"Pameran", BEASTLY
Leave a Comment

Beastly

Tanggal : 07 Juli – 07 Agustus 2011
Tempat : Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat

Daftar Isi0

Teks Pengantar | Foto Karya | Dokumentasi Pembukaan | Esai Pameran

BEASTLY
Kisi-kisi Binatang dan Manusia dalam Sejarah Kebudayaan

“Hubungan antara manusia dan binatang merupakan kenyataan penting dalam banyak bentuk kebudayaan di dunia dan menjadi tema yang menempati dominasi wacana seni rupa kontemporer, utamanya di Indonesia dulu hingga kini.”

Bangsa ini memiliki sejarah kebudayaan jauh sebelum periode kolonialisme, adalah latar belakang budaya animistik dan samanisme, di mana mitologi tentang manusia/binatang berkembang dan terbentuk menjadi peradaban di bawah pengaruh dari berbagai macam ragam kepercayaan serta agama. Dari figur-figur hibrida mitologi manusia/binatang yang acapkali berperan sebagai pelindung yang dipercaya, dewa, sampai pada kendaraan bagi manusia; binatang-binatang yang dihormati manusia maupun manusia-manusia yang seperti binatang ini, acapkali memiliki perubahan makna terus-menerus hingga masa sekarang. Figur-figur ini selanjutnya berubah terus menjadi diantaranya adalah simbol-simbol komentar pedas atas kehidupan sosial dan politik di dalam Indonesia kontemporer dalam hubungannya dengan kehidupan global sekarang. Pameran Seni Rupa berjudul BEASTLY 2011 (tentative) akan mempresentasikan lebih dari puluhan nama-nama seniman dari tiga generasi (80an, 90an dan generasi 2000an) yang memilih ketepatan ungkapan medianya untuk mengungkapkan berbagai macam cara idiom yang menggambarkan berbagai macam korelasi kehidupan manusia dan binatang dalam sejarah. Bermacam-macam karya para seniman secara khusus menunjukkan fenomena yang sangat kuat dalam visualisasi gagasan yang penuh rasa humor, membuka ruang alternatif pada pemaknaan baru yang unik bagi hubungan antara manusia dan binatang.

Pameran ini dilengkapi dengan tulisan lepas oleh Heru Hikayat yang menjadi pengantar inspirasi pemikiran, sekaligus pemicu gagasan menuju apresiasi besar pada hubungan manusia dan binatang. Pameran ini dirancang oleh Rumah Seni Cemeti, dibuka pada hari KAMIS 7 Juli 2011 dan berlangsung selama satu bulan sampai dengan SABTU 7 Agustus 2011.

Rumah Seni Cemeti
Yogyakarta

MANIMALISME :
Sebuah Pengantar

Cara kita memandang binatang selalu mengandung paradoks. Dalam diri binatang kita menemukan kemurnian, kepolosan, kejujuran, segala hal yang membuat kita mampu membersihkan diri kembali dari ekses peradaban. Dalam fabel, kita memuliakan binatang: mereka memberi kita hikmat kebijaksanaan. Dalam kehidupan sehari-hari, binatang piaraan memberi apa yang tak terberi oleh sesama: anjing adalah kesetiaan itu sendiri, dan kucing adalah ia yang terikat kepada rumah.

Namun kita juga merendahkan binatang. Manusia yang menurunkan derajat dirinya seringkali diibaratkan hewan: membunuh, menyiksa, memperkosa itu berlaku sebagai binatang. Si rakus-uang berubah menjadi babi ngepet. Vlad Draculea dalam birahinya menjelma makhluk-serigala dan dalam laparnya menjadi kelelawar. Seakan mendahului teori evolusi, bawah-sadar manusia sejak dulukala mengatakan bahwa binatang adalah makhluk pra-manusia.

Paradoks belum selesai. Manusia mengagumi binatang dengan cara memenjarakannya. Penjara paling terhormat mungkin adalah kebun binatang, di mana para tawanan, seakan mewakili ragam spesies yang ada di muka bumi, memamerkan kecantikan dan kepiawaian mereka. Di Las Vegas, saya pernah melihat sekawanan harimau dan singa putih terpajang mewah dalam etalase raksasa di sebuah kompleks pertokoan dan perjudian. Di arena sirkus, kaum binatang menjadi sahabat yang bengis, fierce friends: ketika melihat mereka layak dikasihi dan mengasihi, kita juga merasa mereka tetap buas-ganas.

Kita semua adalah pembunuh binatang, langsung atau tidak. Sejak kita lahir, hampir setiap hari kita memangsa daging hewan: entah sudah berapa banyak yang terbantai, supaya kita mampu bertahan hidup melangsungkan peradaban. Perbedaan genetik antara manusia, Homo sapiens, dengan simpanse hanya lima persen, dan perbedaan serbakecil ini cukuplah membuat si manusia berkesadaran bahwa dialah wakil Tuhan di muka bumi.

Perikemanusiaan kita boleh jadi tak dapat berlangsung tanpa perikebinatangan. Judul pameran ini membuat saya seperti mendengar seruan, marilah membinatang! Bersama bentuk-bentuk yang tersaji di hadapan kita, kita mengaum, menguak, meringkik, mendesis, mengulik, mengeong, menyalak. Sesaat kemudian, terdiam, sambil memandang bentuk-bentuk itu, saya tersadar bahwa beastly juga berarti “melalui binatang”. Tak seorang pun di antara para seniman itu tertarik menggambarkan binatang sebagai tujuan.

Pameran ini adalah sebuah manimalisme—saya kutip “manimal” dari sebuah karya ruangrupa yang hadir di antara kita. Hampir semua seniman menggarap jukstaposisi antara (bentuk-bentuk) manusia-(dan)-binatang, man-animal. Tidak ada bentuk binatang yang dibiarkan mengendap, sepi sendiri: manusia “mengotori” binatang, begitu juga sebaliknya. Jika perlu, bahkan tidak ada sosok hewan sama sekali, sebab ia, mereka, sudah merasuk ke dalam sosok manusia itu sendiri.

