
Galeri Salihara, 14 April – 6 Mei 2012
Rumah Seni Cemeti, 12 Juli – 25 Agustus 2012
Seniman :
Ariani Darmawan ― Ferdiansyah Thajib
Lidyawati ― Amrizal Salayan St. Parpatih
Maria Indria Sari ― Samuel Indratma
Melati Suryodarmo ― Afrizal Malna
Mie Cornedus ― Setu Legi
Restu Ratnaningtyas ― Agung Kurniawan
Sekarputri ― Mufti “Amenk” Priyanka
Kurator :
Mella Jaarsma
daftar isi domestic stuff
Teks Pengantar | Foto Karya | Dokumentasi | Biografi
Sekadar Pengantar
Kita memuliakan rumah sebagai tempat mengelola kehidupan pribadi. Tetapi dunia dalam rumah selalu beririsan dengan dunia di luarnya. Sering kali irisan itu menjadi besar sekali, sehingga yang privat menjadi yang sosial sepenuhnya. Ketika menonton televisi, misalnya, seseorang berangsur jadi bagian dari lautan pemirsa imajiner tanpa dia sadari (apalagi kini, ketika satu sama lain bisa saling berceloteh lewat Twitter). Hilir industri raksasa bukanlah jalanan atau tempat-tempat umum, tetapi dunia dalam rumah: aneka produknya mendarat di ruang tamu, ruang tidur, dapur dan kamar mandi kita.
Kita berumah dengan, antara lain, menjadi konsumen aneka produk. Pemikiran kiri akan mengatakan bahwa kita telah terjinakkan, bahwa kapitalisme menciptakan kebutuhan semu, supaya kita terus membeli dan membeli. Namun kita juga menjinakkan, mendomestikkan barang barang itu. Kita membubuhkan kepribadian pada jam dinding, kulkas, meja makan, kap lampu, dan komputer. Kita merumahkan mereka, dan dengan itu pula kita menjinakkan diri kita. Menjadi jinak itu baik, ketika di jalanan para pengguna jalanan membuas-ganas. Kita bukan hanya berumah, tetapi merumah.
Merumah adalah menciptakan riwayat. Dulu, kita percaya bahwa rumah itu berakar, yaitu berakar pada riwayat keluarga, pada lingkungan sekitar. Dengan kata lain, rumah terikat kepada asal-usul. Sekarang, ketika kita menjadi kaum urban, lebih baik kita berkata bahwa rumah itu mengambang. Yang dekat bukanlah para tetangga dan saudara namun mereka di seberang sana di profesi dan minat yang sama; yang dekat bahkan terasa mengasingkan, misalnya saja bunyi nyaring sumbang dari pengeras suara ketika subuh. Kita membubuhkan riwayat pada benda-benda dalam rumah supaya rasa mengambang itu tertahankan, malah, jika mungkin, membetahkan.
Dunia dalam rumah adalah taman margasatwa benda-benda: pada suatu ketika benda-benda itu seperti bergaul saling bertukar watak. Boneka harimau, sofa kulit kuning, lumping kayu nangka kuna, dulang-dulang suasa, gambar Togog dan Semar, rak tinggi dengan buku-buku ruang tamu saya, semua itu membiakkan makna tersendiri―dan saya hanya pemandang yang berdiri di pinggir. Tapi berlaku tanpa pamrih itu berat. Maka dunia benda dalam rumah pun menjadi ibarat tata surya: benda-benda itu bernilai karena sayalah yang mengatur “komposisi”-nya, dan saya menjadi si matahari. Memandang ialah membubuhkan riwayat ialah menciptakan tata.
Namun tentu saya gagal menjadi matahari karena saya sendiri harus berbagi. Yaitu berbagi dengan pasangan saya, bayi saya, dengan ragam kehidupan yang bergerak dalam rumah saya. Sambil merindukan harmoni, kami semua terlibat dalam disharmoni―dan berusaha mengoreksinya berdasarkan asal-usul kami dan prasangka tentang masa depan kami. Kami bertukar kata tentang apa yang baik, yang benar dan yang berguna. Tetapi kata sering kali sangat tak cukup buat berkata, maka kami pun bertukar pandangan. Artinya, kami juga berpaling kepada rupa. Dan benda-benda dalam rumah kami pun bicara, menyediakan tata-tata yang silih berganti dalam perjalanan waktu.
Yang publik ialah yang tertata, yang terjamin oleh hukum dan etika. Di jalan raya kita, di ruang-ruang birokrasi dan politik kita, yang tertata itu absen. Dan ketika terbangun di pagi buta oleh teriakan parau pengeras suara, kita tahu yang publik itu juga tidak ada. Di luar rumah, semua pihak berusaha menjadi berotot dan mengamalkan kekerasan. Maskulinitas dan kejantanan sangat jelas terlihat di mana-mana, dan kita pernah menyangkanya sebagai penanda kehidupan publik. Dalam kalibut maskulinitas, sejuta suara adu-beradu pamer otot, verbalisme dan kebisingan ibarat kembar siam. Rupa, tata rupa yang dekat kepada sunyi. menyingkir.
Kita kembali ke rumah untuk menemukan yang merupa, yang feminin, yang tertata; ya, mungkin bukan menemukan, namun menciptakan, atau belajar menciptakan. Tetapi rumah bukanlah pulau terpencil. Secara harfiah rumah saya terkepung oleh jalan-jalan raya yang menyemburkan kebisingan. Memandang benda-benda dalam rumah ialah kembali kepada sunyi, atau menciptakan sunyi di tengah kebisingan, menciptakan tata di tengah kalibut. Dunia domestik semestinya adalah tata yang mengatasi kalibut.
Tetapi mungkin anda akan mencibir. Lihatlah, begitu mungkin kata anda, justru mereka membawa kalibut dan kebisingan ke dalam: televisi menyala terus-menerus di ruang tamu (mesti tak ada pemirsanya); anak-anak tidak membaca tetapi tenggelam ke dalam games, sementara orang tua mereka iseng sendiri dengan Blackberry. Seperti biasa, saya akan berkata, marilah memandang dunia domestik dengan penuh ironi, sebagaimana para seniman yang terlibat dalam pameran ini. Menyatakan kritik terhadap kehidupan publik adalah juga memberikan kritik kepada diri sendiri.
