"Pameran", Draft #2: Berbagi, MAINTENANCE WORKS, Museum of the Ordinary Things

Museum of the Ordinary Things

English | Indonesia

Lokasi: Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat
Tanggal: 15 Agustus 2017 – 09 September 2017
Jam: 10:00 – 17:00

Museum of the Ordinary Things

Proyek Seni oleh Eko Prawoto

Rangkaian acara publik dan Pameran

Pembukaan
Selasa, 15 Agustus 2017, jam 19.00 WIB


Rangkaian Acara Publik


Silakan unduh buklet versi PDF dari Museum of the Ordinary Things di sini.


MUSEUM OF THE ORDINARY THINGS (MOThi) merupakan sebuah koleksi bertumbuh yang diinisiasi oleh arsitek Eko Prawoto (yang mendesain bangunan Cemeti) dan terdiri atas alat-alat genggam tradisional untuk pertanian dan pertukangan kayu dan bambu. Koleksi ini dirumahkan di sebuah Paiton yang terletak di halaman rumah Prawoto di desa Kedondong dua yang berjarak sekitar satu jam berkendara di sebelah barat Yogyakarta. Di tempat ini, Prawoto bermaksud untuk menghubungkan pandai besi dan petani setempat dengan mahasiswanya di jurusan arsitektur untuk berbagi pengetahuan. Selama empat minggu, Museum of the Ordinary Things akan direlokasi atau diboyong ke Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dan ditampilkan berdampingan dengan rangkaian drawing yang dibuat oleh Eko Prawoto dari beberapa obyek koleksinya, yang mempelajari berbagai fitur dari obyek tersebut. Yang paling penting, koleksi ini akan dijadikan sebagai sebuah titik awal bagi rangkaian program untuk publik yang terdiri atas perbincangan, lokakarya dan acara lainnya.

Museum ini lebih dari sekedar sebuah keterpesonaan pribadi. Melalui museum ini, Prawoto bermaksud untuk membantu mempertahankan dan berbagi pengetahuan yang  terbentuk oleh situasi di masyarakat pedesaannya. Pengetahuan ini berasal dari pemahaman yang menubuh akan alam, tanah, bumi, agrikultur, iklim dan cuaca, dan dengan demikian cenderung diturunkan secara perorangan dan dari generasi ke generasi. Keinginan Prawoto adalah untuk menghubungkan generasi muda dari berbagai latar belakang melalui cara-cara melakukan dan mengetahui seperti ini. Dalam empat minggu ke depan, Cemeti akan menjadi tempat berlangsungnya ujicoba ini.

Museum of the Ordinary Things mempertanyakan tentang bentuk pengetahuan mana yang dapat dipelihara dan diprioritaskan, dan mengenai siapa yang memutuskan apa yang pantas untuk diingat. MOThi dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk secara aktif membangun sejarah tandingan dan narasi otonom dengan cara bekerja keluar dari komunitas tertentu. Secara spekulatif, MOThi dapat dilihat sebagai sebuah proposisi bagi skenario masa depan dimana setiap komunitas, setiap kampung memiliki museum berbasis komunitasnya sendiri untuk berbagi pengetahuan yang bernilai bagi mereka, mempertahankan bentuk tradisional kehidupan komunal. Menggunakan kerangka kerja “museum” bagi tujuan semacam itu merupakan sebuah kontradiksi. Namun, hal ini merupakan kontradiksi yang bisa diatasi dengan dekolonisasi gagasan dari museum itu sendiri.

Re-lokasi Museum of the Ordinary Things ke Cemeti tidak bermaksud untuk meromantisir atau membekukan alat-alat dan praktik tradisional tersebut pada masanya. Melainkan, kami ingin belajar dari praktik kontemporer aktif ini sambil bertanya kepada diri sendiri bagaimana bentuk pengetahuan ini dapat dinilai ulang bersamaan dengan perkembangan teknologi dan dorongan terhadap efisiensi, kelebihan produksi dan hasil panen yang lebih besar? Relokasi temporer ini juga memberikan peluang bagi kami untuk menghubungkan pengetahuan yang tertanam di dalam koleksi, dan komunitas desa Kedondong dua dengan publik yang lebih luas dan untuk menguji coba kemungkinan bentuk keterlibatan masyarakat.

Aktivasi museum menjadi sangat penting untuk tujuan ini. Sebuah program acara publik saat ini meliputi dua tahapan lokakarya untuk seniman bersama Pak Sukisman, pandai besi dari Pengasih Kulon Progo; toko PENAJAMAN, sebuah toko yang melayani penajaman alat oleh agent OH; sebuah acara oleh kelompok kajian makanan Bakudapan; bincang tentang Museum of the Ordinary Things bersama Eko Prawoto; Desa Bercerita Edisi #8, bincang oleh perajin dari berbagai desa untuk mengundang akademisi dan publik, dan acara-acara lain yang belum dikonfirmasi. Peneliti desain Vicky Gerrard akan mengeksplorasi objek-objek dalam koleksi dan sekitarnya. Kami juga memiliki program spesial untuk anak-anak yang terdiri atas kelas menggambar oleh seniman Restu Ratnaningtyas dan lokakarya seputar permainan perkakas yang dikembangkan oleh mahasiswa arsitektur dan desain dari UKDW dan ISI. Secara lebih lanjut, kami sedang mengorganisir sebuah “Drop-in Centre” yang mengundang tetangga Cemeti dan komunitas lokal untuk membagi kisah pribadinya mengenai “benda-benda biasa” mereka.

Museum of the Ordinary Things merupakan kolaborasi antara Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Laboratorium Sejarah, Kajian teknologi dan Desain, FAD UKDW dan Studio Arsitektur Eko Prawoto.

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.