Manimalisme mungkin adalah jalan ketiga setelah minimalisme dan maximalisme. Bagi saya, minimalisme adalah bentuk-bentuk binatang yang saya temukan pada lukisan-lukisan, misalnya, Zaini dan Franz Marck; dan maximalisme adalah apa yang diberikan oleh karya-karya trimatra, misalnya, Jeff Koons dan Ugo Untoro. Dengan minimalisme, kita mengendap, menyerap bentuk, bergerak antara wujud dan kekosongan, mencari hakikat rupa; dengan maximalisme, kita sadar bahwa seni rupa telah mencapai titik jenuhnya, dan benda seni tiada lain ketimbang benda seharihari.

Manimalisme adalah ber-ide, seraya menyadari bahwa ide itu tidak cukup; ide harus tertampung ke dalam bentuk, tetapi bentuk juga tidak cukup. Dalam ketidakcukupan ide dan bentuk—dalam kesadaran bahwa rupa bisa melampaui seni—tampaknya para seniman ber-“jodoh” dengan perikebinatangan. Manusia adalah makhluk yang belum selesai, seperti juga binatang. Demikianlah, makhluk manusia ini juga tak bisa digarap melulu dengan ide, tetapi dengan bentuk, yakni bentuk binatang. Manimalisme adalah jawaban terhadap humaniora, yang menganggap manusia sebagai makhluk final, manusia seutuhnya.

Beastly: perikebinatangan untuk hikmat kebijaksanaan. Mungkin pada saat kita menyadari bahwa diri kita belum terlalu jauh dari bentuk dan watak binatang, kita mulai belajar bagaimana kita bersikap adil terhadap alam. Jika pun pameran ini tak berhujah langsung, maka bentuk-bentuk yang tersaji akan membuat kita terhenyak bahwa kaum binatang bukan lagi sang lain, the other. Binatang dan manusia, alam dan kebudayaan, adalah dua saudara kembar yang belum kunjung selesai.

Nirwan Dewanto
Komunitas SALIHARA


Seniman :
Ade Darmawan | Arya Pandjalu | Agung Kurniawan | Angki Purbandono | Abdi Setiawan | Agan Harahap | Beatrix Hendriani Kaswara | Caroline Rika Winata | Dian Ariyani | Dona Prawita Arissuta | Eko Nugroho | Erik Pauhrizi | Gintani Nur Apresia Swastika | Iswanto Hartono | Laksmi Shitaresmi | Moelyono | Maryanto | Octora | Popok Tri Wahyudi | ruangrupa | Restu Ratnaningtyas | Sara Nuytemans | Syagini Ratna Wulan | S. Teddy D. | Sigit Bapak | Terra Bajraghosa | Ugo Untoro | Wibomo Adi Utama | Wimo Ambala Bayang

Pameran ini diinisiasi oleh :
Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo

Koordinator :
Theodora Agni & Linda Mayasari

Penulis :
Goenawan Mohamad & Heru Hikayat

Dewan Kurator Senirupa Salihara :
Asikin Hasan, Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge

Manajer :
Dian Ina Mahendra

Kembali ke Daftar Isi


Foto Karya

Foto Karya

Abdi Setiawan

Aktor
2011
Kayu jati, acrylic.
105 cm x 45 cm x 40 cm

ABDI SETIAWAN adalah lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia sering ikut serta dalam pameran seni rupa, seperti dalam Dialog Dua Kota I, Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki (1996); pameran seni rupa publik Di Sini Akan Dibangun Mall, Yogyakarta (2004); The First Indonesian Contemporary Art Festival, Langgeng Gallery (2006); China International Gallery Exposition, Cina (2008); Bentuk-Bentuk: Contemporary Indonesian Art in 3D, Melbourne Art fair, Australia (2008); From 2D to 3D, Summer Exhibition, Sin Sin Gallery, Hong Kong (2009); Higher Ground, Metis Gallery, Belanda (2009); Art Amsterdam, RAI, Belanda (2010); dan Bandar, Sogan Art Gallery, Singapura (2011). Pernah berpameran tunggal, misalnya Gairah Malam, CCF Yogyakarta (2004); New Sculpture, Metis Gallery, Belanda (2010).

Ade Darmawan

Decentering
2011
Timbangan gantung, sayap patung burung elang dari semen (found object).
Variable dimension

ADE DARMAWAN adalah salah satu pendiri dan direktur artists’ initiative ruangrupa. Ia mendapatkan pendidikan formal senirupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia dan di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten, Belanda. Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dalam periode 2006-2009. Saat ini mengajar di Fakultas Desain Komunikasi Visual di Universitas Tarumanegara. Selain berpameran, Ade juga kerap terlibat dalam proyek seni dan bengkel kerja, menjadi kurator dan programer festivalfestival seni rupa, seni video dan berbagai proyek lainnya. Ia juga pernah menerima hibah dari Aschberg Bursaries for Artists dari Unesco (1998) dan dari Dutch Ministry of Foreign Affairs (BUZA/DCO/CO). Beberapa pameran tunggalnya antara lain Deodorant Display Power di Cemeti Art House (1997), Please Help Us Preserve Them di De Schone Kunsten Gallery (1999), dan Supply and Demand di CCF Jakarta (2003) dan di Kedai Kebun Forum Yogyakarta (2004).