Domestic Stuff boleh jadi mulai dengan sudut pandang perempuan terhadap dunia domestik. Tetapi, menampik esensialisme tentang keperempuanan, para seniman perempuan ini tampil serba-terbuka dengan berkolaborasi dengan para seniman lelaki yang mereka pilih sendiri. Pameran dengan kurator Mella Jaarsma ini menggarisbawahi bahwa yang feminin adalah yang berubah, yang rajin merangkul yang beda. Bahwa yang domestik adalah kritik bernada humor terhadap kejantanan, kebisingan dan adu kuat di luar sana. Bahwa memandang, menciptakan tata rupa. ialah langkah penting dalam menciptakan yang bersifat publik.
Nirwan Dewanto
Komunitas Salihara
Pengantar Kuratorial
Domestic Stuff adalah sebuah proyek mengenai wilayah domestik, dan persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Apakah konsep yang hakiki mengenai hal-hal domestik dan bagaimana seluruh lingkup kemampuan domestik, yang tak dapat kita hindari harus dilakukan setiap hari, mempengaruhi proses berkarya kita?
Seni kontemporer di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah bentuk perhatian dan cerminan para senimannya, terkait dengan masyarakat dan perkembangannya. Sebagian seniman mengomentari fenomena sosial tertentu, sementara sebagian lainnya mengekspresikan pendekatan individu dan personal mereka. Bagaimana pengalaman domestik kita terkait dengan subjek-subjek yang lebih luas seperti lingkungan hidup, identitas, sejarah dan lain sebagainya? Bagaimana “hal-hal pribadi” berdiri berdampingan dengan perkembangan “sosial, politik dan global”? Seberapa pentingnya pengalaman pribadi dalam pekerjaan, apakah hal ini digunakan sebagai contoh untuk mengkomunikasikan persoalan bersama yang lebih besar, atau dengan kata lain apakah hal-hal domestik cukup penting bagi audiens atau publik dalam menjalin keterkaitan?
Dalam seni rupa, kita bergantung pada interpretasi personal para pengamat untuk menyelami karya. Dalam hal ini kita membandingkan seni rupa dengan film atau sastra; pengarang atau sutradara dapat menunjukkan pikiran dan perasaan yang sangat pribadi melalui para aktor dan tokoh-tokoh, yang mustahil diekspresikan secara langsung melalui rupa semata. Dalam bahasa visual, cara-cara komunikasi lainnya dieksplorasi.
Louise Bourgeois adalah salah satu contoh seniman yang terus menerus berkarya layaknya autobiografi, diilhami oleh trauma masa kecilnya mendapati bahwa pengurus rumah tangganya yang berkebangsaan Inggris adalah juga gundik ayahnya, Destruction of the Father (1974). Titik tolak karya karyanya adalah penyelidikan terus-menerus ke dalam masa lalunya untuk memastikan kebenaran pengalamannya. Namun, karya terakhirnya mencermati persoalan-persoalan bersama, yang juga berhubungan dengan para pemirsanya: ibu, seksualitas, feminisme, hal-hal domestik, dominasi kekuasaan, pengkhianatan, kegelisahan dan kesendirian.
Saya memilih tujuh seniman: Lidyawati, Melati Suryodarmo, Maria Indria Sari, Ariani Darmawan, Sekarputri, Restu Ratnaningtyas dan Mie Cornoedus, dan meminta mereka untuk melakukan percakapan dengan seorang seniman mitra (yang dapat berasal dari disiplin yang berbeda, misalnya sastra, teater, dan lain sebagainya). Percakapan ini mengenai subjek domestik, melalui penggunaan kata-kata, yang dimaksudkan sebagai sumber untuk menandai dan memaknai sudut pandang yang berbeda-beda mengenai seniman dan hal-hal domestik mereka.
Ariani Darmawan―Ferdiansyah Thajib menganalisis latar belakang mereka dan rumah tangga di mana mereka tumbuh. Ibu Ariani yang terobsesi pada kebersihan dan keluarga Ferdi yang tidak membuang barang apa pun meski sudah rusak, menunjukkan hubungan dengan benda-benda di sekeliling kita.
Lidyawati―Amrizal Salayan St. Parpatih mendiskusikan hal-hal privat berhadapan dengan wilayah publik dan seberapa pentingnya wilayah domestik untuk memahami diri sendiri.
Maria Indriasari―Samuel Indratma mendiskusikan acara-acara televisi yang membawa kekerasan dalam wilayah domestik kehidupan keluarga dan bagaimana cara mengendalikan pengaruhnya pada anak-anak.
Melati Suryodarmo―Afrizal Malna bertukar gagasan dalam menafsirkan hal-hal domestik pada diri sendiri dan keberadaannya, dengan kekuatan dari lingkungan sekitar yang membentuk manusia dalam ruang domestik.
Mie Cornoedus―Setu Legi keduanya baru saja menjadi orang tua, yang mengubah kebebasan bergerak mereka. Mereka mencari keseimbangan antara hal-hal domestik dengan ruang sosial.
Restu Ratnaningtyas―Agung Kurniawan mendiskusikan kematian, terkait dengan meninggalnya ibu mereka dan bagaimana hal ini merupakan kenyataan yang penting, bagaimana hal tersebut mempengaruhi mereka dalam kehidupan sehari-hari juga dalam mimpi mereka.
