertujuan untuk membicarakan isu-isu sosial politik seperti feminisme, politik pangan, narasi kolonial dan rasisme; sembari mengeksplorasi imaji (bergerak), puisi dan performance sebagai bahasa visual. Ia adalah bagian dari We Are Here Cooperative (Amsterdam), sebuah platform di mana pengungsi yang terlupakan dan produser budaya profesional berkolaborasi dalam proyek-proyek budaya. Ia lulus dari Dutch Art Institute, dengan gelar MA Fine Art (Arnhem, Belanda) pada tahun 2015.

http://www.cocoduivenvoorde.com/

Kembali ke Daftar Isi

This entry was posted in: "Pameran", Residensi 2018 #1

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.