Agan Harahap

Bird Head No.3
2011
Digital C-Print on aluminum d-bond

The Little Princess Edition: 2
2011
Digital C-print on aluminum d-bond
120 x 95 cm

AGAN HARAHAP banyak berkarya menggunakan fotografi. Ia pernah berpameran tunggal Superhistory, Vivi Yip Art Room (2010); Safari di MES56 (2009); Holy War, Richard Koh Fine Art, Malaysia (2011); Singapore Art Stage—Project Stage, Marina Bay, Singapura (2011) dan Superhistory, Ion Art Space, Singapura (2011). Ia juga telah sering terlibat dalam beragam pameran kelompok, seperti dalam JPG Fashion Photography, Space Gallery, Amerika Serikat (2007); Indonesia Art Award, Galeri Nasional, Jakarta (2008); CUT 09 Figure—New Photography Form Southeast Asia, Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur, Singapura dan Manila (2009); Daegu Photo Biennale 2010, Daegu Culture and Arts Center, Korea Selatan (2010); dan Month of Photography Tokyo, Ricoh Ring Cube Gallery, Jepang (2011). Agan adalah nominator untuk Indonesia Art Award di Galeri Nasional Indonesia (2008).

Agung Kurniawan

Rahwana
Sinta, Sofa and Finger with Golden Ring
Laki-laki Dengan 10 Wajah
Rama
Sinta love Rahwana, and Rama love Sinta

2010
Conte, pastel on paper
42 cm x 59,4 cm

Litani Orang Kudus / Litany Of The Sacred
2011
Installation
Variable Dimension

AGUNG KURNIAWAN adalah seniman yang berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. Ia pernah belajar arkeologi di Universitas Gadjah Mada dan sempat pula belajar desain grafis di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Karya-karyanya telah dikoleksi oleh berbagai galeri dan museum, seperti oleh Singapore Art Museum, Graphic Atelier Utrecht, Deutsche Bank Jakarta, Loft Gallery, dan oleh Haden di Den Haag, Belanda. Ia telah terlibat dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri sejak 1990, beberapa di antaranya adalah Soul Ties, The Land and Her People, Singapore Art Museum, Singapura (1999); Reformasi Indonesia, Protest in Bleed 1995-2000, Nusantara Museum, Belanda (2000); Indonesia Contemporary Art, Loft Gallery, Hong Kong dan Barcelona (2004); Space & Image, Ciputra World Marketing Gallery (2010). Pameran tunggalnya antara lain adalah Sex, Lies and Drawing, GoetheInstitut (2003); dan The Lines that Remind Me of You di Kendra Gallery (2011).

Angki Purbandono

Crab Element
2011
Print on acrylic, T5 light, AC power.
150 cm x 120 cm x 15 cm
Neon box edition
Scanography

Instinct
2011
Print on acrylic, T5 light, AC power.
150 cm x 120 cm x 15 cm
Neon box edition
Scanography

Diamond Fish
2011
Print on acrylic, T5 light, AC power.
150 cm x 120 cm x 15 cm
Neon box edition
Scanography

ANGKI PURBANDONO merupakan salah satu pendiri dan anggota MES56 yang didedikasikan untuk fotografi kontemporer Indonesia. Ia mendapatkan pendidikan formalnya di Institut Seni Indonesia dan di Modern School of Design, Yogyakarta. Kerap terlibat dalam berbagai pameran seperti Art Photography Exhibition, Museum Negeri Denpasar (2000); Beauty Point (Video Art), Jakarta International Film Festival (2004); bersama Ruang MES56 berpameran di CP Biennale Indonesia di Bank Museum (2005); Space and Shadows, Contemporary Art from Southeast Asia, HausderKulturde Welt, Jerman (2005); Jakarta Biennale XIII, Jakarta (2009); Indonesia Contemporary Photography, Centre for Contemporary Photography, Melbourne (2011). Ia terlibat dalam proyek fotografi Moslem Fashion of Indonesian Women (2004) yang disponsori oleh British Council dan dipamerkan di Yogyakarta, Makassar, Jakarta, Cirebon, Malang, Surabaya dan Jombang. Angki pernah ikut serta dalam berbagai program residensi, seperti Asian Artist Fellowship di Changdong Art Studio, Seoul, Korea Selatan (2005- 2006) dan di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang (2009).

Arya Pandjalu

Jaga Tanah Ini
2008
Resin, wooden chair, wooden toy gun, shoes, and car paint.
120 cm x 53 cm x 93 cm

Chicitchuit…
2008
Fiberglass, autopaint
Variable dimension

ARYA PANDJALU belajar seni grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Karyanya berfokus pada kisah sosial dan personal dalam bentuk instalasi, cetakan, lukisan, patung dan performance. Arya pernah berpartisipasi dalam program residensi Landing Soon di Cemeti Art House (2006) dan di Andergrond, Belanda. Pameran tunggalnya, misalnya adalah Phone Number My Hand, O House Gallery (2009); Lost, Andergrond, Den Haag, Belanda (2008); ChitChitChuit, Parkir Space (2009). Beberapa pameran kelompoknya, misalnya adalah Beyond the East, Macro Museum, Roma (2011); Cut 2010, New Photography from Southeast Asia, Parallel Universe di Kuala Lumpur, Singapura, Yogyakarta dan Manila; In Transition, Neme, National Center of Contemporary Art, Rusia (2008); Drawing from the Stockrooms, Biasa Art Space (2006); 3 Annual Mini Print, Lasendra, Bulgaria (2004); serta terlibat dalam proyek seni publik bersama ruangrupa di kawasan Ciliwung, Jakarta (2000).

Beatrix Hendriani Kaswara

Si Badut
2011
Acrylic on canvas.
90 cm x 120 cm

BEATRIX HENDRIANI KASWARA merupakan lulusan Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Ia kerap terlibat dalam berbagai pameran, seperti Seni Rupa Perempuan, Galeri Sumardja (2004); Kuota 2007, Galeri Nasional Indonesia (2007); Revisiting the Last Supper, CG Art Gallery (2009); Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas, Bentara Budaya Jakarta (2010); dan Room of Her Own, Dimensi Art Gallery (2010). Ia juga pernah dua kali berpameran tunggal, yaitu Precious Treasures, Culture Park, Dago Tea House (2005) dan Visible Noise, Selasar Sunaryo Art Space (2009). Beatrix sempat mengikuti bengkel kerja puppet bersama Heri Dono (2007); dan CAPO di Selasar Sunaryo Art Space (2008).