Sekarputri―Mufti ‘Amenk’ Priyanka pernah menggunakan tema-tema domestik dalam karya-karya sebelumnya, tertarik pada bagaimana menangkap penampakan sehari-hari, pada saat yang sama merujuk pada masa lalu dan masa kini.
foto karya domestic stuff
Foto Karya
Ariani Darmawan―Feriansyah Thajib









“Kabar Benda Diam“
Ariani Darmawan―Feriansyah Thajib
Instalation, mixed media (refrigerator, digital print on photography paper, audio, mp3 player, dining table, …)
Variable dimension
2012
Percakapan :
“Kenapa sih kamu suka banget sama arloji Vostok yang kamu beli dari saya, dan gak rela melepaskannya kembali ke saya? Apakah karena desainnya, atau hal hal lainnya?”
Ariani
“Nah soal jam, sebenernya gini, saya itu nggak suka beli-beli barang. Sekalinya beli saya biasanya punya ikatan sehidup-semati sama barang itu. Tapi juga ada pengaruh pola pendidikan keluarga kayaknya. Ibu dan Bapak saya itu kalau beli barang pasti gak pernah dijual lagi, dibilangnya sayang. Bahkan sampe udah rusak pun barang itu masih ada. Kadang cuma ditumpuk di gudang, kadang juga dipajang. Seperti perangkat audio misalnya, di rumah saya radio dan speaker zaman jebot itu masih ditaro di ruang tivi, campur dengan DVD, laser disc, pemutar video NTSC, semua deh ya. Jam dinding rumah saya aja masih pake jam dinding hadiah kawinan ibu-bapak saya 37 tahun yg lalu!”
Ferdi
“Setiap benda yang tergeletak di sudut rumah menyimpan cerita. Cerita ini beririsan dengan gerak kehidupan manusia di sekitarnya, tumbuh bersama ruang-ruang, menjadi sebuah ingatan. Benda maupun cerita itu lalu menyusun sejarah sebuah rumah. Kami mencoba untuk menelusuri hubungan antara benda-benda dan ruang-ruang dalam kerja kolaborasi ini. Diawali sebuah proses percakapan antar-kota yang menekankan pada pengalaman keseharian dan hal-hal sederhana. Namun ketika pertanyaan saling kami lontarkan, segala hal yang tampak sederhana pun berproses menjadi dialog akan ingatan yang berkelok-kelok.”
Ariani dan Ferdi
“Sebuah objek menguraikan jalinan peristiwa, hamparan kesan dan hubungan yang mengantarkan kita pada sebuah jagad kecil: rumah. Rumah itu sendiri terbentuk dan dibentuk oleh sistem tata suryanya, dirancang secara cermat oleh sosok arsitek sekaligus penjaga tatanan tersebut: Ibu. Subjektivitas dan persepsi kita ditempa pertama-tama melalui pandangan seorang ibu, layaknya sebuah wadah yang mencerap dan kelak berevolusi menjadi jati diri. Kepribadian ini yang kemudian dianggap siap menjadi pandu bagi dunia berikutnya. Singkatnya, ini yang disebut regenerasi makna.”
“Namun kembali ke niatan eksploratif proyek ini, determinasi tersebut bukanlah sasaran utama meskipun dalam prosesnya ia selalu menghantui. Alih-alih, kami kembali memercayakan jawabannya pada tatanan benda-benda rumah tangga dalam peredarannya yang membentuk sejarah keluarga. Di balik jajaran fasad datar kawasan perumahan perkotaan, benda-benda rumah tangga tergeletak dalam diam, menyaksikan simpang-siur ritus perjalanan anak-anak dan sosok ibu yang memastikan kerapian. Di sini babak demi babak drama keluarga terlontar. Secara serentak dan berbarengan, mereka menyusun kenangan, cerita hidup, dan akhirnya apa yang dinamakan kota itu sendiri.”
“Dalam karya ini, kami merekonstruksi sebuah ruang keluarga melalui penataaan meja makan dan kulkas. Di meja makan, sebuah keluarga berkumpul, mulai dari bertukar cerita sehari-hari hingga merancang hari esok yang lebih baik. Di dalam kulkas Ibu menyimpan bahan-bahan masakan yang ia anggap paling segar dan sehat, dan kita semua, terkadang secara diam-diam, menyimpan minimal satu jenis makanan atau minuman favorit kita.”
Lidyawati―Amrizal Salayan St. Parpatih


“Kompleks”
Lidyawati
Popsicle stick, wood profile, carton paper
150 cm x 30 cm x 60 cm
2012





“Truth”
Amrizal Salayan St. Parpatih
Polyester resin
Variable dimension
2012
Percakapan
“Memahami persoalan domestik atau lokal sama halnya seperti belajar memahami persoalan diri sendiri, karena sifatnya yang berasal dari dalam. Artinya pemahaman persoalan ini haruslah dilakukan oleh diri sendiri terlebih dahulu, baru oleh orang lain di sekitar kita.”
Lidyawati dan Amrizal
“Memahami persoalan domestik juga berarti memahami pelbagai persoalan yang dekat dengan diri kita, bahkan diri kita sendiri dalam aspek sosial, kultural, dan antropologi melalui kacamata kita. Karena itulah berbicara mengenai isu domestik tentu saja sangat berkenaan dengan persoalan pribadi.”
“Hal domestik dalam karya seni menjadi penting karena dalam karyalah kita dapat merespons hal-hal domestik tersebut dalam bentuk apa pun yang mewakilkan, sambil sekaligus memahami diri kita.”
“Dengan begitu juga ada proses pembelajaran, cara kita menanggapi satu persoalan dengan persoalan yang lainnya menjadi semakin berkembang.”
“Menurut saya domestik adalah penggalian pencarian diri ‘Who am I’, menjawab persoalan-persoalan pribadi dan merespons lingkungan, mencari esensi suatu persoalan yang dialami manusia.”
Amrizal Salayan St. Parpatih
“Mengekspresikan persoalan pribadi ke dalam karya seni tentu saja perlu, karena diri pribadi dapat dijadikan patokan atau cerminan atas isu-isu yang terjadi di sekitar kita : Apakah kita ikut terbawa dan masuk ke dalamnya, atau kita hanya menjadi penonton (melihat persoalan dari beberapa sudut pandang).”
