"Esai", BEASTLY
Leave a Comment

Hewan Yang Lain…

oleh Goenawan Mohamad

Ada seorang brahmana yang hidup di sebuah dusun bersama isteri dan anak bayinya. Juga bersama seekor manggus. Binatang ini mereka perlakukan sebagai anak sendiri: isteri brahmana itu menyusuinya, membelainya, dan memandikannya, sebagaimana ia merawat bayinya yang tunggal.

Tapi bisakah hewan yang bergigi tajam itu dipercaya?

Pada suatu hari, isteri brahmana itu hendak pergi mengambil air. Ia tidurkan oroknya, dan ia baringkan bocah itu di atas tilam di lantai, dan ia berpesan kepada suaminya. ‘Bapak tinggal di rumah, ya? Jangan sampai manggus itu melukai anak kita.

Suaminya mengangguk. Tapi beberapa saat setelah isterinya pergi, ia lapar. Ia pun meninggalkan rumah, untuk mendapatkan makanan dari para penderma.

Pada saat itulah seekor ular hitam merayap masuk, mendekati tubuh bayi yang tidur. Tak ayal, si manggus melihat bahaya mengancam. Ia pun menyerang penyusup yang menakutkan itu. Perkelahian terjadi. Dan ular itu bisa dikalahkan: lehernya digigit sampai putus, tubuhnya yang panjang dicabik-cabik.

Bayi itu tetap nyenyak.

Tak lama kemudian, istri sang brahmana kembali membawa guci air yang penuh. Si manggus menyongsongnya di halaman, seakanakan hendak menceritakan apa yang terjadi. Tapi perempuan itu kaget: mulut binatang itu bergelimang darah segar. Ia, yang selama ini tak pernah percaya benar kepada manggus yang dirawatnya, mengira bahwa itu darah bayinya. ‘Si manggus jahat ini telah menggigit anakku! , begitu pikirnya.

Dengan marah, ia timpakan guci air yang berat itu ke tubuh si manggus. Dan hewan yang tubuhnya tak lebih besar ketimbang kucing itu pun tewas.

Lalu isteri brahmana itu pun masuk rumah. Astaga: bayinya utuh dan lelap. Ia baru mengerti apa yang terjadi ketika ia lihat darah dan serpihan tubuh ular di ruang itu. Perempuan itu sadar, ia telah melakukan kesalahan besar. Ia menangis, memukul-mukul dada menyesali salah sangkanya yang fatal. Saat itu, suaminya kembali dengan sepiring makanan. Dewasharma, laki-laki itu, terhenyak melihat apa yang terjadi. Juga ketika isterinya melontarkan rasa bersalah kepadanya: ‘Ini terjadi karena kamu meninggalkan rumah! Karena kamu tak bisa menahan lapar! Serakah!’.

Cerita itu saya cuplik dari Panchatantra, karya dari abad ke-3 Sebelum Masehi. Kumpulan dongeng yang ditulis Visnhu Sharma itu tersebar dari India ke seluruh dunia, dari Yunani sampai dengan Indonesia. Di negeri-negeri Islam, sejak abad ke-8 ia dikenal sebagai Kalilah wa Daminah ( قليلا و دعمنا) Bahwa Rudyard Kipling kemudian menyadur cerita manggus yang gagah berani itu ke dalam kisah Rikki Tikki- Tavi, salah satu bagian The Jungle Booknya (terbit tahun 1894), itu menunjukkan betapa panjang dan meluasnya kisah kedekatan manusia dengan ‘hewan yang lain’. Boleh dikata sejarah tak putus antara Panchatantra dan film kartun Tom & Jerry, antara Kalilah wa
Daminah
dan Finding Nemo.

Tentu saja hubungan itu mencerminkan posisi manusia yang tak selamanya sama. Dalam cerita di atas, brahmana dan istrinya tak lebih luhur ketimbang manggus; tapi lebih dari itu: si manggus tetap mahkluk yang singular – bukan repetisi dari bayangan diri manusia, bahkan bukan cerminan ‘tipe’ manggus pada umumnya. Ia tak tergantikan. Pertalian antara dia dan isteri brahmana seperti antara ‘anak’ dan ‘ibu’. Memang perempuan itu tetap mencurigainya, tanda bahwa mereka tetap berbeda. Tapi hidup menghadirkan mereka dalam satu gerak, dalam bahasa tanpa konsep, dan identitas tak relevan.

Tapi abad Panchatantra digantikan abad Kipling dan kartun Disney: kini manusia jadi pengukur segala hal di alam semesta. Para hewan dalam The Jungle Book – Akela, kepala puak serigala, Bagheera, si macan hitam yang bagaikan aulia, Baloo, beruang baik hati – semua antropomorfik. Juga dalam Donald Bebek: manusia melihat diri sendiri dengan memanfaatkan bentuk hewan. Di sana humanisme membayang: humanisme yang kemudian dikecam karena meletakkan manusia, khususnya manusia Eropa, di pusat yang menjajah dan mengubah semesta sesuai dengan citranya sendiri. Kolonialisme, sistem yang didukung Kipling dengan yakin, adalah akibatnya.

Tentu, ada yang tersisa dari zaman Panchatantra bahkan dalam cerita Kipling. Hubungan antara manusia dan ‘hewan yang lain’ tak sepenuhnya sepihak. Namun selalu ada tendensi untuk membuat ‘yang lain’ itu tak sepenuhnya lain. Ada sedikit narsisme dan rasa cemas menghadapi beda yang radikal.

Terhadap itu Jorge Luis Borges datang dengan Manual de zoolog’iafantastica: ia menegaskan beda yang radikal itu. Dalam ensiklopedia kecil tentang hewan-hewan yang fantastis ini kita temukan catatan: kisah-kisah manusia yang berubah jadi hewan, seperti lobizbn dan werewolf, tak dimasukkan ke dalam daftar.

Tapi adakah beda yang radikal, yang tak berubah? Bagi saya kritik Deleuze dan Guatarri benar: Borges hanya tertarik pada karakteristik. Dalam ensiklopedianya tak ada proses yang menjadikan satu mahluk dengan mahluk lain berdebur bersama dalam élan kehidupan, bertaut, bersentuhan, saling mengubah tanpa saling meniadakan.

Proses itu sangat penting untuk ditegaskan di masa ini. Kini manusia tetap hendak menaklukkan ‘yang lain’: orang, hewan, benda, jadi komoditi. Manusia tetap mencoba bekukan ‘yang lain’ dalam bentuk yang mandeg dalam klasifikasi.

Kembali ke cerita si manggus. Di akhirnya ada sepatah kata yang tiba-tiba muncul tapi bergema: ‘serakah’. Isteri brahmana menuduh suaminya lebih mementingkan makanan buat diri sendiri. Tapi kita tahu tuduhan itu juga proyeksi penyesalannya: ia sendiri tak murah hati kepada ‘hewan yang lain’; ia buat garis segregasi, meskipun hewan itu bagian hidupnya.

Bisakah manusia bermurah hati? Bisakah ia kembalikan proses ‘menjadi’ dari kebekuan bentuk dan segregasi? Bisa. Kita mengalaminya dalam karya seni: sebuah pemulihan élan kreatif dalam hidup.

Itu juga yang hendak dicapai pameran ini.

Jakarta, 29 Oktober 2011.

This entry was posted in: "Esai", BEASTLY
Tagged with:

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.