Caroline Rika Winata

Penghargaan Untuk Ikan Teri
2011
Print on ceramic plate.
Diameter 23 cm (each)

CAROLINE RIKA WINATA adalah lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Saat ini ia bekerja sebagai seniman tekstil, pengajar dan desainer lepas khususnya untuk batik dan tie-dye. Ia pernah berpameran tunggal Before and After di Kedai Kebun Forum Yogyakarta (2005). Ia juga kerap kali terlibat dalam beragam pameran kelompok, seperti dalam Batik World, The International Batik Competition, Exhibition and Conference (1997); Women Claim Their Space, Galeri Nasional Indonesia (2003); Fusion Strength, pameran dan kolaborasi performance dengan seniman asal Singapura di Langgeng Gallery, Puri Art Gallery dan Benda Gallery (2003); Jogja Biennale VIII, Taman Budaya Yogyakarta (2005); Immemorial Project, sebuah proyek bersama 24 Hours Gallery, Australia (2011). Ia adalah juara kelima Batik World, International Batik Competition (1997); nominator untuk International Batik Competition and Jogjakarta Batik Festival (2000) dan juara favorit dalam Fashion in National Textile Design Competition (2004). Karyanya telah dikoleksi oleh Museum Tekstil Indonesia dan oleh Southeast Asia Works, Museum and Gallery of Art Northern Territory, Australia.

Dian Ariyani

Animal Decorative Series – Jelly’s Chair
2011
Wood and rattan.
115 cm x 40 cm x 74 cm

DIAN ARIYANI adalah lulusan Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Pernah terlibat dalam beberapa pameran kelompok, seperti dalam Southern Bags Terror, Kedai Kebun Forum Yogkayarta (2007); Cover Boy, MES56, Yogyakarta (2007); International Digital Design Invitation Exhibition, Zhejiang University of Technology, Cina (2008); Jogja Art Fair #2, Spacing Contemporary, Taman Budaya Yogyakarta (2009). Pada 2007, ia pernah terlibat dalam pertunjukan puppet Sikayasuha Menciptakan Manusia bersama Rumah Papermoon, sebagai seniman dan desainer boneka; dan pada 2010 ia berkolaborasi dengan Retno Sulistyorini dalam Ruang dalam Tubuh di Solo.

Dona Prawita Arissuta

Ibu adalah Rumah
2011
Stoneware, pigment warna, oxide, transparant glaze, wood
Variable dimension

The Happy Days of
the Beloved Boss
2005/2009
Stoneware, oxide, transparant glaze, pigment warna, acrylic paint.

DONA PRAWITA ARISSUTA adalah lulusan Institut Seni Indonesia dan Program Pascasajana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia adalah finalis Nokia Award Regional 2001, favorit Dewan Juri dalam Kedawung Glassware Print Design Competition Award 2002 dan finalis kompetisi pematung muda ICC Pandaan 2010. Sejak 2000, ia kerap terlibat dalam pameran seni rupa, seperti dalam Age Hibition, Edwin Gallery (2002); Exhibition of Yogyakarta Woman: Considering the World of Woman, Taman Budaya Building (2004); Exhibition of Young Arts Ceramic, Galeri Nasional Indonesia (2004); My Favorite Painting and Sculpture, Art Forum, Singapura (2005); The Young Contemporer Artist, Art Forum, Singapura (2005); Arafura Craft Exchange: Trajectory Memories Tradition and Modernity in Ceramic, Museum Art and Gallery of the Nothern Territory (MAGNT), Australia (2008); Origin of the World, The Art House, Singapura (2011); Diversity, Art Xchange Gallery, Singpura (2011); Tribute to Dali, Art Xchange Gallery Singapura (2011).

Eko Nugroho


Nasionalisme Berbulu (Trolley Series)
2009 – 2011
Stainless steel, electric motor, fabric, wood.
110 cm x 63 cm x 98 cm (each)

EKO NUGROHO telah sering terlibat dalam pameran tunggal dan kelompok di beberapa ruang pamer utama di dalam dan luar negeri. Ia adalah lulusan Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta dan Jurusan Seni Lukis, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Pameran tunggalnya yang terakhir adalah Snob Behind Ketchups, Lombard Freid Projects, Amerika Serikat (2011). Sejak 2004, ia pernah menjalani belasan residensi di Jerman, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, Australia, Malaysia dan Jepang. Selain berpameran, Eko juga sering berkolaborasi dengan seniman lain dan menghasilkan seni pertunjukan, seperti dalam Bungkusan Hati Dalam Kulkas, Teater Salihara (2008) dan L’Arc en Ciel Sous La Pierre dalam Biennale X, Prancis (2009). Pada 2008, ia mendapatkan penghargaan Academy Art Award for Emerging Artist dari Institut Seni Indonesia; dan pada 2009 karyanya terpilih sebagai Ilustrasi Terbaik Cerita Pendek Kompas. Eko juga menghasilkan karya-karya seni video, mural, dan terlibat dalam produksi komik. Monografnya yang pertama, Space, terbit pada 2011 dengan kata pengantar dari Adeline Ooi dan berisi wawancara mendalam yang ditulis oleh Enin Supriyanto.

Erik Pauhrizi

Ohnetitel
2011
Embroidery on canvas.