“Seperti yang telah kita diskusikan sebelumnya bahwa toleransi dan kompromi adalah isu yang paling dominan dalam persoalan domestik. Dan lingkungan terdekat yang membentuk pemikiran saya adalah keluarga. Persoalan ini kemudian saya kembangkan lebih jauh kepada pola hidup bertetangga. Di Indonesia yang menganut sistem hidup sosial, terkadang kehidupan bertetangga bisa sangat membantu, tetapi di sisi lain bisa juga mengganggu batas-batas zona aman manusia sebagai pribadi. Di situah toleransi dan kompromi sangat diperlukan.”
Lidyawati
Maria Indria Sari―Samuel Indratma



“TV Satu Channel”
Maria Indria Sari
Fabric sculpture, yarn, buttons, safety pins, plywood
90 cm x 118 cm x 18 cm
2012



“Kursi Remot Kontrol”
Samuel Indratma
Second-hand remote control
105 cm x 49 cm x 57 cm
2012
Percakapan
“Diskusi kami dimulai ketika muncul pertanyaan dari saya mengenai keresahan dalam benak saya, fenomena apakah yang sedang terjadi sekarang ini, mengapa banyak terjadi kekerasan di mana-mana? Mulai dari lingkungan terkecil rumah tangga, lingkungan masyarakat dan meluas ke lingkungan yang lebih besar yaitu lingkungan berbangsa dan bernegara. Apakah kekerasan sudah membudaya sejak zaman dulu pada bangsa kita atau baru-baru ini?”
Maria Indria Sari
“Yang namanya ruang keluarga, menurut kami itu kan ruang privat, tetapi pada kenyataannya ruang privat itu dimasuki oleh hal-hal yang tidak privat karena kehadiran televisi. Karena televisi itu, ruang privat sudah tidak privat lagi. Segala bentuk informasi yang lebih banyak tidak ada kaitannya dengan privasi keluarga, semua masuk dengan leluasa.”
Samuel Indratma
“Nah terus kondisi sekarang ketika banyak terjadi kekerasan, apakah ada kaitannya dengan ruang privasi yang Mas Sam tadi katakan dimasuki oleh hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kita? Sejauh mana hal itu berpengaruh terhadap perilaku kita? Kesalahan awalnya ada di mana?
Maria Indria Sari
“Sebagai seorang perempuan, kebetulan saya telah berkeluarga, keresahan ini membuat saya bertanya-tanya apakah ada yang salah dari pendidikan awal yang ada di dalam rumah? Rumah adalah awal tiap generasi tumbuh dan berkembang, dan keluarga adalah komunitas awal tiap-tiap individu di dalamnya. Dari situ tiap individu akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan masyarakat.”
“Kekerasan sudah menjadi komoditas sehari-haru media massa, yang secara tidak sadar kita konsumsi setiap sehari.”
“Ya karena televisi itu hiburan yang paling murah ya. Hiburan yang tiba-tiba hadir, hiburan yang sebenarnya di belakangnya ada kepentingan industri, dan itu kita ga bisa kontrol.”
Samuel Indratma
“Jadi kita sebagai orang tua adalah pemegang kendali untuk mengontrol peran dan pengaruh televisi pada anak-anak kita.”
Maria Indria Sari
“Benar, kita punya hak untuk membangun selera berkeluarga kita sendiri, rumah tangga kita sendiri, karena kita punya kekuasaan pneuh atas itu.”
Samuel Indratma
“Kesimpulannya adalah televisi menjadi salah satu media yang memiliki peran besar dalam membentuk budaya yang tumbuh dan berkembang dakan masyrakat, yang apabila tidak ada upaya kontrol di dalamnya, akan menimbulkan dampak negatif yang sangat besar terhadap kehidupan manusia.”
Melati Suryodarmo―Afrizal Malna



“The Journey – Inkubator Aku”
Melati Suryodarmo – Afrizal Malna
Paper, iron, acrylic, wood
40 cm x 60 cm x 90 cm
2012
Percakapan
“Aku terlalu sakit untuk bisa mengingat diriku sebagai seseorang. Ketika aku lahir, agama otomatis menciptakan ruang domestik untukku. Sebuah ritual. Merayakan rasa bersyukur. Ritual yang tentu tidak memberikan ruang bagi munculnya pertanyaan lain. Misalnya: ‘Apakah seseorang mau dilahirkan di bumi ini? Berada dalam sebuah keluargadu Indonesia? Lelaki? Perempuan? Langsung diberi nama dan agama?’ “
Afrizal Malna
“Ini merupakan awal sebuah titik bahwa apa yang terjadi dengan diriku tidak lepas dari pengawasan-Nya. Titik yang menjadi ‘super-tak-terlihat’ dalam keluarga. Mata-Nya di mana-mana. Mata yang mengawasi itu bermutasi sebagai mata-domestik. Dia menjadi semacam arkeologi kekuasaan dalam ruang domestik. Kekuasaan menjadi laten, tidak hanya untuk yang kuat dalam ruang domestik itu dan berhak marah, melainkan juga untuk yang lemah dan menggunakan tangisannya sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan sering didayagunakan justru untuk saling melemahkan, membangun hubungan yang saling melelahkan.”
“Selama ini, sebagian karya-karyaku idenya muncul dari dapurku, ketika aku memasak, atau di ruang laundry-ku dan ketika menyetlika pakaian-pakaian kami, ketika aku berada di kota, di tengah-tengah kebanyakan orang yang tidak mengenalku sama sekali. Selama ini kesendirianku bukanlah selalu berarti kesepian. Ruang itu ruang pribadi, yang aku bawa ke mana aku pergi dan berada dekat bersamaku. Tubuh pun berubah, tumbuh dan mait, terseret dan terbakar, tersentuh dan tercumbui , tersayat dan terobati. Terus begitu. Entah kapan akan berhenti.”
Melati Suryodarmo
“Tidak ingin mendeskripsikan sebuah tindakan, namun rasa tubuhku dan ruang domestikku sering berada dalam titik pandang kesakitan yang membuat tubuh ini serasa, seolah hampir terbakar oleh sebuah peristiwa … dan kemudian terulang lagi.”
“Afrizal, aku melihat kebersamaan kita di sini. Mungkin setlika itu adalah peristiwa-peristiwa yang menjerat kita di dalamnya, memanasi kita dan membuat bekas-bekas yang tidak selalu berarti luka, namun lebih menjadi ‘tanda’.”
“Tanda-tanda itu, walaupun berulang-ulang terwujud, sepertinya mekanisme pengulangan menjadi sebuah sistem berpikir dan pola tingkah laku yang terus menerus dan tumbuh.”
Mie Cornoedus―Setu Legi

“Mencari Arah (Serial)”
Mie Cornoedus
Digital print on hahnemuhle paper
100 cm x 66 cm
2012





“Pusaran Jiwa”
Setu Legi
Stainless steel, objects, video (1.45 min – loop)
2012
Percakapan
“Kami berkolaborasi karena kami dua seniman yang punya situasi domestik yang mirip: keluarga baru dengan satu anak kecil.”
“Sebelum punya anak, kami punya hidup yang sangat sosial, penuh kegiatan-kegiatan, dengan jaringan sosial yang luas. Setelah punya anak, situasi domestik sangat berubah. Kondisi ini, yang membuat gembira dan menumbuhkan semangat, tapi yang sekaligus menyibukkan dan melelahkan, membawa kami dan keluarga dalam situasi yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Tantangan terbesar adalah membangun keseimbangan antara kehidupan domestik dan kehidupan sosial.”
“Mobile adalah simbol proses pencarian keseimbangan. Proses tersebut tidak statis tetapi berubah terus, berputar terus, identik dengan mobile-nya sendiri.”
“Objek-objek yang berwarna-warni di mobile menggambarkan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan domestik, yaitu bermain.”
“Kami juga membuat film tentang dua keluarga dalam ruang sempit, yang berputar-putar dengan gembira menggambarkan kehidupan domestik yang menghabiskan waktu dan tenaga, dengan ‘jatuh dan bangun kembali’, sambil belajar dari pengalaman.”“Saya juga memotret ibu-ibu dengan bayi mereka yang sedang mencari arah di tengah situasi domestik yang berubah.”
Mie Cornoedus dan Setu Legi
Restu Ratnaningtyas―Agung Kurniawan




“Jelaga Nestapa”
Restu Ratnaningtyas – Agung Kurniawan
Series of watercolor on paper, video, railing
2012
Percakapan
“Karya Agung sebagian besar naratif sangat tidak bisa dihindarkan dari peristiwa sehari-hari. Bagi saya juga hal sehari-hari merupakan bagian dari karya, malah kita sendiri adalah bagian dari hal-hal di sekitar. Semuanya saling berjalan beriringan bagai kesatuan yang saling membangun, mungkin juga dapat menjatuhkan.”
Restu Ratnaningtyas
“Istilah didomestikasi itu erat dengan peran perempuan. Perempuan yang dirumahkan kurang-lebih sama artinya dengan perempuan yang telah didomestikasi. Istilah yang sama juga digunakan untuk menyebut penjinakan hewan-hewan liar semacam kuda, babi, anjing yang dipelihara oleh manusia pada peradaban awal. Dan menurut saya domestik itu erat hubungannya dengan wilayah. Sesuatu yang berada di sekitar.”
Agung Kurniawan
“Agung bicara mengenai kehilangan ibunya. Betapa hal ini telah mengubah bapaknya menjadi seseorang yang berbeda, lebih pendiam, menua dan seringkali memikirkan dan membicarakan hal-hal seputar kematian. Dan saya teringat akan apa yang saya rasakan beberapa saat setelah menjelang ibu saya wafat. Perasaan aneh yang menyelimuti saya dan menelan saya untuk waktu yang lama. Dan kita sepakat untuk mengambil tema kehilangan orang terdekat.”
Restu Ratnaningtyas
“Ketika orang terdekat tidak ada di sekitar kita dan benar-benar hilang dapat membuat siapapun tersesat.”
“Agung bercerita tentang mimpinya bahwa ibunya membeli seperangkat kursi makan. Dan kebetulan saya juga baru saja memimpikan mendiang ibu saya, di situ saya melihatnya sedang memasak di dapur; daging yang sangat berlimpah, ditumpuknya sampai tinggi. Saya juga tak mengerti arti mimpi tersebut. Yang jelas seringkali saya memimpikan ibu saya di dapur dan dapur yang sama; dapur rumah kami pertama. Di setiap rumah, dapur adalah ruang yang aktivitasnya paling banyak. Bagi saya dapur adalah ruang tempat banyak peristiwa bersama ibu yang terekam dalam ingatan saya: tawa, tangis, makian.”
“Berbeda dari Agung yang masih bisa merasakan sosok ibu pada setiap sudut rumahnya. Ibu saya kehilangan rumahnya sebelum meninggal. Hampir semua barang, pakaian, perabotan dibagikan kepada tetangga. Kini saya tidak punya benda peninggalan ibu untuk dikenang. Foto-foto masa kecil saya bersama ibu pun musnah. Saya hanya bisa mengenangnya dalam ingatan.”
Sekarputri―Mufti ‘Amenk’ Priyanka






“Catatan Dari Rumah Untuk Ibuku (Series)”
Sekarputri
Images with glazier on ceramics
2012







“Titian Catatanku Dari Rumah”
Mufti ‘Amenk’ Priyanka
Installation of drawings and objects
2012
Percakapan
“Saya memilih Amenk menjadi seniman mitra, karena saya melihat pencerapan yang berbeda tentang makna domestik pada karya-karyanya. Domestik pada karya Amenk lebih menyoroti problematika lokal sekitarnya. Sedangkan pada karya saya, domestik lebih dilihat dari kaca mata perempuan yang menjalani domestikasi.”