ERIK PAUHRIZI adalah seniman asal Bandung yang pernah mengikuti beragam pendidikan senirupa, formal maupun informal. Ia adalah lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, mayor seni tekstil dan seni media. Ia juga pernah belajar di Fakultas Teknik, Universitas Pendidikan Indonesia, mayor Teknik Mesin; dan pernah mengikuti kursus filsafat di Universtas Parahyangan, Bandung. Ia, juga pernah menerima pendidikan dan pelatihan seni rupa di New Museum & Westbeth, Amerika Serikat (2010); kursus tekstil interior Swedia di Bandung (2004-2005); dan di Biranul Annas Z. Fiber Art Studio, Bandung (2004). Pernah beberapa kali menyelenggarakan pameran tunggal, seperti The Pleasure of the Text di MES56 dan di LIP, Yogyakarta, serta di Rumah Seni Yaitu, Semarang (2010); Open Studio, Westbeth Artist Housing, Amerika Serikat (2010); The Poison of Our Sins, CATM Chelsea, Amerika Serikat (2011). Selain itu, Erik juga kerap terlibat dalam berbagai pameran bersama, di dalam dan luar negeri, serta terlibat dalam proyek seni rupa, bengkel kerja serta konferensi internasional.

Gintani Nur Apresia Swastika

Versatile
2010
Silkscreen and graphir metal plated on canvas.
60 cm x 60 cm

Gintani Nur Apresia Swastika adalah anggota kelompok seni Simponi.
Ia mendapatkan pendidikan desain grafis di Istitut Seni Indonesia dan di Modern School of Design, Yogyakarta. Ia pernah mendapatkan penghargaan Best Color Composition dari Modern School of Design, Yogyakarta (2003) dan karyanya juga pernah terpilih dalam 12 Best Drawing dalam Australia Indonesia Institute Drawing Contest di Jakarta (1991). Ia kerap terlibat dalam berbagai proyek seni rupa dan berpameran kelompok, seperti dalam Komedi Putar, Jogja Gallery (2008); Ketik: Reg Manjur, Sangkring Art Space (2009) dan Jogja Art Fair #2, Taman Budaya Yogyakarta (2009). Bersama Simponi, ia juga kerap terlibat dalam berbagai pameran, seperti Southern Bags Terror, Kedai Kebun Forum Yogyakarta (2007); Untukmu Perempuan Indonesia, Arsip Museum Nasional (2008); You Shine Like Gold in the Air of Summer, Esplanade Gallery, Singapura (2009).

Iswanto Hartono

Nuh
2011
Print di atas kertas A3

Teks
2011
Print di atas kertas A3

Iswanto Hartono adalah salah satu anggota Artlab ruangrupa. Ia telah sering terlibat dalam pameran kelompok di dalam dan luar negeri, seperti dalam The Exhibition of Geumgang Nature Art Project, Gong-Ju Cultural Center, Korea Selatan (2002); Mapping Indonesian Art, ISCP Open Studio, Amerika Serikat (2004); Voices from the Forest, Jepang (2006); Manifesto of the New Aesthethics: 7 Artists From Indonesia, Lasalle College, Singapura (2010); Ekspansi, Pameran Besar Patung Indonesia, Galeri Nasional Indonesia (2011). Iswanto pernah sepuluh kali berpameran tunggal, yang terakhir adalah Museum of Innocence, Galeri Canna, Jakarta Art District (2010). Selain berpameran, ia juga pernah mengikuti residensi di Vermont Studio Center, Amerika Serikat (2004); Tokyo Wonder Site, Jepang (20008) dan di Kulturamt Landeshauptstadt Dusseldorf, Jerman (2009). Pada 2000-2002, ia mendapatkan hibah General Cultural Scholarship Scheme, Indian Council for Cultural Relationship, New Delhi, India; dan pada 2003-2004 mendapatkan Freeman Asian Award Full Fellowship, Freeman Foundation, Amerika Serikat.

Laksmi Shitaresmi

Khafilah Menggonggong… Akupun Berlalu
2010
Aluminum casting, polyurethane painted, silver, gold leaf
58 cm x 103 cm x 26 cm

Laksmi Shitaresmi adalah lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sejak 1999, ia telah beberapa kali mengadakan pameran tunggal lukis dan atau patung, seperti Nakedness Reveals Life, Bentara Budaya Jakarta (2009) dan Kocap Kacarita, Nadi Art Gallery (2010). Selain itu, ia juga sering terlibat dalam pameran kelompok, di dalam dan luar negeri. Beragam penghargaan juga pernah ia raih, seperti Penghargaan Lukisan Nominasi The Philip Morris Awards Indonesia (1997 dan 1999); Distinct Uniqueness, Golden Selection Women Artist Art Awards Indonesia (2009); dan mendapatkan medali Lidicka Ruze sebagai karya lukis terbaik di Cekoslovakia (1989).

Maryanto

Once Upon a Time in Rawalelatu
2011
Installation, single channel video (monolog by Jamaluddin Latif, duration 20 minutes)

Maryanto telah mengadakan tiga pameran tunggal, yaitu Minggiran di Quatro Gato Cafe, Spanyol (2003); pameran grafis di Wisma Ary’s Yogyakarta (2005); dan Rawalelatu di Kedai Kebun Forum Yogyakarta (2008). Sudah puluhan kali ia juga terlibat dalam pameran kelompok, baik di dalam dan luar negeri. Ia kerap terlibat dalam pendirian beberapa kelompok seniman, seperti pada 2001 ketika turut mendirikan komnitas seni cetak Studio Grafis Minggiran, dan juga enam tahun kemudian ketika ia ikut mendirikan Jogja Print Network. Karya ilustrasinya dapat dilihat misalnya pada sampul muka CD The Tree’s n The Wild, Rasuk; dan sampul muka buku Malam Terakhir karangan Leila S. Chudori. Maryanto mendapatkan pendidikan desain grafis dari Interstudi School of Design, Jakarta dan di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Moelyono

Koyo Kewan
2011
Video, sound and sculpture

Moelyono sudah aktif berpameran sejak 1979, misalnya dalam ARX 4: Torque, Perth Institute of Contemporary Arts (1985); Art and Human Rights, Gwangju Biennale, Korea Selatan (2000); Beyond, Jakarta Biennale (2006); Sang Ahli Gambar dan Kawan-Kawan, Tribute to Sudjojono, Gallery Cana (2010). Selain itu ia juga kerap terlibat dalam pameran tunggal dan komunitas, seperti dalam Dialogis Transformatif, Lingkar Mitra Budaya, Jakarta (1988); Seni Rupa Penyadaran, Dewan Kesenian Surabaya dan Teater Gidag-Gidig, Solo (1989); Partai di atas Bantal, Cemeti Art House (1998); Seni Gambar Moelyono, Galeri Lontar (1998) dan Topografi Ingatan: Digital Lempung, Koong Gallery (2010). Ia menyelesaikan studinya di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia pada 1985. Ia juga pernah terlibat dalam bengkel kerja budaya Asian Council for People Culture di Manila, Filipina.