Sekarputri
“Iya domestik di karya saya sih lebih ngomongin masalah sekitar saya aja, gitu, Kayak anak punk yang lagi nyium tangan Pak Polisi. Itu tuh saya bikinnya jauh sebelum anak punk di Aceh dirazia. Karena menurut saya apa anak punk gak boleh sopan?”
Mufti “Amenk” Priyanka
“Kalau domestik di karya saya lebih ke ruang lingkup rumah. Rumah itu institusi pertama setiap manusia. Mungkin yang bikin saya jadi ngomongin rumah itu sebenarnya pengalaman saya pake media keramik trus udah nikah, dan kebetulan itu yang ada di depan mata saya. Kalau hal domestik yang saya lihat, saya lebih nemuin keintiman sih, daripada jarak.”
Sekarputri
“Kalo lingkungan sekitar saya memang ngasih banyak pengaruh, dan distraksi di saat yang sama, kesinambungan yang paradoksal juga ya. Iya, jadi treatment berkarya lingkungan saya itu. Terus saya kasih majas-majas gitu. Kalo di Puti kan, domestik lebih yang keluarga, rumah, dan….”
Mufti “Amenk” Priyanka
“Hal-hal di balik pagar deh. Hahahaha.”
Sekarputri
“Kamu tertarik gak sih sama sejarah? Maksudnya, di karya kamu, kamu ngomongin sejarah juga gak?”
Mufti “Amenk” Priyanka
“Wah, secara gak langsung ya. Karya saya yang terakhir itu konsepnya diary, saya gak bisa lepas dari keseharian saya aja pas bikin karya itu. Eh, sejarah maksudnya sejarah apa ini?”
Sekarputri
“Sejarah yang personal.”
Mufti “Amenk” Priyanka
“Iya, saya juga baru nyadar kalau domestik itu sistem banget. Kayak pernikahan didukung oleh keluarga, negara, keyakinan, dan bahkan masing-masing untuk mengakali hukum alam biar mencapai ketertiban dan kedamaian. Dan sistem domestik yang kita tahu sebenarnya mungkin zona aman kita kali ya?”
Sekarputri
“Iya, saya bisa lihat kenapa karya Puti ngangkat rumah yah. Karena kalo saya kan, memang kalo di UPI (IKIP) dipersiapkan jadi guru seni, bukan seniman. Jadi, saya memang punya concern sendiri sama edukasi. Dan sebenernya, emang sebagus apa pun sekolahnya, tapi kalo di rumah teu teu baleg (gak bener), ya gak bener anaknya. Tapi emang dogma dan kultur berawal dari rumah ya.”
Mufti “Amenk” Priyanka
“Kalau domestik itu sistem dasar, berarti ngaruh kemana-mana banget ya, Menk. Kayak bahkan ngaruh ke lifestye.”
Sekarputri
Exhibition View







dokumentasi domestic stuff
Dokumentasi Pembukaan Pameran















Dokumentasi foto Pembukaan Pameran Domestic Stuff, 12 Juli 2012, Rumah Seni Cemeti. (Foto: Theodora Agni)
biografi seniman domestic stuff
Biografi Seniman
Ariani Darmawan adalah seniman kelahiran Bandung, Jawa Barat, 1977. Menamatkan pendidikan di Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Ariani melanjutkan pendidikannya ke School of the Art Institute of Chicago, Amerika Serikat. Sebagai seniman ia mengerjakan pelbagai proyek seni, dari film pendek, instalasi, dan teater. Sebagian besar adalah karya kolaborasi. Sejak 2004 ia terlibat dalam kelompok inisiatif seniman VideoBabes bersama Prilla Tania dan Rani Ravenina. Film-filmnya yang terpenting adalah Anak Naga Beranak Naga (2005) dan Sugiharti Halim (2008) yang menjadi bagian dari film omnibus 9808 (bersama 10 pembuat film Indonesia lainnya). Anak Naga Beranak Naga telah membawanya ke sejumlah festival internasional, di antaranya Goteburg Art Festival, Swedia (2006) dan Singapore International Film Festival, Singapura (2008), sementara Sugiharti Halim ke Clermont-Ferrand Film Festival, Perancis (2008) dan Rotterdam International Film Festival, Belanda (2009), di samping memenangkan kategori Film Terbaik dan Film Favorit Pemirsa di Festival Film Pendek Konfiden 2008.
Ferdiansyah Thajib dilahirkan di Bandung, 1978, dan kini tinggal di Yogyakarta. Ia menamatkan studinya di Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 2006. Sejak itu ia aktif bekerja sebagai periset di bidang cultural studies, baik secara individu maupun kolaborasi. Ia ikut mendirikan Qmunity Jogja, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada penumbuhan kesadaran komunitas pada keragaman seksual melalui seni, media, dan budaya sejak 2005 – 2009. Sejak 2007 ia adalah Koordinator Riset di KUNCI Cultural Studies Center sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mengembangkan gerakan kritis seluas-luasnya melalui praktik pendidikan populer dan pendekatan eksperimental dakan cultural studies. Terakhir ia adalah Direktur Eksekutif KUNCI. Esai dan kertas kerjanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris dalam beberapa jurnal akademis dan situs web. Ia juga menulis sebuah laporan tentang aktivisme video di Indonesia bersama KUNCI dan EngageMedia, Australia, berjudul Videochronic (2008).
(Sumber: http://wasteland-twinning.net)
Lidyawati adalah pematung, pekeramik, dan desainer paruh waktu keluaran Institut Teknologi Bandung (2008). Ia sudah mengikuti pameran bersama di dalam dan luar negeri sejak 2004. Misalnya, “Rupatorium”, Auditorium Barat ITB (2004), “Fictitious Reality”, workshop pameran bersama Wanda Gillespie (Australia), Galeri Soemardja, bandung (2007), dan “The 13th Asian Art Biennale Bangladesh”, Dhaka, Bangladesh (2008). Terakhir workshop keramik bersama Mirjam Veldhuis dan Mella Jaarsma di Galeri Soemardja, Bandung (2011). Ia juga berpengalaman sebagai manajer proyek seni pertunjukan dan pernah mendapatkan penghargaan dalam sebuah perlombaan deskripsi koleksi Museum Sribaduga Bandung (2006).
Amrizal Salayan St. Parpatih dilahirkan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 1958. Menamatkan pendidikan Seni Patung di FSRD Institut Teknologi Bandung dan gelar MA untuk Seni Murni di almamater yang sama. Aktif berpameran sejak 1988, karya-karyanya mengetengahkan problem mortalitas lewat proses pembusukan dan metamorfosis tubuh manusia. Salah satu karya patungnya pernah diunggulkan dalam Pameran Patung Kontemporer Indonesia Trienal Jakarta II (1998). Pameran tunggalnya adalah “Kefanaan”, di Galeri Soemardja, ITB, merupakan tugas akhir untuk meraih gelar MA di ITB. Februari tahun ini ia berpameran bersama dengan staf pengajar ITB dalam “Report Knowledge” di Galeri Soemardja. Sementara pada 2011, ia tampil dalam “Bayang”, Pameran Seni Rupa Kontemporer Islami Indonesia, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan “Ekspansi”, Pameran Besar Patung Kontemporer Indonesia, di galeri yang sama. Ia juga mengerjakan karya pesanan (commision work) untuk pelbagai proyek, di antaranya Patung Soekarno-Hatta di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta (2006-2007).
Maria Indria Sari dilahirkan di Yogyakarta, 1976. Ia adalah pelukis dan penata artistik keluaran Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ketika masih kanak-kanak ia menjuarai beberapa lomba melukis. Di antaranya dari Shankar’s Internasional Childern’s Competition, New Delhi, India (1989) dan Karya Terpilih Lomba Lukis ASEAN di Jakarta (1990). Berpameran bersama dengan pelbagai seniman sejak 2006. Tahun 2012 ia berpartisipasi pada pameran seni rupa “Membatalkan Keperempuanan”, Sangkring Art Project, Yogyakarta. Tahun lalu ia mengikuti sejumlah pameran internasional, di antaranya “Indonesian’s Crouching Tigers and Hidden Dragons”, ArtSpace Galleries, May Fair, London, dan pameran bersama seniman Singapura dalam “Talking Textile”, OneEast Artspace, Singapura, dan “Closing The Gap: Indonesian Contemporary Art”, MIFA (Melbourne International Fine Art), Melbourne, Australia. Pada 2010 ia juga mengikuti “Indonesian Art Now: The Strategist of Being”, ART|JOG|10, Taman Budaya Yogyakarta, dan sejumlah pameran lainnya di Yogyakarta dan Jakarta.
Samuel Indratma dilahirkan di sebuah kota di Jawa Tengah, 1970. Sepanjang 1990-1996 ia belajar Seni Grafis di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia mendirikan Apotik Komik pada 1997 dan mengepalainya hingga 2005. Di tahun yang sama ia menjadi salah satu pendiri Yogyakarta Mural Forum. Bersama Apotik Komik ia menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang ramah terhadap mural. Proyeknya yang pertama bersama Apotik Komik adalah “Melayang”, kemudian “Sakit Berlanjut” (1999), “Alternative Space” (2000), dan proyek mural di Jembatan Layang Lempuyangan (2002). Adapun “Mural Blues”, Via Via Kafe Kembara (1997) adalah pameran tunggalnya yang pertama dan yang terakhir adalah “Agro Metal”, Tembi Contemporary, Yogyakarta (2010). Sementara pameran bersamanya yang terakhir adalah “We Are Now Open”, Garis Artspace, Yogyakarta (2011). Ia juga pernah menjalani residensi seniman selama dua bulan di Clarion Alley Mural, San Fransisco, Amerika Serikat (2003) dan ArtPlay di Melbourne dan Tasmania, Australia (2007).
Melati Suryodarmo dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah, 1969, tinggal dan bekerja di Gross Gleidingen dan Surakarta. Setelah lulus pendidikannya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, Melati melanjutkan sekolahnya di Braunschweig School of Art, Braunschweig, Jerman, jurusan utamanya Performance Art, dibawah asuhan Prof. Marina Abramovic. Karya-karya Melati, berangkat dari dunia yang ada di dalam tubuhnya. Baginya tubuh berfungsi sebagai wadah kenangan dan organisme yang terus hidup. Karya-karya Melati, yang telah malang-melintang di sejumlah pameran dan festival internasional selama 13 tahun terakhir, membawa publiknya ke dunia persepsi individu masing-masing. Adapun paemran tunggalnya tahun ini adalah “Acts of Indecency” di Art Departement, VWFA Jakarta. Sejak tahun 2007, bersama Padepokan Lemah Putih, setiap tahun Melati mengadakan Performance Art Laboratory Project dan “undisclosed territory-performance art event” yang diikuti oleh seniman-seniman dari berbagai negara dan tanah air.
AFRIZAL MALNA menulis puisi, cerita pendek, novel, kritik sastra dan teater, skenario dan naskah teater, di samping menyunting sejumlah buku dan memproduksi video art. Dilahirkan di Jakarta pada 1957, kini ia tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Afrizal pernah belajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya (tidak selesai). Sebagian besar puisi-puisinya adalah ekspresi dari aspek materi dalam kehidupan perkotaan. Mengambil gambar dari kehidupan sehari-hari, Afrizal menghadirkan mereka bersama kebisingan dan kekacauan dari keberadaan kita hari ini. Dia gemar mencari hubungan antar objek yang berbeda dalam puisi-puisinya, yang ia gambarkan sebagai “tata bahasa visual dari sesuatu”. Afrizal mengikuti sejumlah festival puisi di dalam dan luar negeri, di antaranya Festival Puisi Internasional Rotterdam, Belanda (1995). Buku puisinya Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008) terpilih sebagai Karya Sastra Terbaik 2009 oleh mahalah Tempo. Di awal kariernya, buku puisinya Abad yang Berlari (1984) mendapat penghargaan Hadiah Buku Utama. Buku kumpulan esainya yang terbaru adalah Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata (2010).