Octora

Mixed Reality
2009
Collaboration with Cilia Erens
Sound and mixed media.

Octora mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Parahyangan, Bandung, sebelum kemudian melanjutkannya ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, mayor Patung. Ia pernah ikut serta dalam program residensi Landing Soon #10 yang diadakan di Cemeti Art House (2009); Bamboo Culture Studio, Taipei, Taiwan (2010) dan di Stock20, Taichung, Taiwan (2010). Beragam pameran seni rupa pernah ia ikuti, seperti misalnya dalam Neo-Nation, Biennale Jogja IX (2007); Bandung New Emergence Vol. 2, Selasar Sunaryo (2008); Darimana? Indonesian Artist Exhibition, Asian Art Project, Ma-Sui Gallery, Jepang (2009); Recent Art from Indonesia—Contemporary Art Turn, SooBinArtPlus, Singapura (2010), dan Mossion Sense-sation, Edwin Gallery (2011).

Restu Ratnaningtyas

Fancy Frenzy (Series)
2011
Ink on paper

Karma Kitchen (Series)
2011
Acrylic on wood
26 cm x 15 cm

Restu Ratnaningtyas mulai sering berpameran sejak 2008. Pada tahun yang sama ia juga menyelenggarakan pameran tunggalnya, Memento: Privatization Room, Vivi Yip Art Room. Selain itu, ia juga pernah berpartisipasi dalam Tanda Kota, Galeri Cipta I, Taman Ismail Marzuki (2007); Jakarta Biennale XIII (2009); ArtJog 11, Taman Budaya Yogyakarta (2011). Ia juga pernah terlibat dalam proyek serta bengkel kerja seni rupa seperti Public Space, Jakarta 32°C (2004); Collabs+Collaps, Serrum Art Studio (2007); dan menjadi kurator dalam Instant 3 in 1, CCF Jakarta (2006) dan Mari Bungkus, CCF Jakarta (2007).

Ruangrupa

The Best Of The Beast
2011
Installation
Variable dimension

ruangrupa adalah artists’ initiative yang didirikan oleh sekelompok seniman pada tahun 2000. Ia adalah organisasi nirlaba yang bertujuan mendukung perkembangan ide-ide seni rupa dalam konteks urban dan kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, bengkel kerja, riset dan publikasi jurnal. Kerja kolaborasi, proyek dan pameran yang pernah ruangrupa lakukan misalnya P_A_U_S_E , 4th Gwangju Biennale, Gwangju, Korea Selatan (2002); OK. Video—1st Jakarta Video Art Festival, Jakarta (2003); 1st 32°C, Jakarta (2004); terlibat dalam 9th Istanbul Biennale, Istanbul, Turki (2005); Urban/Culture, CP Biennale (2005); bengkel kerja Multiplying Emergence: City Space and Cultural Interventions, Thailand (2006); terlibat dalam konferensi On Globalism, MUseum MOderner Kunst (MUMOK), Austria (2009); dan terlibat dalam Singapore Biennale 2011.

S. Teddy D.

Sakinah
2011
Oil on canvas

S. Teddy D. telah sering berpameran tunggal dan kelompok di dalam dan luar negeri. Selain berpameran, Teddy juga kerap terlibat dalam performace art, seperti dalam Street Art on Human Rights Day—10 Desember, bersama Yustoni Volunteero di Yogyakarta; Sorak Sorai Identitas di Langgeng Gallery (2003); dan Happening Art Transubstranlation, Kendra Gallery (2010). Pada tahun 2000, ia pernah mengikuti program residensi di Ludwig Art Forum, Jerman. Teddy pernah menjadi salah satu dari lima finalis terbaik Philip Morris Indonesian Art Awards (2000) dan Twelve Choice Lucky Strike Young Talented—Sculpture Artist (2001). Teddy juga terlibat dalam proyek lukis mural Sama-Sama di Yogyakarta (2002); Fusion Strength, proyek kolaborasi dengan seniman Indonesia dan Singapura di Yogyakarta (2003); dan membuat instalasi dalam film yang disutradarai oleh Garin Nugroho, Opera Jawa (2005). Beberapa bibiografinya adalah Menanam Padi di Langit, Puthut E.A. (2008); On Being a (Male) Artist, Heidi Arbuckle (2004). Ia pernah mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, dan di Australian National University, Australia.

Sara Nuytemans

Softly Reflected
2011
Interactive video installation

Sara Nuytemans adalah seniman kelahiran Belgia yang tinggal dan bekerja di Den Haag, Belanda, dan di Yogyakarta, Indonesia. Ia memiliki gelar master di bidang seni digital dari IUA, Pempeu Fabra Universiteit, Barcelona; dan di bidang Teknik Desain Industri, TU Delft. Pengalamannya dalam pameran seni rupa sangat beragam, misalnya ia pernah terlibat dalam Art Futura 2001, Centre de Cultura Contemporània de Barcelona (CCCB), Barcelona (2001); Interface, Interbiennial, Bratislava, Slovakia (2007); Jakarta Biennale, Galeri Nasional Indonesia (2009); dan Emerging Wave, Contemporary Photo Exhibition, Hangaram Art Museum, Korea Selatan (2010). Ia pernah terlibat program residensi, seperti di ArtLab, San Servolo, Venesia (2006); Landing Soon, Cemeti Art House, Yogyakarta (2006); dan ID—Contemporary Art Indonesia, Kunstraum Kreuzberg-Bethanien, Berlin, Jerman (2010). Sara adalah penerima penghargaan Szpilman Award 2010, International Art Prize for Ephemeral Works. Selain itu, ia juga pernah menjadi kurator festival film pendek dan pameran seni rupa, penata cahaya untuk pertunjukan dan konser.