MIE CORNOEDUS adalah desainer grafis dan juru foto kelahiran Belgia, 1962. Sejak 1990-an ia tinggal di Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan sarjananya di bidan Social and Cultural Science di SHH Heverlee, Leuven, Belgia (19983). Pada 1995 ia mendirikan dan menjadi CEO ViaVia Yogyakarta, sebuah galeri yang mempromosikan seni kontemporer, di samping menjadi tempat pertemuan banyak orang, termasuk sebagai agen perjalanan. Sebagai fotografer profesional Mie telah memberikan workshop fotografi sejak 2003, di Indonesia dan mancanegara. Tahun lalu ia mengikuti biennale fotografi di Tokyo, Jepang, dan Februari tahun 2012 ia menggelar pameran fotografi tunggalnya Human vs Nature di En Kopp Kafe, Bodø, Norwegia. Sebelumnya, India from a Different Perspective, ViaVia, Yogyakarta (2009) dan Potrait of Papua, Bella Vita gallery, Yogyakarta (2008), dan sejumlah pameran lain di Jakarta, Yogyakarta, dan Gent, Belgia.
SETU LEGI adalah seniman keluaran Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Lelaki kelahiran Yogyakarta, 1977, ini adalah pendiri dan anggota komunitas seni-budaya Taring Padi (1998). Karya-karyanya menegaskan kritik atas kondisi sosial-politik mutakhir di Indonesia. Belakangan, ia mulai menyoal konfrontasi agama besar dan fundamentalisme yang berdiri tegak di atas kondisi lingkungan hidup yang karut-marut, seperti dalam instalasi Kepada Yang Mulia di Biennale Jogja XI (2011). Beberapa kali ia menggelar pameran tungaal, di antaranya Are You Ready, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2008) dan Social Realities, Pförtnerhaus, Dresden, Jerman (2005), di samping sejumlah pameran bersama di Yogyakarta, Jakarta, dan Berlin. Sepanjang dasawarsa 2000 Setu mengikuti sejumlah residensi seniman di Berlin dan Dresden, Jerman (2011, 2005), Amsterdam, Belanda (2003). Ia juga terlibat workshop bersama Cyclown Circus, Nadin Reschke, Berliner Handpresse, dan Felicitas Hoppe dari Jerman.
RESTU RATNANINGTYAS dilahirkan di Tengerang, Banten, 1981. Ia menamatkan pendidikan di Jurusan Seni Rupa di Fakultas Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta (2003). Ia bekerja lewat video art, lukisan cat air, dan instalasi dengan fokus pada kehidupan sehari-hari yang penuh dengan hal-hal kecil tetapi menyeimbangkan hidup manusia. Pameran tunggalnya adalah Memento: Privatization Room, Vivi Yip Art Room, Jakarta (2008). Di samping itu, ia juga terlibat dalam sejumlah pameran bersama, di antaranya: peluncuran situs web KINIYAKINI, Frank Welkenhuysen Galerie dan Kunstmakelaardij, Utrecht, Belanda (2012), Beastly, Cemeti Art House, Yogyakarta, dan Galeri Salihara, Jakarta (2009). Sementara proyek dan workshop bersama Cemeti Art House, ruangrupa, CCF, dan Serum Art Studio ia ikuti sepanjang 2004-2011.
AGUNG KURNIAWAN dilahirkan di Jember, Jawa Timur, 1968, kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Menamatkan dua pendidikan dberbeda: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1991) dan Jurusan Seni Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (1995). Ia adalah seorang ilustrator freelance sejak 1994 dan salah satu pemilik Kedai Kebun Restourant and Gallery (sejak 1997) dan pernah menjabat sebagai Ketua Cemeti Art Foundation (2004-2005). Pameran tunggalnya adalah The Lines that Remind Me of You“, Kendra Gallery, Bali (2011) dan Budiman Project, Artipoli Gallery, Amsterdam, Belanda (2006). Sementara pameran bersamanya berlangsung di sejumlah kota di Indonesia dan mancenagara, antara lain Art Amsterdam, Amsterdam, Belanda (2006), New Mythologies: Espace Louis Vitton, Paris. Prancis (2011), Manifesti of the Newe Aesthetic, ICA, Singapura (2010), dan One Minute Mute, Jogja Biennale X, Yogyakarta. Karyanya pernah memenangkan kompetisi seni rupa, seperti Karya Terbaik Phillip Morris Indonesia Art Awards, Jakarta (1996).
SEKARPUTRI dilahirkan di Jakarta, 1986. Pendidikan terakhirnya adalah Studio Seni Keramik, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (2010). Sebagai pekeramik, ia telah mengikuti sejumlah pameran bersama. Di antaranya “Cerita Kami Tentang Hidup”, Galeri Esp’Art CCF, Bandung, “Soemardja Art Awards”, Galeri Soemardja, Bandung (sebagai salah satu unggulan), “Skin Matters”, Galeri Soemardja, Bandung (2011). Juga, “UnSegmented”, Galeri Kita, Bandung dan dan “Scarlet”, Galeri Canna, Jakarta (2010).
MUFTI “AMENK” PRIYANKA adalah perupa kelahiran Bandung, Jawa Barat, 1980. Ia menempuh studi S1 Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dengan penjurusan Studio Seni Murni. Karya-karya Amenk berangkat dari persoalan keseharian yang didekatinya secara personal. Tentang kehidupan anak muda yang binal dan menabrak pelbagai aturan, di samping suasana gotik modern. Ia menyebut karyanya sangat “terpengaruh oleh Romantisme Urban yang sangat tipikal berpadu pada semangat lokalisme global masyarakat Indonesia modern saat ini.” Karyanya tertuang lewat tinta cina dan akrilik yang tertuang di atas kertas dan kanvas. Pameran tunggalnya yang mutakhir adalah “Sleborz” di Padi Art Ground, Bandung (2011).