Sigit Bapak

Cook Immediately
2011
Acrylic on canvas
100 cm x 150 cm

Sigit Bapak pernah menyelenggarakan pameran tunggal Dunia Subarkah, Deket Rumah Cafe (2004); Parodi Pertemanan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2006); dan Woro-Woro Jogja SOS!, 24HRArt Center for Contemporary Art, Australia (2009). Selain itu, ia juga sering terlibat dalam pameran kelompok di dalam dan luar negeri. Pada 2009 dan 2010, Sigit beberapa kali terlibat dalam performance art dan berkolaborasi dengan seniman lainnya. Pada 2011, ia ikut serta dalam Crossing Sign, sebuah proyek seni Indonesia-Jerman. Tahun-tahun sebelumnya, Sigit juga terlibat dalam proyek seni rupa lain, seperti Landing Soon #8 (2008), Immemorial (2009), dan U(dys)topia (2010). Sigit adalah pemenang Djarum Black Urban Art Competition tahun 2007. Ia memperoleh pendidikan formalnya di Institut Seni Indonesia dan di Modern School of Design, Yogyakarta.

Syagini Ratna Wulan

Ekor Kuda
2011
Inkjet on paper
12 cm x 12 cm

Syagini Ratna Wulan adalah lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung; lalu ia meneruskannya ke Goldsmiths College, University of London dan mendapatkan gelar master di bidang kajian budaya. Ia telah sering terlibat dalam pameran kelompok sejak 2002, seperti dalam Underconstruction: Dream Project, Tokyo Opera House, Jepang (2002); Untitled, Selasar Sunaryo Art Space (2008); Mental Archive, Cemeti Art House (2010). Sedangkan pameran tunggalnya adalah Love Affair Pt. 1: The Dining Room / White Lies, Vivi Yip Art Room (2010) dan Bibliotea, AsiaOne, Vivi Yip Art Room, Hong Kong (2011). Baru-baru ini selama tiga bulan sejak April 2011, Syagini ikut serta dalam program residensi Art Initiative Tokyo. Karyanya telah dikoleksi oleh Singapore Art Museum.

Terra Bajraghosa

The Real Beast is Human
2011
Video game

Menjangan Berbulu Menjangan
2011
Beads

Terra Bajraghosa adalah lulusan Jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia merupakan finalis untuk Sovereign Asian Art Prize 2008. Ia pernah terlibat dalam beragam pameran kelompok, seperti bersama Daging Tumbuh dalam CP Biennale, Museum Bank Indonesia (2005); Anyang Public Art Project, Korea Selatan (2005); Trampoline Festival: Platform for New Media Art, Broadway Cinema and Sinergy, Inggris (2005); Biennale Jogja IX—Neo-Nation (2007); Shanghai Electronic Art Festival, Cina (2008); 10th Havana Biennale, bersama Punkasila, Kuba (2009); Pameran Ilustrasi Kompas, Bentara Budaya Jakarta (2010). Beberapa pameran tunggalnya, misalnya, Robotgoblokisme, Cemeti Art House (2006); Power to the Pixel (And To The Artisans), Cemeti Art House (2009); Pixel X Pixel, Jendela Visual Art Space, Esplanade, Singapura (2010). Selain berpameran, Terra juga sering menjadi tutor dan narasumber dalam bengkel kerja atau temu-wicara seni rupa.

Tri Wahyudi

Purwarupa
The Royal Family
Komando Makanan
Gelombang Biru

2011
Cat air di atas kertas
29 cm x 40 cm

Tri Wahyudi, atau akrab disapa Popok, adalah lulusan Insititut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia pernah terlibat dalam program residensi di Toos Neger International Art Studio, Dordrecht, Belanda (2000); 18th Street Art Complex, California, Amerika Serikat (2001); Akademie Schloss Solitude, Baden Württemberg, Jerman (2007). Ia juga sudah beberapa kali menyelenggarakan pameran tunggal, seperti Shut Up!!, Cemeti Art House (1997); There are No New Messages Today, Esplanade, Singapura (2009); dan Bergerak, The Annexe Gallery, Malaysia (2010). Sejak 1992, ia telah sering terlibat juga dalam pameran kelompok, seperti di Biennale VI Yogyakarta (1999); Awas! Recent Art from Indonesia yang sejak tahun 2000 telah dipamerkan di beberapa negara seperti Jepang, Australia, Indonesia, Belanda; Moving Imagination, Artisima 15, Italia (2008); dan Mix Hang #2 Fine Art Graphic, Tembi Contemporary (2011).

Ugo Untoro

Purwarupa
2011
Cat air di atas kertas
29 cm x 40 cm

Ugo Untoro punya beragam pengalaman pameran seni rupa, baik di dalam maupun luar negeri, seperti dalam Yogyakarta Biennale ke-5 (1996); Kecil Itu Indah 8, Edwin Gallery (2000); Keras Kepala, Cemeti Art House (2001); Not I. Am I?, CP Art Space, Washington DC (2002); Beauty and Expression of Terror of Indonesian Contemporary Art, Gallery Loft, Prancis (2005); Emotional Drawing, MOMAT, Jepang (2009); Arte Fiera, Italia (2010); serta pameran tunggal, seperti ShortShort Stories, Valentine Willie Fine Art, Malaysia (2006) dan Terrible Desire, Langgeng Gallery, Hong Kong Art Fair (2008); serta Poem of Blood, Rome Contemporary Art Fair, Italia (2009). Ugo Untoro adalah penerima berbagai penghargaan, seperti Philip Morris Award (1994); The Best Artist and Work, Quota Exhibition, Galeri Nasional Indonesia (2007). Ia adalah lulusan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Uji Handoko Eko Saputro

Gamsahammida…
2010
Silkscreen on canvas 2/2
90 cm x 120 cm

You can use my leather, it can warming you up and look fashionable
2010
Silkscreen on canvas 2/2
90 cm x 120 cm

Uji Handoko Eko Saputro adalah seniman yang telah aktif dalam kancah seni rupa sejak awal tahun 2000. Ia merupakan lulusan Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Ia terlibat dalam berbagai pameran kelompok, misalnya Ligeros De Equipaje, ISI Yogyakarta dan Universidad Castilla di Spanyol dan Indonesia (2005); Landing Soon #1, Cemeti art House (2007); Jogja Biennale IX—Neo-Nation (2007); Manifesto, Galeri Nasional Indonesia (2008); Biennale Jogja X, Jogja Jamming (2009); Korea International Art Fair, Korea Selatan (2010); Tong Tong Fest, Belanda (2010); Punkasila Project, Monash University Museum of Art, Australia (2011). Selain berpameran, sejak 2003 Uji juga kerap terlibat dalam performance art di Indonesia; dan berkolaborasi dengan Julian Andre dan Dominic dari Quebec. Ia adalah 30 besar finalis dalam The 2008 Sovereign Asian Art Prize.

Wibowo Adi Utama

Keledai Lebih Patriot Daripada Kuda
2011
Fiber glass
60 cm x 50 cm x 50 cm

Wibowo Adi Utama pernah terlibat dalam pameran bersama, seperti dalam Harlequin, Langgeng Gallery (2008); The Power of Dream, Tujuh Bintang Art Award, Museum Nasional Yogyakarta (2009); 1001 Doors: Reinterpreting Tradition, Ciputra Marketing Gallery (2010); dan Come Fly With Me, Cemeti Art House (2011). Selain berpameran, ia juga aktif terlibat dalam performance art sejak 2001 hingga 2007 bersama kelompok Bocor Alus Urban Performa. Pada 2005, karyanya terpilih sebagai salah satu dari tiga lukisan terbaik Pratisara Affandi Adhi Karya; dan pada 2009 menjadi nomine dalam Karya Terbaik Tujuh Bintang Art Award.

Wimo Ambala Bayang

NOTE
2011
Kartu nama, pigmen print
50 cm x 77 cm

Wimo Ambala Bayang telah sering terlibat dalam berbagai pameran dan proyek seni rupa, misalnya dalam Holiday in Jakarta di Paris (2004); Where Trouble Melt Like Lemon Drop, Belgia (2005); Going Digital, Belanda (2006); 1001 Doors, Jakarta (2011). Selain menggunakan medium fotografi, Wimo juga kerap menghasilkan berbagai karya video atau film pendek, misalnya Berlari untuk Entah (2003), dan mengerjakan proyek tunggalnya, Wimo Film and Video Festival di Yogyakarta (2009). Ia pernah mendapatkan beberapa penghargaan, seperti The Best Black and White Photo Print dari Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1997) dan The Best Art Photography dari Institut Seni Indonesia (1998). Wimo juga sering mengikuti program residensi, seperti di ruangrupa, Jakarta (2004); Lijiang Studio, Kunming dan Lijiang, Cina (2005); dan South Project/Monash, Melbourne (2009). Wimo adalah lulusan Jurusan Interior Desain, Modern School of Design, dan Jurusan Fotografi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.

Exhibition View

Exhibiton view Pameran BEASTLY di Rumah Seni Cemeti

Exhibiton view Pameran BEASTLY di Galeri Salihara

Kembali ke Daftar Isi


Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi Pembukaan

Dokumentasi foto Pembukaan Pameran BEASTLY, 7 Juli 2011, Rumah Seni Cemeti. (Foto: Theodora Agni)

Dokumentasi foto Pembukaan Pameran BEASTLY, 3 Desember 2011, Galeri Salihara. (Foto: Galeri Salihara)

Kembali ke Daftar Isi


Esai Pameran

Esai Pameran

Memandang Mereka

oleh Heru Hikayat

Sebuah pameran seni rupa yang menjelajahi hubungan manusia dan binatang bisa menjadi representasi atas cara pandang manusia pada binatang atau sekalian pernyataan keberpihakan pada cara pandang tertentu. Rasanya tidak akan ada orang yang bisa menyangkal keberhasilan Raden Saleh dalam menggambarkan keagungan dan kekuatan binatang. Namun bukan hanya itu: di sana juga ada keliaran. Liar adalah di luar kendali manusia. Bagaimanakah kita, seniman-seniman di masa sekarang, memandang binatang?

Hewan Yang Lain…

oleh Goenawan Mohamad

Bisakah manusia bermurah hati? Bisakah ia kembalikan proses ‘menjadi’ dari kebekuan bentuk dan segregasi? Bisa. Kita mengalaminya dalam karya seni: sebuah pemulihan élan kreatif dalam hidup. Itu juga yang hendak dicapai pameran ini.

Kembali ke Daftar Isi


This entry was posted in: "Pameran", BEASTLY

by

Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat (sebelumnya ‘Galeri Cemeti’, kemudian ‘Rumah Seni Cemeti’) adalah platform tertua seni kontemporer di Indonesia, didirikan di Yogyakarta tahun 1988 oleh Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo. Cemeti menawarkan platform bagi seniman dan praktisi kebudayaan untuk mengembangkan, menyajikan, dan mempraktikkan aktivitas mereka lewat kolaborasi bersama kurator, peneliti, aktivis, penulis dan performer, serta komunitas lokal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.